Senin, 09 Maret 2009

ANALISIS POLITIK

DPR (Bukan) Ladang Perburuan Kenikmatan
Selasa, 10 Maret 2009 | 04:51 WIB

J KRISTIADI

Seorang lagi wakil rakyat, Abdul Hadi Djamal dari Komisi V dan Panitia Anggaran DPR, tertangkap basah karena dugaan korupsi. Masyarakat tidak terkejut lagi menyaksikan peristiwa aib yang menimpa orang berpredikat terhormat dan dianggap bermartabat itu. Tetapi masyarakat benar-benar takjub menyaksikan kenekatan dan keberanian koruptor melakukan tindakan yang sangat tercela itu.

Kutukan dan kemarahan rakyat tidak mempan meredam dorongan naluri dan nafsu keserakahan mereka yang jauh lebih kuat ketimbang moral dan nalar sebagai orang-orang pilihan rakyat. Mereka bahkan tidak menyadari perilaku koruptif telah mulai menghancurkan serta meluluhlantakkan norma, tatanan, dan nilai kehidupan masyarakat yang beradab.

Perilaku mereka telah menjungkirbalikkan kiblat perpolitikan Indonesia sebagai medan perjuangan mewujudkan kesejahteraan bersama menjadi ladang perburuan kenikmatan. Kedaulatan rakyat sebagai dasar pembangunan negara demokrasi telah disalahgunakan elite politik untuk mengikuti godaan mengejar kenikmatan daging.

Sedemikian buruknya citra DPR sehingga tidak mengherankan kalau sebagian masyarakat menganggap wakil rakyat yang belum tertangkap hanya karena mereka masih dapat menyembunyikan perilaku korupnya.

Sejak berniat

Ancaman daya rusak korupsi semakin mengerikan karena perilaku korup telah dimulai sejak mereka berniat berkuasa. Tertangkapnya calon anggota legislatif yang melakukan tindak kriminal merupakan pucuk gunung es dari upaya perburuan kekuasaan demi memperoleh kekuasaan agar mempunyai akses terhadap kekayaan negara. Kejahatan kolektif yang sangat tidak bermoral itu dapat dipastikan akan mengakibatkan korupsi tumbuh subur dan merambat ke sekujur tubuh bangsa dan negara yang menggerogoti daya tahan bangsa ini.

Pertanyaan sederhana tetapi mendasar adalah bagaimana korupsi dapat ditekan sampai tingkat paling minimum karena menghapuskan korupsi adalah upaya yang mustahil. Sejarah panjang umat manusia dalam mengelola kekuasaan menghasilkan para bijak bestari yang memberikan peringatan bahwa kekuasaan dan korupsi adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Suara kenabian itu mungkin dapat diwakili oleh ungkapan bijak Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup, apalagi kekuasaan yang absolut pasti merusak tatanan kehidupan. Dalil itu memperingatkan agar penguasa yang berkubang dalam kenikmatan kekuasaan harus berhati-hati karena mereka berada dalam genangan godaan melakukan korupsi yang mempunyai daya rusak amat dahsyat.

Suara profetik itu merupakan penggalan surat Lord Acton kepada Uskup dan sejarawan Inggris Mandell Creighton (1843-1901) pada saat terjadi krisis Gereja Katolik tahun 1870. Intinya, Acton tidak setuju dengan hukum gereja (kanonik) yang memberikan privilese kepada Paus (Pius IX) yang tidak dapat bersalah dalam menentukan doktrin dan ajaran Gereja Katolik.

Tokoh bijak lainnya sebelumnya adalah Edmund Burke (1729-1797) yang mengingatkan pula, dalam masyarakat yang korup, kebebasan tidak akan berlangsung lama. Dalam masyarakat yang demikian, kebebasan hanya dimanfaatkan melakukan hal yang disenangi, bukan sebagai hak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan untuk memperbaiki keadaan.

Jauh sebelum itu, Publius Cornelius Tacitus pada zaman Kekaisaran Romawi mewariskan ajaran yang ampuh dengan mengatakan, semakin korup sebuah republik, semakin banyak peraturan perundangan dalam negara itu. Tetapi, tidak menjamin negara tersebut bebas dari korupsi.

Mengingat kelekatan kekuasaan dengan tindak korupsi, cara mencegah yang dianggap paling efektif adalah sebagai berikut. Pertama, penguasa harus dapat dikontrol secara ketat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan secara konstitusional melakukan pengawasan. Namun, lembaga kontrol itu tidak boleh terlalu besar agar tidak menjadi lembaga baru yang juga melakukan penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam konteks seperti itu, lembaga DPR saat ini masih terlalu kuat dan belum terdapat sistem kontrol yang efektif, baik secara internal maupun pengawasan dalam desain checks and balances mechanism. Oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas dan keras harus dilakukan sebagai tindakan untuk mengatasi situasi gawat darurat dewasa ini.

Kedua, sanksi sosial yang tegas agar dapat menimbulkan efek jera dengan memperlakukan koruptor bukan sebagai orang bermartabat, tetapi sebagai narapidana khusus yang perlu dipermalukan di depan umum. Misalnya, gagasan mengenakan pakaian khusus serta pemborgolan mereka dalam proses pengusutan perlu dilaksanakan. Seandainya dalam proses peradilan mereka ternyata bebas, negara merehabilitasi nama baiknya. Perlakuan itu untuk memberikan simbol bahwa perbuatan korup adalah tindakan yang hina.

Ketiga, parpol harus mendidik dan melakukan seleksi ketat, tetapi demokratis, kadernya yang akan dipercaya menjadi pejabat publik atau wakil rakyat. Pendidikan terutama menanamkan nilai agar kader partai tahan terhadap godaan kekuasaan yang sangat menggiurkan. Tanpa upaya seperti itu, parpol sebagai tiang demokrasi akan menghancurkan demokrasi itu sendiri.

Keempat, gerakan antikorupsi dan politisi busuk harus dilakukan terus-menerus. Militansi aktivis gerakan ini tidak boleh kalah kuat dari intensi elite politik yang sejak awal berniat korupsi. Rakyat harus tak boleh lelah dan jeli memilih wakilnya.

Singkatnya, perlawanan terhadap korupsi tidak dapat hanya dilakukan dengan ikrar antikorupsi dan sumpah jabatan yang semakin tidak bertuah. Perlu dibangun sistem kontrol yang efektif serta pendidikan politik bagi kader parpol, serta keikutsertaan masyarakat melawan penyakit sosial yang mempunyai daya hancur yang sangat dahsyat itu.

Tidak ada komentar: