Rabu, 31 Desember 2008

Tiga Cara Penetapan Calon Terpilih


Pasal 214 UU Pemilu tentang penetapan calon terpilih tak berlaku lagi.

Ari Juliano Gema (Dokumen pribadi Ari Juliano Gema) 


 
   

VIVAnews - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 22-24/PUU-VI/2008 yang diucapkan pada Sidang Pleno Terbuka MK tanggal 23 Desember 2008 lalu mulai menuai reaksi. Putusan itu membuat Pasal 214 huruf (a), (b), (c), (d) dan (e) dalam UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD & DPRD (UU Pemilu) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat alias tidak berlaku lagi. 

Pasal 214 UU Pemilu pada dasarnya mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR/DPRD ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP). Dalam hal terdapat lebih dari satu calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP, maka kursi anggota DPR/DPRD diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut yang lebih kecil diantara calon lainnya tersebut.

Kekosongan Hukum

Banyak kalangan menganggap bahwa dengan tidak berlakunya Pasal 214 tersebut membuat penetapan anggota DPR/DPRD otomatis dilakukan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak. Hal ini didasarkan pada pertimbangan MK yang menyatakan bahwa dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang 
adalah berdasarkan suara terbanyak, oleh karena itu penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapapun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan, dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan.

Namun, perlu diingat bahwa MK hanya berwenang untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, bukan membuat ketentuan baru dalam suatu undang-undang. Dengan demikian, dalam UU Pemilu sebenarnya telah terjadi kekosongan hukum dalam mengatur cara penetapan anggota DPR/DPRD. 

Satu-satunya ketentuan yang mengatur hal itu adalah Pasal 213 UU Pemilu yang mengatur bahwa calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota masing-masing ditetapkan oleh KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. Dengan begitu, cara menetapkan anggota DPR/DPRD tersebut seolah-olah diserahkan kepada KPU, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota. 

Ketentuan Pengganti

Untuk mengatasi kekosongan hukum tersebut, sebenarnya ada tiga cara yang dapat dilakukan, yaitu: (i) DPR bersama-sama pemerintah melakukan amandemen UU Pemilu untuk membuat ketentuan pengganti Pasal 214 tersebut; (ii) pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang mengatur cara menetapkan anggota DPR/DPRD; atau (iii) KPU menerbitkan Peraturan KPU yang mengatur cara menetapkan anggota DPR/DPRD. 

Ketentuan pengganti yang dibuat dengan cara manapun tentu harus memperhatikan pertimbangan Putusan MK yang menekankan penggunaan suara terbanyak.

Menimbang berbagai hal, akan lebih baik apabila KPU saja yang mengambil tindakan, dengan menerbitkan Peraturan KPU, ketimbang dilakukan amandemen UU Pemilu atau diterbitkannya Perpu oleh pemerintah. Alasannya, untuk melakukan amandemen UU Pemilu tentu harus melalui beberapa tahap yang membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Belum lagi apabila dalam proses amandemen UU Pemilu ternyata pembahasannya melebar kemana-mana.

Pun, apabila pemerintah menerbitkan Perpu, maka masih terdapat kemungkinan Perpu tersebut ditolak oleh DPR ketika Perpu diajukan kepada DPR pada persidangan berikutnya. Alasan penolakan mungkin saja karena kepentingan politik sebagian besar anggota DPR tidak terakomodasi dalam Perpu tersebut. Hal ini tentu akan membahayakan kelancaran penyelenggaraan pemilu.

Ketentuan pengganti Pasal 214 tersebut akan lebih kuat posisi hukumnya apabila dibuat dalam bentuk Peraturan KPU. Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, KPU berwenang menyusun dan menetapkan pedoman yang bersifat teknis untuk tiap-tiap tahapan berdasarkan peraturan perundang-undangan. 

Wewenang tersebut diimplementasikan dalam bentuk Peraturan KPU.
Apabila ada pihak yang tidak setuju dengan ketentuan dalam Peraturan KPU tersebut, dapat saja Peraturan KPU tersebut diajukan ke Mahkamah Agung (MA) untuk diuji apakah bertentangan dengan undang-undang diatasnya atau tidak. Namun, uji materi oleh MA tersebut jelas lebih minim dari pengaruh kepentingan politik. Lagipula, sepanjang Peraturan KPU tersebut sejalan dengan pertimbangan Putusan MK tersebut, maka KPU tidak perlu ragu dengan Peraturan KPU yang dibuatnya.


* Ari Juliano Gema adalah Ketua Indonesian Society for Civilized Election. Ari Juliano Gema berprofesi sebagai pengacara.

Minggu, 28 Desember 2008

Presiden Siapkan Perpu Pemilu


Tanda Contreng Boleh Dilakukan Dua Kali

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mempersiapkan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perpu terkait penyelenggaraan Pemilihan Umum 2009.

Perpu tersebut khusus mengatur pemberian tanda contreng dua kali di kertas suara terhadap tanda gambar partai dan perubahan persyaratan menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di daerah.

Rencana penerbitan dua perpu itu muncul dari hasil pertemuan konsultasi pemerintah bersama sejumlah lembaga, di antaranya Komisi Pemilihan Umum (KPU), DPR, Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Demikian disampaikan Presiden Yudhoyono dalam keterangan pers seusai pertemuan tersebut di Istana Negara, Jakarta, Sabtu (27/12). Pertemuan konsultasi yang berlangsung sekitar dua setengah jam itu dihadiri Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary, Ketua DPR Agung Laksono, Ketua MK Mahfud MD, Ketua Bawaslu Nur Hidayat Sardini, Ketua BPK Anwar Nasution, perwakilan MA, serta sejumlah menteri kabinet.

”Menurut undang-undang, pemberian tanda dalam kertas suara hanya sekali saja diberikan. Padahal, sangat bisa seorang pemilih begitu memilih partai X dan memberi tanda, kemudian melihat daftar calon anggota legislatifnya, lalu memberikan tanda sekali lagi terhadap siapa yang dipilihnya,” ujar Presiden.

Menurut Presiden, jika merujuk kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, pemberian dua kali tanda contreng di kertas suara dinilai tidak sah. ”Padahal, logika mengatakan pilihan partainya ini dan pilihan orangnya itu. Inilah yang akan dibahas dan dipastikan agar semua itu bisa diperbaiki lagi sehingga tidak ada satu pun partai politik yang dirugikan. Ini juga agar tidak terjadi komplikasi pelaksanaan di lapangan,” kata Presiden.

Presiden menegaskan, perpu akan dikeluarkan karena jalur revisi undang-undang tidak mungkin lagi mengingat pertimbangan waktu. ”Tanpa itu (perpu), bisa mengganggu pelaksanaan pemilu. Namun, apa saja yang harus di-perpu-kan, sekarang ini akan dirumuskan lagi oleh tim. Terkait itu (perpu), saya bersedia untuk kepentingan rakyat, demokrasi, dan politik asalkan dengan urgensi yang bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Tentang persyaratan yang ketat untuk menjadi anggota Panwaslu, Presiden juga meminta agar tidak menyulitkan Bawaslu mencari orang yang bisa memenuhi persyaratan menjadi anggota Panwaslu. ”Ketentuan yang telah dijalankan itu sulit sekali dijalankan, seperti persyaratan Panwaslu di daerah yang sangat ketat sehingga siapa yang akan bisa menjadi anggota Panwaslu? Ini juga memerlukan pengaturan yang tepat,” kata Presiden.

Dua perpu

Hafiz Anshary membenarkan Presiden mengusulkan dikeluarkannya perpu untuk mengatasi aturan-aturan yang dinilainya menghambat penyelenggaraan pemilu. Setidaknya ada dua perpu yang direncanakan diterbitkan, yaitu perpu tentang pemberian tanda contreng sebanyak dua kali dan perpu tentang persyaratan menjadi anggota Panwaslu.

”Kemungkinan besar ini akan ada perpu karena beliau (Presiden Yudhoyono) menyarankan sebelum akhir 2008 sudah ada pertemuan tingkat lanjut antara KPU, Bawaslu, dan pemerintah. Arahnya ke sana. Ini karena kebiasaan masyarakat di Pemilu 2004. Dalam situasi transisi ini, perlu aturan yang memudahkan agar jangan sampai orang datang ke tempat pemungutan suara, tiba-tiba suaranya dinyatakan tidak sah,” tuturnya.

Hafiz menambahkan, keputusan penerbitan perpu dilakukan setelah pertemuan kecil beberapa orang di ruang lain di Istana. ”Beliau (Presiden Yudhoyono) mencermati ada aturan-aturan yang ideal, tetapi sulit dilaksanakan dan mengakibatkan suara rakyat banyak yang hilang. Karena itu, Presiden mengusulkan agar seperti pada 2004 pemilih dibolehkan memberi tanda dua kali pada kolom partai politik maupun nama calon anggota legislatif,” katanya.

Agung Laksono menyatakan, ada beberapa perpu yang akan dikeluarkan agar Pemilu 2009 dapat berjalan lancar. ”Jadi diberi kebebasan. Jangan karena salah satu saja atau dua-duanya dicoblos, akhirnya suaranya dinyatakan tidak sah. Perpu kedua berdasarkan laporan Bawaslu tentang syarat yang sangat berat,” kata Agung.

KPU harus belajar

Lebih jauh Presiden mengingatkan KPU agar belajar dari pengalaman Pemilu 2004, khususnya dalam distribusi kertas dan kotak suara ke berbagai wilayah terkait dengan cuaca agar tidak terlambat.

”Pengadaan logistik dan distribusi sangat penting. Belajar dari Pemilu 2004, seperti cuaca, KPU agar merencanakan pengadaan barang dan jasa serta distribusinya dapat dilakukan dengan benar, dengan jadwal waktu yang tepat. Kalau perlu, ada waktu cadangan sehingga tidak ada keterlambatan dalam pemungutan suara,” ujar Hafiz.

Menjawab pertanyaan tentang payung hukum bagi KPU pascaputusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan suara terbanyak sebagai dasar penetapan calon anggota legislatif, Presiden menyatakan, KPU dapat langsung melaksanakan dan tidak perlu ketentuan baru seperti perpu mengingat keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final.

Mengenai tender di KPU, Presiden Yudhoyono menyatakan, jika ada modifikasi dalam tender, itu berarti bukan penyimpangan. Namun, Presiden mengingatkan agar pelaksanaan tender dilakukan secara tepat dan cepat.

Adapun Hafiz mengakui saat ini tender yang dilakukan KPU tengah berlangsung dan dipastikan akan selesai sebelum pemilu sehingga April 2009 semua surat suara dan kotak suara sudah didistribusikan ke semua wilayah.

”Wapres tadi memang mengusulkan Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 80 Tahun 2003 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah bisa diterapkan dengan cara penentuan harga patokan sendiri. Jika ini diterapkan, selain melibatkan Departemen Perindustrian, juga Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Akan tetapi, KPU sudah berjalan,” ujar Hafiz.

Pada awal pertemuan, saat pers masih diperbolehkan mengambil gambar dan melihat suasana pertemuan di ruang utama Istana Negara, Presiden yang masuk bersama Wapres menyampaikan selamat datang kepada para peserta. ”Memang, ini hari libur. Akan tetapi, demi kepentingan pemilu, kita harus membahasnya,” ujar Presiden. (har)

Jumat, 26 Desember 2008

Orientasi Kekuasaan Haram Dimiliki Seorang Pemimpin

ssssss

Proses regenerasi kepemimpinan politik tingkat nasional di Indonesia boleh jadi seolah sebuah peristiwa anomali besar. Kesan seperti itu setidaknya terasa mengemuka dalam diskusi peringatan hari ulang tahun ke-9 The Habibie Center, yang digelar akhir November ini di Jakarta.

Di satu sisi diyakini terjadi kemandekan besar-besaran dalam proses regenerasi di tingkat partai politik, yang salah satu faktor penyebabnya adalah masih banyak tokoh ”stok lama” ingin tetap maju bertarung dalam Pemilu 2009.

Kondisi seperti itu kemudian menyebabkan tidak sedikit tokoh muda berpotensi terpaksa harus memilih, antara hengkang mencari peluang di tempat lain atau bertahan dan ”duduk manis” sambil menunggu angin perubahan politik menjadi lebih menguntungkan buat mereka.

Meski begitu, jangan juga lantas terburu-buru menuduh tidak akan ada lagi yang namanya ”wajah baru” dalam peta persaingan politik di Indonesia menjelang Pemilu 2009. Wajah-wajah segar tetap muncul menghiasi ”etalase perpolitikan” di Indonesia.

Mereka muncul dengan berbagai macam iklan media massa dan media luar ruang. Cara ”memasarkan diri” macam itu memang terbilang inovatif walau belum jelas efektivitasnya.

Tidak cuma itu, ada juga yang mengaku insaf dan berhenti beriklan setelah hantaman krisis keuangan global mengganggu ”stabilitas” kocek mereka untuk beriklan.

Terlepas dari semua itu, Direktur Eksekutif The Habibie Center Ahmad Watik Pratiknya dalam pidato pembuka acara diskusi itu mengatakan, Indonesia sekarang tengah menderita suatu ”penyakit kronis” baru.

Penyakit ini dia sebut sebagai sindrom kepemimpinan semu (pura-pura) atau istilah kerennya, quasi leadership syndrome. Gejalanya tampak jelas pada kelakuan (attitude) para pemimpin yang lebih terlihat sebagai seorang politisi ketimbang pemimpin (leader).

Selain itu, tindak tanduk pemimpin yang menderita sindrom tersebut juga tampak lebih menggemari hal-hal yang bersifat transaksional daripada transformatif.

”Akibatnya, tindakan dan keputusan yang diambil atau dihasilkan tidak lebih dari sebatas tindakan atau keputusan simbolis yang tidak fungsional. Hal itu terjadi karena mereka hanya berorientasi pada kekuasaan dengan risiko apa pun (at all cost),” ujar Ahmad.

Menurut Ahmad, orientasi terhadap kekuasaan sebetulnya sah-sah saja dimiliki seorang politisi, bukan pemimpin. Seorang politisi selalu menjadikan kekuasaan sebagai satu-satunya tujuan. Ibaratnya, tanpa kekuasaan, seorang politisi serasa berada di dalam neraka.

Orientasi terhadap kekuasaan macam itu, menurut Ahmad, ”haram” dimiliki seorang pemimpin. Idealnya, seorang pemimpin justru harus berani kehilangan kekuasaan demi memperjuangkan tujuan. Salah satu contoh sempurna tentang itu, tambahnya, dapat dilihat pada sosok Mahatma Ghandi maupun Moh Hatta.

Sayangnya, tambah Ahmad, semua kondisi yang tidak menguntungkan tadi juga masih harus diperparah lagi dengan adanya penyimpangan dalam hampir seluruh proses perekrutan di segala bidang di Indonesia.

Penyimpangan yang terjadi lantaran penekanan yang terlalu berlebihan terhadap kriteria ”diterima” (acceptable), yang dipaksakan harus dimiliki seorang calon pemimpin, ketimbang kriteria krusial lain seperti kapasitas, integritas, dan ketegasan.

Akibatnya tidak aneh jika belakangan bahkan para artis pun ikut-ikut mencoba peruntungan atau malah dengan cara direkrut oleh parpol-parpol yang ada. Alasan syarat suara terbanyak dalam pencalonan anggota legislatif disebut sebagai penyebab banyak artis bermunculan dalam dunia politik.

Banyak analisis dipaparkan kemudian dalam diskusi The Habibie Center, terutama terkait anomali yang terjadi dalam pola regenerasi kepemimpinan nasional. Menurut guru besar Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sofian Effendi, yang terjadi di Indonesia sekarang juga terjadi di banyak negara berkembang yang belajar berdemokrasi.

Mengutip Thomas Carothers dalam artikelnya, ”The End of the Transition Paradigm” (2002), Sofian menilai Indonesia sebagai negara yang tengah melakukan proses demokratisasi juga menghadapi kemacetan konsolidasi demokrasi.

”Carothers menyebut kondisi itu dengan istilah sindrom zona kelabu demokrasi (syndrome of democracy grey zone),” ujarnya.

Sofian yakin, sindrom tersebut di Indonesia akibat ulah kekuasaan otoriter Orde Baru, yang lebih dari tiga dasawarsa membungkam secara sistematis rakyatnya sendiri, mulai dari kampus-kampus dan organisasi kemahasiswaan sampai pemberangusan media massa.

”Sampai Pemilu 2009, sepertinya belum akan tampak tanda-tanda bakal terjadi perubahan signifikan pada sindrom zona kelabu demokrasi itu,” ujar Sofian. (WISNU DEWABRATA)


Kaji Ulang Sistem Pemilu

Perubahan Parsial Tak Menjanjikan Apa-apa
Sabtu, 27 Desember 2008 | 00:29 WIB

Jakarta, Kompas - Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan penetapan calon terpilih dengan sistem suara terbanyak berimplikasi pada keharusan untuk memikirkan ulang desain sistem pemilihan umum secara komprehensif, termasuk soal pemilu presiden dan pemilu kepala daerah.

Tujuan berpemilu harus ditentukan terlebih dahulu sebelum kemudian diracik sistem pemilu yang pas.

Formula penetapan calon terpilih dengan suara terpilih yang ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi bukan jaminan akan menghasilkan parlemen yang lebih baik.

Pandangan tersebut disampaikan Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto di Jakarta, Jumat (26/12).

Didik menyebutkan, pertanyaan pokoknya adalah tujuan utama berpemilu antara representasi atau governabilitas.

Menurut dia, putusan Mahkamah Konstitusi tidak akan menghasilkan apa-apa karena yang berpotensi muncul adalah orang yang semata-mata mengandalkan popularitas atau kekuatan uang.

Parlemen berisiko menjadi kacau karena anggota yang bermasalah tidak bisa di-recall. Jika kemudian DPR tidak bermutu, kinerja presiden terpilih pun bakal terganggu karena politik transaksional berpotensi semakin merajalela.

Menurut Didik, ia bukan tidak setuju dengan penerapan sistem suara terbanyak untuk menentukan calon terpilih. Namun, formula tersebut harus diikuti dengan perubahan variabel teknis pemilu yang lain, seperti soal daerah pemilihan serta pencalonan dan pemberian suara. Perubahan yang parsial justru akan menghasilkan parlemen yang kacau dan korup.

Didik meragukan penerapan prinsip suara terbanyak akan meningkatkan akuntabilitas DPR terpilih. Pengalaman konkret dapat dilihat pada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sekarang. Pemilih sulit mengontrol kinerja DPD. Sebaliknya, juga diragukan kerja DPD dalam mengurusi kemauan konstituennya.

Kehilangan arti

Secara terpisah, pengajar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Hasyim Asy’ari, di Semarang menyebutkan, putusan Mahkamah Konstitusi itu membuat metode pemberian suara dan juga desain surat suara seperti ”kehilangan arti”.

Jika suara terbanyak yang dipergunakan, mestinya hanya ada nama calon di surat suara. Juga, akan muncul persoalan baru jika jumlah pemilih yang memberikan suaranya dengan memilih tanda atau nomor urut parpol lebih banyak.

Wakil Sekjen Partai Persatuan Pembangunan M Romahurmuziy di Jakarta menyatakan, partainya akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi itu dengan mencegah adanya kesepakatan internal untuk ”mengakali” cara penetapan calon terpilih.

Romahurmuziy menyebutkan, putusan Mahkamah Konstitusi itu berpotensi menjadikan parlemen diisi hanya oleh tokoh dengan kemampuan finansial dan logistik yang kuat atau tokoh yang luar biasa mengakar di konstituennya.

Peraturan KPU

Terkait putusan Mahkamah Konstitusi, pemerintah tidak akan mengeluarkan peraturan pemerintah.

Menurut Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, KPU harus mengeluarkan peraturan KPU. ”Keputusan Mahkamah Konstitusi itu final. Artinya, tinggal KPU yang menindaklanjutinya dengan dibatalkannya UU Pemilu. Pemerintah tidak akan mengeluarkan PP (peraturan pemerintah), sebaliknya KPU yang harus mengeluarkan peraturan KPU,” ujar Kalla, yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar, seusai memberikan keterangan akhir tahun di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta, Jumat.

Menurut Kalla, peraturan yang harus dikeluarkan KPU adalah peraturan mengenai tata cara penentuan caleg yang mendapat suara terbanyak dan harus terpilih menjadi anggota legislatif yang baru.

Di Brebes, Jawa Tengah, KPU Kabupaten Brebes mendapat keluhan dan pertanyaan dari sejumlah pengurus parpol maupun caleg terkait keputusan Mahkamah Konstitusi.

Ketua KPU Kabupaten Brebes, Mahfudin, Jumat, mengatakan, pengurus parpol yang mempertanyakan keputusan itu berasal dari parpol yang memiliki kebijakan intern menentukan caleg terpilih berdasarkan nomor urut. Sedangkan para caleg yang mempertanyakan keputusan itu umumnya caleg dengan nomor urut terkecil. (DIK/WIE/HAR)

UU 10/2008 Tak Sediakan Kepastian Hukum


Surabaya, Kompas - Kepastian hukum dalam setiap tahapan adalah indikator pelaksanaan pemilu yang demokratis. Namun, dari segi ini, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah lebih buruk ketimbang aturan sebelumnya.

Hal itu disampaikan guru besar Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, Ramlan Surbakti, dalam peluncuran buku Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis di gedung Fakultas Ilmu Sosial Politik Unair, Surabaya, Selasa (23/12). Buku ini disusun Ramlan, Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2001-2007, bersama anggota Panitia Pengawas Pemilu 2004, Didik Supriyanto dan Topo Santoso. Bedah buku ini dipandu guru besar ilmu politik Unair, Kacung Maridjan.

Buku itu mengupas masalah penyelenggaraan pemilu yang akan diselenggarakan berdasarkan UU No 10/2008. Namun, terdapat beberapa kekosongan hukum dalam aturan perundang-undangan tersebut. Karena itu, lanjut Ramlan, KPU harus melengkapinya dengan aturan KPU supaya pemilu dapat berjalan. Apabila ada pasal yang kontradiktif, KPU pula yang harus memilih salah satu. (INA)

Jadikan 2009, Tahun Penghukuman Partai


Jakarta, Kompas - Masyarakat harus disadarkan bahwa tahun 2009 merupakan tahun pemilu yang sangat penting bagi perjalanan bangsa. Ketika saat pemilu itu tiba, artinya waktu yang tepat untuk menghukum partai politik yang tidak memedulikan nasib rakyat.

Hal ini disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Daerah Adhie Massardi di Jakarta, Kamis (25/12). ”Rakyat perlu disadarkan bahwa mereka harus memilih partai yang baik. Partai yang baik itu bukan yang banyak menggelar spanduk kandidat legislatif di berbagai tempat strategis yang mengotori ruang publik, atau memajang foto calon presiden, bukan pula spanduk berbagai ucapan selamat atas berbagai peristiwa rutin keagamaan, juga bukan partai yang mengembalikan uang gratifikasi anggota Dewan,” ujarnya.

Partai yang baik, menurut Adhie, akan tampak dari kinerja yang ditampilkan anggota legislatif partai politik di DPR. Kinerja anggota legislatif itu, yang paling konkret, bisa dilihat dari produk hukum yang dihasilkan selama mereka duduk di kursi anggota Dewan.

”Lihat saja produk hukum yang dihasilkan anggota Dewan dan pemerintah sekarang, apa ada yang betul-betul membela kepentingan rakyat? Apa ada yang memberikan perlindungan bagi rakyat secara langsung terhadap usaha kecilnya? Apa rakyat kecil, petani dan pedagang kecil, merasakan manfaat sebuah produk undang-undang yang melindungi mereka, yang dibuat anggota Dewan dengan pemerintah? Saya rasa tidak ada,” ujarnya.

Jika rakyat bisa disadarkan tentang partai yang berkualitas, menurut Adhie, dengan sendirinya mereka tidak akan memilih partai yang melupakan kepentingannya. Namun, terkadang masyarakat memang gampang melupakan apa yang menimpa mereka, untuk kemudian menyesal selama lima tahun ke depan.

Sering mnmgecewakan

Fungsionaris Partai Amanat Nasional, Nasrullah, yang berkecimpung dalam bidang pertanian mengungkapkan, pemerintah dan partai-partai pendukungnya perlu dipertanyakan tentang komitmen pembelaan terhadap kepentingan rakyat.

Misalnya, petani sering kali mengalami kekurangan bibit unggul menjelang musim tanam. Setelah musim tanam, rakyat sulit mendapatkan pupuk karena pupuk menghilang dari pasar. Pupuk yang tersedia harganya mahal.

”Ketidaknyambungan antara apa yang ingin dicapai dan ingin dilakukan dengan kenyataan praktik yang dilakukan pemerintah sering kali mengecewakan. Namun, tetap saja pemerintah dan partai-partai pendukungnya dengan gagah berani mengumumkan bahwa mereka sudah berhasil dan punya banyak kemajuan,” ujarnya.

Nasrullah mengakui sudah saatnya masyarakat memberikan penilaian dengan jujur kepada partai politik. (MAM)

Putusan MK Merugikan Caleg Perempuan


Keputusan Itu Mengembalikan Kedaulatan Pemilih
Jumat, 26 Desember 2008 | 00:38 WIB

Jakarta, Kompas - Putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan pemakaian sistem nomor urut dalam penetapan calon anggota legislatif dinilai merugikan caleg perempuan. Pasalnya, penghapusan sistem nomor urut membuat perlakuan khusus terhadap perempuan melalui kuota 30 persen tidak efektif. Putusan itu dinilai melanggengkan nilai patriarkis.

Demikian diungkapkan anggota Komisi III DPR, Eva Kusuma Sundari, yang juga caleg untuk DPR periode 2009-2014 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Menurut dia, ada hubungan kausalitas antara pembatalan Pasal 214 Huruf a, b, c, d, dan e Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dengan efektivitas kuota 30 persen. Pasal 214 tersebut menjadi syarat utama pemberlakuan pasal kuota 30 persen.

Selama ini partai dituntut memenuhi kuota tersebut sebagai salah satu affirmative action untuk mewujudkan kesetaraan laki-laki dengan perempuan. Bahkan, dalam pengaturan nomor urut caleg perempuan telah diatur agar di setiap tiga caleg harus ada satu caleg perempuan. Beberapa parpol bahkan menempatkan caleg perempuan di nomor urut kecil.

Namun, menurut Eva, upaya itu rontok setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan penghapusan sistem nomor urut.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengakui perlunya perlakuan khusus untuk caleg perempuan. Mahkamah Konstitusi tidak membatalkan ketentuan Pasal 55 Ayat 2 UU No 10/2008 karena UUD 1945 mengakui adanya perlakuan khusus seperti tercantum dalam Pasal 28 H Ayat 2.

Firmansyah Arifin dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional mengakui putusan Mahkamah Konstitusi yang menempatkan suara terbanyak dalam penetapan caleg terpilih memang dilematis. Di satu sisi, putusan tersebut adil. Namun, dari perspektif perempuan, putusan itu memang meresahkan.

Digembosi

Sementara itu, Rabu (24/12) di Jakarta, para aktivis pergerakan perempuan menolak putusan Mahkamah Konstitusi. Ditetapkannya penentuan caleg terpilih dengan suara terbanyak dinilai bertentangan dengan prinsip pemilu proporsional terbuka terbatas yang dianut.

Sikap itu disampaikan Gerakan Perempuan Pembela Demokrasi Pancasila. Kelompok yang beranggotakan sejumlah organisasi dan aktivis pergerakan perempuan itu menilai putusan Mahkamah Konstitusi membuat upaya perempuan memperjuangkan akomodasi perempuan lebih besar di lembaga legislatif yang dilakukan sejak penyusunan UU Pemilu putus di tengah jalan.

Menurut Yudha Irlang dari Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan, perempuan butuh upaya afirmatif di lembaga legislatif karena kondisinya saat ini memang tidak berimbang.

Namun, banyak pula kelompok masyarakat yang mendukung putusan Mahkamah Konstitusi. Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform Hadar N Gumay menilai putusan tersebut mengembalikan kedaulatan pemilih dalam pemilu.

Sementara itu, Ketua KPU A Hafiz Anshary mengatakan, yang dimaksud putusan Mahkamah Konstitusi tentang penetapan caleg terpilih dengan suara terbanyak adalah berdasarkan perolehan suara parpol. Artinya, penghitungan perolehan kursi dalam pemilu di setiap daerah pemilihan akan dilakukan terlebih dahulu, baru kemudian menentukan caleg terpilih dari masing-masing partai. (ANA/MZW)

Kampanye Bersama Golkar-PDIP Bukan Agenda Resmi Golkar



Laporan Wartawan Tribun Pontianak, Fakhrurrodzi

PONTIANAK, KAMIS - Wacana kampanye bersama yang dilontarkan oleh Ketua Dewan Penasehat DPP Partai Golkar, Surya Paloh, belum pernah sekalipun dibicarakan di rapat internal Partai Golkar. Pernyataan tersebut dinilai bukan pula agenda resmi partai jelang menghadapi Pemilu legislatif 2009 nanti.

"Tidak ada pembicaraan seperti itu di internal dan DPP tidak pernah mengagendakan kampanye bersama di Pemilu legislatif antara Golkar dengan PDIP," tegas Ketua Harian Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Golkar, Firman Subagyo, Kamis (25/12).

Firman menjelaskan, tidak mungkin itu terlaksana. Kalau hari kampanye mungkin bisa. Namun, untuk satu tempat, dengan atribut dua partai mustahil terjadi. Apalagi, tuturnya, setelah putusan Mahkamah Konstitusi mengesahkan suara terbanyak digunakan dalam menetapkan calon anggota legislatif terpilih nantinya.

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Sekretaris Fraksi PDIP di DPR RI, Ganjar Pranowo. Malahan ia pesimis gagasan yang dilontarkan Surya Paloh untuk kampanye bersama secara riil di lapangan dapat terwujud. Alasannya, dalam Pemilu 2009 nanti, cara pencoblosan menggunakan pilih orang, bukan saja partai .

"Tidak mungkin kampanye bersama antara Golkar dan PDIP di lapangan dapat terwujud. Realitasnya sulit dilaksanakan. Dalam tataran gagasan oke saja," ungkapnya. "Satu partai saja sulit untuk mengkampanyekan coblos partai, apalagi dua partai berbeda. Lebih bagus mereka mengkampanyekan diri mereka, dibandingkan partainya," alasan anggota Badan Pemenangan Pemilu DPP PDIP ini.

Ia juga bakal bertanya lebih lanjut kepada Surya Paloh apa yang dimaksudkan dengan kampanye bersama Golkar dan PDIP sama saja. Ganjar sendiri mesti bertanya-tanya terlebih dahulu dengan teman-teman satu partainya, memastikan apakah ini sudah dibicarakan di internal atau belum sama sekali.

"Barangkali mungkin sudah dibicarakan antara Pak Taufik dengan Surya Paloh mengenai ini. Wacana ini disampaikan ke publik agar mendapat diskursus ditengah masyarakat saja,"lanjutnya.

Saat memberikan pembekalan sekaligus menutup acara Diklat Jurkam Partai Golkar Kalimantan Barat di Gedung Zamrud Khatulistiwa, Rabu (24/12) kemarin, Surya Paloh melontarkan ide kampanye bersama dengan PDIP di tiga provinsi, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

"Bulan Februari hingga Maret tahun depan, saya dan Pak Taufik Kiemas mengkampanyekan pilih PDIP atau Golkar sama saja," ungkap Surya Paloh.

Dalam Diklat Jurkam lalu, Ketua Dewan Penasehat DPP Partai Golkar, Surya Paloh, mengatakan kampanye bersama itu berisikan program-program kedua partai yang sama-sama satu ideologis, nasionalis.

Di Balik Kontroversi Survei Politik

ssssssssssssssssssss

Oleh Taufik
Chief Executive MarkPlus Insight dan Executive Director Indonesian Political Marketing Research


Di tengah-tengah pesatnya perkembangan industri riset politik di tanah air, kini mulai muncul banyak pertanyaan tentang (publikasi) hasil survei dan siapa yang melakukan. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari para pemimpin partai dan anggota masyarakat tampaknya mengilhami KPU untuk mengatur praktek industri ini. Seperti gampang diduga, sejumlah pelaku sudah mencoba menjawab berbagai pertanyaan tersebut. Tapi alih-alih meredakan, jawaban yang sementara ini ada malah memicu pertanyaan lainnya. Lalu bagaimana menjawabnya?

Terus terang sebagai salah satu praktisi yang terlibat di kedua jenis riset tersebut -untuk keterbukaan informasi, di survei pemasaran untuk dunia bisnis lintas industri dan sektor, institusi yang dipakai adalah MarkPlus Insight, sementara di riset politik yang antara lain melakukan survey ke hampir 17 ribu calon pemilih di 77 dapil, institusi yang dipakai adalah Indonesian Political Marketing Research- tidak mudah untuk menjawabnya. Terutama kalau mengingat bahwa tingkat edukasi terhadap riset pemasaran di Indonesia, baik di dunia bisnis dan politik, memang belum tinggi. Sebetulnya, itu bukan hanya fenomena di Indonesia tapi juga di hampir seluruh dunia.

Perlunya Mengkritisi Diri Sendiri

Karena itu, sebagai bagian dari upaya melakukan edukasi pemasaran, organisasi riset pemasaran dan opini publik terbesar di dunia, yang disingkat dalam bahasa Perancis sebagai ESOMAR dengan gencar mempromosikan kode etik dan kode bertindak bukan hanya kepada para anggotanya yang tersebar di lebih seratus negara di dunia tapi juga kepada para pengguna. Maklum kritik atau kesalahpahaman terhadap riset pemasaran juga berkembang seiring dengan perkembangan praktek riset pemasaran.

Namun, sekadar menyatakan punya kode etik tidak akan banyak berarti kalau asosiasi industri tidak membuka diri untuk kritik dan melakukan otokritik. Berdasarkan pengalaman mengikuti kegiatan rutin tahunan ESOMAR baik di tingkat Asia Pasifik dan Dunia menunjukkan bahwa asosiasi ini membuka diri kepada dunia luar, khususnya dunia bisnis yang menjadi pengguna utama. Ini bukan hanya sekadar mengundang sebagai pembicara, tapi bahkan mendorong mereka untuk mengkritik industri pemasaran dan menyaksikan bagaimana industri ini melakukan otokritik di forum-forum asosiasi ini.

Contoh terbaik adalah apa yang terjadi ketika berlangsung konferensi ESOMAR untuk tingkat Asia Pasifik di Kuala Lumpur pada bulan Maret tahun 2007 yang juga dihadiri oleh para pengguna hasil riset, baik dunia bisnis maupun konsultan bisnis. Di konferensi tersebut dua praktisi riset pemasaran asal Australia, John Sergeant dan James Lane, meski menggunakan judul paper dan presentasi,”Research in Popular Culture,” tapi isinya adalah otokritik komprehensif terhadap industri riset pemasaran. Dengan menggunakan contoh-contoh budaya pop, kedua praktisi tersebut mengungkapkan otokritiknya yang mengena satu per satu.

Pertama, riset pemasaran sering digunakan untuk mengambil keputusan yang susah diterima akal sehat. Misalnya, sebuah usaha penemuan ban tertunda gara-gara departemen riset pemasara ingin tahu lebih dahulu warna ban apa yang cocok.

Kedua, riset pemasaran dilihat sebagai dunia yang membosankan, dan begitu juga hasilnya. Dalam dunia sehari-hari ini muncul karena orang riset kaku dan tidak mengikuti perkembangan dan hanya menyajikan angka mati.

Ketiga, riset pemasaran sering digunakan untuk mendapatkan hasil yang menyesatkan. Kedua praktisi mengambil contoh dari serial “Yes Prime Minister” yang diproduksi BBC. Di situ disampaikan bagaimana keputusan untuk perang atau tidak diambil berdasarkan riset yang dibuat sesat. Untuk mendapatkan pendapat yang menentang perang misalnya riset dilakukan terhadap responden wanita saja. Tapi untuk mendapatkan hasil yang mendukung perang survai dlakukan ke responden pria. Ini tentu contoh ekstrim, tapi ini mungkin adalah hal yang memang mesti menjadi pertimbangan utama ketika para pengguna riset pemasaran ingin menggunakan hasil sebuah riset.

Cara menyesatkan pengguna bukan hanya dilakukan melalui responden yang dipilih, tapi bagaimana menentukan hasil sebelum survei dilakukan. Kedua praktisi tersebut mengambil contoh dari sebuah film yang kebetulan tidak begitu laku yang dibintangi Danny de Vito, Rating Game. Di film tersebut digambarkan bagaimana mafia melakukan diversifikasi bisnis dengan mengatur hasil rating televisi yang bisa dijual ke biro iklan. Tentu semua orang berharap bahwa apa yang digambarkan di kedua film tersebut bukan kejadian riil tapi lebih sebagai bentuk dramatisasi situasi saja.

Otokritik keempat menyatakan bahwa riset pemasaran secara inheren tidak bisa diandalkan. Ini terjadi karena, misalnya, responden tidak memberikan jawaban yang benar karena alasan sopan santun atau tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan pendapatnya.

Kelima, metode riset yang digunakan bersifat mengganggu. Contoh paling ekstrim terjadi misalnya dengan survei melalui telepon yang digunakan tanpa meminta terlebih dulu kesedian responden untuk bersedia di survei atau tidak.

Otokritik yang komprehensif tersebut perlu dilakukan agar para praktisi industri riset pemasaran bisa menjaga kepercayaan para pengguna hasil riset. Terkait dengan hal ini maka salah satu misi sentral ESOMAR adalah mempromosikan kode etik dan kode bertindak ke para anggota. Untuk menjaga kode etik dan kode bertindak berada di tingkat yang tinggi seiring dengan perubahan lingkungan bisnis, misalnya dengan semakin meluasnya praktik bisnis berbasis internet, ESOMAR juga tidak ragu untuk terus melakukan penyempurnaan.

Dalam prakteknya, hal ini bukan hanya dilakukan sendiri tapi juga bekerjasama dengan institusi lain seperti bekerjasama dengan Kamar dagang dan Industri International dalam perumusan kode etik dan kode bertindak yang baru di dunia bisnis dan riset sosial dan bekerjasama dengan WAPOR singkatan bahasa Inggris untuk asosiasi terbesar dunia khusus untuk riset opini publik untuk kode etik dan bertindak di survei politik. Di situ kedua organisasi tersebut bahkan merasa perlu memberikan alasan panjang lebar mengenai perlunya menciptakan kode etik dan kode bertindak dalam riset politik.

Selain itu, WAPOR sendiri juga menerbitkan kode etik, termasuk terkait dengan siapa yang membiayai survei, bagaimana mempublikasikan hasil survei dan perlunya keterbukaan informasi, terutama kalau ada rangkap tugas dan profesi.

Singkat kata, tanpa diregistrasi KPU pun pelaku sebetulnya juga ingin menjaga tingkat kepercayaan pengguna. Dan cara terbaik bagi pelaku adalah terus menerus mengumumkan kode etik dan kode bertindak dan mengamalkannya. Kalau perlu kapan pun dan di mana pun mendorong siapa pun, bukan hanya parpol atau KPU, untuk browsing di internet dengan mengetik code of ethics esomar di google dan mendapatkan materi kode etik tersebut. Akan lebih baik lagi kalau pelaku menjelaskan lebih dulu intisari kode etik dan kode bertindak ketika berhadapan dengan publik.

Melangkah ke Depan

Meski sebuah asosiasi industri seperti ESOMAR atau WAPOR gencar mempromosikan kode etik dan kode bertindak yang diharapkan bisa menjaga kepercayaan terhadap industri secara keseluruhan, tapi itu semua tidak akan banyak berarti kalau stakeholders-nya tidak peduli. Ini bukan hanya pengguna riset seperti yang membiayai riset dan pemilih yang merupakan stakeholders utama, tapi juga stakeholders pendukung, seperti pengamat politik dan media. Ketidakpedulian ini bisa terlihat dari ketiadaan mengajukan pertanyaan yang tepat –terutama terkait potensi konflik kepentingan dan metodologi riset- ketika menghadapi sebuah hasil survei. Yang lebih banyak muncul adalah dukungan atau bantahan ketika kepentingan jangka pendek atau pembenaran sesaat bisa atau tidak bisa muncul dari sebuah hasil survei.

Di Indonesia, ketidakpedulian terkait dengan informasi yang tidak bias dan diperoleh dengan standar kualitas kerja yang tinggi bukan hanya fenomena industri riset politik. Misalnya, ketika dulu terlibat dalam kegiatan rutin analisa perusahaan publik di media bisnis ternyata ditemukan bahwa yang namanya keterbukaan informasi hanya berlaku untuk perusahaan publik saja. Analis atau penulis tidak perlu melakukan hal yang sama –misalnya dalam bentuk saham yang dimiliki dan hubungan bisnis yang ada- tidak peduli apakah hasil analisanya bisa punya pengaruh pada pergerakan saham atau tidak.

Padahal, kalau mengikuti standar yang dipraktikkan media bisnis terkemuka dunia, semacam Wall Street Journal, Financial Times dan FORTUNE, keterbukaan informasi dari penulis atau analis merupakan hal yang mutlak. Khususnya untuk mengetahui tingkat bias yang ada di sebuah informasi yang disajikan.

Moga-moga berbagai kritik yang ada bisa memacu praktisi industri riset politik Indonesia untuk bergerak di garda depan dalam meminimalisir bias informasi. Kalau memang menjadi konsultan politik sebuah parpol/capres/cagub/cawali/cabup dan pada saat yang bersamaan rutin mempublikasikan hasil survei politik, ada baiknya menyatakan secara terbuka aktivitas yang berpotensi konflik kepentingan setiap memublikasikan hasil survei. Tentu kalau tidak memublikasikan sebagian atau keseluruhan hasil survei memang tidak perlu melakukan keterbukaan informasi semacam itu. Kalau ini dilakukan dan kemudian menjadi standar praktis industri, kepercayaan pada industri riset politik akan bisa dijaga di tingkat yang tinggi.

Lagi-Lagi Hasil Survei Tegaskan SBY Terpopuler

Hariyanto Kurniawan - Okezone

MENJELANG akhir tahun 2008, bintang Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sepertinya sedang terang benderang. Pasalnya, beberapa survei menghasilkan SBY selalu terpopuler dibanding dengan calon presiden (capres) lainnya. Kali ini lembaga swadaya masyarakat (LSM) terakhir yang membuat bintang SBY tambah terang adalah Reform Institute.

Sebenarnya Hasil Survei Nasional Putaran III Reform Institute menghasilkan, SBY dan pasangannya Jusuf Kalla (JK), dinilai berkinerja buruk. Namun, gaya kepemimpinan keduanya ternyata masih disukai.

Reform Institute mendapatkan 75,48 persen responden masih menyukai gaya kepemimpinan keduanya. Sebanyak 22,68 persen tidak suka, dan 1,84 persen abstain. Selain itu, SBY pun terpopuler sebagai calon presiden mengalahkan Megawati Soekarnoputri, dengan 42 persen.

Hasil-hasil survei sekaligus menegaskan kepopuleran sebenarnya SBY di mata masyarakat, atas survei-survei sebelumnya yang selalu menempatkan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat ini berada di urutan pertama. Beberapa LSM yang selalu menghasilkan survei kemenangan SBY di mata masyarakat yakni, Lembaga Survei Indonesia (LSI), Lembaga Survei Nasional (LSN), Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), dan Indobarometer.

Hasil survei di atas angin ini, menjadi modal kuat bagi SBY untuk semakin percaya diri memasuki Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 mendatang. Sekarang tergantung bagaimana mantan jenderal ini memanfaatkan citra positifnya di mata masyarakat.

Sementara dalam hasil survei Reform Institute yang lain, ada yang berbeda. Kali ini menteri-menteri dalam jajaran Kabinet Indonesia Bersatu ikut disertakan, dalam penilaian kinerja sepanjang tahun 2008. Namun sayangnya penilaian kinerja ini sebagian besar dipengaruhi pada menteri yang sering nongol di televisi.

Dari 2.500 responden, hasil survei menghasilkan empat menteri yang dinilai berkinerja baik. Yakni, Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari, kemudian di bawahnya Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo AS, Menteri Pemuda dan Olah Raga Adhyaksa Dault, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Sedikit yang dipertanyakan, adalah keberadaan Aburizal Bakrie atau kerap disapa Ical, yang masuk dalam empat besar. Seperti diketahui, posisi Ical sebagai menteri yang bertugas mensejahterakan rakyat tidaklah menonjol. Bahkan dinilai kontraproduktif dengan apa yang telah dia lakukan pascatragedi luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Lain pihak, keberadaan Sri Mulyani di urutan keempat orang yang berkinerja baik, sedikit mengherankan. Pasalnya jika dibandingkan dengan Ical, wanita yang kerap dipanggil Ani ini sebenarnya memiliki kinerja yang luar biasa. Di tengah tekanan krisis ekonomi dunia, wanita paling berpengaruh urutan 23 versi Majalah Forbes, merangkap jabatan sebagai Plt Menteri Koordinator Perekonomian yang sebelumnya dijabat oleh Gubernur Bank Indonesia Boediono.

Ani yang sempat dikabarkan akan mengundurkan diri dari kabinet ini terkadang mengadakan rapat hingga subuh dengan menteri-menteri terkait dan lembaga pemerintah. Ani berusaha menerapkan kebijakan dengan sangat hati-hati. Berbagai terobosan dilakukan olehnya, salah satunya pemangkasan anggaran departemen.

Sementara Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta yang dinilai memiliki kinerja paling buruk, sudah berada pada posisi yang sebenarnya. Ini tidak perlu dipermasalahkan lagi. Karena memang tidak diketahui apa kerja Paskah selama ini.

Kejutan lainnya juga diperoleh SBY pada hari ini. Hasil survei Indonesian Political Marketing Research dengan subyek tokoh terpopuler partai, lagi-lagi SBY menempati peringkat teratas. SBY memperoleh 62,8 persen suara, Prabowo Subianto mendapatkan 45,3 persen, Megawati Soekarnoputri memperoleh 37,7 persen, Sultan Hamengkubuwono X dengan 28,9 persen, dan Sutrisno Bachir sebanyak 20,9 persen.

Maka pada acara tutup tahun, mantan Menkopolkam yang dipanggil Sus oleh orang tuanya ini, memperoleh seluruh kemenangannya sepanjang tahun 2008 di medan pertempuran hasil survei. Jadi selamat melambung tinggi Pak Sus, tapi jangan lupa menginjak tanah. (hri)

Baratayuda di Partai Aktivis

Ahmad Dani - Okezone

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat ini tengah menjadi sorotan. Setelah persoalan iklan politik yang 'mepet' ke keluarga Soeharto, kini partai aktivis ini dihadapkan pada pertentangan internal. PKS partai terbuka atau partai konsisten!.

Istilah partai konsisten sendiri disebut Presiden PKS Tifatul Sembiring dalam berbagai kesempatan. Namun, di meja yang lain, Sekjen PKS, Anis Matta berkeinginan PKS menjadi partai terbuka yang cenderung bergerak ke arah kiri (Ini jika PKS diposisikan sebagai partai kanan).

Perseteruan dua kubu ini memang selalu mencuat ketika pemilihan umum akan digelar. Dulu, ketika Pemilu 2004 dua kubu ini berseteru mengenai siapa calon presiden yang akan diusung, Amien-Siswono atau Wiranto-Solahudin Wahid.

Dua petinggi ini sama-sama memiliki argumen yang cukup mendasar. Presiden beranggapan, dengan menjadi partai yang konsisten, PKS justru dihormati dan lebih mendapat nilai positif dari pemilih partai berlambang bulan sabit kembar dan padi itu.

Tapi, argumen itu tak diterima Sekjen. Kelompok ini beranggapan dengan konsisten, PKS justru dianggap kaku dan eksklusif. Konkretnya, tidak bisa diterima masyarakat luas.

Setidaknya hal itu yang juga dilihat Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Saiful Mujani. Dia melihat adanya perbedaan strategi pemenangan pemilu yang dilakukan oleh Tifatul Sembiring dan Anis Matta.

"Tifatul memandang masyarakat Indonesia akan tertarik jika PKS konsisten, sedangkan Anis Matta lebih melihat pada peluang untuk bekerja sama dengan siapa saja," ujar Syaiful.

Bagi pengamat politik dari Reform Institute Yudi Latief, dia melihat ada sebuah dinamika politik dalam internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pandangan tersebut dilontarkannya mencermati adanya faksi-faksi di tubuh PKS yang berseberangan dalam menentukan strategi menghadapi Pemilu 2009.

Jika dilihat, dua kubu yang berserteru sebenarnya bisa diambil jalan tengah. Toh dua argumen yang berkembang itu tujuannya hanya satu. Agar PKS mendulang suara di Pemilu 2009.

Menjadi terbuka dan tetap konsisten toh bisa dilakukan bersama-sama. PKS bisa berkoalisi dengan siapapun, meski tidak harus 'menggadaikan akidah partai' demi kepentingan politik sesaat. Bukan begitu akhi? (ahm)

Kamis, 25 Desember 2008

Merayakan Capres Independen 2009


M Fadjroel Rachman

Pemilu Presiden RI 2009-2014 berlangsung 6 Juli 2009, antara calon presiden independen dan capres partai politik.

Mungkinkah demokrasi partisipatif itu terjadi? Amat mungkin jika Mahkamah Konstitusi (MK) yang diketuai Prof Mahfud MD mengabulkan permohonan uji materi UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Berarti MK memenangkan hak konstitusional 171 juta pemilih pada Pemilu 2009, yaitu hak untuk dipilih sebagai calon presiden melalui jalur independen selain jalur parpol. Maka akan bermunculan capres alternatif ke arah Indonesia muda dan progresif, seperti Barrack Obama Jr (AS, 47), Dmitry Medvedev (Rusia, 43), Abhisit Vejjajiva (Thailand, 44).

Tiga tahap perjuangan

Memperjuangkan capres independen untuk Pilpres 2009 berarti harus melalui tiga tahap. Pertama, uji materi UU No 42/2008 di MK, berhadapan dengan sembilan hakim MK. Uji materi itu terkait Pasal 8, ”Calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan dalam satu pasangan parpol atau gabungan parpol”. Kemudian, Pasal 1 Ayat 4, Pasal 9, dan Pasal 13 Ayat 1 dalam UU No 42/2008, pasal-pasal itu bertentangan dengan Pasal 6A Ayat 1 UUD 1945, ”Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Lalu, Pasal 1 Ayat 2, Pasal 27 Ayat 1, Pasal 28d Ayat 1 dan Ayat 3, serta Pasal 28 I Ayat 2. Sementara itu, Pasal 6 A Ayat 2, ”Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, secara substantif tidak menghalangi capres independen untuk berlaga pada Pilpres 2009 dan tidak menghapus hak konstitusional warga negara untuk dipilih sebagai presiden.

Kedua, regulasi baru melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang persyaratan capres independen untuk mendaftarkan diri sebagai capres independen setelah MK mengabulkannya, berarti berhadapan dengan Presiden Yudhoyono. Karena pemilihan presiden putaran pertama dijadwalkan 6 Juli 2009, tersisa waktu tujuh bulan lebih. Namun, jika dihitung setelah pemilihan legislatif (DPR, DPD, dan DPRD I/II) 9 April 2009, karena persyaratan capres dari parpol sesuai UU No 42/2008, yaitu 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara pemilih sah (persyaratan capres parpol ini juga sedang diuji materi di MK bersamaan capres independen), pengajuan capres diperkirakan sekitar Mei, berarti sisa waktu lima bulan. Mengingat waktu amat mendesak, bila keputusan MK baru dilakukan 2-3 bulan ke depan, capres independen hanya memiliki 2-3 bulan tersisa untuk mendapat peraturan baru untuk ikut Pilpres 2009. Tak ada jalan lain hanya perpu dari Presiden SBY yang memungkinkan. Sebab, bila parpol menginginkan revisi terbatas UU No 42/2008, diperlukan waktu lama, seperti pengalaman revisi terbatas UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah agar pemilihan kepala daerah (pilkada) bisa diikuti calon gubernur/wali kota/bupati dari jalur independen. Hitunglah, MK mengabulkan pilkada dari jalur independen pada 23 Juli 2007, revisi terbatas DPR diplenokan 1 April 2008 dan ditandatangani Presiden SBY 28 April 2008, serta baru bisa dilaksanakan pertama kali pada Pilkada Wali Kota Bandung, 10 Agustus 2008. Berarti, sejak keputusan MK hingga pelaksanaannya memakan waktu 13 bulan. Karena itu, hanya perpu yang bisa menyelamatkan agar Pilpres 2009 tidak cacat hukum dan cacat konstitusi, tidak mungkin dengan revisi terbatas UU No 42/2008 dari DPR. Semoga parpol bisa memahami mendesaknya waktu bagi capres independen sehingga tidak menghalangi atau membatalkan Perpu Capres Independen.

Ketiga, memenuhi persyaratan capres independen dan bertarung dalam Pilpres 2009 dengan capres dari parpol, berarti berhadapan dengan 171 juta pemilih. Diperkirakan diperlukan waktu 2-3 bulan guna memenuhi persyaratan 1 persen KTP atau 2 juta pemilih di 50 persen provinsi dan kabupaten/kota atau batas terendah UU No 12/2008 tentang Pemda, yaitu 3 persen KTP populasi atau 7 juta penduduk di 50 persen provinsi dan kabupaten/kota, setelah itu berkampanye dan dipilih rakyat.

Keputusan bersejarah MK

Apakah hak konstitusional 171 juta warga negara untuk dipilih sebagai capres independen 2009 akan dipulihkan setelah dua kali pemilihan presiden (1999 dan 2004) diamputasi dan dikebiri?

Amat tergantung pada sembilan hakim MK. Hak konstitusional tiap warga negara Indonesia, termasuk hakim MK juga, ditentukan kearifan hakim MK untuk melihat konstitusi yang hidup sesuai perkembangan sosial dan politik nasional ataupun internasional. Sebanyak 171 juta warga negara kini bisa menikmati kembalinya hak konstitusionalnya untuk dipilih sebagai gubernur, wali kota/bupati karena keputusan MK pada 23 Juli 2007, dan kini menunggu keputusan bersejarah MK untuk dipilih sebagai capres independen pada 2009 dan seterusnya. Dengan keyakinan penuh MK akan mengabulkannya.

Keputusan bersejarah itu tentu akan diikuti perpu oleh Presiden SBY dan akan dirayakan oleh 171 juta pemilih pada Pilpres 6 Juli 2009. Tak ada yang lebih membahagiakan warga kecuali saat menerima pengakuan atas hak-hak asasi dan hak-hak konstitusionalnya. Pada 6 Juli 2009, sebanyak 171 juta warga negara Indonesia akan merayakan kembalinya hak konstitusional untuk dipilih sebagai capres independen, merayakan keputusan bersejarah Mahkamah Konstitusi.

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia); Ketua Gerakan Nasional Calon Independen

Oligopoli untuk BBM Bersubsidi


Pertamina Usul Alpha Dinaikkan Jadi 12,5 Persen
Jumat, 26 Desember 2008 | 00:54 WIB

Jakarta, Kompas - Pada tahun 2010, pemerintah menargetkan pasar oligopoli sudah bisa diterapkan dalam pendistribusian bahan bakar minyak bersubsidi. Pertamina diarahkan untuk tetap menjadi penentu pasar, tetapi badan-badan usaha lain juga diberi ruang untuk bersama-sama ikut memasarkan BBM.

Demikian disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro saat menyaksikan penyerahan penugasan pendistribusian BBM bersubsidi ke Pertamina, Rabu (24/12) di Jakarta.

”Saat ini kita lihat Pertamina masih diberi kesempatan oleh pemerintah, tapi masa transisi ini sudah harus berakhir,” ujarnya.

Pertamina ditunjuk sebagai pelaksana pendistribusian BBM bersubsidi tahun 2009 setelah dinilai paling unggul dari lima badan usaha lainnya yang lolos seleksi akhir.

Dengan demikian, sejak bisnis hilir BBM bersubsidi dibuka untuk semua badan usaha pada tahun 2005, Pertamina sudah empat kali menjadi pelaksana.

Tahun depan, Pertamina bertanggung jawab untuk mendistribusikan 19,44 juta kiloliter premium, 11,06 juta KL solar, dan 5,80 juta KL minyak tanah.

Menurut Purnomo, dengan pertimbangan harga BBM di masyarakat tetap harus dikontrol agar tidak merugikan, pemerintah menginginkan Pertamina tetap menjadi penentu pasar.

”Badan usaha lain mendampingi Pertamina untuk mendistribusikan BBM bersubsidi. Pemerintah tidak ingin terjadi pasar yang terlalu kompetitif karena harus memperhitungkan dampaknya ke masyarakat,” katanya.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Evita Legowo mengatakan, pemerintah menargetkan oligopoli sudah berjalan penuh di tahun 2010. Penetapan badan-badan usaha yang bisa ikut mendistribusikan BBM bersubsidi diharapkan dilakukan Juli 2009.

Mengacu pada hasil penilaian Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas untuk penugasan pendistribusian BBM tahun 2009, secara nasional tidak ada badan usaha yang sanggup menyaingi Pertamina dalam hal kesiapan teknis.

Namun, jika dilihat secara spesifik per wilayah, ada beberapa badan usaha yang memiliki kesiapan komersial dan teknis. Misalnya, Petronas Niaga Indonesia untuk wilayah Sumatera Utara dan AKR Corporindo untuk wilayah Kalimantan.

Kedua perusahaan ini direkomendasikan oleh BPH Migas untuk membantu pendistribusian BBM bersubsidi di dua daerah itu jika terjadi kelangkaan yang tidak sanggup diatasi Pertamina.

Wakil Presiden Bidang Pengembangan Bisnis Shell Indonesia Wally Saleh mengatakan, badan usaha swasta siap untuk bekerja sama menggarap wilayah-wilayah yang selama ini kerap mengalami kelangkaan pasokan BBM.

Kerugian Pertamina

Direktur Utama PT Pertamina Ari H Soemarno mengatakan, tugas pendistribusian BBM akan berat dengan alpha yang semakin menyusut karena turunnya harga minyak. ”Dengan alpha 8 persen, kerugian kita mencapai Rp 2 triliun,” katanya.

Pertamina mengusulkan biaya pengadaan dan pendistribusian BBM yang tecermin dalam alpha tahun depan dinaikkan menjadi 12,5 persen dengan asumsi harga minyak 50 dollar AS per barrel dan kurs dollar terhadap rupiah Rp 11.000.

Pertamina dan Departemen Keuangan berencana akan mulai membahas perubahan alpha bulan Januari 2009. Terkait dengan keluhan Pertamina, Purnomo mengatakan pemerintah mengusulkan penetapan alpha dengan menggunakan skala.

”Kalau harga minyak tinggi, alpha disetel berapa, kalau harga minyak turun, alpha dimungkinkan naik. Tapi karena terkait dengan UU APBN, harus disetujui DPR,” kata Purnomo. (DOT)

Putusan MK


Jangan Sampai Dorong Praktik Korupsi

Jakarta, Kompas - Meski putusan Mahkamah Konstitusi mengenai penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak bisa dilakukan tanpa revisi UndangUndang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, masih ada implikasi teknis dan substansial terkait putusan tersebut. Salah satunya adalah kemungkinan meningkatnya praktik korupsi di partai politik

Mantan anggota Panitia Khusus RUU Pemilu, Saifullah Ma’shum (Fraksi Kebangkitan Bangsa, Jawa Timur V), Rabu (24/12), mempertanyakan sifat kemutlakan prinsip suara terbanyak itu. DPR mesti secepatnya menindaklanjuti putusan tersebut.

Salah satu masalah yang perlu diantisipasi adalah menyangkut soal suara yang diberikan pemilih pada partai politik. ”Apakah besar-kecilnya suara pemilih yang hanya memilih parpol tidak diperhitungkan dalam penetapan calon terpilih?” kata Saifullah.

Mantan anggota Pansus RUU Pemilu, Agus Purnomo (Fraksi Partai Keadilan Sejahtera), pun mengingatkan risiko jangka panjang akibat putusan MK tersebut.

Dalam berbagai kasus di Amerika Latin, misalnya, penetapan sistem suara terbanyak berbanding lurus dengan peningkatan korupsi anggota parlemen akibat persaingan antarparpol dan internal parpol. Praktik korupsi muncul akibat biaya kandidasi yang lebih mahal. Selain itu, sistem suara terbanyak bisa melemahkan parpol.

Padahal, desain awal dari revisi paket undang-undang bidang politik adalah pelembagaan parpol.

Agus mengkhawatirkan putusan MK berikutnya atas sejumlah gugatan uji materi atas UU No 10/2008. Jika MK mengabulkan permintaan pembatalan ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold), sistem kepartaian Indonesia pun menjadi tanpa bentuk.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ahmad Fauzi Ray Rangkuti menyebutkan, putusan MK memang memastikan cara penetapan calon terpilih dan mengakhiri kemungkinan konflik akibat perbedaan cara penetapan calon terpilih.

Namun, sekalipun putusan MK disebut sebagai self executing, pasal-pasal terkait tidak bisa diabaikan. Perlu penyisiran terhadap pasal-pasal teknis lain terkait dengan ketentuan baru itu. Misalnya, soal tata cara pemberian suara. ”Memberikan suara ke parpol tidak relevan. Bila dinyatakan tetap sah, ke mana suara parpol dialihkan?” kata Ray.

Selamatkan rakyat

Sebaliknya, sejumlah kalangan menilai putusan MK itu telah menyelamatkan rakyat dari penipuan yang dilakukan pemimpin sejumlah partai politik. Ketua DPP Partai Hati Nurani Rakyat Fuad Bawazier menyampaikan itu di Gedung DPR, Rabu. ”Putusan MK itu top,” ujarnya.

Menurut Fuad, peran parpol memang seharusnya cukup untuk menetapkan daftar caleg. Mengenai siapa yang dipilih, itu harus diserahkan kepada rakyat.

Fuad menyanggah pandangan bahwa penetapan caleg berdasarkan suara terbanyak akan membuat caleg berduit atau yang hanya mengandalkan popularitas lebih berpeluang dipilih.

Menurut dia, apabila banyak artis yang minim pengalaman politik terpilih sebagai anggota DPR, yang harus disalahkan adalah partai politik, bukan putusan MK. Soalnya, partai politik bersangkutan yang memasukkan orang-orang tersebut ke dalam daftar calegnya.

Wakil Ketua Fraksi PAN Dradjad Wibowo juga bergembira dengan putusan MK yang dinilainya akan sangat menguntungkan partainya pada pemilu mendatang karena banyak caleg PAN memiliki latar belakang akademisi, pengusaha, maupun artis yang populer di masyarakat.

Sementara itu, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar, menilai keputusan itu akan mendekatkan anggota DPR dengan rakyat pemilihnya.

Mengenai peluang kader partai yang belum populer, Kalla menyatakan, caleg tersebut harus memulai bekerja dari bawah. ”Dengan sistem suara terbanyak, artinya juga uang tak berarti segalanya. Karena kalau uang saja yang menentukan, hanya orang kaya yang bisa menjadi anggota DPR,” katanya.(DIK/SUT/HAR)

Lembaga Survei Sebut Mayoritas Responden Ingin Calon Presiden Independen


TEMPO Interaktif, Jakarta: Mayoritas responden yang diteliti lembaga-lembaga survei menunjukkan dukungan pada calon presiden independen. Salah satu pemicunya dikarenakan ketidakpercayaan pada partai politik yang ada.

“Maka partai tidak boleh diberi hak monopoli mengusulkan calon presiden," kata Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia, Saiful Mujani, Rabu (15/10), saat memberikan keterangan dalam uji materi Undang-Undang Pemilihan Presiden di Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Menurut Saiful, surveinya dilakukan pada Juni 2008 di seluruh Indonesia dengan responden mencapai 1.300 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 65 persen mendukung adanya calon presiden dari jalur independen.

Hasil survei ini, kata Saiful, menunjukkan masyarakat tidak percaya lagi pada partai politik. Partai politik dianggap memiliki kinerja yang buruk.

Hasil serupa juga terungkap dalam survei yang dilakukan Reform Institute. Survei yang dilakukan pada Juli 2008 menunjukkan bahwa masyarakat yang akan memilih calon presiden dari partai politik hanya sebesar 20,29 persen. Sedangkan orang yang telah menetapkan partai pilihannya hanya 38,88 persen.

Demokrasi: Mau ke Mana?

Oleh Azyumardi Azra

Judul 'Resonansi' ini saya ambil dari kertas kerja posisi International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) dalam pertemuan Annual Board Meeting yang saya ikuti di Stockholm pada 4-5 Desember 2008 lalu. Persisnya bertajuk Democracy: Whither are we Wandering?--Demokrasi: Ke Mana Kita Berkelana? Makalah ini merupakan assessment yang jujur dan berani dari sebuah lembaga internasional yang bergerak dalam pengembangan demokrasi dan bantuan elektoral di berbagai penjuru dunia.

Makalah ini mulai dengan pernyataan: 2009 datang merupakan tahun perayaan demokrasi; 30 tahun setelah mulainya gelombang ketiga demokrasi di Amerika Latin; 20 tahun sesudah runtuhnya Tembok Berlin; 15 tahun setelah berakhirnya rezim apartheid di Afrika Selatan; dan 10 tahun sejak awal reformasi politik Indonesia. Walhasil, sekitar 100 negara telah mengalami transisi ke demokrasi sejak 1970-an--dengan sekitar 40 negara mengalaminya pada 1990-an dan awal 2000-an.

Tetapi, jelas, jumlah semata tidak mencerminkan mulusnya perjalanan demokrasi. Sebaliknya, perjalanan demokrasi memperlihatkan proses-proses yang rumit, bergelombang, bahkan tidak jarang runtuhnya tatanan hukum yang diikuti kekerasan. Dan, di negara-negara Selatan--seperti Indonesia--demokrasi belaka juga tidak serta-merta dapat menghapuskan pengangguran dan kemiskinan. Demokrasi di banyak bagian dunia masih dipandang sebagai cita ideal yang masih harus terbuktikan untuk dapat menjadi sistem politik efektif guna mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat.

Dengan penilaian yang jujur dan terus terang dari sebuah lembaga internasional yang memiliki komitmen dan menjalankan berbagai program untuk penguatan demokrasi, tidaklah berarti negara-negara demokrasi atau yang masih berada dalam transisi dan konsolidasi demokrasi harus segera meninggalkan demokrasi dan beralih kepada sistem-sistem politik lainnya. Memang, demokrasi bukanlah ''obat'' (panasea) bagi semua masalah; demokrasi juga memiliki batas-batasnya. Tetapi, jika dibandingkan sistem-sistem politik lain, semacam otoritarianisme militer (atau sipil) atau teokrasi, demokrasi tetap merupakan pilihan yang lebih baik.

Di Tanah Air, yang juga disebut banyak kalangan internasional sebagai salah satu kisah sukses demokrasi, perjalananan demokrasi juga masih belum sepenuhnya berjalan seperti yang diharapkan. Selain biaya demokrasi prosedural yang cenderung kian mahal dan tidak efisien, juga menimbulkan bermacam ekses yang boleh jadi tidak disengaja (unintended consequences). Eksplosi aspirasi demokrasi membuat usaha pemerintah dan swasta untuk melaksanakan program-program yang baik langsung maupun tidak langsung dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, tidak lagi dapat berjalan mulus. Lihat, misalnya, rencana pembangunan jalan tol trans-Jawa; pembebasan lahan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan karena adanya kalangan masyarakat yang menolak. Dan, tentunya, banyak contoh lain.

Karena itu, pada akhirnya pertumbuhan dan penguatan demokrasi sangat terkait dengan sejumlah faktor internal dan eksternal. Faktor-faktor yang dapat menghambat penguatan demokrasi itu mestilah diatasi agar demokrasi betul-betul tumbuh dengan baik dan berdaya guna untuk peningkatan kesejahteraan rakyat.

Secara internal, seperti terungkap dari penilaian International IDEA, lembaga-lembaga politik belum juga menguat di banyak negara demokrasi, termasuk Indonesia. Sebaliknya, yang terjadi adalah kian fragmentaris lembaga-lembaga politik. Di Tanah Air, parpol bukannya kian terkonsolidasi, tetapi sebaliknya, makin terfragmentasi, seperti terlihat dari jumlah parpol: 48 pada Pemilu 1999, 24 pada Pemilu 2004, dan naik lagi menjadi 38 plus 6 parpol lokal untuk Pemilu 2009.

Pada saat yang sama, terjadi juga peningkatan kemerosotan kepercayaan publik pada institusi-institusi politik, semacam parpol dan lembaga perwakilan rakyat. Publik melihat bahwa banyak dari mereka yang terlibat dalam institusi-institusi semacam itu lebih tertarik pada kepentingan mereka masing-masing daripada kepentingan publik secara keseluruhan.

Sebab itu, salah satu tantangan dalam penguatan demokrasi adalah pemulihan kepercayaan publik pada institusi politik. Dan, ini harus dimulai dari para aktor politik itu sendiri untuk lebih menampilkan sosok yang penuh dengan integritas dan komitmen pada kepentingan publik. Kesempatan masih ada untuk membentuk dan menampilkan sosok seperti itu pada masa-masa kampanye menjelang Pemilu 2009.

Pada saat yang sama, para pemilih umumnya dapat lebih berhati-hati dalam melakukan pilihan nantinya. Para pemilih hendaknya jangan terbuai janji dan kata-kata manis mereka yang memiliki aspirasi untuk terpilih. Sebaiknya, para pemilih berusaha mendapatkan informasi tentang rekam jejak (track record) setiap calon. Sehingga, ketika melakukan pilihan, dapat betul-betul didasari pertimbangan rasional dan logis. Tidak hanya untuk kepentingan pemilu itu sendiri, tapi lebih penting lagi demi penguatan dan pendewasaan demokrasi di bumi tercinta ini.

Dilema Partai Dakwah

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Menurut saya sebuah partai politik yang juga merangkap sebagai pekerja dakwah bukan sesuatu yang mustahil. Dalam sejarah modern Indonesia, sekalipun tidak menyebut dirinya sebagai partai dakwah, Partai Islam Masyumi yang pernah beroperasi selama 15 tahun pascaproklamasi di panggung perpolitikan Indonesia adalah contoh yang terbaik. Sejarah mencatat bahwa Masyumi adalah partai moralis yang diakui lawan dan kawan. Politik dijadikannya sebagai 'kendaraan' untuk mencapai tujuan moral konstitusional berupa tegaknya keadilan yang merata untuk bangsa Indonesia.

Partai ini dikenal sebagai pembela demokrasi dan konstitusi garda depan. Lantaran gigihnya membela dua nilai yang menjadi pilar politik bangsa itu, akhirnya harus martir di ujung bayonet kekuatan ekstra konstitusional di penghujung tahun 1960. Dengan kematian Masyumi ini, dalam tenggang waktu hampir empat dasawarsa kemudian, demokrasi dan konstitusi tidak pernah dihormati lagi, kecuali untuk kepentingan retorika dan pragmatisme politik kekuasaan. Baru sejak tahun 1998, kran demokrasi itu dibuka kembali setelah dikubur sekian lama.

Jika saya memuji Masyumi, bukan berarti tanpa kritik. Kritik pertama yang layak saya alamatkan kepada beberapa tokoh partai ini adalah keterlibatan mereka dalam pergolakan daerah, apa pun alasan mereka untuk itu. Apakah situasi politik di Jakarta yang semakin dikuasai kekuatan merah yang mendorong para tokoh itu untuk hijrah ke daerah yang dipandang lebih memberi perlindungan keamanan mereka yang terancam? Atau, karena para perwira Angkatan Daerah daerah yang sangat memerlukan kehadiran mereka sebagai payung dan suhu politik?

Kritik kedua; apakah tidak terpikir pada waktu itu bahwa Jakarta pasti akan menggempur mereka sebagai pemberontak, sekalipun mereka sebenarnya ingin menegakkan konstitusi yang dilanggar presiden? Politik pada akhirnya sepanjang sejarah pasti berujung dengan adu kekuatan, bukan adu argumen. Masyumi kalah, pemimpin mereka yang turut dalam pergolakan ataupun yang tidak lalu ditangkap dan dipenjarakan selama beberapa tahun tanpa proses pengadilan. Tetapi, Masyumi sebagai partai dakwah yang konsisten secara moral akan tetap dikenang sepanjang masa oleh mereka yang belajar sejarah. Tidak ada di antara pemimpin mereka yang menjadikan politik sebagai sawah-ladang untuk menopang kehidupan keluarga mereka. Semua mereka juga tidak ada yang mempraktikkan poligami, sekalipun tidak menentangnya. Kesederhanaan perilaku mereka sudah hampir hilang dari memori kolektif bangsa ini.

Saya mengangkat Masyumi ini tentu punya tujuan jelas; politik dipakai untuk mencapai tujuan dakwah. Tidak sebaliknya, dakwah dijadikan kendaraan politik kekuasaan dengan segala akibat buruknya dipandang dari sisi agama. Mengapa dalam sejarah Indonesia modern pernah muncul partai yang seperti itu? Jawabannya adalah karena para pemimpin mereka seluruhnya adalah pejuang kemerdekaan yang paham betul apa makna pengorbanan untuk kepentingan yang besar dan mulia. Selain itu, sebagian besar tokoh Masyumi pernah dilatih secara intelektual dan spiritual oleh diplomat kenamaan Indonesia, H Agus Salim, jauh sebelum merdeka. Salim yang hampir sepanjang hidupnya berada dalam lingkungan penderitaan dan kemiskinan. Sosok inilah yang menjadi panutan Masyumi dalam berjuang, sehingga mereka benar-benar tahan bantingan untuk tidak hanyut dalam pragmatisme politik yang dapat mengorbankan prinsip dakwah.

Nah, jika ada partai yang juga mengklaim diri sebagai partai dakwah, tetapi dipimpin oleh mereka yang belum teruji secara moral dan intelektual, tentu akan sulit diharapkan untuk menempatkan politik sebagai kendaraan dakwah. Pasti yang berlaku sebaliknya: pragmatisme politik kekuasaan akan lebih dominan, sedangkan tujuan dakwah untuk menegakkan kejujuran, keadilan, dan kebenaran secara berangsur akan dipinggirkan untuk kemudian diabaikan sama sekali. Maka, jadilah partai itu tampil dalam kamuflase yang menipu para pemilih.

Bukankah ini sebuah pengkhianatan yang dapat menjadi bumerang bagi agama yang mereka peluk dalam tempo yang tidak terlalu lama? Saran saya agar para elite partai ini atau partai lain yang mengusung bendera syariah mau membuka sejarah Masyumi dan kehidupan para pemimpinnya. Siapa tahu di sana akan ditemukan sumber inspirasi dan sumber keteladanan yang tidak pernah kering, sebelum segala sesuatu semakin meluncur ke kubangan politik yang airnya masih keruh dan kumuh.

(-)

JK Kritik Hasil Survei Denny JA


Laporan: M Hendry Ginting

Jakarta, myRMnews. Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla angkat bicara soal adanya lembaga survei yang cendrung dekat dengan salah satu partai politik.
Namun JK tidak menyebut lembaga survei yang dimaksud.

Demikian dikatakan JK saat membuka Rapimda IV dan Penataran Jurkam Partai Golkar Provinsi Kalimantan Selatan, di Shinta International Restaurant, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (20/12) seperti dilansir situs okezone.

Tapi pernyataan JK tersebut bisa ditebak diarahkan ke mana. Sebab Jumat kemarin (19/12), LSI yang dipimpin Denny JA mengumumkan hasil surveinya ke publik. Hasil survei tersebut menyebut PDIP memimpin dengan angka 31,0% disusul Partai Demokrat dengan jumlah pemilih 19,3%.

JK mencurigai survei yang dilakukan menjelang pemilu biasanya dibuat oleh lembaga-lembaga yang cenderung dekat dengan salah satu partai politik.

"Memang ada survei-survei mungkin dibaca partai A 31 persen, partai B 19 persen, kita hanya 11 persen. Orang boleh bikin apa saja, itu gampang. Apalagi yang bikin dekat dengan partai tadi yang 30 persen," sindir JK.

Pada bagian lain, JK tak percaya dengan iklan yang dipasang dalam waktu satu atau dua minggu oleh parpol bisa membuat orang langsung berbalik. Dia yakin faktor yang menentukan orang memilih salah satu parpol, adalah kedekatan, perjuangan dan track record parpol di mata masyarakat. [dry]

Hasil Survei, Golkar Semakin Terpuruk


Laporan: Zul Sikumbang

Jakarta, myRMnews. Partai Golkar diyakini sejumlah kalangan akan mengalami penurunan, baik dari popularitas maupun elektibilitas.

Dari beberapa hasil lembaga survei, seperti Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Partai berlambang pohon beringin ini menempati urutan ketiga dibawah PDIP dan Partai Demokrat.

Hasil yang sama juga terjadi pada survei Reform Institute. Partai Golkar hanya mendapatkan perolehan suara 14,16 persen.

Demikian diungkapkan Direktur Eksekutif Reform Institute Yudi Latif dalam pemaparan hasil survei, di kawasan Kuningan, Jalan Rasuna Said, Jakarta, Senin (22/12).

Penurunan suara Partai Golkar itu disebabkan bebarapa hal. Di antaranya lantaran tidak ada regenerasi sehingga ditinggal oleh pemilih pemula dan pemuda.

"PG cenderung mengalami penuaan, banyak kehilangan dukungan dari pemilih-pemilih pemula dan pemuda. Padahal jumlah pemilih terbesar pada pemilu adalah pemilih pemula," ujar dia.

Alasan lain, tambah Yudi, internal partai golkar sudah tidak solid karena ada perubahan di dalam kerangka hubungan politik.

Ia menyebut, dahulu golkar sangat bergantung pada kekuatan birokrasi. Seolah-olah bila mesin partai tidak berjalan bisa tertolong oleh birokrasi dengan menggunakan berbagai cara.

"Sekarang harapan itu tidak bisa diandalkan, buktinya PG banyak mengalami kekalahan pada pilkada di daerah dan tidak begitu mudah bagi gubernur atau bupati memanfaatkan birokrasi," tutur Yudi.

Di samping itu, adanya kebijakan partai yang menerapkan sistem suara terbanyak semakin memperparah PG. Sebab para caleg akan berjuang sendiri-sendiri dan tidak lagi mengindahkan partai secara struktural.

"orang atau caleg akan berlomba untuk kepentingan diri sendiri," kata dia.

Selain itu, PG terlalu yakin akan kemenangan sehingga melupakan mesin partai di tingkat bawah dan cenderung membiarkan tanpa ada sentuhan dari pusat.

Yang sangat mempengaruhi penurunan popularitas PG adalah banyaknya tokoh-tokoh PG yang dihambat dan ditutup ruang geraknya oleh pengurus. Akibatnya, kader-kader potensial keluar dan membentuk partai baru, seperti Prabowo Subianto, Wiranto.

"Sekarang terjadi fragmentasi tokoh-tokoh PG yang luar biasa akibat tidak adanya harapan diusung sebagai kandidat capres dan akhirnya lari dan eksodus. Peluangnya sangat kecil dan ditutup. Kalau harapan itu dibuka akan akan menguatkan konsolidasi kekuatan-kekuatan di dalam. Sekarang sudah terlambat karena calon-calon itu sudah dirikan partai lain," tukas Yudi. [rul]

PDIP Sinis, MK Jungkir Balikkan Proporsional



Laporan: Tri Soekarno Agung

Jakarta, myRMnews. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sistem suara terbanyak dalam menentukan caleg terpilih dipandang sinis kubu PDI Perjuangan.

Bahkan, politisi banteng menuding bahwa MK sedang bermain akrobat yang bisa menjungkirbalikkan sistem proporsional.

“Kami pertanyakan, apakah MK punya kewenangan untuk menentukan sistem pemilu. MK sama saja telah menjungkirbalikkan mekanisme sistem proporsional seperti yang diamanahkan UU Pemilu,” kecam Ketua Fraksi PDI Perjuangan Tjahjo Kumolo kepada myRMnews, Rabu siang (24/12).

Menurut politisi senior banteng yang dekat dengat TK ini menilai, keputusan mekanisme pemilu merupakan wewenang pemerintah bersama DPR. Sampai hari ini, sebut Tjahjo, sistem distrik murni belum diberlakukan sesuai UU.

UU Pemilu menyebutkan adanya kedaulatan rakyat dalam memilih dan kedaulatan partai dalam menentukan caleg-nya. Itu semua harus dihormati.

“Bukan berarti PDI-P takut memakai sistem suara terbanyak. Putusan MK itu tetap harus dikritisi. Kami akan tindak lanjuti secepatnya,” papar Tjahjo. [iga]


Rabu, 24 Desember 2008

Capres yang Mundur, Maju dan Golput


Berita “teranyar”, Rizal Malarangeng adik dari Juru Bicara Kepresidenan Andi Malarangeng mengundurkan diri dari capres 2009. Penyebabnya dikarenakan menilai hasil surveinya tidak signifikan. Rizal yang selama ini mengiklankan dirinya akan melakukan perubahan, ternyata kini justru semangatnyalah yang berubah. “Saya harus rasional, mungkin di Pemilu 2014 saya akan maju lagi”. Rizal mengatakan dari sisi popularitas cukup berhasil, tapi dari sisi aksepbilitas tidak mendukung. Memang berat kalau berani dan mencoba bertarung di kancah nasional, nafasnya harus panjang.

Dilain sisi Ketua Umum Muhammadiyah Dien Syamsudin menyatakan siap dicalonkan menjadi pemimpin bangsa pada pilpres 2009. Ia menyatakan siap dan mampu menjadi pemimpin bangsa, tahu konsekwensinya , pencalonan merupakan bagian dari upaya untuk mengubah kondisi bangsa kearah yang lebih baik.

Komite Bangkit Indonesia (KBI) menyatakan makin mantap mengusung ekonom Rizal Ramli (RR) sebagai capres. Juru bicara KBI Ibrahim G Zakir di Jakarta (18/11) mengatakan mantap mengusung RR sebagai calon alternatif dan akan berusaha memenuhi kuota 25% suara pemilih sesuai UU Pilpres. Ada dua Partai politik katanya yang bersedia mengusung RR, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR) dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (P3I).

Sri Sultan Hamengku Bhuwono-X siap untuk menjadi Capres. Kini baru Partai Karya Perjuangan (Pakar Pangan) yang dipimpin Letjen Purn M Yasin menyatakan siap mendukung Sri Sultan dan akan melakukan pendekatan kekeraton Yogya.

Mantan Kasal Laksamana Purn Slamet Soebijanto siap meramaikan Pemilu 2009 sebagai capres dengan tema “Selamatkan Indonesia”. Mantan Kasal ini mendeklarasikan diri sebagai capres pada tanggal 19/10/2008 di jakarta Media Center Kebon sirih Jakarta Pusat. Dikelompok mantan TNI ini berarti tambahan saingan untuk Bang Yos, Kivlan Zein. Uniknya dia satu-satunya calon Purn perwira Tinggi dari TNI AL ditengah-tengah Purn TNI AD. Purn AU tidak ada yang coba-coba nyalon, menurut pendapat penulis “bukan maqomnya”.

“Berita yang sangat lain”, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dulu dicalonkan PKB sebagai capres, kini kembali menyerukan kepada pimpinan PKB didaerah dari tingkat propinsi hingga kecamatan yang setia kepadanya untuk memboikot baik pemilu legislatif, pemilu presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Gus Dur kecewa kepada pemerintah yang mengakui DPP PKB pimpinan Muhaimin Iskandar.Gus Dur mengatakan tidak akan kampanye untuk capres siapapun, walaupun sudah ada 15 capres yang menemui dirinya.

Itulah kisah tentang macam-macam capres, kini ada yang sudah mundur, ada yang maju, tetap nekat, ada yang diam melihat situasi dan ada yang golput. Semua yang dilakukan sebenarnya syah-syah saja. Berat kalau mendeklarasikan diri sebagai capres, konsekwensinya harus punya uang banyak. Hari gini, kalau mencalonkan diri tanpa partai, tanpa dukungan dana, tanpa pengikut yang jelas, bagaimana dan mau kemana?. Untuk memiliki kekuasaan politik tidak bisa hanya mengharap pemberian tapi sesuatu yang harus direbut. Siapkah kita?

Harusnya orang sadar, kalau bermain politik masa kini, sebaiknya mengerti “memanfaatkan atau dimanfaatkan”. Tanpa perhitungan yang matang seseorang akan bisa kehilangan uang, harga diri, kehormatan, teman. Sadar pak, sadar. Mari momong cucu saja, serahkan urusan capres-cawapres kepada mereka yang memang ahlinya. Salam “Pakde Pray”.

SBY dan Demokrat Makin Jago


Ada kiasan yang berbunyi sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Kini saya mau rubah sedikit “sepandai-pandainya tupai melompat, makin lama, main jago”. Itulah yang kini terjadi pada Partai Demokrat, setelah empat tahun lebih berjalan mendukung sang pembina, kini terlihat semakin jago. Peran SBY sebagai “incumbent” terutama yang mengangkat dan mengkatrol kemajuan partai ini, ini sulit terbantahkan.

Berita terakhir yang dirilis oleh Lembaga Survei Indonesia terasa sangat mengejutkan. Menjelang pemilu legislatif 2009 hanya 15 persen pemilih yang menyatakan terikat dengan partai politik, sisanya yang 85 persen pemilih potensial menjadi pemilih swing voter. Para swing voter atau pemilih nonpartisan mempunyai kecenderungan memilih Partai Demokrat dan Gerindra pada pemilu 2009. Demikian yang disampaikan Direktur Eksekutif LSI Saiful Mujani.

Menurut Saiful, dari jumlah pemilih swing voter, Partai Demokrat mendapat 9,6 persen suara sehingga total meningkat menjadi 16,8 persen dibandingkan yang diperoleh pada pemilu 2004sebesar 7,4 persen. Posisi kedua Golkar yang mendapat 15,9 persen dan ketiga PDIP 14,2 persen. Gerindra partainya Prabowo telah mampu memikat swing voter sebesar 3,7 persen.

Ketertarikan para swing voter pada Partai Demokrat disebabkan pandangan responden pada empat hal yaitu kemampuan pemimpinnya, program partainya, perhatian partai pada rakyat dan bersih dari korupsi.

Diantaranya yang mengubah pandangan swing voter adalah program BLT, Bantuan Operasional sekolah (BOS), Presiden tidak melakukan intervensi terhadap kasus hukum besannya Aulia Pohan.

Walau survei hanya merupakan sebuah persepsi publik, tapi jangan mensepelekan sebuah hasil survei. Yang aneh, ada petinggi partai besar yang meragukan hasil tersebut. Seharusnya hasil survei aktual dari sebuah lembaga yang cukup kredibel dianalisa, dijadikan informasi matang yang disebut intelijen. Hasil analisa kemudian dijadikan dasar untuk melakukan pembenahan sikap, taktik serta strategi partai kedepan. Intinya mensikapi informasi aktual demi untuk pemenangan.

Partai papan atas sebaiknya waspada, dinamisasi politik sedang berjalan cepat, pemilu yang hanya tersisa beberapa bulan membutuhkan penentuan sikap yang tepat. Telah terjadi perubahan perilaku konstituen. Strategi partai kini harus diarahkan untuk menarik swing voter, jangan hanya terkonsentrasi kepada basis tradisional partai saja. Rakyat semakin kritis dan pintar, pembongkaran kasus-kasus korupsi di DPR telah menurunkan kesetiaan masyarakat terhadap partai. Kini yang mengemuka adalah masalah kejujuran. Pemikiran dengan paradigma lama dan keyakinan pada sesuatu yang nyata tapi semu akan dapat membahayakan perolehan suara.

Profesor William Liddle dari Ohio State University sangat gamblang menjelaskan peta pilpres 2009 ”Garis besar pemilihan presiden 2009 sudah cukup jelas. Presiden Yudhoyono yang berasal dari kelas politisi orde baru akan dilawan oleh calon-calon yang juga sudah lama dikenal para pemilih. Sebaiknya janganlah berharap akan ada calon baru, muda, pintar, terampil, bicara, penuh ide untuk memecahkan masalah-masalah bangsa. Sejak 2004 baik dipusat maupun didaerah menunjukkan sebuah kelas politisi baru mulai menggeliat. Obama ala Indonesia akan muncul dalam lima tahun mendatang”.

Peta semakin jelas, partai Demokrat akan menjadi petarung yang harus dihitung dengan cermat, bisa naik menjadi parpol papan atas. Kemungkinan besar calon presiden hanya tiga pasang, SBY, Mega dan satu calon alternatif yang juga orang lama. Survei Indonesian Research and Development Institute (IRDI) pada bulan Oktober menyebutkan tingkat elektabilitas SBY menempati nomor urut satu dengan 33%, Megawati 17,9, Wiranto 5%, Prabowo 4,7%, Hidayat Nur Wahid 2,8%, Amin Rais 2,65%, Gus Dur 2,45% , Sri Sultan HB-X 1,6%.

Ini memperlihatkan bahwa SBY dengan Demokrat semakin hari semakin solid dan sulit dilawan, pesaingnya sementara ini hanya Megawati. Untuk capres alternatif, walau ada Wiranto, penulis lebih agak cenderung kearah Prabowo. Strategi penyampaian pesannya melalui media sekaligus mampu mengangkat baik Prabowo maupun Gerindra, secara perlahan semakin kokoh dan menguat. Terbukti Prabowo dan Gerindra mulai disukai para swing voter. Disamping itu penguatan dibasis petani dan nelayan yang terus dilakukan jelas akan mempunyai pengaruh besar dalam perolehan suara.

Sebenarnya terpikir juga kalau Mega mengambil Prabowo saja sebagai capresnya, pasangan ini akan lebih solid dan paling mampu sebagai lawan SBY. Jangan tunggu nanti setelah pemilu, kalau Gerindra terbukti kuat dia akan berkoalisi dengan partai lainnya dan Bowo akan maju sebagai capres. Dalam pilpres yang terpenting adalah kharisma dan elektabilitas capresnya, disamping memenuhi syarat pengajuan capres.

Apakah PDIP yakin kalau nanti Mega kembali bertarung head to head melawan SBY akan menang?. Agak pesimis rasanya. Karena itu parpol harus realistis. Sudah ada kok contoh parpol besar menang tapi “kecebur”. Kita lihat dan ikuti saja bagaimana nanti.

SBY, Prabowo, Mega dan Peta Politik



Oleh Prayitno Ramelan - 25 Desember 2008 -

Sebuah hasil survei yang dilansir oleh lembaga survei Indonesian Political Marketing Research (IPRM) pada Selasa (23/12) menyebutkan bahwa Ketua Dewan Penasihat Partai Gerindra Prabowo Subianto menduduki posisi kedua dibawah SBY yang tetap menduduki posisi teratas, sementara Megawati menduduki posisi ketiga.

Lembaga survei IPRM didirikan oleh perusahaan konsultan pemasaran dan bisnis Marplus Insight. Chief Executive Associate Partner Markplus Insight Taufik pada jumpa pers mengenai Political Tracking Research untuk Pileg dan Pilpres 2009 mengatakan “Survei ini merupakan yang terbesar, terlengkap, dan relevan dengan situasi calon pemilih Indonesia yang sangat heterogen”. IPRM dapat dikatakan baru melaksanakan survei khusus untuk kepentingan internal , selanjutnya dijelaskan Taufik bahwa IPRM adalah lembaga survei yang independen, bebas dari pesanan parpol. Hasil surveinya akan dijual kepada 38 parpol peserta pemilu 2009.

Survei dari lembaga riset politik MarkPlus ini menyebutkan SBY dianggap oleh 62,8 persen dari 16.800 responden pantas sebagai calon presiden. Jumlah 62,8 persen ini terdiri dari 35,3 persen disebut pertama oleh responden, 18,5 persen secara spontan ketika diajukan pertanyaan dan 9,1 persen ketika dibantu.

Prabowo meraih 45,3 persen dan Megawati 37,7 persen. Namun Megawati lebih banyak disebut pertama yakni 15,2 persen, dibandingkan Prabowo yang hanya 9,2 persen.

Berikutnya baru Sri Sultan Hamengku Buwono X yang mendapat 28,9 persen, Soetrisno Bachir 20,9 persen, Amien Rais 20,1 persen, Wiranto 20,1 persen, Jusuf Kalla 16 persen, Hidayat Nur Wahid 14,4 persen dan Abdurrahman Wahid 11,8 persen.

Survei ini berbasis daerah pemilihan, melibatkan 16.800 responden di 33 provinsi. Responden dibagi berdasarkan kuota jenis kelamin, status ekonomi & sosial dan usia. Tingkat kepercayaan 95 persen, dengan margin of error 0,75 persen. Survei dilakukan minggu pertama dan minggu ketiga November 2008, namun baru dilansir hari Selasa, 23 Desember 2008.

Sementara itu Reform Institute mengeluarkan hasil survei 13-25 November tentang keterpilihan atau elektabilitas parpol. Partai Demokrat menempati tempat teratas (26,36%), PDIP (17,80%), Golkar (14,16%), Gerindra (6,56%), PKS (5,16%). Yang paling menonjol dicatat oleh Reform institute, Partai Gerindra mengalami kemajuan tercepat, pada survei Juni-Juli masih berada diurutan ke-28 (0,08%), melejit menjadi 6,56% pada bulan November 2008.

Khusus tentang tingkat kesukaan pemilih dalam berkoalisi, dari (26,36%) responden pemilih Partai Demokrat, dimana sebanyak (30,05%) pemilih menginginkan berkoalisi dengan Partai Golkar, (13,96%) menyukai koalisi dengan PDIP, (11,08%) menyukai koalisi dengan PKS, dengan PAN (5,61%), PKB (4,4%), dengan Gerindra (3,49%).

Responden Partai Golkar yang 14,16% sebahagian besar lebih suka koalisi dengan Partai demokrat (38,14%), dengan PDIP (15,54%), dengan Hanura (5,65%), dengan Gerindra (4,52%), dengan PKS (3,95%). Disini juga terlihat bahwa di kalangan pemilih Golkar masih ada yang bersimpati kepada dua mantan sesepuh Golkar Wiranto dan Prabowo, terbaca dengan adanya keinginan koalisi.

Responden PDIP menginginkan koalisi dengan Partai Golkar (26,74%), serta koalisi dengan Partai Demokrat (13,48). Partai Gerindra yang mendapat dukungan 6,56%, pemilihnya menginginkan koalisi dengan Partai Golkar (21,15%) dan koalisi dengan Partai Demokrat/PAN (12,20%).

Pemilih PKS menginginkan koalisi dengan Partai Demokrat (29,46%), dengan PAN (18,6%), dengan Golkar (9,3%), dengan PPP (4,65%), dengan Gerindra (4,56%).

Dari fakta-fakta tersebut diatas, mulai terlihat sebuah peta politik tentang posisi capres, kekuatan dan posisi parpol serta kekuatan ideal koalisi parpol. SBY sebagai incumbent hingga saat ini masih belum tergoyahkan dari posisi teratas dengan elektabilitas tertinggi 62,8%, pada posisi kedua terlihat Prabowo mulai mengimbangi Megawati, bahkan secara akumulatif Prabowo lebih tinggi elektabilitasnya. Pada posisi keempat diduduki oleh Sri Sultan. Elektabilitas Sultan sayangnya kurang menonjol, mungkin ini disebabkan karena kurangnya beriklan di media massa.

Pada parpol, posisi PDIP dan Partai Demokrat saling berebut tempat teratas, pada survei LSI yang dilakukan 5-15 Desember, PDIP menduduki tempat teratas dengan 31%, Reform Institute menyebutkan PDIP hanya mendapat 17,8%. Partai Demokrat oleh LSI ditempatkan pada posisi kedua (19,3%), justru oleh Reform Institute menduduki tempat pertama (26,63%). Kedudukan Partai Golkar hampir sama LSI (11,9%), Reform Institute (14,16%). Dengan demikian terlihat sementara ini kemungkinan yang akan menjadi parpol papan atas adalah Partai Demokrat, PDI Perjuangan dan Partai Golkar. Sementara yang terlihat akan menjadi parpol papan tengah sementara ini diperkirakan baru Partai Gerindra dan PKS.

Yang menarik adalah peta koalisi. Partai Golkar adalah parpol yang paling disukai untuk dijadikan partner koalisi, Golkar disukai pemilih Partai Demokrat (30,05%), pemilih PDIP (26,74%) dan Gerindra (21,15%). Partai terfavorit kedua sebagai partner koalisi adalah Demokrat, disukai pemilih Golkar (38,14%), pemilih PKS (29,46%). Sementara PDIP hanya disukai pemilih sebagai pilihan kedua berkoalisi dari Demokrat dan Golkar. PKS dan Gerindra pemilihnya kurang menyukai koalisi dengan PDIP. PKS hanya disukai pemilih sebagai pilihan kedua partner koalisi dari Demokrat, pilihan kelima dari pemilih Golkar. PDIP dan Gerindra pemilihnya tidak berminat koalisi dengan PKS. Pemilih PKS lebih menyukai berkoalisi dengan Partai Demokrat, pilihan kedua PAN, pilihan ketiga Golkar dan pilihan keempat PPP, pilihan kelima Gerindra. Sementara Gerindra pemilihnya hanya suka koalisi dengan Golkar, pilihan kedua Demokrat.

Dengan demikian maka peta parpol dan capres terkuat akan dikuasai apabila Partai Demokrat berkoalisi dengan Golkar, capresnya SBY, wapres dari Golkar (JK atau Sultan). Koalisi keduanya sementara ini akan mendapat kekuatan gabungan pemilih hingga 40,52%, dengan elektabilitas capresnya 62,8%, belum ditambah elektabilitas cawapres. Kekuatan capres kedua akan dipegang oleh PDIP dengan capres Megawati. PDIP kelihatannya akan menjumpai masalah dalam berkoalisi, pemilihnya tergambar hanya menyukai koalisi dengan Golkar dan Demokrat. Sementara pemilih PKS tidak menyukai koalisi dengan PDIP, lebih suka apabila PKS berkoalisi dengan Demokrat. Demikian juga pemilih Gerindra lebih suka koalisi dengan Golkar atau Demokrat. Dengan demikian maka kemungkinan peta lama akan kembali terulang, PKS akan merapat ke Partai Demokrat.

Jadi tanpa adanya perubahan yang signifikan maka apabila Golkar dan Demokrat berkoalisi, kemungkinan besar SBY yang akan kembali menjadi Presiden. Bagaimana mengatasi kebuntuan PDI Perjuangan? Peluang PDIP hanya berada ditangan Sri Sultan, dengan catatan Sultan mampu merebut posisi sebagai pemegang “mandat” dari Golkar. Artinya Sultan harus diajukan sebagai calon oleh Golkar, dan mau berkoalisi dengan PDIP. Sultan akan kuat apabila mampu merebut Golkar. Hambatan utamanya karena Sultan sudah terlalu yakin sebagai Capres tapi belum meiliki parpol pendukung yan kuat. Jadi pilihannya hanya satu yaitu Golkar dimana dia sudah menjadi kader.

Mungkin Prabowo adalah salah satu harapan dari PDIP, bisa diperkirakan Gerindra akan menjadi parpol papan tengah, masalahnya hanya karena para pemilih kedua parpol kurang mendukung koalisi tersebut. Yang mungkin bisa diandalkan adalah elektabilitas Prabowo yang diperkirakan semakin hari akan semakin tinggi dengan jalan pintas iklannya. Kalau Golkar lepas dari tangan SBY, maka yang terbaik bagi Demokrat adalah koalisi dengan PKS, dengan cawapres Hidayat Nur Wahid, ditambah beberapa parpol kecil lainnya. Gabungan kedua parpol inipun diperkirakan akan mampu memenuhi peryaratan UU pilpres dalam mengajukan capres.

Perjalanan menuju pemilu hanya beberapa bulan lagi, demikian juga dengan pilpres, masih banyak kemungkinan yang akan memengaruhi para konstituen, tanpa adanya gebrakan yang berarti maka “golput apatis” diperkirakan akan semakin banyak. Inilah saatnya para elit partai meunjukkan kepiawaiannya dalam menyusun sebuah strategi agar dapat menarik minat golput dan menerima amanah dalam memimpin bangsa ini. Jujur, bijaksana, mumpuni dan pro rakyat itulah kunci seorang pemimpin masa kini yang sangat didamba rakyatnya. Bravo.