Minggu, 01 Maret 2009

Kekuatan di Balik Para Calon Pres dan Wapres


Senin, 2 Maret 2009 | 01:26 WIB

Oleh Toto Suryaning Tyas

Empat puluh hari menjelang Pemilu Anggota legislatif, pengerucutan popularitas terhadap calon presiden makin terbentuk, yang berimbas pula kepada popularitas partai politik pengusungnya. Namun, komposisi kekuatan politik tampak cenderung kembali kepada pola Pemilu 2004.

Berbagai manuver politik yang dilakukan kalangan politisi tampaknya berujung pada komposisi tingkat kesukaan publik kepada pilihan calon presiden dan wakil presiden yang serupa, bahkan cenderung terjadi pengulangan. Elite politik yang muncul dalam benak publik merupakan nama-nama yang pernah berkuasa dan memiliki basis dukungan politik mapan.

Sejauh ini, bagi publik perkotaan, sebagaimana tercermin dalam jajak pendapat ini, nama Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, dan Sultan Hamengku Buwono (HB) X masih menjadi tokoh yang dinominasikan menjadi unggulan dalam pemilu presiden mendatang. Kemunculan beberapa tokoh partai politik maupun mantan petinggi militer, seperti M Jusuf Kalla, Hidayat Nur Wahid, maupun Wiranto dan Prabowo, masih jauh terpaut dukungan respondennya (lihat tabel).

Jika dibandingkan dengan komposisi menjelang Pemilu 2004, kemunculan nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati, dan Sultan HB X bahkan mencerminkan komposisi urutan popularitas dan tingkat kesukaan yang relatif sama. Posisi pertama ditempati SBY, sementara berikutnya oleh Megawati dan Sultan HB X. Panggung politik tampaknya belum mampu direbut oleh calon alternatif dan independen yang belakangan ini gencar melakukan promosi, baik melalui iklan maupun melalui jalur hukum di Mahkamah Konstitusi (MK).

Seperti halnya referensi publik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada), dalam pemilihan presiden/wakil presiden (Pilpres) pun latar belakang parpol pengusung calon presiden (capres) cenderung jadi pertimbangan kedua responden. Yang menonjol justru aspek kepribadian dan kemampuan kandidat. Bagian terbesar responden (82,1 persen) lebih memperhitungkan kepribadian, kemudian dukungan parpol 9,5 persen dan 7,3 persen aspek ideologis (etnis dan agama).

Pasangan Capres

Kunjungan politik Ketua Umum Partai Golkar M Jusuf Kalla ke Partai Keadilan Sejahtera (PKS) minggu lalu menjadi sinyal kuat semakin seriusnya parpol pemenang Pemilu 2004 itu untuk meluaskan kemungkinan koalisi. Hal ini mirip dengan yang dilakukan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) P yang aktif menjalin komunikasi dengan elite parpol untuk menjaring koalisi permanen menghadapi pemilu.

Komposisi koalisi maupun pasangan capres/wapres yang akhir-akhir ini banyak dilakukan elite politik diharapkan bisa mengubah pandangan konstituen di akar rumput untuk memberikan pilihan suaranya nanti. Namun, sebagaimana fenomena dalam preferensi presiden, komposisi dalam pasangan capres dan wapres ini ternyata cenderung kembali kepada pola pada Pemilu 2004.

Saat ini ramai pula wacana nama pasangan untuk dikandidatkan menjadi capres/wapres. Sulit dihindari kecenderungan memilih pasangan capres/wapres yang disukai responden terkait erat dengan tingkat kesukaan responden terhadap presiden yang bakal dipilih dalam pilpres mendatang.

Dari jawaban responden, nama yang dominan muncul adalah jajaran elite yang memiliki basis dukungan politik yang mapan maupun mampu tetap eksis dalam pembicaraan politik. Namun yang menarik dari komposisi yang muncul, Sultan HB X menjadi tokoh yang menaikkan popularitas tertinggi bagi siapapun pasangannya.

Bahkan, popularitas pasangan SBY-Sultan HB X melebihi SBY-Jusuf Kalla (JK), seandainya mereka maju sebagai pasangan capres/wapres. Demikian juga, seandainya Megawati dan Sultan HB X berpasangan, tampak mampu mengalahkan popularitas SBY dengan siapapun pasangannya (lihat tabel).

Meski demikian, jika dilihat lebih rinci, responden kota Padang, Manado, Makassar, dan Jayapura memang cenderung memilih pasangan SBY-JK ketimbang SBY-Sultan HB X. Demikian juga dukungan kepada komposisi SBY-Hidayat Nur wahid tampak cukup kuat di Jakarta, Yogyakarta, dan Medan. Di tiga kota itu komposisi pasangan SBY-Hidayat bersaing kuat dengan komposisi pasangan SBY-Sultan HB X.

Jargon politik

Memasuki musim kampanye parpol saat ini, sulit dihindari terjadi perang iklan dan jargon politik antarkandidat. "Perang" pernyataan dan label sebagaimana terjadi antara SBY dan Megawati sebenarnya menjadi sebuah jalur kampanye untuk tetap menegaskan eksistensi politik para kandidat. Sulit dimungkiri, cara menarik perhatian publik melalui "jual-beli" jargon dan ide semacam ini terbukti cukup efektif menarik perhatian yang tampak dari ”bertengger”nya popularitas elite politik.

Efektifitas semacam ini juga berhasil dijalankan parpol yang aktif menampakkan keberadaannya di mata publik. Menguatnya pamor partai baru, Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), yang giat menegaskan jalur pandangan politiknya melalui iklan tampak meningkat. Pamor ini mampu melampaui tingkat keterpilihan di mata responden. Dalam jajak pendapat ini, meski hanya 2,5 persen responden yang menyatakan akan memilih Gerindra. Namun, pamor Gerindra hampir menyamai Golkar dan PDI-P. Partai ini dipercaya responden bakal membawa perubahan di negeri ini.

Tidak ada komentar: