Selasa, 03 Maret 2009

Menyelamatkan Suara Rakyat

Menyelamatkan Suara Rakyat
Selasa, 3 Maret 2009 | 05:02 WIB

Oleh Denny Indrayana

Suara rakyat adalah spirit utama demokrasi. Media penyaluran suara rakyat adalah pemilihan umum yang jujur dan adil. Karena itu, penyelamatan suara rakyat adalah suatu keniscayaan guna suksesnya pemilu dan keharusan untuk menyelamatkan demokrasi.

Itulah landasan mengapa akhirnya Presiden menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kegentingan suara rakyat

Perppu adalah kewenangan konstitusional yang dimiliki setiap presiden. Sebagai emergency power, perppu dikeluarkan Presiden ”dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” (Pasal 22D Ayat 1 UUD 1945). Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) saat menguji Perppu No 1/2004 terkait dengan penambangan di kawasan hutan lindung, yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri menjelang akhir jabatan, menyatakan hal ihwal kegentingan yang memaksa UUD 1945 merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai DPR (Putusan MK No 003/PUU-III/2005, hal 14 dan 15). Terkait dengan Perppu No 1/2009, Presiden Yudhoyono mengeluarkan perppu setelah mengamati, penyelamatan suara rakyat dalam Pemilu 2009 adalah amat penting.

Dalam Perppu No 1/2009, aturan pertama memungkinkan Komisi Pemilihan Umum (KPU)—untuk kesempatan terakhir kali—memperbaiki rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT) secara nasional. Artinya, yang berubah adalah rekapitulasi DPT, tetapi tidak mengubah DPT sendiri. Jika DPT yang diubah, selain waktunya tidak memungkinkan terkait tahapan pemilu yang sudah mepet, konsekuensinya pada ketersediaan logistik juga kompleks. Dengan pembatasan hanya pada perbaikan rekapitulasi DPT, pemilih yang sudah terdaftar tetapi belum terekap bisa diselamatkan suaranya. Demikian pula para pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali bisa dikoreksi. Semua berujung pada penyelamatan suara rakyat dan peningkatan kualitas Pemilu 2009 yang jujur dan adil bagi semua pemilih serta semua partai politik peserta pemilu.

Aturan kedua, yang memungkinkan pengesahan penandaan lebih dari satu kali juga mempunyai semangat untuk menyelamatkan suara rakyat. Sebelumnya UU No 10/2008 hanya mengesahkan penandaan satu kali pada kertas suara. Simulasi pemilu yang diadakan Formappi dengan IFES di lima wilayah di Jakarta menghasilkan 24 persen suara tidak sah, salah satunya karena penandaan lebih dari satu kali pada kertas suara. Ingat, simulasi ini diadakan di Jakarta, bukan di daerah lain, apalagi terpencil, yang amat mungkin menghasilkan suara tidak sah lebih besar.

Angka suara tidak sah 24 persen itu amat berbahaya. Jika tidak diantisipasi, Indonesia akan menjadi jawara dunia dalam hal tidak sahnya suara pemilih dalam pemilu. Saat ini suara tidak sah tertinggi dipegang Argentina, 21 persen. Angka 24 persen itu meningkat hampir 300 persen dari ketidaksahan suara pemilih mencapai 8,8 persen dalam Pemilu 2004.

Oleh karena itu, diperlukan pengaturan bahwa suara harus tetap sah sepanjang niat pemilih (voter intention) jelas. Dengan semangat itu, perppu mengesahkan penandaan lebih dari satu kali dan KPU juga sudah mengeluarkan peraturan penandaan lain yang sah selain pencentangan. Semuanya adalah upaya Presiden (serta KPU) untuk menyelamatkan suara rakyat dan menghindari mubazir dan sia-sianya suara pemilih karena terlalu kakunya pengaturan pengesahan suara.

Caleg suara terbanyak

Ihwal penetapan caleg dengan suara terbanyak, Perppu No 1/2009 tidak mengaturnya. Presiden menghormati dan memahami putusan MK No 22-24/PUU-VI/ 2008. Dalam pertimbangan putusan itu, MK menegaskan ”tidak akan menimbulkan kekosongan hukum walaupun tanpa revisi undang-undang maupun pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, putusan Mahkamah demikian bersifat self executing. KPU beserta seluruh jajarannya, berdasarkan kewenangan Pasal 213 UU No 10/2008, dapat menetapkan calon terpilih berdasarkan putusan Mahkamah dalam perkara ini”.

Jelas MK memutuskan tidak perlu ada perppu. Dengan semangat menghormati putusan MK, sebagai lembaga paling berwenang dalam menguji konstitusionalitas UU, Presiden menyerahkan pengaturan caleg terpilih dengan suara terbanyak kepada KPU. Peraturan KPU harus disusun sesuai dengan putusan MK, yang menegaskan caleg terpilih adalah yang meraih suara terbanyak. Maka, MA akan menguatkan konstitusionalitas caleg terpilih dengan suara terbanyak.

Kalaupun terjadi skenario terburuk, MA membatalkan peraturan KPU tentang caleg terpilih itu, maka Pasal 213 UU No 10/2008 dan putusan MK tetap dapat menjadi dasar bagi KPU untuk menetapkan caleg terpilih. Selanjutnya, meski masih timbul sengketa hasil pemilu legislatif, forum penyelesaiannya adalah di persidangan MK, yang akan konsisten memutuskan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Dengan semangat menyukseskan Pemilu 2009, kita optimistis, Perppu No 1/2009—berlaku mulai 26 Februari 2009—akan disetujui DPR untuk menjadi undang-undang. Kita sepakat suara rakyat harus diselamatkan.

Denny Indrayana Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

Tidak ada komentar: