Selasa, 03 Maret 2009

ANALISIS POLITIK


Bahaya "Kohabitasi" Indonesia
Selasa, 3 Maret 2009 | 06:00 WIB

Oleh EEP SAEFULLOH FATAH

Ada sesuatu yang berbeda dalam langgam berpolitik Muhammad Jusuf Kalla belakangan ini. Sebelumnya, sadar akan posisinya sebagai ”the real vice president”, hampir empat setengah tahun Kalla terlihat sangat menahan diri. Ia berusaha keras menyesuaikan arah dan kecepatan langkahnya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia duduk tertib di belakang Presiden.

Belakangan, semenjak muhibah luar negerinya yang terakhir bulan lalu, Kalla terlihat lebih ofensif. Ia lebih kerap berdiri tegak sambil berulang-ulang menegaskan kesiapannya menjadi kandidat presiden, berhadapan dengan Yudhoyono dalam Pemilu Presiden 2009 yang sudah di ambang pintu.

Dalam beberapa hari terakhir, Kalla bahkan menyebut dirinya lebih cakap dan sigap dibanding Sang Presiden.

Di atas permukaan, perubahan dramatis langgam berpolitik Kalla tentu saja mendinamisasi politik kita di tengah makin mendekatnya hari pencontrengan pemilu legislatif.

Tapi, di bawah permukaan, pada tingkat yang lebih mendasar, fenomena Kalla sesungguhnya memberi pelajaran penting tentang desain institusi demokrasi yang kita pilih sejak lebih dari satu dasawarsa lampau.

Perubahan langgam berpolitik Kalla beserta segenap konsekuensinya terhadap hubungan presiden-wakil presiden serta jalannya pemerintahan secara keseluruhan menegaskan betapa rumit, kompleks, dan potensial bermasalahnya presidensialisme yang kita pilih.

Bukan hanya mesti mengelola kombinasinya yang rumit dengan sistem multipartai, sistem presidensial kita juga mesti mengelola ”kohabitasi” beserta segenap komplikasinya.

Kohabitasi sebetulnya tak dikenal dalam sistem presidensial, tetapi kerap menjadi persoalan dalam semipresidensialisme. Dalam sistem semipresidensial, kohabitasi terjadi manakala presiden dan perdana menteri—yang sama-sama memiliki kekuasaan konstitusional besar—berasal dari dua partai dan haluan ideologi atau politik berbeda. Kohabitasi pun terjadi karena keduanya harus mengelola sistem politik sebagai sebuah kesatuan.

Praktik kohabitasi yang saat ini sedang berjalan, dan sejauh ini mampu menghindarkan diri dari komplikasi yang destruktif, dapat kita temukan di Finlandia hari-hari ini. Presiden Tarja Kaarina Halonen terpilih sebagai presiden perempuan pertama Finlandia melalui pemilu awal tahun 2000. Ia berasal dari Partai Sosialis Demokrat.

Sementara itu, April 2007, melalui pemilihan Eduskunta (parlemen Finlandia), Matti Vanhanen dari Partai Tengah berhasil menggalang pemerintahan koalisi dan menduduki jabatan perdana menteri. Kohabitasi pun tak terhindarkan di antara kedua pemimpin itu.

Indonesia jelas tak menganut semipresidensialisme. Dengan segenap karakternya yang sedikit banyak membingungkan, bagaimanapun Indonesia lebih dekat ke presidensialisme murni. Namun, presidensialisme Indonesia terdesak untuk membuat banyak penyesuaian, terutama sebagai konsekuensi dari pertemuan antara presidensialisme itu dan sistem banyak partai.

Salah satu penyesuaian, yang risikonya sedang kita tuai hari-hari ini, adalah tak terhindarkannya praktik kohabitasi.

Berbeda dengan yang lazim kita temukan dalam semipresidensialisme, kohabitasi di Indonesia tidak terjadi di antara presiden dan perdana menteri, melainkan di antara presiden dan wakil presiden. Koalisi antarpartai yang menjadi gejala umum dalam Pemilu Presiden 2004 membuat Istana Presiden dan Wakil Presiden dikendalikan oleh dua pemimpin dengan latar belakang partai yang berbeda.

Kohabitasi ala Indonesia ini berpotensi mengidap masalah terutama di awal dan ujung masa pemerintahan. Di awal, Presiden dan Wakil Presiden mesti menghadapi masa konsolidasi kekuasaan yang tak mudah. Untunglah, pada saat dilantik sebagai wakil presiden, 20 Oktober 2004, Kalla tak membawa serta kepentingan formal Partai Golkar.

Keadaan ini membuat konsolidasi lebih mudah dilakukan sekalipun dalam praktiknya tetap saja tidak sederhana.

Lalu, perubahan signifikan terjadi ketika Kalla berhasil merebut jabatan Ketua Umum Partai Golkar serta mengubah haluan partai ini dari oposisi (di bawah aliansi Akbar Tandjung-Megawati Soekarnoputri) menjadi pendukung pemerintah. Kalla menjadi pedang bermata dua bagi Yudhoyono. Mata yang satu mengancam dan mengendurkan oposisi politik dari dalam lembaga legislatif, sementara satu mata lainnya justru mengarah persis ke ulu hati Yudhoyono.

Pedang bermata dua

Perubahan langgam berpolitik Kalla belakangan mengonfirmasikan teori ”pedang Kalla bermata dua” itu. Berdasarkan teori ini, hubungan Yudhoyono-Kalla pun berlangsung dalam tiga fase atau ronde.

Ronde pertama berlangsung dalam konsolisasi pemerintahan yang berlarut hingga akhir 2006. Ronde kedua yang lebih tenang, di tengah saling pengertian yang mulai terbangun, berlangsung hingga akhir 2008. Perubahan langgam berpolitik Kalla sejak bulan lalu menandai mulainya ronde ketiga.

Apresiasi layak diberikan kepada keduanya lantaran berhasil menghindari perpecahan yang dramatis hingga hari-hari ini. Namun, dinamika hubungan keduanya belakangan ini menandaskan betapa kecemasan layak diajukan.

Kecemasan ini terutama bukan lantaran terbuka kemungkinan perubahan hubungan keduanya dari duet menjadi duel. Kecemasan terutama layak terbangun lantaran model kohabitasi yang kita praktikkan berpotensi mengganggu daya tahan, stabilitas, dan efektivitas demokrasi presidensial yang kita anut.

Saya tak cemas membayangkan Yudhoyono dan Kalla bakal berbalas pantun sebagai dua pesaing dalam Pemilu Presiden 2009. Yang saya cemaskan adalah keduanya membuktikan betapa besarnya kontribusi kohabitasi ala Indonesia ini bagi inefektivitas pemerintahan hasil pemilu.

Maka, inilah saatnya kita memikirkan sebuah desain ulang presidensialisme dengan meminimalkan potensi-potensi bahaya institusional dan sistemik yang diidapnya.

EEP SAEFULLOH FATAH Pengajar pada Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia


Tidak ada komentar: