Selasa, 03 Maret 2009

Ketidakpastian Hukum Pemilu 2009


Didik Supriyanto - detikPemilu




Jakarta - Pemilu yang baik adalah yang predictable prosses dan unpredictable result; proses atau prosedurnya pasti, namun hasilnya tidak pasti, alias tidak ada yang bisa memastikan siapa pemenangnya.

Itulah karakter pokok penyelenggaraan pemilu yang demokratis: jadwal dan tahapan-tahapan pemilu sudah pasti, proses-proses pelaksanaan sudah jelas, dan prosedur-prosedur teknis administratif sudah baku.

Tidak ada yang diragukan lagi, tidak ada yang dipertanyakan lagi. Baik pemilih, peserta maupun penyelenggara tahu pasti apa yang harus dilakukan. Do dan don’t-nya jelas, sehingga siapapun akan mendapat manfaat dan sanksi pasti atas apa yang dilakukannya.

Sebuah persaingan memang memerlukan aturan main yang jelas, agar semua pihak merasa diperlakukan secara fair. Apalagi pemilu merupakan wahana persaingan untuk memperebutkan kepercayaan rakyat. Sebuah kepercayaan yang kelak berwujud menjadi kekuasaan politik bagi yang memenangkannya.

Siapa tahu keinginan rakyat, siapa bisa menebak pilihan rakyat? Tidak ada yang tahu, sampai sebelum hasil pilihan yang dilakukan secara rahasia itu dihitung. Kebebasan pemilih untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk di pemerintahan benar-benar dijaga, sehingga tiada surveyor atau dukun yang bisa menebak pasti hasil pemilu.

Itulah ciri pemilu yang baik, pemilu yang demokratis: predictable prosses dan unpredictable result.

Pada zaman Orde Baru, ciri pemilu yang baik kerap jadi bahan candaan. Katanya, pemilu-pemilu Orde Baru jauh lebih hebat dari negara demokratis manapun. Sebab pemilu Orde Baru tidak hanya predictable prosses, tapi juga predictable result. Ketua Umum Golkar pada saat itu bisa menentukan angka persentase perolehan suara hingga angka di belakang koma, tanpa jasa survei atau dukun.

Nah, pemilu-pemilu pasca-Orde Baru punya ciri yang berbeda: unpredictable prosses dan unpredictable result. Pemilu 1999 misalnya, meskipun pemungutan suara sudah lewat hampir dua bulan, namun tak jelas hasilnya. Saat itu anggota KPU (yang diisi oleh wakil pemerintah dan wakil partai), masih berdebat soal sah tidaknya hasil pemilu.

KPU tidak berhasil mengambil keputusan, hingga akhirnya Presiden Habibie mengambilalih urusan pemilu, dan mengumumkan perolehan suara peserta pemilu. Sampai sekarang, masih banyak kalangan yang mempertanyakan keabsahan hasil Pemilu 1999.

Pemilu 2004 ada perbaikan yang signifikan dalam hal pengaturan pemilu. UU No. 12/2003 yang mengatur Pemilu Legislatif dan UU No. 23/2003 yang mengatur Pemilu Presiden lebih baik dan lebih lengkap dari undang-undang sebelumnya.

Ratusan peraturan KPU diterbitkan untuk memperjelas pelaksanaan teknis pemilu. Ada kemajuan dalam hal penataan prosedur pemilu, sehingga KPU dapat dengan mudah menghadapi berbagai gugatan yang dilakukan oleh peserta pemilu yang kalah.

Tetapi partai mana yang akan menang, calon presiden mana yang akan terpilih, masih menjadi tanda tanya besar sampai sebelum hari pemungutan suara. Tidak ada yang menyangkan kalau PDIP dan Megawati kalah telak; juga tidak ada yang tahu sebelumnya kalau Golkar menang, tapi kemudian calon presidennya kalah.

Bagaimana dengan Pemilu 2009? Pemilu legislatif tinggal 64 hari lagi, cara memberi pilihan saja belum jelas, juga cara menetapkan calon terpilih. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus pasal 214 mengacaukan segalanya. Pemerintah dan DPR yang membuat undang-undang merasa tidak bersalah. Kontroversi pengaturan pemilu dibiarkan berlarut.

Celakanya, pemerintah tidak merasa bertanggung jawab untuk mengadopsi putusan MK dalam bentuk perpu, karena merevisi undang-undang butuh waktu lama. Semua dikembalikan kepada KPU.

Anehnya KPU menyambutnya dengan gembira. Padahal yang akan diatur menyangkut substansi undang-undang. Katanya telah mendapatkan petunjuk dari MK. Padahal jika ada pihak yang tidak puas dengan peraturan KPU, gugatan akan dialamatkan ke MA, bukan MK.
( diks / iy )

Tidak ada komentar: