Itulah landasan mengapa akhirnya Presiden menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Perppu adalah kewenangan konstitusional yang dimiliki setiap presiden. Sebagai
Dalam Perppu No 1/2009, aturan pertama memungkinkan Komisi Pemilihan Umum (KPU)—untuk kesempatan terakhir kali—memperbaiki rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT) secara nasional. Artinya, yang berubah adalah rekapitulasi DPT, tetapi tidak mengubah DPT sendiri. Jika DPT yang diubah, selain waktunya tidak memungkinkan terkait tahapan pemilu yang sudah mepet, konsekuensinya pada ketersediaan logistik juga kompleks. Dengan pembatasan hanya pada perbaikan rekapitulasi DPT, pemilih yang sudah terdaftar tetapi belum terekap bisa diselamatkan suaranya. Demikian pula para pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali bisa dikoreksi. Semua berujung pada penyelamatan suara rakyat dan peningkatan kualitas Pemilu 2009 yang jujur dan adil bagi semua pemilih serta semua partai politik peserta pemilu.
Aturan kedua, yang memungkinkan pengesahan penandaan lebih dari satu kali juga mempunyai semangat untuk menyelamatkan suara rakyat. Sebelumnya UU No 10/2008 hanya mengesahkan penandaan satu kali pada kertas suara. Simulasi pemilu yang diadakan Formappi dengan IFES di lima wilayah di Jakarta menghasilkan 24 persen suara tidak sah, salah satunya karena penandaan lebih dari satu kali pada kertas suara. Ingat, simulasi ini diadakan di Jakarta, bukan di daerah lain, apalagi terpencil, yang amat mungkin menghasilkan suara tidak sah lebih besar.
Angka suara tidak sah 24 persen itu amat berbahaya. Jika tidak diantisipasi, Indonesia akan menjadi jawara dunia dalam hal tidak sahnya suara pemilih dalam pemilu. Saat ini suara tidak sah tertinggi dipegang Argentina, 21 persen. Angka 24 persen itu meningkat hampir 300 persen dari ketidaksahan suara pemilih mencapai 8,8 persen dalam Pemilu 2004.
Oleh karena itu, diperlukan pengaturan bahwa suara harus tetap sah sepanjang niat pemilih (
Ihwal penetapan caleg dengan suara terbanyak, Perppu No 1/2009 tidak mengaturnya. Presiden menghormati dan memahami putusan MK No 22-24/PUU-VI/ 2008. Dalam pertimbangan putusan itu, MK menegaskan ”tidak akan menimbulkan kekosongan hukum walaupun tanpa revisi undang-undang maupun pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, putusan Mahkamah demikian bersifat
Jelas MK memutuskan tidak perlu ada perppu. Dengan semangat menghormati putusan MK, sebagai lembaga paling berwenang dalam menguji konstitusionalitas UU, Presiden menyerahkan pengaturan caleg terpilih dengan suara terbanyak kepada KPU. Peraturan KPU harus disusun sesuai dengan putusan MK, yang menegaskan caleg terpilih adalah yang meraih suara terbanyak. Maka, MA akan menguatkan konstitusionalitas caleg terpilih dengan suara terbanyak.
Kalaupun terjadi skenario terburuk, MA membatalkan peraturan KPU tentang caleg terpilih itu, maka Pasal 213 UU No 10/2008 dan putusan MK tetap dapat menjadi dasar bagi KPU untuk menetapkan caleg terpilih. Selanjutnya, meski masih timbul sengketa hasil pemilu legislatif, forum penyelesaiannya adalah di persidangan MK, yang akan konsisten memutuskan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Dengan semangat menyukseskan Pemilu 2009, kita optimistis, Perppu No 1/2009—berlaku mulai 26 Februari 2009—akan disetujui DPR untuk menjadi undang-undang. Kita sepakat suara rakyat harus diselamatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar