Selasa, 25 November 2008

Masih Besarkah Peluang Megawati?


Sore itu saya sedang menyiram kebun, anak saya laki-laki “ngerumpi” sama tukang rokok yang dahulu juga jualan indomie disebelah rumah. Dia menanyakan kepada tukang rokok, “nanti kalau pemilu mau milih presiden yang mana bang”, jawaban tukang rokok mengejutkan penulis, “kalau pak Harto masih hidup saya pasti milih beliau, tapi karena sudah meninggal saya akan milih bu Mega”. Lho memang kenapa? tanya anak saya. Tahulah mas, hidup sekarang kok lebih susah, minyak tanah hilang, mau jualan indomie mesti pake gas, repot sekali. Sekarang apa-apa naik dan mahal, hidup lebih berat. Rasanya lebih enak jaman pak Harto, karena sudah meninggal saya pilih bu Mega saja deh katanya dengan polos.

Saya jadi merenung, apakah ungkapan tukang rokok tadi benar?. Tukang rokok adalah rakyat kecil yang hidup dari serupiah ke rupiah, begitu pemerintah menetapkan konversi minyak tanah ke gas dia langsung terasa dan terpukul. Kalau dahulu bisa membeli minyak tanah seliter dua liter dia bisa jualan indomie, sekarang tidak bisa karena harus membeli gas yang harganya aduhai. Rakyat kecil itu sederhana, dia membandingkan pemerintah kini dengan yang lalu-lalu hanya dari urusan bisa hidup atau tidak. Dia mengukur enaknya dipimpin Pak SBY, Ibu Mega atau Pak Harto, tanpa mengetahui betapa sulitnya mengurus negara, sulitnya mengurus APBN, pengaruh resesi dari AS, penanggulangan Korupsi, jatuhnya harga saham, fluktuasi rupiah, dan segala macam pernik urusan negara, dia hanya melihat dari kepentingannya.

Walau dia hanya rakyat kecil ditataran bawah, jangan sepelekan dia, dia menentukan pilihannya kini tanpa dipengaruhi faktor external. Para politisi dan team sukses harusnya mampu melihat masalah ekonomi rakyat akan memegang peran utama dalam perolehan suara. Mereka tidak pusing dengan APBN, yang dibutuhkan upaya langsung perbaikan nasibnya. Mungkin ini salah satu kunci agar mendapat dukungan besar pada pilpres.

Nah, kini kita lihat bagaimana kira-kira peluang Ibu Megawati pilihan tukang rokok tadi yang “wong cilik”. Megawati Soekarnoputri yang dilahirkan di Yogyakarta pada 23 Januari 1947 pernah menjadi Presiden RI ke-5, bersuamikan Taufik Kiemas asal Palembang. Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarno putri memulai pendidikan dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, pernah belajar didua Universitas yaitu Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi UI (1970-1971).

Pada pemilu 1999 PDIP berhasil meraih lebih 30% suara, yang seharusnya menempatkan Mega pada posisi paling patut sebagai presiden dibanding kader partai lainnya, tapi ternyata pada SU-MPR Mega kalah dan KH Abdurrahman Wahid yang menjadi presiden. Mega kemudian terpilih menjadi wakil presiden. Kurang dari dua tahun, pada 23 Juli 2001 Mega dipilih oleh anggota MPR secara aklamasi menggantikan Gus Dur sebagai Presiden.

Pada pilpres 2004 Megawati sebagai incumbent yang berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi dikalahkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan M.Jusuf Kalla pada putaran kedua pilpres. Akhirnya SBY menjadi presiden Indonesia yang ke enam.

PDIP yang dinahkodai Mega pada pemilu legislatif 1999 mendapat 34 juta suara, pada pemilu 2004 menjadi 21 juta suara, diperkirakan sebanyak 13 juta suara pindah dari pelukan PDIP, ilmuwan muda berbakat Anis Baswedan memperkirakan inilah pendukung setia PDIP.

Dari beberapa hasil survei yang dilansir dimedia massa, terlihat persaingan popularitas terjadi susul menyusul antara dua tokoh senior SBY-Mega. Kita bandingkan hasil survei antara Mega-SBY dari Survei Indo Barometer, pada Mei 2007 popularitas Megawati 22,7% (SBY 35,3%), Desember 2007 Mega 27,4% (SBY 38,1%), Juni 2008 Mega 30,4% (SBY 20,7%). Menurut Direktur eksekutif Indo Barometer “ini popularitas SBY paling rendah”. Turunnya popularitas secara drastis kelihatannya sebagai dampak kebijakan kenaikan BBM pada 5 Juni 2008. Hasil survei menyebutkan bahwa ketidak puasan responden paling tinggi pada bidang ekonomi (79,1%), kepuasan paling tinggi masalah keamanan (49,2).

CSIS pada tanggal 15 Juli 2008 mengumumkan hasil surveinya, Megawati (23,2%), SBY (14,7%), Sri Sultan HB-X (8,8%) dan Hidayat Nur Wahid (7,9%).

Popularitas Mega kembali diungguli SBY pada bulan Oktober-November 2008, Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan hasil, 32% responden akan memilih SBY apabila pilpres dilakukan hari ini, Mega(24%), Wiranto(6%). Prabowo(5%).

Survei IRDI (Indonesian Research and Development Institute) pada bulan Oktober menyebutkan elektabililitas SBY (33%), Mega (17,9%), Wiranto (5%), Prabowo (4,7%), Hidayat Nur Wahid (2,8%), Sri Sultan (1,6%). Responden tidak puas dengan penyaluran sembako, pengangguran dan kemiskinan. Data IRDI menunjukkan “head to head” SBY melawan Megawati, SBY mendapat 61,2%, Megawati mendapat 35,4%.

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang melakukan survei dari tanggal 26 Oktober-5 November 2008) menyebutkan swing voter (pemilih mengambang) diprediksikan 33% terdiri dari 22% swing voter negatif dan 11% swing voter positif. Swing voter ditemukan pada Golkar (-5%), PKB(-5%), PPP(-4%), PAN(-3%), PDIP(-3%), dan PKS (-2%). Posisi Partai Demokrat unggul dipilih responden (16,8%). Golkar (15,9%), PDIP (14,2%).

Dari beberapa hasil survei terlihat bahwa Mega hanya mampu mengungguli SBY dari bulan Juni hingga bulan Agustus 2008. Popularitas SBY “anjlok” disebabkan karena kenaikan BBM. Responden secara jelas menyebutkan rasa tidak puas terhadap SBY dalam masalah ekonomi (79,1%). Dengan kepiawaian penanganan masalah, pada bulan Oktober kembali popularitas SBY mengungguli Mega. Apabila dihadapkan secara “head to head” pada Oktober 2008 SBY menang dari Mega disekitar angka 25,8%. Bila mengacu hasil survei terakhir LSI, maka Partai pendukung SBY mengungguli partai pendukung Mega (16,8% dibanding 14,2%). Pada posisi ini baik Mega maupun PDIP dapat dikatakan pada posisi tertekan.

Menurut pengamat politik Alfan Alfian kondisi ini sebenarnya diuntungkan dengan posisi Partai Demokrat yang menjadi partai penguasa serta kesiapan infrastruktur partai yang semakin kukuh. Belum lagi ketokohan SBY yang menjadi pesona bagi Partai Demokrat, katanya.

Apakah dengan demikian harapan Megawati sebagai pesaing tipis?. Belum tentu juga, hingga saat survei dilansir (November 2008) Megawati adalah pilihan terbaik kedua para responden untuk menjadi Presiden. Apabila dalam beberapa bulan terakhir menjelang pemilu dan pilpres 2009 pemerintahan SBY tergelincir, maka responden akan mudah berganti haluan ke Mega. Contoh tergelincirnya pemerintahan SBY pada kasus BBM 5 Juni 2008 sangatlah jelas menggambarkan merosotnya popularitas. Memang dibawah Mega terdapat calon terbaik seperti Wiranto, Prabowo, Sri Sultan HB-X tetapi kepopulerannya belum signifikan.

Dari survei CSIS, Peneliti Nico Harjanto mengatakan masyarakat Indonesia cenderung lebih memilih presiden berdasarkan personalitasnya bukan partai pengusungnya. Pilihan politik masyarakat Indonesia tidak lagi mudah dimanipulasi dengan intimidasi dan pemberian uang semata. Masyarakat Indonesia makin mampu menilai secara konsisten. Oleh karena itu menjadi tugas berat bagi Megawati untuk kembali menaikkan popularitasnya.

Memang hasil survei dikatakan valid hingga hasilnya diumumkan, tetapi paling tidak baik kubu SBY maupun Mega telah mempunyai gambaran posisi keduanya menjelang pemilu legislatif maupun pilpres 2009. Kepuasan terhadap permasalahan ekonomi dan masalah yang menyentuh rakyat banyak kelihatannya menjadi kunci, kemerosotan minat responden kepada SBY pada bulan Juni 2008 juga dikarenakan hal ini. Kenaikan popularitas SBY menurut LSI juga disebabkan kebijakan Bantuan Tunai Langsung dan Bantuan Operasional Sekolah.

Kini tinggal bagaimana peran para analis dan team sukses masing-masing kubu, jangan terfokus pada kemenangan suatu medan pertempuran saja, tapi sasaran strategisnya adalah bagaimana memenangkan peperangan. Jelas kondisi ini dinilai agak berat bagi kubu Megawati karena SBY sebagai lawan utamanya adalah incumbent yang semakin “piawai”. Selama dunia masih berputar, peluang pasti masih besar, karena yang direbut adalah hati orang yang kadang sulit “ditebak”, bukankah begitu ?. PRAY.

Memetakan Kekuatan Partai Politik 2009


BAMBANG SETIAWAN

Pemilu 2009 tak hanya akan ditentukan oleh penguasaan wilayah partai politik, tetapi juga oleh aspek-aspek kualitatif parpol. Kepercayaan dan harapan terhadap parpol yang terbangun oleh menguatnya soliditas, ideologisasi, dan kepemimpinan parpol akan turut menentukan.

Jumlah partai politik tidak menyebabkan berkurangnya penetrasi partai besar, tetapi lebih berpengaruh pada partai kecil.

Semakin banyak partai, penguasaan wilayah oleh partai kecil semakin sulit. Hal ini terbukti dari konsentrasi yang cenderung mengelompok pada sedikit partai dalam Pemilu 1999. Dari 313 wilayah kabupaten/kota, hanya enam partai dari total 48 partai yang mampu memenangi wilayah. Sebaliknya, dalam Pemilu 2004 jumlah partai berkurang menjadi 24, tetapi terdapat 16 partai yang mampu merebut wilayah.

Jika ditotal, jumlah penguasaan wilayah kabupaten/kota oleh dua partai besar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Partai Golkar, pada Pemilu 1999 mencapai 89,4 persen atau 280 wilayah, dan pada Pemilu 2004 mencapai 81,8 persen atau 360 kabupaten/kota. Pergeseran kekuatan paling signifikan juga hanya terjadi pada Partai Golkar dan PDI-P.

Kalau pada Pemilu 1999 PDI-P mampu menguasai 53 persen atau 166 dari 313 kabupaten/kota, pada Pemilu 2004 hanya mampu meraih 20,2 persen dari 440 kabupaten/kota. Sebaliknya, Partai Golkar, yang tadinya terpuruk dan hanya menguasai 36,4 persen, dalam pemilu terakhir mampu menaikkan penguasaan wilayahnya menjadi 61,6 persen atau 271 kabupaten/kota. Meskipun secara nasional perolehan suara Partai Golkar turun dari 22,4 persen pada tahun 1999 menjadi 21,6 persen pada tahun 2004, sebaran wilayah yang mampu dimenangi partai berlogo beringin ini semakin banyak.

Penguasaan wilayah oleh Partai Golkar pada Pemilu 2004 banyak terjadi di wilayah hasil pemekaran. Dari 143 daerah yang dimekarkan tahun 1999-2004, 72 persen atau 103 wilayah pemekaran dimenangi Partai Golkar pada Pemilu 2004. PDI-P hanya memenangi 12,6 persen wilayah pemekaran, sisanya diperebutkan oleh partai-partai kecil lainnya.

Meski hingga Pemilu 2004 penguasaan wilayah masih didominasi Partai Golkar dan PDI-P, penguasaan wilayah belum tentu menjadi variabel yang menjamin perolehan suara besar. Banyak soal harus diperhatikan, seperti tumbuhnya wilayah hotspot atau sentral penyebaran akibat kemenangan sebuah partai dalam pilkada. Selain itu, juga oleh tingkat pengenalan publik terhadap partai, kepercayaan dan penilaian pemilih terhadap partai, serta dinamika partai.

Wilayah hotspot bisa menjadi titik sentral yang berpotensi menambah kepercayaan partai dan pemilih untuk mengubah peta kekuatan wilayah. Bahkan, pengaruhnya mungkin akan menyebar di wilayah sekitarnya. Kemenangan sebuah partai dalam pilkada di wilayah yang menjadi basis partai lain maupun basis massanya menjadi variabel yang layak diperhitungkan.

Kemenangan calon dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di wilayah Jawa Barat yang dikuasai oleh Partai Golkar dalam pemilu sebelumnya bisa punya imbas ke wilayah-wilayah di dalam maupun sekitar Jawa Barat, seperti Banten dan Jawa Tengah bagian barat. Jakarta telah menjadi wilayah hotspot bagi PKS pada pemilu sebelumnya dengan kemenangannya di wilayah ibu kota negara ini.

Sementara kemenangan PDI-P dalam Pilkada Jawa Tengah bisa berimbas ke wilayah Jawa Timur yang saat ini relatif mencair. Keretakan di tubuh Partai Kebangkitan Bangsa, yang menguasai sebagian besar wilayah Jawa Timur dalam pemilu sebelumnya, bisa menjadi peluang bagi PDI-P untuk menguat di wilayah ini.

Jika Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur dikuasai PDI-P serta Jawa Barat dan Banten oleh PKS, lumbung suara untuk Partai Golkar akan terkonsentrasi di wilayah-wilayah luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.

Pengenalan partai

Dalam jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas, awal Agustus lalu, terlihat bahwa pengenalan publik terhadap partai-partai baru masih berada di bawah rata-rata. Hanya Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang tercatat berada di atas 50 persen. Partai Hanura pernah didengar oleh 67,9 persen responden dan Partai Gerindra oleh 60,3 persen. Kedua partai ini juga lebih terkenal dibandingkan dengan sejumlah partai lama, seperti PKPB, PKPI, Partai Pelopor, PDK, PPD, maupun PPDI.

Penetrasi iklan di media, bisa jadi, turut mendongkrak popularitas Partai Hanura dan Gerindra. Meski demikian, pengenalan nama partai ternyata tidak identik dengan pengenalan terhadap nama ketua umumnya. Responden yang mampu menyebutkan secara spontan ketika diajukan pertanyaan apakah mengetahui nama Ketua Umum Partai Hanura hanya 36,7 persen dan Partai Gerindra hanya 2,2 persen.

Belum lekatnya nama partai dengan nama ketua umumnya juga dialami partai lama, termasuk Partai Demokrat yang nama ketua umumnya hanya dikenal 4,9 persen responden. Bahkan, nama Ketua Umum Partai Golkar hanya diketahui 49,2 persen responden. Pengenalan publik paling tinggi adalah pada nama Ketua Umum PDI-P, yang diketahui 79,5 persen responden.

Nama ketua umum

Namun, pengenalan nama ketua umum tidak menjamin penetrasi yang kuat untuk menggaet pemilih. Masih ada soal lain yang selayaknya diperhatikan, yakni kepercayaan, soliditas, wacana penguatan ideologi, dan kepemimpinan.

Hingga saat ini hanya 54,7 persen responden yang merasa aspirasi politiknya sesuai dengan salah satu partai yang resmi mengikuti Pemilu 2009. Sisanya, 13,2 persen menyatakan tidak ada partai yang sesuai dan 32,1 persen belum tahu mana partai yang sesuai dengan aspirasi politiknya. Di antara 34 partai politik, PDI-P, PKS, dan Partai Demokrat dianggap sebagai partai yang paling sesuai dengan aspirasi mereka.

Selain dari aspek aspirasi, PDI-P juga menempati peringkat paling tinggi dilihat dari sisi penguatan wacana ideologi kepartaian dan kepemimpinan saat ini. Partai yang dipimpin Megawati Soekarnoputri ini, dalam beberapa aspek, berebut pengaruh dengan PKS. Sisi-sisi yang menjadi kekurangan PDI-P diisi oleh PKS, demikian juga sebaliknya. PKS menempati peringkat tertinggi dilihat dari aspek dipercayai membawa perubahan dan memiliki solidaritas keanggotaan paling kuat. Partai Golkar, meskipun penguasaan wilayahnya paling besar saat ini, memiliki peringkat lebih rendah dalam aspek-aspek penting di atas dibandingkan dengan PDI-P dan PKS.

Dinamika partai

Dengan memperhitungkan penguasaan wilayah dan aspek-aspek kualitatif seperti ini, Pemilu 2009 akan sangat ditentukan oleh dinamika partai. Dinamika yang diperlihatkan sebuah partai akan menutupi sejumlah kelemahan lainnya. (Litbang Kompas)


BAMBANG SETIAWAN

Pergeseran Geopolitik Menjelang 2009


SUWARDIMAN

Geopolitik pada Pemilu 2009, bisa jadi, sangat berbeda dengan pemilu sebelumnya. Pergeseran penguasaan wilayah kemungkinan akan banyak diwarnai oleh tumbuhnya kepercayaan diri partai pascapemilihan kepala daerah. Karena itu, laju pergeseran dominasi Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mungkin tidak semulus dulu.

Setelah kekuasaan rezim Orde Baru runtuh, dominasi kekuatan politik tetap dipegang oleh dua kekuatan partai lama, Partai Golkar dan PDI-P. Partai Golkar berjaya di luar Jawa dan PDI-P di Pulau Jawa. Selama dua pemilu terakhir, peta kekuatan terus berubah.

Pertarungan politik pada Pemilu 1999 yang melibatkan 48 parpol dimenangi oleh PDI-P yang merebut 33,74 persen suara, mengalahkan Partai Golkar yang hanya berhasil merebut 22,4 persen suara. PDI-P berhasil menang di 166 kabupaten/kota, sementara Golkar hanya mampu menguasai 114 wilayah.

Satu periode sesudahnya, Partai Golkar kembali mendominasi peta politik secara nasional. Sebanyak 271 kabupaten/kota dikuasai partai berlambang beringin itu dengan total suara 21,57 persen, sedangkan PDI-P hanya mampu menguasai 89 kabupaten/kota dengan perolehan 18,53 persen suara. Partai ini juga hanya mampu mempertahankan 72 kantong massanya, dan kehilangan 22 lainnya. Meski PDI-P mampu membentuk kantong massa baru di 18 kabupaten/kota, parpol itu gagal mempertahankan Megawati Soekarnoputri untuk tetap duduk di kursi nomor satu negeri ini.

Jawa-Bali

Penyusutan kekuatan PDI-P pada Pemilu 2004 membuat partai politik ini cuma mampu menguasai 55 kabupaten/kota di Jawa dan Bali. Padahal, kantong massa yang paling kuat bagi PDI-P pada Pemilu 1999 adalah wilayah Jawa dan Bali, dengan penguasaan 142 kabupaten/kota.

Ini berarti, penguasaan wilayah Jawa dan Bali oleh PDI-P turun drastis dari 86,6 persen menjadi 44,4 persen. Sebaliknya, Partai Golkar, yang pada tahun 1999 hanya mampu memenangi empat kabupaten di Pulau Jawa dan Bali, berhasil mengusai 31 daerah pada Pemilu 2004.

Menurunnya penguasaan wilayah oleh PDI-P di kawasan Jawa dan Bali menguntungkan bagi sejumlah partai berbasis massa Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PKB meningkatkan dominasinya di 24 kabupaten/kota dari sebelumnya 14 daerah pada tahun 1999. Demikian juga PPP, menambah satu daerah pemenangan.

Kantong-kantong massa PDI-P di luar Jawa dan Bali juga banyak yang berguguran dan dikuasai partai-partai lain. Kemenangan PDI-P di 69 kabupaten/ kota luar Jawa-Bali pada tahun 1999 pun terkikis separuhnya, hanya menyisakan 34 daerah yang mereka kuasa pada Pemilu 2004.

Partai Golkar membuktikan kemenangannya di 240 kabupaten/kota atau sekitar 76,2 persen daerah di luar Jawa dan Bali pada Pemilu 2004. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebagai partai politik baru, sukses memenangi perolehan suara di 12 daerah, separuhnya adalah daerah di Pulau Jawa.

Pilkada dan koalisi

Hingga pertengahan tahun 2008, pemilihan kepala daerah langsung sedikitnya sudah diselenggarakan di 356 kabupaten/kota dan 24 provinsi. Namun, banyak partai yang memiliki basis massa kuat pada Pemilu 2004 terbukti tidak mampu mengandalkan modal suara yang dimilikinya untuk memenangkan pasangan calonnya di pilkada.

Partai Golkar, misalnya, gagal mengantar pasangan calonnya menjadi gubernur Sulawesi Utara. Partai yang memiliki modal suara 32,32 persen saat Pemilu 2004 di Sulut itu harus mengakui kemenangan PDI-P di wilayah itu. Golkar juga gagal menggiring calon gubernurnya di basis massanya di Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara.

Kekuatan satu partai akan tergambar jelas jika partai yang bersangkutan menjadi pengusung tunggal dan bukan koalisi. Namun, tidak banyak parpol yang cukup percaya diri mengusung pasangan calonnya secara tunggal. Bahkan, untuk daerah-daerah yang tercatat sebagai basis massanya pada pemilu legislatif 2004, banyak parpol yang berkoalisi dengan partai lain yang lebih kecil untuk bisa berhasil memenangi pilkada.

Analisis terhadap 352 kabupaten kota dan 24 provinsi yang sudah menyelenggarakan pilkada langsung selama tiga tahun terakhir menunjukkan, seratus bupati/wali kota dan delapan gubernur terpilih sukses diusung oleh partai tunggal. Selebihnya hasil koalisi partai yang mujarab mengusung pasangan calon meraih kursi nomor satu di daerah.

Partai Golkar tercatat sebagai motor politik yang paling banyak berhasil mengegolkan pasangannya menjadi bupati dan wali kota. Sebanyak 151 pasangan calon bupati/wali kota berhasil dimenangkan, sebanyak 54 di antaranya diusung secara tunggal. Disusul oleh PDI-P yang berhasil mengegolkan 96 pasangan calon menjadi kepala daerah di tingkat kabupaten/kota, sebanyak 26 di antaranya diusung secara tunggal.

PDI-P sukses menjadi pengusung tunggal untuk enam gubernur terpilih dari 12 provinsi yang mereka menangi. Partai Golkar sendiri hanya mampu mengusung empat gubernur terpilih, dua di antaranya sebagai pengusung tunggal

Perubahan peta politik dari hasil pemilu ke pilkada tergambar paling jelas di wilayah basis massa partai-partai nasionalis, terutama peralihan dominasi suara dari Golkar ke PDI-P dan sebaliknya.

Di tingkat kabupaten/kota, Golkar mampu mempertahankan 40 daerah basis massanya dengan memenangi pilkada sebagai pengusung tunggal. Namun, Golkar kalah di sepuluh kantong massanya saat menjadi pengusung tunggal di pilkada.

Sebanyak empat di antaranya dimenangi oleh PDI-P sebagai pengusung tunggal. Daerah Golkar yang dimenangi PDI-P tanpa koalisi adalah Kabupaten Timor Tengah Utara, Teluk Bintuni, Musi Rawas, dan Maluku Utara Barat. Di level provinsi, calon dari PDI-P juga merebut empat daerah Golkar tanpa koalisi, yaitu Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Namun, PDI-P juga kalah di delapan kabupaten/kota saat menjadi pengusung tunggal.

Delapan daerah yang saat Pemilu 2004 menjadi basis massa PDI-P dimenangi oleh Golkar tanpa koalisi saat pilkada, yaitu Kabupaten Karangasem (Bali), Sumba Barat, Blora, Boyolali, Purworejo, Klaten, Grobogan, dan Lampung Timur. Di level provinsi, tidak ada gubernur yang dimenangkan oleh Golkar di luar basis massanya.

Sementara itu, dari sejumlah calon yang diusung secara tunggal oleh Partai Keadilan Sejahtera, empat kabupaten/kota dimenangi partai ini. Dua daerah merupakan basis massa PKS saat Pemilu 2004, sementara dua lainnya merebut kantong massa Golkar dan PDI-P, yaitu Kabupaten Bekasi dan Bangka Barat.

Partai Amanat Nasional memenangi lebih banyak pilkada di luar wilayah basis massanya. Dari lima daerah yang calonnya diusung tunggal oleh PAN, tiga daerah merupakan basis Golkar, yaitu Kabupaten Aceh Tamiang, Pesisir Selatan, Gunung Kidul, dan satu daerah basis PKB, yaitu Lamongan.

Pilkada seharusnya menjadi ujian bagi partai-partai besar menuju pesta akbar demokrasi tahun depan. Dari sini seharusnya bisa diukur apakah basis massa yang dimiliki parpol riil atau semu. (Litbang Kompas)

Kekuatan Parpol pada Pemilu 2009


Ikrar Nusa Bhakti

Herbert Feith bisa disebut sebagai ”Bapak Studi Politik Indonesia Modern”.

Buku klasiknya, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menelurkan banyak konsep, dari tipe kepemimpinan administrator dan solidarity maker, ”politik aliran,” pembagian ideologi parpol pada 1950-an, sampai ”demokrasi konstitusional” (berbasis konstitusi dan konstitusionalisme). Feith juga mewariskan model kajian pemilu, Pemilihan Umum 1955 di Indonesia.

Memperingati 10 tahun reformasi, Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), The Habibie Center, dan The Herb Feith Foundation mengadakan seminar, 21-22 Mei 2008, bertema ”The Rise of Constitutional Democracy in Indonesia,” kebalikan judul buku almarhum. Ini pertanda, roh demokrasi konstitusional yang terkubur sejak tahun 1959 bangkit kembali sejak 1998.

Tipologi parpol

Feith membagi tipologi parpol di Indonesia atas dasar ideologi politik. Paling kiri dianut Partai Komunis Indonesia), agak ke tengah (komunis nasionalis) Partai Murba, ke kanan (sosial demokrat) Partai Sosialis Indonesia (PSI), di tengah ada nasionalisme kerakyatan Partai Nasional Indonesia (PNI), agak ke kanan ada partai-partai Islam modern (Masyumi dan Persis), tradisional (NU), dan yang bertipe solidarity maker bercampur traders (PSII).

Ada juga partai-partai nasionalis kecil, seperti PIR (Partai Persatuan Indonesia Raya), Parindra (Partai Indonesia Raya), PNI-Merdeka, SKI (Sarekat Kerakyatan Indonesia), Partai Buruh dan lainnya. Dua partai beraliran Kristen, Parkindo dan Partai Katholik, tidak dikategorikan partai agama, karena Kristianitas dan nasionalisme berbaur hanya untuk menunjukkan eksistensi kaum minoritas.

Dari peta dukungan politik, juga tampil gambaran yang jelas. PNI didukung priayi Jawa dan Bali. Masyumi didukung individu dan organisasi Islam (Muhammadiyah, NU, Persis), entrepreneurs, politisi berpendidikan tradisional Islam dan Barat, berbasis di pedesaan dan perkotaan Jawa, Sumbar, sebagian Kalimantan.

Basis NU setelah keluar dari Masyumi adalah Islam tradisional sinkretis, khususnya di Jawa, Kalimantan, Sulsel. Partai Murba didukung para mantan gerilya, buruh kerah putih tingkat rendah yang tidak terakomodasi politik mereka di PNI, PKI, atau PSI. PKI basisnya petani dan buruh di Sumatera dan Jawa. PSI adalah kumpulan sosial demokrat berpendidikan Barat karena itu faham sosialisme bercampur liberalisme dan kapitalisme Barat. PSII berbasis pedagang di Jawa dan Sumatera yang ingin eksis menandingi pedagang China.

Peta kekuatan politik 2009

Meski zaman telah berganti, dengan modifikasi dan minus komunisme, tipologi parpol Herb Feith tampaknya masih sahih. Indonesia belum beranjak dari sistem multipartai yang mencontoh Belanda atau Eropa Kontinental 1940-an. Rencana sistem partai tunggal era Soekarno, atau tiga partai di era Soeharto—PDI-Golkar-PPP—semua gagal.

Menjelang Pemilu 2009, tipologi partai mirip 1950-an. Misalnya, Sosialis kiri (Partai Buruh); sosial demokrat dianut Partai Persatuan Indonesia Baru (PPIB); nasionalis kerakyatan (PDI-P, PDP, PNI Massa Marhaen, PNBKI); nasionalis borjuis (Golkar, Hanura, Gerindra, Partai Demokrat, Partai Barnas); Islam modernis (PAN, PMB, PKS, PBB dan separuh PPP); Islam dan Sosialis (PBR); Islam tradisionalis (PKB, PNU; separuh PPP plus partai beraliran NU); partai-partai kecil beraliran campuran, sosialisme dan nasionalisme.

Dari sisi kepemimpinan, ada yang menerapkan gaya demokratik egalitarian, aristokrasi Jawa (ada Dewan Pembina); saudagar besar atau eceran (partai ibarat perusahaan); fasis militeristik (gaya komando); tradisional/modern agamis, atau asas kekeluargaan. Namun, hampir semua tokoh parpol bertipe kepemimpinan solidarity maker, ketimbang administrator.

Dari sisi platform ekonomi, ada yang berbasis ekonomi pasar, ekonomi kerakyatan, atau ekonomi syariah. Hampir semua partai nasionalis—PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Gerinda, Partai Hanura, Partai Barnas—mengampanyekan ekonomi kerakyatan. Namun, partai mana yang menerapkan ekonomi kerakyatan dan kapitalistik, neoliberal dan tunduk pada ekonomi pasar, rakyatlah yang menilai. Tak ada satu partai Islam berani mengembangkan ekonomi syariah. Keuangan dan perbankan syariah yang kini berkembang tak beda jauh dengan perbankan umum. Anehnya, justru lembaga keuangan umum (asing dan nasional) lebih sukses menerapkan ekonomi syariah.

Dari platform bangunan masyarakat sipil Indonesia, semua parpol mendukung pluralisme dan multikulturalisme. Jika pun ada yang coba menerapkan homogenisme atau eksklusivisme agama, tidak akan laku pada tataran elite atau massa. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mendukung negara kebangsaan dan multikulturalisme.

Pengelolaan partai

Dari peta basis massa, partai berbasis nasionalis kerakyatan dan borjuis akan bertarung di antara sesamanya, juga yang berbasis Islam tradisionalis/modern. Untuk merambah massa berideologi berbeda, beberapa partai Islam dan nasionalis mencoba mengubah citra diri. PDI-P membentuk Baitul Muslimin untuk merebut simpati generasi muda Islam. PAN kian bergeser ke arah nasionalis. PBR mengawinkan Islam dan sosialisme. Hanya PBB yang secara ”jantan” mengampanyekan Syariat Islam. Semua pergeseran itu akan membawa konsekuensi politik para pendukung tradisionalnya.

Pemilu legislatif pada 9 April 2009 menjadi medan pertarungan demokratik yang menentukan, partai mana akan secara permanen terhapus dari peta politik Indonesia dan mana yang berjaya. Hanya partai-partai yang dikelola secara serius akan kian berjaya pada Pemilu 2009

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI

Pergeseran Kekuatan Partai Nasionalis dan Islam, 1955-2004


Oleh BAMBANG SETIAWAN

Penetrasi kekuatan Orde Baru telah mampu mengubah peta politik di luar Jawa. Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang, warna politik nasionalis pun masih tetap kental di luar Jawa. Sementara di Jawa, komposisi nasionalis-agama cenderung kembali seperti Pemilu 1955.

Pemilihan umum pertama yang diselenggarakan pada 29 September 1955 dan diikuti oleh sekitar 172 peserta pemilu telah memetakan untuk pertama kalinya kekuatan-kekuatan partai politik dominan di berbagai wilayah di Indonesia. Hasil pemilu yang dilaksanakan di 15 daerah pemilihan (dapil) menunjukkan cukup berimbangnya kekuatan partai-partai berbasis massa nasionalis dan komunis dengan partai-partai berakar massa Islam. Sekitar 43,71 persen pemilih memberikan suaranya untuk Masyumi, NU, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan beberapa partai kecil lainnya. Sebaliknya, sekitar 46,86 persen pemilih lainnya memberikan suaranya untuk partai-partai yang berhaluan nasionalis seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), berhaluan komunis seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), atau berhaluan sosialis semacam Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan juga kepada partai-partai dengan akar pluralis lainnya.

Delapan kali pemilu berikutnya telah mengubah cukup banyak perimbangan kekuatan geopolitik. Faktor penting pertama adalah hilangnya pengaruh Masyumi dalam pemilu yang kedua (1971).

Penciutan partai

Tahun 1959 adalah saat genting dalam kepartaian Indonesia. Setelah kebebasan yang dipertontonkan empat tahun sebelumnya, Presiden Soekarno mengeluarkan Pnps No 7 Tahun 1959 yang membatasi gerak partai. Tekanan terhadap partai semakin berat setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No 128 Tahun 1960 yang menyatakan, partai yang diakui pemerintah hanyalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia (Partindo), PSII, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), IPKI, Perti, dan Murba. Sementara Masyumi dan PSI bernasib sama dengan puluhan partai lainnya, tidak diakui dan dibubarkan.

Dalam Pemilu 1955, Masyumi menjadi partai Islam terkuat dengan menguasai 20,92 persen suara dan menang di 10 dari 15 daerah pemilihan, termasuk Jakarta Raya (26,12 persen), Sumatera Selatan (43,13 persen), Sumatera Tengah (50,77 persen), Sumatera Utara (37 persen), Kalimantan Barat (33,25 persen), Sulawesi Tenggara Selatan (39,98 persen), dan Maluku (35,35 persen).

Pembubaran Masyumi pada tahun 1960 betul-betul merupakan pukulan telak bagi kekuatan politik Islam. Sebagian wilayah yang ditinggalkan oleh Masyumi memang tetap memiliki karakter sebagai basis massa Islam yang kuat ketika pemilu kembali dilaksanakan secara bebas, seperti Jakarta, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, kebanyakan dari wilayah lain di Pulau Sumatera, seperti Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Utara, telah berubah warna. Wilayah ini cenderung menjadi basis partai nasionalis. Wilayah Kalimantan, termasuk Kalimantan Selatan yang dulu menjadi basis Partai NU dan Masyumi, juga telah berubah menjadi basis massa partai nasionalis. Kekuatan nasionalis pun merambah ke wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB). Wilayah ”hijau” yang 67 persen suaranya dikuasai oleh partai-partai Islam pada Pemilu 1955 ini menjadi relatif permanen dengan warna ”kuning” Golkar sejak Pemilu 1971-2004. Di Sulewesi Selatan, wilayah yang 69 persen dikuasai oleh partai ”hijau” pada tahun 1955, telah berubah 180 derajat. Pada Pemilu 2004, 69,8 persen suara dikuasai oleh partai nasionalis.

Pemilu 1971 yang diikuti oleh 10 peserta (Golkar, NU, Parmusi, PNI, PSII, Parkindo, Partai Katolik, Perti, IPKI, dan Murba) pada dasarnya tidak mencerminkan kekuatan partai sesungguhnya karena berada di bawah tekanan aliansi militer, birokrasi sipil, dan golongan fungsional lainnya yang tergabung dalam Golkar.

Kekuatan partai berbasis massa Islam pun langsung anjlok hampir setengahnya, menjadi 27,12 persen. Juga dalam pemilu-pemilu Orde Baru berikutnya, kekuatan partai berbasis massa Islam nyaris lumpuh.

Kebebasan kedua

Runtuhnya kekuasaan otoriter Soeharto menjadi peluang bagi partai-partai Islam di pentas politik nasional. Dalam Pemilu 1999, terbukti partai-partai berbasis massa Islam mampu meraih kembali simpati pemilih. Meski tidak seperti tahun 1955, kayuh politik partai-partai nasionalis mulai berat melaju. Dalam pemilu pertama setelah kejatuhan rezim Orde Baru itu, dominasi partai-partai nasionalis masih dominan, tetapi menurun menjadi sekitar 61,04 persen dari sebelumnya yang 77,57 persen.

Partai berbasis massa Islam pada pemilu itu mendapatkan suara 37,54 persen (terbesar adalah suara yang dihimpun oleh PPP, PKB, PAN, PBB, dan PK). Perolehan suara untuk partai-partai berakar Islam tampaknya mulai stabil setelah Pemilu 2004. Tidak banyak komposisi yang berubah. Di pemilu tersebut, tujuh partai berakar Islam (PKB, PPP, PAN, PKS, PBB, PBR, PPNUI) menghimpun 38,33 persen suara. Namun, dari aspek penguasaan wilayah masih tertinggal jauh dari partai-partai umum berhaluan nasionalis. Dari 32 provinsi yang ada pada Pemilu 2004, hanya dua daerah yang dimenangi oleh partai berbasis massa Islam, yaitu PKS (Jakarta) dan PKB (Jawa Timur), selebihnya didominasi oleh Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pada Pemilu 1955, dominasi partai nasionalis hanya di dua dari 15 daerah pemilihan.

Kembalinya sistem multipartai dalam sistem politik demokrasi Indonesia akan membawa pengaruh pada terpetakannya secara bebas kekuatan-kekuatan politik dominan.(Litbang Kompas)


BAMBANG SETIAWAN

Iklan Politik dan Nasib Suatu Bangsa



Selasa, 25 November 2008 | 00:30 WIB

Qui se laudari gaudent verbis subdolis, sera dat poenas turpes paenitentia (Barangsiapa gembira dengan kata-kata penuh tipuan, maka penjelasan yang terlambat akan memberikan hukuman yang memalukan) (Phaedrus 15 BC - AD 50)

Political marketing, sebagai rangkaian kegiatan memasarkan cita-cita politik untuk mendapatkan dukungan publik, tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan demokratis.

Puluhan parpol yang muncul sejak reformasi sangat memerlukan instrumen, metode, serta strategi untuk mewujudkan ideologi partai. Salah satu rangkaian penting dari political marketing adalah iklan politik. Sebagaimana layaknya pariwara, advertensi mempunyai kecenderungan manipulatif. Ia mengemas produknya dengan menyelimuti kekurangan agar konsumen tertarik meskipun produk yang ditawarkan mungkin hanya mempunyai kualitas yang standar.

Oleh sebab itu, sering kali iklan dapat mengecoh, bahkan kadang-kadang menyesatkan konsumennya.

Iklan politik mirip dengan reklame produk komersial. Tujuannya adalah membuat citra tokoh yang ditawarkan sebagai pilihan yang paling tepat. Tidak jarang masyarakat diberi iming-iming bahwa tokohnya mampu ”menyulap” kesengsaraan menjadi kemakmuran dalam sekejap.

Namun, perlu dicamkan bahwa promosi produk komersial mempunyai perbedaan yang sangat esensial dengan produk politik. Iklan komoditas komersial hanya memperkenalkan barang dagangan yang dikonsumsi secara pribadi dan tidak akan memengaruhi kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

Sementara komoditas politik adalah tokoh atau lembaga politik (parpol) yang akan menerima mandat kekuasaan dari rakyat. Oleh karenanya, karena berhubungan langsung dengan siapa yang akan dipercaya menjadi pemegang kekuasaan, iklan politik berpengaruh besar terhadap nasib dan masa depan bangsa.

Sayangnya, belum ada lembaga konsumen yang melindungi kepentingan publik dari akibat buruk iklan politik sehingga kontrol sosial diperlukan.

Pariwara politik terbukti dapat menjadi sarana ampuh membentuk dan menggiring persepsi masyarakat. Iklan politik dapat mengubah seorang politisi medioker menjadi pemimpin karismatik.

Yang terjadi adalah ironi politik. Mereka yang bekerja keras, mempunyai kompetensi dan kapabilitas, terpaksa kalah dari mereka yang populer. Dampak berikutnya, rakyat yang sudah lama mendambakan pemimpin yang dapat membebaskan mereka dari segala penderitaan akan sangat mudah menerima iklan politik.

Tunduk pada pemodal

Persoalan sangat serius akibat meningkatnya iklan politik adalah pemilih menjadi sekadar konsumen yang harus tunduk pada kepentingan pemilik modal. Selain itu, advertensi politik telah mereduksi negara menjadi korporasi (badan hukum usaha) yang hanya mengurus dan mengalkulasi untung dan rugi.

Hanya warga negara yang mempunyai modal besar dapat menentukan arah dan perkembangan bangsa. Padahal, ranah politik seharusnya menjadi domain pertarungan ide dan keberpihakan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur tanpa membedakan status dan struktur sosial.

Pilihan yang hanya berdasarkan advertensi politik tanpa mengetahui rekam jejak, intelektualitas, dan integritas seorang politisi, akan sangat membahayakan bangsa dan negara.

Sangat benar keprihatinan Buya Syafii Maarif di harian Kompas (22/11) yang menyatakan, politik tanpa moral hanya akan melahirkan ”serigala-serigala” yang akan saling memakan. Karena itu, iklan politik harus dapat menjelaskan gagasan secara utuh kepada masyarakat.

Hal itu sangat mungkin karena masa kampanye Pemilu Legislatif 2009 akan berlangsung selama sembilan bulan, jauh lebih lama dibandingkan Pemilu 2004 yang hanya satu bulan.

Namun, iklan politik bukan tanpa sesuatu yang positif. Jika disertai dengan gagasan yang utuh, memerhatikan etika, dan menghindari hal-hal yang menimbulkan keresahan dan permusuhan, ia adalah sarana yang cukup baik untuk melakukan promosi politik.

Advertensi politik juga dinilai lebih efektif dan aman bagi masyarakat dibandingkan dengan pengerahan massa.

Meski demikian, adalah kewajiban moral media, selain menjaga netralitas, juga diharapkan mampu menyediakan informasi yang cerdas sehingga masyarakat dapat memperoleh masukan yang seimbang. Dengan demikian, iklan politik tidak sekadar promosi tokoh, tetapi juga merupakan bagian dari upaya mewujudkan peradaban bangsa.

Rabu, 19 November 2008

Swing Voter : Kecenderungan Menjelang Pemilu 2009

Hasil survei November 2008, terjadi swing voter cukup besar dalam sentimen pemilih terhadap partai politik. Akibatnya, terjadi kecenderungan perubahan peta kekuatan partai di lapisan atas. Golkar dan PDI Perjuangan mengalami penurunan secara signifikan dalam 5 bulan terakhir kalau dibandingkan dengan perolehan suara pemilu 2004. Partai yang potensial merubah peta kekuatan partai papan atas adalah Partai Demokrat.

Di lapisan tengah, guncangan juga terjadi. Tiga partai papan tengah, yakni PKB, PPP, dan PAN cenderung mengalami kemunduran, sedangkan PKS cenderung stagnan.
Kalau dilhat dalam kuraun waktu yang cukup panjang, misalnya dari pemilu 1999, swing voter dalam populasi pemilih kita memang cukup besar. Dalam pemilu 1999, PDI Perjuangan memimpin perolehan suara cukup jauh di atas partai-partai lain. Sejumlah partai baru muncul (PKB dan PAN), dan perolehan suara Golkar merosot tajam bila dibanding hasil-hasil pemilu Orde Baru.
Dalam pemilu 2004, dukungan pada PDI Perjuangan menurun tajam, 15,5%. Partai-partai lainnya menurun, tapi PKS dan Demokrat muncul sebagai kekuatan baru dengan perolehan suara cukup besar (masing-masing 7%).

Politik Uang


Berpolitik Bukan untuk Kekuasaan...?
Selasa, 18 November 2008 | 03:00 WIB

Oleh Imam Prihadiyoko

Kekuasaan sudah menjadi kajian sejak lama dari ilmu politik. Bagaimana kekuasaan itu diperoleh, mendapat legitimasi, dan didistribusikan atau dibagi dalam struktur sehingga membentuk sistem yang berlaku di masyarakat. Secara sederhana, ilmuwan politik Harold Dwight Lasswell menjelaskan, kekuasaan bagian penting dari politik. Politik diterjemahkan sebagai siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana.

Kekuasaan merupakan satu cita-cita yang ingin diraih partai politik atau mereka yang aktif di parpol. Artinya, bisa dikatakan bohong besar jika ada parpol yang tidak ingin meraih kekuasaan. Atau, ada politisi yang tak bercita-cita duduk di kursi kekuasaan dalam beragam tingkat.

Kekuasaan dalam demokrasi diperebutkan melalui ”pertandingan” yang dinamakan pemilihan umum. Layaknya sebuah pertandingan, ada pemain, wasit, aturan main, dan penonton yang secara emosional bisa terlibat dalam arus pertandingan. Pergelaran pertandingan untuk memperebutkan kekuasaan juga melibatkan kekuatan massa, kekuatan lobi, keanggunan penampilan tokohnya, dan kecepatan dalam merespons kebutuhan masyarakat.

Namun, yang terpenting dalam pertandingan kekuasaan adalah memengaruhi masyarakat untuk mendapatkan dukungan. Inilah yang dinamakan Laswell sebagai propaganda. Ia mengingatkan, dalam demokrasi dibutuhkan propaganda. Propaganda adalah sebuah pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pandangan atau tingkah laku sebagian besar masyarakat.

Bagaimana pengaruh itu ditanamkan, dan disebarkan pada masyarakat, dalam praktiknya bisa menimbulkan konflik. Itu sebabnya diperlukan peraturan agar konflik tidak meluas. Seperangkat aturan inilah yang menjadi sebuah sistem pemilu, yang dituangkan dalam Undang-Undang (UU) Pemilu dan diterjemahkan Komisi Pemilihan Umum.

Politisi

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir tidak menampik bahwa kekuasaan memang dicari oleh parpol. Baginya, kekuasaan itu tak berhenti ketika partai berhasil meraihnya. Kekuasaan itu mempunyai misi suci, amanat konstitusi yang harus diwujudkan.

Kekuasaan itu untuk apa, ini yang harus dijawab dengan baik oleh aktivis partai saat ini. Apakah sekadar ingin menempatkan kelompoknya sebagai bagian elite yang memiliki keunggulan, atau ingin membangun sebuah cita-cita kebangsaan yang besar, atau sekadar untuk nasi.

”Kekuasaan memang ingin direbut, tetapi tidak berhenti sampai perebutan usai. Justru setelah pemilu usai, setelah kekuasaan diraih, mulailah usaha untuk merealisasikan janji yang pernah terucap, baik lisan maupun dalam program kerja yang diluncurkan kepada masyarakat,” ujarnya lagi.

Inilah yang hilang dari bangsa Indonesia sehingga menempatkan politik dan kekuasaan sekadar soal siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana kekuasaan itu dipakai. Di parlemen, partai kecil menyaksikan betapa kekuasaan yang dimiliki partai besar digunakan untuk memaksa mereka menyetujui persyaratan dukungan atas calon presiden. Atau, kelompok partai yang suaranya minoritas terpaksa menerima pengesahan sebuah UU.

Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan PAN Sayuti Asyathri juga menilai, kekuasaan yang dimiliki pemerintah digunakan untuk ikut campur dalam sistem pemilu, terutama dalam Pemilihan Kepala Daerah Maluku Utara (Malut). Itu sebabnya ia menggulirkan pemakzulan terhadap Presiden.

”Presiden menetapkan pemenang Pilkada Malut dengan mendasarkan diri pada keputusan Mahkamah Agung (MA). Bahkan, berulang kali pemerintah juga menyebutkan, pelantikan Gubernur Malut itu dilakukan berdasarkan keputusan MA. Padahal, satu-satunya keputusan MA memerintahkan penghitungan ulang,” ujarnya.

Sayangnya, menurut Sayuti, penghitungan ulang yang dipakai sebagai dasar oleh pemerintah untuk melantik Gubernur Malut adalah penghitungan ulang yang dilakukan di hotel di Jakarta, jauh dari Malut, dan tanpa saksi. ”Ini preseden berbahaya bagi proses demokrasi kita,” ujarnya.

Namun, Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto mempunyai definisi menarik tentang kekuasaan. Kekuasaan memang konsep politik dan menjadi tujuan yang ingin diraih partai politik.

”Bagi saya pribadi, kekuasaan dalam politik itu untuk nyaur (membayar) utang. Saya mendapat rezeki yang mungkin lebih dari orang lain. Itu tentu karena Tuhan mempunyai maksud dan tujuan. Apalagi, anak-anak saya sudah besar dan mandiri,” ujarnya lagi.

Jadi, menurut Wiranto, kekuasaan bukan menjadi tujuan utama yang ia kejar. Kekuasaan hanya mengikuti setelah semua kewajiban ditunaikan. Kekuasaan menjadi sarana untuk mengabdi kepada negara.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih meyakini, kekuasaan yang diraih dalam rangka gerakan dakwahnya. Dakwah, menurut Sekretaris Jenderal PKS M Anis Matta, jangan lantas diartikan dalam pengertian sempit. Dakwah itu mengajak ke jalan kebaikan.

Sebagai bagian dari gerakan dakwah, PKS tidak akan menutup diri terhadap kelompok mana pun ataupun menjauhi kelompok lain. Bahkan, PKS akan selalu mengajak untuk masuk dalam barisan yang sama.

Dengan referensi perolehan suara yang meningkat dengan cukup signifikan pada pemilu lalu dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, PKS mendeklarasikan target 100 kursi di DPR. Bahkan, belum lama ini Majelis Syuro PKS dengan penuh keyakinan mengumumkan delapan kader PKS yang akan diusung sebagai kandidat presiden pada pemilu mendatang.

Inilah sebagian dari praktik dan pandangan tentang kekuasaan dari politisi kita. Bagaimana kekuasaan itu akan dijalankan dalam sistem politik kita hanya politisi itu sendirilah yang bisa menjawab dengan pasti.

Kampanye Pemilu


Kekuatan Beriklan Bukan Jaminan Menangi Pemilu
Rabu, 19 November 2008 | 00:52 WIB

Jakarta, Kompas - Iklan di media massa bukanlah satu-satunya pilihan untuk merebut suara pemilih. Strategi untuk agresif beriklan di televisi memang punya kelebihan bisa menjangkau mayoritas rakyat Indonesia. Hanya saja, kekuatan uang untuk beriklan di televisi bukan jaminan untuk bisa memenangi pemilihan umum.

Pendapat itu disampaikan Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto dan Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari secara terpisah di Jakarta, Selasa (18/11).

Menurut survei Lembaga Survei Indonesia, 26 Oktober-5 November 2008, kampanye parpol lewat televisi cukup mampu menarik massa pemilih yang kurang partisan dan mengarahkan swing voter ke parpol bersangkutan. Sosialisasi secara konvensional dinilai tidak cukup efektif.

Menurut Didik, kuatnya pengaruh media massa, khususnya televisi, terhadap perilaku pemilih merupakan fenomena jamak di negara maju maupun negara yang baru mempraktikkan pemilu bebas seperti Indonesia. Pemilu 1999 maupun 2004 memperlihatkan, parpol yang agresif berkampanye di televisi berpotensi meraih suara signifikan ketimbang parpol yang tidak berkampanye di televisi.

”Menjelang Pemilu 2009 ini, Partai Gerindra mendapatkan tempat di hati pemilih, saya kira juga karena faktor kampanye di televisi,” kata Didik.

Sementara Qodari menyebutkan, yang paling penting adalah kinerja sesungguhnya. Jika kinerja baik, komunikasi dengan masyarakat lebih mudah dilaksanakan. Masyarakat sulit percaya jika kinerja parpol memang buruk. Media massa, khususnya televisi, memang punya kelebihan karena bisa cepat dan serentak serta efek audio-visual yang lebih kuat ketimbang metode konvensional lain.

”Yang punya duit lebih diuntungkan, tetapi itu bukan segalanya,” ujar Qodari.

Didik percaya, kampanye di media massa, khususnya televisi, akan semakin menyedot dana parpol. Namun, tetap saja, yang paling banyak beriklan di televisi belum tentu akan paling unggul merebut hati pemilih. Selain frekuensi iklan, faktor pesan juga penting. Yang tidak mampu memanfaatkan komunikasi massa pasti terpinggirkan.

Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono menilai, metode kampanye lewat tatap muka langsung, sekalipun lebih melelahkan, lebih efektif. Sementara menurut Presiden Partai Demokrasi Kebangsaan Ryaas Rasyid, kampanye mesti komprehensif, tidak bisa bergantung pada satu metode saja. Kenyataannya, akses masyarakat ke media massa masih terbatas, terutama di wilayah terpencil dan pedalaman. (dik)

Jumat, 14 November 2008

Kampanye Pemilu


Iklan Bernuansa Kampanye Terselubung Bertebaran
Sabtu, 15 November 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Sejak masa kampanye Pemilu 2009 dimulai 12 Juli 2008, sejumlah kementerian negara gencar mengiklankan program-programnya beserta menterinya. Iklan semacam itu dinilai merupakan kampanye terselubung.

Namun, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) belum dapat bersikap karena belum ada kesepakatan antara Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang iklan yang mengandung muatan kampanye terselubung tersebut.

Anggota Bawaslu, Wahidah Suaib, seusai menerima laporan dugaan pelanggaran kampanye di Jakarta, Kamis (13/11), menegaskan, iklan sejumlah kementerian yang menonjolkan program dan sosok menterinya berada dalam wilayah ”abu-abu”.

Jika dilihat dari materinya, iklan itu sulit dikategorikan sebagai kampanye. Namun, kehadiran iklan itu memengaruhi pilihan publik dan membuat persaingan antarpeserta pemilu menjadi tidak adil.

Pasal 1 Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menyebutkan, unsur kampanye adalah adanya penawaran visi, misi, dan program peserta pemilu, serta ajakan memilih seseorang atau partai tertentu.

Menurut Wahidah, Bawaslu sudah mendesak KPU untuk memperjelas definisi kampanye, termasuk apakah pelanggaran kampanye harus memenuhi semua unsur yang ada atau cukup satu unsur saja.

Kejelasan definisi ini untuk mempermudah pengawasan pelanggaran kampanye dan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye peserta pemilu.

Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Kamis lalu, melaporkan dugaan iklan terselubung Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault di sejumlah televisi ke Bawaslu. Iklan yang ditampilkan pada momen hari-hari nasional itu dinilai tidak relevan dengan program kepemudaan dan olahraga.

Narsisme elite

Secara terpisah, Wakil Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu Jojo Rohi menilai, munculnya iklan departemen yang lebih menonjolkan sosok pimpinan departemen menunjukkan gejala narsisme pejabat publik.

Kemunculan figur pimpinan departemen dinilai tidak relevan dengan program dan pesan yang ingin disampaikan. Akibatnya, publik bisa menilai iklan tersebut merupakan iklan pimpinan departemen.

Namun, Bawaslu diakui sulit bertindak karena penegakan pelanggaran aturan kampanye memang hanya berpedoman kepada ketentuan undang-undang yang ada. (MZW/MAM)

Tinjauan Partai Politik

Posisi Sentral Megawati Ditentukan di 2009
Sabtu, 15 November 2008 | 00:18 WIB

Hingga saat ini peran Megawati Soekarnoputri di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sangatlah sentral. Megawati yang merupakan putri Bung Karno dan gigih melawan otoritarianisme pada masa Orde Baru menjadi simbol pemersatu sekaligus simbol perjuangan partai.

Tak heran, ketika PDI-P mengalami kekalahan pada pemilu legislatif dan presiden 2004, Megawati tetap dipilih untuk memimpin partai kembali hingga 2010. Dalam Rapat Koordinasi Nasional PDI-P 2007, 16.000 jajaran pengurus PDI-P, mulai dari cabang sampai pusat, yang duduk di legislatif dan eksekutif, secara aklamasi kembali mencalonkannya untuk maju pada Pemilu 2009.

Namun, Megawati juga telah menyiapkan sistem kaderisasi di partainya. ”Masak saya juga mau terus-terusan, kan tidak mungkin?” ucapnya.

Kendati demikian, Megawati juga menegaskan, kalaupun nanti figur yang datang menggantikan dia adalah dari keluarga Bung Karno, hal itu juga tidak perlu dipermasalahkan, asalkan memang mampu dan didukung rakyat, seperti halnya dirinya.

”Keluarga Bung Karno itu anaknya ada delapan, kenapa yang dipilih hanya saya. Ini juga harus dilihat dengan fair. Jadi kalau memang mampu, why not, tetapi bukan berarti menutup orang luar. Orang luar juga tunjukkan kemampuan. Semua berpulang kepada rakyat, bukan kepada elite,” paparnya.

Figur cawapres

Posisi sentral Megawati di PDI-P tentu akan ditentukan oleh hasil Pemilu 2009 nanti. Apabila Megawati kalah untuk kedua kali pada pemilu presiden, karisma putri Bung Karno ini bisa memudar.

Sementara kemenangan Megawati dalam pemilu presiden 2009 juga akan ikut ditentukan figur calon wakil presiden yang mendampinginya.

Tak heran, semenjak Megawati dicalonkan sebagai presiden pada rakornas, September 2007, banyak pihak menunggu siapa figur cawapresnya. Berbagai spekulasi pun berkembang, mulai dari Jusuf Kalla, Sultan Hamengku Buwono X, Hidayat Nur Wahid, Akbar Tandjung, Wiranto, Sutiyoso, sampai para gubernur seperti Gamawan Fauzi atau Fadel Muhammad.

Dalam perbincangan dengan Kompas, Megawati pun hanya menyebutkan kriteria. Menurut dia, figur cawapresnya harus yang benar-benar mau bekerja sama dengan dia. Hal itu mengingat konstitusi dan undang-undang belum merumuskan secara tegas pembagian tugas antara presiden dan wakil presiden. ”Karena itu, bagi seorang calon presiden, idealnya mencari seseorang yang mau ’bekerja sama’, dalam kondisi yang saya sebutkan tadi, dan bisa berjalan bersama-sama lima tahun,” katanya.

Sebagai orang yang pernah duduk di posisi presiden dan wakil presiden, Megawati mengenal betul perbedaan kedua posisi itu. Megawati menegaskan, saat menjadi wakil presiden, dia selalu membangun dalam diri untuk menghargai hak prerogatif presiden. ”Sebagai wapres tetap dengan etika mengikuti keadaan itu. Semua keputusan tetap dilaporkan kepada presiden. Saya tidak pernah melakukan pekerjaan di balik itu,” paparnya.

Menurut Megawati, sangat sulit dibayangkan bila presiden dan wakil presiden tidak bisa bekerja sama. Padahal, rakyat memilih seseorang menjadi pucuk pimpinan nasional untuk menjalankan roda pemerintahan dan membesarkan negara. Kalau di antara presiden dan wakil presiden terjadi hubungan yang rancu, akan terlihat nuansanya sampai ke bawah.

Terkait dengan banyaknya figur yang telah mendeklarasikan diri sebagai calon presiden, semakin sedikit alternatif bagi Megawati untuk memilih pasangannya. Ia sendiri menegaskan tidak mungkin mendegradasikan dirinya menjadi cawapres karena pencalonan dirinya diputuskan mulai dari kongres, rakernas, sampai rakornas 2007. Untuk mengubah itu haruslah melalui kongres luar biasa.

”Karena itu, tak mungkin kalau saya turun menjadi wapres. Saya juga akan dihujat oleh anak buah saya sendiri,” ucapnya.

Hasil sementara survei internal PDI-P, Megawati dianggap paling ideal berpasangan dengan Wiranto. Namun, Megawati tidak mau terburu-buru. ”Kita tidak boleh berpegang hanya pada survei. Saya juga punya hak prerogatif,” ucapnya.

Begitu pula dalam penentuan mitra koalisi partai. Wacana koalisi PDI-P dengan Partai Keadilan Sejahtera yang pernah dilontarkan Taufik Kiemas, menurut Megawati, boleh saja diwacanakan, tetapi belum merupakan keputusan partai. Sebagai ketua umum, dia pun punya hak untuk menentukan hal-hal yang sangat urgen.

Megawati juga belum bisa memastikan koalisi dengan Partai Golkar karena dalam rapimnas lalu pun masih muncul 10 nama calon presiden dari Partai Golkar. Bagi Megawati, kerja sama yang harus terbangun selama lima tahun nanti bukan hanya kerja sama di antara pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, tetapi juga kerja sama tim untuk memajukan negara. (SUT/MYR)

Digagas Capres 'Poros Tengah'

Keinginan munculnya kandidat wajah baru menguat.

JAKARTA -- Tingginya syarat maju menjadi calon presiden (capres) yang ditetapkan dalam Undang-undang Pemilihan Presiden (Pilpres)--20 kursi di DPR atau 25 persen suara pemilu--dirasakan sebagai ganjalan bagi sejumlah parpol dan bakal capres. Mereka mulai memikirkan dan bergerilya untuk lahirnya poros tengah sebagai kendaraan politik alternatif.

Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Jenderal TNI (Purn) Wiranto, mengakui, dengan syarat dukungan sebesar itu, praktis hanya akan memunculkan capres yang tidak terlalu banyak atau istilah Rizal Ramli '4L' (lu lagu, lu lagi). Peluang bagi Wiranto untuk maju sebagai capres pun, kendati kesiapan partainya optimistis masuk lima besar Pemilu 2009, cukup berat.

''Kompetisi dalam capres sudah dihapus dengan rekayasa perundang-undangan (yang dilakukan partai-partai besar),'' kata Wiranto dalam diskusi Redaksi Republika, Rabu (12/11). Tapi, bagi mantan panglima ABRI dan menko polkam ini, masih terbuka peluang kalau bisa menggalang kekuatan poros tengah.

Selain berharap pada koalisi partai, Wiranto juga mengaku akan segera melakukan uji materi ()judicial review atas syarat dukungan di Undang-undang Pilpres. ''Semuanya sudah kita siapkan,'' kata figur yang dalam iklannya ingin mewakafkan sisa hidupnya untuk membangun Indonesia.Perlawanan terhadap UU Pilpres juga ditunjukkan oleh mantan gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso. Ia siap menggalang kekuatan partai-partai politik 'poros tengah' yang menginginkan capres alternatif seperti dirinya.

Pendekatan politik sudah dilakukan Bang Yos untuk memenuhi hajatnya. Diyakini mantan pangdam jaya ini, bila partai-partai poros tengah bisa bersatu, capres yang diusungnya bisa mengalahkan kandidat dari partai-partai besar. ''Saya ingin menjadi calon alternatif itu,'' tegasnya.Ketua Umum Jenderal Soedirman Center, Bugiakso, juga memandang penting munculnya capres alternatif. ''Pemimpin sekarang belum seperti yang diharapkan rakyat karena lebih mendahulukan kepentingan kelompoknya dan sektoral,'' kritik cucu Jenderal Soedirman ini.

Sikap PKS dan PKB
PKS tidak menutup pintu bagi munculnya capres alternatif. Ketua Tim Pemenangan Pemilu Nasional DPP PKS, Mahfudz Siddiq, mengatakan bahwa PKS akan melihat realitas politik menjelang Pilpres 2009. ''Kalau realitas politik memang diperlukan capres alternatif di luar Megawati dan SBY, sangat mungkin PKS akan menggalang dukungan parpol lain,'' ungkap Mahfudz.

Kondisi yang mendorong PKS memunculkan capres alternatif lewat koalisi parpol menengah apabila dukungan masyarakat terhadap figur di luar Megawati dan SBY terus meningkat. ''Sekarang, masih dalam tahap komunikasi politik,'' kata Mahfudz. Salah satu hasil Simposium dan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga menyebutkan dukungan poros alternatif. Tujuannya untuk memunculkan tokoh baru.

''Kami melihat perkembangan politik belakangan ini. Calon pilpres nanti didominasi tokoh lama,'' kata Wakil Sekretaris Jenderal PKB, Jazilul Fawaid. Ia melihat, PDIP pasti mengusung Megawati. Sementara itu, SBY dan Jusuf Kalla kemungkinan akan maju lagi berpasangan. ''PKB telah berkomitmen untuk mengusung tokoh baru, baik jika target suara dalam pemilu tercapai maupun tidak,'' katanya. dwo/djo

Rabu, 12 November 2008

Kekuatan Mantra Iklan Politik


Muhammad Faisal
Analis Psikologi Politik Charta Politika Indonesia, Mahasiswa S3 Fakultas Psikologi
Universitas Indonesia


''Yes we can'' merupakan tiga kata magis yang menjadi kunci kesuksesan sang presiden terpilih Barack Obama. Pada masa kampanye pemilu AS lalu, tim pemenangan Obama mengemas pesan ''Yes we can'' menjadi sebuah iklan politik yang dinamis. Beberapa bintang pop muda Amerika, seperti John Legend dan Will I am turut dilibatkan. Mereka menggubah ''Yes we can'' dalam bait lagu yang menghanyutkan emosi audiens.

Hasilnya, 5 Oktober lalu ratusan ribu rakyat AS menyerukan ''Yes we can..yes we can'' dengan penuh haru pada pidato kemenangan Obama. ''Yes we can'' adalah kalimat mantra dari Obama yang berhasil menyihir psikologi publik Amerika lewat iklan politik.Kesuksesan Obama dalam menarik dukungan publik tidak lepas dari permainan emosi. Yes we can tak sekadar jargon yang dimanfaatkan oleh tim kampanye Obama dalam iklan politiknya, tetapi sebuah stimulus emosi yang menggugah rasa harap publik.

Stimulus emosi ini disampaikan secara konsisten dari awal hingga akhir kampanye untuk membangkitkan optimisme publik akan perubahan kondisi hidup mereka. Dampaknya terlihat pada pemilu lalu, pilihan politik masyarakat AS didominasi psikologi pro-perubahan.

Rahasia iklan politik
Menurut Lazarfeld et al (dalam Brader, 2006) semua jenis propaganda pada dasarnya adalah permainan emosi publik. Baden (dalam Brader, 2006) menambahkan bahwa iklan politik pada intinya lebih ditujukan untuk menggugah aspek emosional dibandingkan intelektual. Stimulus emosi dalam iklan politik pada umumnya terbagi dua, yaitu rasa takut dan harap. Rasa takut akan mendorong seseorang untuk memilih sosok pemimpin yang mendatangkan stabilitas, sedangkan rasa harap akan mendorong seseorang memilih sosok pemimpin yang mendatangkan perubahan.

Dalam iklan politik, stimulus emosi dapat disampaikan secara verbal maupun visual. Secara verbal, paparan data statistik mengenai angka kemiskinan atau tingkat kematian dapat memicu perasaan cemas dari audiens. Secara visual, adegan kelahiran seorang anak dan gambaran lingkungan yang nyaman dapat menstimulasi rasa harap. Kombinasi antara stimulasi visual dan verbal yang difokuskan ke sebuah ranah emosi tertentu di sebuah iklan politik akan meninggalkan kesan yang kuat dalam ingatan audiens. Ini karena secara psikologis kesan-kesan emosional cenderung disimpan di dalam memori jangka panjang seseorang.

Pada konteks Indonesia iklan politik lokal masih mengesampingkan ranah psikologi. Mantra iklan politik lokal Soetrisno Bachir (SB) dan Partai Amanat Nasional (PAN) adalah pelopor iklan politik melalui slogan ''Hidup adalah Perbuatan!'' Kampanye ''Hidup adalah Perbuatan'' sangat masif. Dia meliputi media televisi, cetak, dan spanduk-spanduk yang dapat ditemukan di berbagai persimpangan jalan.

Sayangnya, efek mantra 'Hidup adalah Perbuatan' kurang berdampak terhadap tingkat elektabilitas SB. Survei yang dilakukan oleh Charta Politika pada masa awal penayangan iklan itu mengindikasikan bahwa mayoritas audiens iklan tersebut menentang pencalonan SB sebagai presiden. Hasil survei dari Lingkar Survei Indonesia pada Oktober lalu juga menunjukkan bahwa popularitas Soetrisno Bachir tetap stagnan pada angka 49 persen.

Di tempat lain, Rizal Mallarangeng, seorang calon presiden independen, juga memperkenalkan diri kepada publik lewat iklan politik. Iklan politik dari Rizal menyatakan ''Generasi baru, harapan baru''. Rizal mengambil isu pemuda sebagai pesan politik, lalu mengemasnya dalam sebuah iklan yang menggambarkan kekayaan alam Indonesia serta ketokohan Soekarno.

Iklan dari Rizal ternyata tidak terlalu memukau publik. Popularitas Rizal dua bulan lalu hanya mencapai 13 persen menurut survei Lembaga Riset Indonesia (LRI), jauh di bawah para tokoh politik nasional yang lain. Publik juga tidak terlalu mengingat slogan ''Generasi baru, harapan baru''.Partai incumbent tidak mau ketinggalan. Partai Demokrat (PD) turut beriklan dengan mengusung pesan ''Lanjutkan!''

Partai demokrat dalam iklan politiknya mengingatkan publik akan berbagai keberhasilan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, seperti pertumbuhan ekonomi enam persen setiap tahun, cadangan devisa 57 miliar dolar AS, dan pelunasan utang negara. Pesan ''Lanjutkan!'' yang dirancang untuk memancing simpati masyarakat dalam mendukung partai incumbent kurang memberikan pengaruh mendalam. Berdasarkan survei LSI, memori publik terhadap iklan PD masih berada di bawah iklan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).

Di Indonesia, iklan politik masih lemah dalam menstimulasi emosi publik. Iklan politik lokal lebih mengutamakan estetika yang indah dan jargon-jargon yang mudah diingat. ''Hidup adalah perbuatan, Generasi baru, harapan baru, dan Lanjutkan!'' merupakan contoh-contoh dari pendekatan iklan politik yang tidak fokus dalam menggali emosi audiens. Terbukti melalui berbagai survei, pengaruh iklan-iklan tersebut hingga saat ini tidak terlalu signifikan. Sejauh ini Gerindra menjadi satu-satunya partai yang membidik emosi publik dalam iklannya.

''Gerindra..Gerindra..Gerindra!'' adalah tiga kata yang diucapkan dengan intonasi meninggi oleh suara seorang wanita pada akhir iklan politik Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Tiga kata tersebut berhasil menjadi sebuah mantra politik bagi Gerindra. Pasalnya, September lalu popularitas dari Gerindra melejit sampai 65 persen menurut Lembaga Survei Nasional (LSN). Publik juga menyambut iklan Gerindra dengan sikap yang positif. Memori publik terhadap iklan Gerindra berada pada ambang yang tinggi menurut Lembaga Survei Indonesia (LSI), yaitu 51 persen.

Sentimen empatik terhadap petani dan gambaran akan kebangkitan Indonesia menjadi sebuah stimulus yang berhasil mendorong optimisme publik. Iklan ''Gerindra!'', sebagaimana ''Yes we can'' dari Obama berpotensi menjadi sebuah mantra psikologis bagi audiens di Indonesia. Stimulus emosi dari iklan ''Gerindra'' disampaikan melalui visualisasi semangat kerja para petani dan pekerja pasar. Hal itu berpengaruh terhadap ranah emosi harap audiens. Suara seorang wanita yang menyerukan dengan intonasi semangat ''Gerindra!'' menjadi stimulus verbal yang turut memperkuat rangsangan emosi harap dari iklan tersebut.

Para kompetitor dari partai Gerindra perlu menyadari bahwa besarnya intensitas dan keindahan sebuah iklan tidak selalu berkorelasi dengan preferensi publik. Jargon yang puitis tidak menjamin' efek mantra' bagi psikologi publik. Di sisi lain, visualisasi yang sinematik juga tidak menjamin munculnya ketergugahan. Ini karena pesan yang membidik emosi audiens adalah mantra iklan politik yang sesungguhnya.

Ikhtisar:
- Iklan politik di Indonesia masih lemah dalam menstimulasi emosi publik.
- Besarnya intensitas dan keindahan sebuah iklan tidak selalu berkorelasi dengan preferensi publik.

Uji Materi UU No 10/2008


Soal Penetapan Caleg, Pemerintah Tak Konsisten


KOMPAS/PRIYOMBODO / Kompas Images
Anggota Komisi Pemilihan Umum, I Gusti Putu Artha (kiri), bersama anggota Komisi Nasional Perempuan, Sjamsiah Achmad, hadir dalam sidang pengujian UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (12/11).
Kamis, 13 November 2008 | 03:00 WIB


Jakarta, Kompas - Pemerintah dinilai tidak konsisten terkait pandangannya mengenai penetapan calon anggota legislatif. Tudingan itu dilontarkan terkait adanya perubahan sikap yang semula mendukung digunakannya suara terbanyak dalam penetapan caleg ke penggunaan sistem nomor urut.

Hal tersebut mengemuka dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD di Mahkamah Konstitusi, Rabu (12/11). Undang-undang tersebut dimintakan uji materi oleh tiga caleg, yaitu Mohammad Soleh, calon anggota DPRD Jawa Timur dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan; Sutjipto dan Septi Notariana (keduanya calon anggota DPR dari Partai Demokrat); serta Jose Dima Satria.

Soleh mengaku mengalami kerugian konstitusional atas pemberlakuan Pasal 55 yang menyebutkan bahwa di setiap tiga bakal caleg harus ada satu caleg perempuan.

Ia juga mempersoalkan Pasal 214 yang mengedepankan sistem nomor urut dalam menetapkan caleg jika suara yang dikumpulkan tak memenuhi bilangan pembagi pemilih. Ketentuan itu, ujarnya, membuat caleg di urutan besar harus bekerja keras memenuhi 30 persen bilangan pembagi pemilih. Sementara caleg yang berada di urutan kecil dapat dengan mudah memperoleh kursi.

Hal itu, tegasnya, mencerminkan pembedaan kedudukan dan perlakuan, ketidakadilan, ketidakpastian hukum, serta diskriminatif.

Dalam sidang itu, Staf Ahli Menteri Dalam Negeri Agung Mulyana menolak semua dalil yang diajukan pemohon.

Terkait penolakan itu, pemohon mempertanyakan sikap pemerintah. Pasalnya, pada saat RUU dibahas, pemerintah setuju dengan penggunaan suara terbanyak dalam penetapan caleg. ”Kami membawa bukti pernyataan Presiden di media massa yang mendukung sistem suara terbanyak,” kata Soleh.

Sutjipto berpendapat sama. Ia mempertanyakan keberadaan Agung. ”Anda ini mewakili pemerintah yang mana? Mohon Anda tanya dahulu ke Presiden,” katanya.

Namun, Agung mengatakan bahwa dia mengantongi surat perintah dari Menteri Dalam Negeri. (ana)

Anggaran demokrasi


Berapa Harga Pemilu Kita?
Kamis, 13 November 2008 | 00:30 WIB

Sidik Pramono

Pada masa lalu, demokrasi adalah ”kemewahan”. Sekarang pun implementasi demokrasi dengan pelaksanaan pemilihan umum membutuhkan biaya besar.

Simak saja angka berikut. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengajukan anggaran sebesar Rp 20.777.719.496.954 dari APBN untuk membiayai tahapan Pemilu 2009. Anggaran itu terbagi Rp 6,667 triliun tahun 2008 dan Rp 14,11 triliun pada 2009. Anggaran itu digunakan untuk membiayai semua tahapan pemilu, baik untuk kebutuhan utama maupun pendukung.

Bandingkan dengan Pemilu 2004. Total biaya APBN yang keluar untuk membiayai tahapan Pemilu 2004 sebesar Rp 6.988.696.852.000 untuk tahun 2003 dan 2004. Anggaran itu diprioritaskan untuk kebutuhan utama, seperti surat suara dan kelengkapan administrasi surat suara, serta biaya honorarium dan operasional penyelenggara pemilu. Namun, saat Pemilu 2004 juga ada dana dukungan APBD yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan pendukung, seperti pengadaan kantor, rapat koordinasi, perjalanan dinas, dan distribusi perlengkapan pemilu sampai ke tempat pemungutan suara. Besarnya dana APBD bervariasi, sesuai kondisi geografis dan kemampuan setiap daerah.

Dalam laporan Sekretaris Jenderal KPU yang disampaikan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, pertengahan Oktober lalu, disebutkan penyebab kenaikan anggaran dari APBN adalah adanya ketentuan yang melarang sumber pembiayaan pemilu dari APBD. Selain itu, standar honor untuk lembaga yang bersifat ad hoc melonjak hingga tujuh kali lipat. Misalnya, anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara pada Pemilu 2004 memperoleh honorarium Rp 40.000 per bulan, namun kini menjadi Rp 300.000 per bulan. Penyebab lain adalah kenaikan jumlah pemilih yang menjadikan peningkatan kebutuhan surat suara. Inflasi, kenaikan harga minyak, dan pengaruh ekonomi global ikut menyebabkan kenaikan standar harga barang dan jasa.

Untuk Pemilu 2009, bandingkan total anggaran dengan jumlah pemilih 174.410.453 orang. Hitungan biaya per pemilih terdaftar menjadi sebesar Rp 119.131,16. Jika dihitung dengan kurs Rp 9.750 per dollar AS, setiap pemilih Indonesia butuh 12,22 dollar AS!

Biaya yang dibutuhkan untuk Pemilu 2009 bakal melonjak jika biaya ”lain-lain” juga diperhitungkan. Untuk pengeluaran negara saja paling tidak dibutuhkan dana untuk Badan Pengawas Pemilu dan (kemungkinan) Desk Pemilu di Departemen Dalam Negeri.

Misalnya, untuk tahun 2009, Badan Pengawas Pemilu mengajukan permintaan dana Rp 2.115.224.478.554. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, 17 Oktober lalu, disebutkan anggaran itu untuk membiayai ”komunitas pengawas pemilu”, mulai dari tingkat pusat, 33 provinsi, 465 kabupaten/kota, 6.524 kecamatan, sampai pengawas lapangan di 76.749 desa/kelurahan. Porsi terbesar adalah untuk honorarium pengawas, yaitu Rp 900,423 miliar. Berikutnya, pos peningkatan kinerja pengawasan Rp 782,834 miliar. Kegiatan operasional butuh Rp 419,711 miliar dan belanja pendukung Rp 12,255 miliar.

Kalau berhitung lebih rinci, kian banyak dana yang beredar bersama Pemilu 2009. Pemilu 2009 bakal menjadi proyek besar, bukan saja bagi institusi penyelenggara dan peserta pemilu yang menyedot biaya besar. Di sisi lain, elemen masyarakat sipil yang ”peduli” pada persoalan pemilu (mayoritasnya) bergantung pada donasi.

Bandingkan dengan anggaran pemilu negara lain. Data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang dihimpun dari The Electoral Knowledge Network, biaya pemilu di negara yang lebih berpengalaman menerapkan sistem multipartai lebih rendah ketimbang yang baru menerapkannya. Di negara yang berpengalaman, biayanya 1-3 dollar AS per pemilih. Di negara yang sedikit pengalaman dalam sistem multipartai, biayanya lebih tinggi.

Lain lagi jika penyelenggaraan pemilu dikaitkan sebagai bagian operasi penjagaan perdamaian, biayanya pastilah lebih mahal. Misalnya, pemilu di Kamboja pada 1993 estimasi biayanya 45,5 dollar AS per pemilih atau Angola pada 1992 sebesar 22 dollar AS per pemilih.

Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR Effendy Choirie pernah menyebutkan, pilihan rezim demokrasi berkonsekuensi pada kebutuhan biaya yang besar. Beda halnya dengan rezim otoritarian di mana tidak dibutuhkan dana besar untuk sirkulasi kepemimpinan.

Anggota Panitia Anggaran Komisi II DPR, Jazuli Juwaini, mengingatkan, KPU dan semua instansi negara yang terlibat dalam pemilu mesti berhati-hati menyangkut anggaran. Beban negara yang semakin berat diharapkan bisa dipertimbangkan untuk menyusun anggaran secara cermat dan berhemat.

Calon Presiden


Partai PIB Calonkan Yudhoyono, PPPI dan PRN Pilih Sultan


KOMPAS/PRIYOMBODO / Kompas Images
Ketua Umum Partai Perjuangan Indonesia Baru (PIB) Kartini Sjahrir meresmikan sosialisasi Partai PIB sebagai peserta Pemilu 2009 di kantor Sekretariat Dewan Pimpinan Nasional Partai PIB, Jakarta, Senin (10/11). Partai PIB menyatakan dukungannya kepada Susilo Bambang Yudhoyono untuk dicalonkan kembali pada pemilihan presiden-wakil presiden tahun 2009.
Selasa, 11 November 2008 | 03:00 WIB


Jakarta, Kompas - Ketua Umum Partai Perjuangan Indonesia Baru atau PIB Kartini Sjahrir, Senin (10/11) di Jakarta, menyatakan, Partai PIB mendukung Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Presiden Republik Indonesia mendatang.

Kartini menyatakan hal itu di depan para kader Partai PIB. Yudhoyono dinilai memenuhi tiga kriteria Partai PIB, yaitu tidak terkait kasus korupsi, tidak terkait kasus pelanggaran HAM, dan bersedia menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang plural.

Menurut dia, meskipun ada beberapa catatan seperti tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi, upaya perbaikan selalu ada. Perbaikan tersebut perlu diapresiasi, apalagi pemberantasan korupsi memiliki nilai penting dalam pembangunan.

Karena itu, Partai PIB menilai sosok Yudhoyono layak didukung.

Kartini juga menyatakan, dalam kehidupan berpolitik dan berbangsa, Indonesia sesungguhnya lebih maju dari Amerika Serikat. Sejak awal, oleh para pendiri bangsa, Indonesia disepakati didirikan atas dasar perbedaan.

Menurut Kartini, partai yang didirikan ekonom nasional almarhum Sjahrir itu melihat berbagai perbedaan selayaknya dikelola demi kebangsaan. Ia mengatakan, Partai PIB adalah rumah bagi semua.

Kesediaan untuk berpihak kepada kemajemukan itu juga menjadi satu ciri khas Partai PIB. Bahkan, dalam menentukan tiga kriteria calon presiden yang hendak didukung pun Partai PIB memasukkan kriteria tersebut.

Dari Yogyakarta kemarin diberitakan, anggota tim independen pendukung Sultan Hamengku Buwono X, Garin Nugroho, membenarkan bahwa Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI) berencana turut mendukung Sultan untuk maju sebagai calon presiden dalam pemilihan presiden tahun 2009. Saat ini yang jelas memegang Sultan sebagai capres adalah Partai Republika Nusantara (PRN).

Saat ditanya wartawan, Garin juga membenarkan Dewan Pimpinan Daerah PPPI telah mengusulkan Ketua Umum Jenderal Sudirman Centre Bugiakso sebagai calon wakil presiden yang akan mendampingi Sultan.

Garin mengatakan, setiap partai politik berhak mengusung Sultan sebagai calon presiden mendatang. ”Dukungan dari parpol dan kelompok masyarakat terus mengalir. Kami tidak sekadar mencari suara, melainkan ingin mendialogkan pendidikan politik,” ujar Garin tanpa bersedia merinci nama-nama parpol yang telah menyatakan dukungan bagi Sultan, saat dihubungi Senin kemarin.

Menanggapi tawaran PPPI, Bugiakso mengatakan akan berkontemplasi terlebih dahulu. Bugiakso mengaku sudah diberi tahu oleh pengurus PPPI tentang rencana pencalonannya dengan Sultan pada Sabtu (8/11). ”Sejauh ini saya hanya ingin menyampaikan pesan moral kepada masyarakat bahwa rakyat tidak pantas menderita, biarlah pemimpin yang menderita,” ujar cucu mantu Jenderal Sudirman ini.

Proses politik yang harus dilalui Sultan, lanjut Garin, masih cukup panjang. Apalagi hingga kini baru Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sebagai partai besar yang telah mengusung calon presidennya sendiri.

”Kami sudah menyiapkan beragam strategi agar Sultan tetap unggul dalam waktu enam bulan sebelum pemilu,” ujarnya.

Menurut Garin, Sultan akan terus melakukan lawatan ke berbagai daerah. Beberapa daerah yang sudah terjadwalkan untuk dikunjungi adalah Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Tanah Toraja.

Dalam acara temu kangen dengan warga Muhammadiyah se-Kota Bandung di Kecamatan Antapani, Kota Bandung, Minggu lalu, mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais menyatakan diri sebagai ”pemain cadangan” dalam kancah pencalonan presiden pada Pemilu 2009. Selayaknya pemain cadangan dalam pertandingan olahraga, ia akan maju manakala diminta bermain.

”Sebagai pemain cadangan, saya pun tetap berlatih meski belum diminta untuk bermain,” ujarnya yang disambut tawa peserta acara.

Amien, antara lain, telah melakukan perjalanan dan rangkaian pengajian ke sejumlah daerah sebagai ”latihan” yang dilakukannya. Dari hasil perjalanannya itu, Amien mengaku mendapatkan respons baik. Ia menyebut Sulawesi sebagai salah satu daerah yang dikunjunginya, yakni di Makassar, Kendari, dan Palu, serta sebagian Sumatera Barat.

Kemarin di Jakarta, Pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jawa Tengah Abdul Kadir Karding kepada wartawan mengatakan, PKB saat ini masih akan membicarakan mekanisme yang akan disepakati untuk memilih calon presiden yang akan diajukan PKB dalam pemilu presiden mendatang. (MAM/REK/WKM/JOS)

PPP Jajaki Capres dan Kabinet


Bisa Jadi Isu Kampanye Menarik
Selasa, 11 November 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Partai Persatuan Pembangunan atau PPP akan menjajaki pengusulan calon presiden dan susunan kabinetnya dalam satu paket. Usulan itu dapat saja dilakukan untuk membangun tradisi baru dalam politik Indonesia.

Hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal PPP Irgan Chairul Mahfiz di Jakarta, Senin (10/11). ”Kemungkinan pengajuan capres satu paket dengan kabinet adalah hal yang dimungkinkan agar masyarakat bisa memahami komposisi kabinet yang nantinya akan memerintah,” ujarnya.

Pengajuan capres satu paket dengan kabinet, kata Irga, juga diharapkan dapat membuat masyarakat mengenal sejak awal calon menteri dan ikut menilai figur yang tepat untuk duduk dalam pemerintahan. ”Ini penting juga untuk menghindari agar tak terjadi memilih pemimpin seperti membeli kucing dalam karung. Respons masyarakat diperlukan untuk mengukuhkan legitimasi pemerintahan,” ujarnya.

Memperkenalkan calon anggota kabinet sejak awal, kata Irgan, bisa mengikis krisis kepercayaan masyarakat terhadap personal dan pranata negara. PPP mencoba mewacanakan gagasan agar pencalonan presiden bisa beriringan dengan tawaran kabinet.

”Dengan mekanisme ini capres bertanggung jawab terhadap kabinetnya. Kabinet terikat menjaga pemerintahan karena sejak awal dikawal masyarakat,” ujarnya lagi.

Selain itu, menurut Irgan, mekanisme ini akan membatasi perilaku partai politik yang sering melakukan manuver politik yang bisa merugikan rakyat.

Isu menarik

Secara terpisah, Ketua Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan Ketua Partai Golkar Priyo Budi Santoso mengakui, bayangan kabinet bisa sejak awal dikampanyekan calon presiden dan wakil presiden. Cara itu dipercaya merupakan salah satu isu kampanye yang menarik dan bisa memberikan gambaran kepada calon pemilih. Hanya, waktu yang dinilai paling tepat adalah saat kampanye pemilu presiden.

Anas dan Priyo sepakat, bayangan kabinet yang akan menopang pemerintahan jika pasangan calon terpilih akan menjadi sarana pendidikan politik yang menarik, sekaligus tradisi baru politik yang baik. Namun, bagi Anas, jika terlalu dini disampaikan, isu kabinet justru bisa merusak fokus pemilu menjelang pemilu legislatif.

Anas pun menyebutkan, yang perlu disampaikan dalam kampanye nanti cukup beberapa posisi yang strategis dan terkait langsung dengan program utama yang ditawarkan pasangan calon. Kalau yang dikampanyekan semua yang bakal masuk kabinet, justru berisiko menyerimpung calon presiden.

Menurut Priyo, dengan mengumumkan rancangan kabinetnya, publik sekaligus bisa menilai kredibilitas orang yang akan membantu presiden. Namun, jika semua nama diumumkan, dapat berdampak negatif dengan tertutupnya akses orang yang tidak masuk nominasi.

Sementara itu, fungsionaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Yasonna Laoly, sepakat, transparansi paket kabinet terkait erat dengan konsep koalisi dalam pemerintahan. Rakyat tak sekadar memilih calon presiden dan wakil presiden, tetapi paket pemerintahan yang utuh dengan pembantunya. (mam/dik)

Kampanye


Tampilkan Pahlawan, PKS Ingin Perluas Pasar
Rabu, 12 November 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Iklan kampanye Partai Keadilan Sejahtera atau PKS yang menampilkan foto para tokoh pahlawan, seperti almarhum Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, dan KH Achmad Dahlan, dinilai mengejutkan.

Pengamat politik Fachry Ali, yang juga Ketua Komite Kebijakan Publik BUMN, saat ditanya pers, Selasa (11/11), di satu sisi menilai PKS telah ”berjudi” sebab, bisa saja, akibat pemasangan gambar tersebut, para pemilih fanatiknya ”lari”.

Namun, Fachry juga menyatakan, PKS mencoba melakukan perluasan pasar atas calon pemilih mereka dalam Pemilu 2009. Diharapkan, dengan pemahaman para tokoh tersebut, pemilih PKS tidak terbatas di lingkup umat.

”Ini termasuk mengejutkan meskipun dampaknya sebenarnya mereka bisa dinilai ’berjudi’. Akan tetapi, juga bisa dinilai PKS melakukan perluasan pasar. Iklan PKS saya nilai lebih agresif dibandingkan dengan partai politik lain. Saya kira PKS membuat terobosan dan langkah berani dengan iklan tersebut,” ujarnya.

Secara terpisah, Ketua DPP Partai Golkar Theo Sambuaga menyatakan, Partai Golkar tidak ada persoalan dengan pemuatan tokoh-tokoh pahlawan dalam iklan kampanye PKS, khususnya tokoh Soeharto yang pernah menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Golkar saat berkuasa.

”Almarhum Soekarno dan Soeharto adalah tokoh nasional,” katanya.

Anggota DPR dari Fraksi PKS, Muttammimul’ula, yang dihubungi secara terpisah mengatakan, maksud pembuatan iklan itu adalah memberikan sentimen positif kepada masyarakat dan diharapkan akan memperluas basis dukungan.

”Kalau ada yang berpendapat bahwa iklan itu memberikan sentimen positif atau negatif, dikembalikan kepada publik untuk menilainya,” ucapnya.

Soal adanya tokoh Soeharto yang dijadikan sebagai salah satu tokoh pahlawan, menurut Muttammimul’ula, hal itu sah-sah saja. (HAR/SUT)

Megawati Jajaki dengan Sultan


Dinamika Parpol Tentukan Pencalonan
Rabu, 12 November 2008 | 00:38 WIB

Jakarta, Kompas - Megawati Soekarnoputri, calon presiden dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDI-P, masih menjajaki kemungkinannya untuk berduet dengan Sultan Hamengku Buwono X, atau sejumlah tokoh yang mendeklarasikan diri siap menjadi calon presiden.

Sinyal itu disampaikan Megawati saat berbincang-bincang dengan wartawan seusai membuka Pemantapan dan Penataran Juru Kampanye Nasional PDI-P, Selasa (11/11) di Jakarta. Penjajakan dilakukan sebab saat ini yang banyak muncul adalah kesiapan menjadi calon presiden, sedangkan yang siap menjadi wakil presiden belum ada.

”Sekarang yang banyak muncul adalah calon presiden. Tetapi, untuk calon wakil presiden (wapres) belum ada sehingga kami juga harus bisa melakukan pertemuan dengan mereka untuk sounding siapa yang mau menjadi calon wapres,” kata Megawati.

Menurut Megawati, tak mungkin orang mau mendegradasikan dirinya dari capres menjadi calon wapres. Namun, kemungkinan itu selalu ada dalam politik.

Soal kemungkinannya dengan Sultan, Megawati menjawab, ”Saya lihat dulu. Banyak juga yang bagus-bagus.”

Dari sejumlah anggota Fraksi PDI-P DPR diperoleh informasi, PDI-P terus menjajaki kemungkinan duet dengan Sultan. Opsi ini diambil, terutama bila Sultan tidak mendapat kendaraan partai politik yang mencalonkannya sebagai presiden. Apabila Sultan tidak mungkin, PDI-P menjajaki dengan sejumlah gubernur lain.

Dinamika parpol

Secara terpisah, Koordinator Tim Pelangi Perubahan Sukardi Rinakit menuturkan, dinamika di tubuh parpol sangat menentukan pengajuan Sultan HB X sebagai presiden pada Pemilu 2009. Bukan hanya lewat Partai Republika Nusantara yang secara resmi mengajukan Sultan, dinamika di PDI-P dan Partai Golkar juga diperhitungkan.

Tim Pelangi Perubahan adalah tim sukses Sultan untuk Pemilu 2009. Sukardi, berbicara dalam jumpa pers Partai RepublikaN di Jakarta, Selasa, mengakui, PDI-P punya peluang besar pada pemilu legislatif, tetapi akan mengalami problem jika dalam pertarungan pucuk eksekutif kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono. Dengan rasionalisasi politik, tidak tertutup kemungkinan PDI-P mencari tokoh lain sepanjang tetap mengontrol kekuasaan.

Di Partai Golkar, yang terjadi adalah kekurangan tokoh nomor satu. Jika perolehan suara Partai Demokrat dalam pemilu legislatif anjlok, kemungkinan duet Yudhoyono-M Jusuf Kalla berubah. Partai Golkar mungkin berpaling ke sosok lain.

Ketua Presidium Partai Republika Nusantara Muslim Abdurahman menegaskan, partainya yang pertama dan serius menjadi pengusung pencalonan Sultan HB X pada Pemilu 2009. Partai Republika Nusantara harus meyakinkan rakyat, Sultan lebih baik ketimbang Yudhoyono.

Di Jakarta, Selasa, sejumlah tokoh yang tergabung dalam Dewan Integritas Bangsa (DIB) tengah menggagas sistem seleksi pemimpin nasional. Sistem konvensi itu terutama diarahkan untuk menjaring presiden dan wapres yang berkualitas.

Koordinator Tim Perumus DIB Salahuddin Wahid, Selasa di Jakarta, mengatakan, sistem itu lebih menitikberatkan pada proses seleksi presiden dan wakilnya yang kemudian akan dipilih rakyat. ”Kami menginginkan calon yang muncul diuji kualitasnya,” katanya. (dik/sut/jos/mam)

Jumat, 07 November 2008

Prospek Partai-Partai Islam dalam Pemilu 2009

Oleh Burhanuddin Muhtadi

Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Peta politik di Indonesia sulit dilepas dari pertarungan kelompok Islam versus nasionalis. Polarisasi Islam-nasionalis ini biasanya merujuk pada politik aliran yang diteoritisasi Clifford Geertz pada 1950-an. Inti dari teori ini adalah adanya kesamaan ideologis yang ditransformasikan ke dalam pola integrasi sosial yang komprehensif Mengikuti asumsi politik aliran, kelompok abangan yang diidentifikasi sebagai penganut muslim kurang taat cenderung memilih partai nasionalis. Sedangkan kelompok santri dipercaya akan menyalurkan suaranya pada partai Islam. Warga NU lebih nyaman mencoblos partai yang dekat dengan NU. Sebaliknya, pendukung Muhammadiyah dan organisasi modernis lain cenderung memilih partai yang berlatar belakang Islam modernis.

Pertanyaannya, apakah politik aliran masih relevan untuk menjelaskan pemilu pasca Orde Baru? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada dua penelitian pada skala nasional. Pertama, studi R. William Liddle dan Saiful Mujani yang menyimpulkan politik aliran telah pudar. Tesis Liddle dan Mujani ini didasarkan pada survei skala nasional pada 1999 yang menyebutkan bahwa mayoritas pemilih PDIP (63%) dalam pemilu 1999 adalah santri.

Kedua, studi Dwight Y. King yang menyimpulkan bahwa politik aliran masih viable pada tingkat grassroot. Dengan data hasil Pemilu 1955 dan 1999, King menyatakan bahwa partai Islam dan Golkar mendapatkan suara di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan kekuatan utama partai-partai santri (misalnya Masyumi, NU). Sementara partai nasionalis seperti PDIP mendapatkan dukungan di daerah-daerah yang pada tahun 1955 merupakan lumbung suara partai abangan (misalnya PNI dan PKI). Jika studi King benar, maka perlu redefinisi politik aliran. Bahwa parameter menjalankan shalat dan ritual lainnya tak lagi akurat untuk membedakan afialiasi politik Islam dan nasionalis. Juga, pertanyaan semisal “apakah anda sering, cukup, atau tidak pernah menjalankan shalat” termasuk kategori socially desirable. Kalau politik aliran berlaku, seharusnya suara partai Islam melonjak pada pemilu 1999 dan 2004. Karena, sebagaimana dalam survei Liddle dan Mujani (1999), tingkat ketaatan umat Islam Indonesia dalam menjalankan ibadah makin tinggi.

Faktanya, perolehan partai Islam pada pemilu 1999 dan 2004 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan pemilu 1955. Gabungan partai Islam pada pemilu 1955 sebesar 43.7%, sedangkan total suara partai-partai nasionalis sebanyak 51.7%. Pada pemilu 1999, total suara partai Islam (PKB, PPP, PAN, PK, PKNU) anjlok menjadi 36.8%. Pada pemilu 2004 lalu, suara partai Islam naik menjadi 38.1%. Perlu dicatat, total suara ini masih memasukkan PAN dan PKB. Jika PAN dan PKB dikeluarkan dari partai Islam, maka suara partai Islam lebih sedikit.

Karakteristik partai Islam biasanya dilihat dari dua hal, asas dan basis massa. Dari asas partai, PPP, PBB dan PKS bisa disebut partai Islam karena asas dan ideologinya adalah Islam. Sementara PKB dan PAN bisa dikelompokkan Islam karena meskipun menjual ideologi pluralis, dua partai itu mengandalkan basis massa muslim. Namun, partai Islam tak homogen. PKS, PPP, dan PBB bisa dikategorikan Islamis. Ketiganya memosisikan Islam bukan semata-mata konstruksi teologis, tapi juga menyediakan perangkat sosial politik yang tak memisahkan agama dan negara (Monshipuri, 1998; Roy, 1993). Tak heran jika ketiga partai itu masih memiliki agenda semisal penerapan Piagam Jakarta atau mendukung pelaksanaan perda Syariat. Sebaliknya, PAN dan PKB tak bisa disebut Islamis karena keduanya lebih menitikberatkan pada nilai-nilai niversal Islam dan tak punya agenda menghidupkan Piagam Jakarta.

Uniknya, perbedaan karakter ideologis Islamis dan non-Islamis itu tak terlalu berpengaruh dalam perolehan suara partai Islam. Hasil korelasi pemilu 1999 dan 2004 yang dilakukan Baswedan, suara PDI-P beralih ke partai nasionalis. Sementara, peningkatan suara PKS berasal dari partai berbasis Islam (PAN dan PPP). Suara PKB relatif tetap karena partai ini menangguk suara dari kalangan Islam tradisionalis di Jawa Timur dan sebagian Jawa Tengah.

Kesimpulan Baswedan di atas sejalan dengan exit polls yang diadakan LP3ES pada hari pemilu 5 April 2004; bahwa peningkatan suara PKS merupakan hasil migrasi dari suara pemilih berbasis Islam, kecuali PKB. Sebanyak 16 persen PAN dan PPP pada pemilu 1999 berpindah ke PKS. Tingkat loyalitas pemilih tertinggi juga jatuh ke PKS (56%), disusul pendukung PKB (54%). Ini menunjukkan, kenaikan suara satu partai Islam lebih disebabkan turunnya suara partai Islam lain. Papartai Islam tidak atau belum berhasil meluaskan pangsa pasarnya. Hubungan antara satu partai Islam dengan partai Islam yang lain bersifat zero-sum game.

Bagaimana prospek partai Islam pada pemilu 2009? Hasil survei opini publik yang diadakan lembaga jajak pendapat menunjukkan bahwa perolehan suara partai Islam tak akan jauh dari hasil pemilu 2004. Survei CSIS Jakarta misalnya, bisa dipakai sebagai tolok ukur untuk melihat pemilu tahun depan. Benar bahwa suara yang belum menentukan pilihannya (undecided voters) masih cukup besar, 30%. Ini artinya, jika ditanyakan partai apa yang dipilih pada saat survei itu digelar, sepertiga pemilih belum menentukan pilihan. Di antara yang sudah menentukan pilihan, menurut survei CSIS, 20.3% menyatakan akan memilih PDI-P. 18.1% memilih Golkar, 11.8% sudah menyatakan pilihannya ke PKS. Pemilih yang sudah menentukan pilihan ke PKB sebesar 6.8%, PD sebesar 5.2%, PPP sebesar 2.7%, dan PAN sebesar 1.7%.

Sementara itu, dilihat dari tingkat loyalitas pemilih, pemilih PKS pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PKS pada pemilu 2009 sebesar 75,4%. Ini rekor tertinggi loyalitas pemilih. Peringkat kedua, Golkar (61%), disusul PDI-P (55,1%) PKB (48, 5%). Sementara tingkat loyalitas PAN terhitung rendah; 31% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan tetap memilih PAN pada 2009 nanti. Uniknya, ada sekitar 22,5% pemilih PAN pada pemilu 2004 yang akan menjatuhkan pilihan pada PKS pada pemilu 2009 nanti. Tingkat loyalitas pemilih partai Demokrat terhitung paling rendah (18.7%). Ini bukti bahwa pemilih partai Demokrat adalah swing voters dan fenomena sesaat.

Suara PKS yang menanjak menurut hasil survei ini sebagian besar mengambil dari suara PAN dan PPP. Ini berarti, pangsa suara PKS bersinggungan langsung dengan partai Islam modernis lain; PAN, PPP dan PBB. Suara PKB yang akan jatuh ke PKS diprediksi kecil. Di samping karena pemilih PKB memiliki loyalitas tinggi, juga karena karakteristik sosio-religious dan demografis pemilih PKB dan PKS berbeda. Pemilih PKB rata-rata berdomisili di wilayah rural, berpendidikan rendah dan berpendapatan menengah ke bawah.

Mengaca pada hasil jajak pendapat tersebut, partai-partai yang berasas Islam atau berbasis massa Islam perlu mencari strategi yang matang untuk mengembangkan suara di luar suara tradisional Islam. Cara yang paling tepat adalah dengan membidik suara pemilih pemuda karena segmen suara inilah yang relatif bebas dari historical baggage dan immune dari polarisasi Islam dan nasionalis. Apakah partai-partai Islam mampu mengembangkan jaringan suaranya? Kita lihat hasilnya nanti!