Bandar Lampung, Kompas -
Demikian diungkapkan Yudi Latif, Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan-Indonesia (PSIK-Indonesia), Sabtu (7/3), seusai menjadi pembicara pada Sidang Tanwir Muhammadiyah 2009 di Bandar Lampung.
Yudi mengatakan, saat ini masyarakat tidak ideologis. ”Keberislaman” tidak selalu paralel dengan ”keberpartai-Islaman”. ”Orang boleh mengapresiasi Islam dan menjadi religius, tetapi tidak berarti harus memilih partai Islam,” ujar Yudi.
Oleh karena itu, partai-partai yang mengusung asas Islam kini tidak bisa lagi menangkap pendukung hanya dengan memberikan janji simbolik dengan mengandalkan identitas keagamaan.
Bagi masyarakat saat ini, identitas keagamaan itu tidak cukup memberi jaminan efektif bahwa partai-partai yang mengusung asas Islam sudah mengembangkan politik yang lebih bersih dan lebih baik. ”Dan itu sudah terbukti,” ujar Yudi.
Faktor lain yang memecah perolehan suara adalah saat ini partai politik yang mengatasnamakan syariat Islam di Indonesia cukup banyak. Tidak bisa satu partai Islam mengklaim sebagai satu-satunya juru bicara Islam dengan pendukung terbesar.
”Suara pendukung syariat Islam itu terdistribusi ke banyak partai politik yang mengusung asas Islam, seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera), PPP, atau Bulan Bintang, sehingga perolehan suara partai Islam itu tidak begitu tinggi,” ujar Yudi.
Faktor suara yang terbagi-bagi dengan kondisi rakyat yang tidak terlalu ideologis berpengaruh terhadap menyusutnya jumlah pemilih tradisional partai Islam dan mendukung meningkatnya jumlah
Namun, saat ini kemampuan partai-partai Islam merangkul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar