Keraton Yogyakarta adalah simbol budaya adiluhung Jawa, khususnya yang bernuansa Mataraman. Hingga kini, keraton yang berdiri dua se
Lantas, di manakah letak Keraton Yogyakarta dalam konteks pemilih pemilu dan seberapa besar pengaruh tokoh terhadap pilihan politik?
Arif Akhyat, pengajar pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, menyatakan, Keraton Yogyakarta sebagai patron budaya sebenarnya mengakar kuat hingga ke masyarakat bawah. Sebagai institusi, keraton sebetulnya menjadi patron perubahan dalam masyarakat, termasuk orientasi pilihan politik. Namun, kekuatan pengaruh keraton tersebut berlaku pada kalangan tertentu semata, yaitu pada orang Yogyakarta asli dan pendatang yang telah menyatu secara kultural dengan keraton.
Selain itu, sikap politik Keraton Yogyakarta yang secara demokratis membebaskan pilihan politik rakyat menjadikan peta politik DIY menjadi cenderung ”netral” dari intervensi perintah keraton. Pada titik tertentu, sikap keraton yang sebenarnya sangat dipatuhi oleh kawula Yogyakarta itu menempatkan citra keraton lebih berfungsi sebagai institusi budaya ketimbang politik (Sultan HB X sebagai Raja Yogyakarta adalah Gubernur DIY, sekaligus pimpinan Golkar).
Dengan demikian, tak mengherankan jika publik Yogyakarta memandang Keraton Yogyakarta sebagai patron budaya, tempat nilai-nilai budaya Jawa dilestarikan. Namun, dalam berpolitik, publik Yogya bisa memiliki pilihan politik yang berbeda. Secara sederhana, hal itu juga tecermin dalam polarisasi dukungan kerabat Keraton Yogyakarta terhadap patron keraton, yaitu Sultan Hamengku Buwono X. Prabukusumo, adik HB X, contohnya, cenderung mendukung Partai Demokrat dan calon presiden yang diusung parpol tersebut dalam Pemilu 2009.
Meski demikian, patron budaya itu terbukti sewaktu-waktu bisa menjadi sebuah patron politik manakala pihak keraton atau Sultan HB X sendiri memerintahkan sebuah gerakan politik, sebagaimana terjadi pada ”Aksi Massa Reformasi” Mei 1998. Demikian juga terkait dengan pencalonan Sultan HB X sebagai presiden, terlihat peran Keraton Yogyakarta yang kembali dilibatkan dalam kancah politik melalui acara ”Pisowanan Agung”. Dalam kasus-kasus semacam itu, terbukti Keraton Yogyakarta masih memiliki pamor kuat untuk menggerakkan pilihan politik publik Yogyakarta.
Dalam situasi bebas, menurut Sigit Pamungkas, potret karakter konstituen Yogyakarta sejauh ini tak bergeser banyak dari hasil kajian Afan Gaffar dalam buku
Dalam konteks kekinian, ”santri” tak sekadar mengacu pada kalangan pondok pesantren atau mereka yang belajar kepada kiai (
Heterogenitas komposisi penduduk DIY saat ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi parpol untuk menggarap pemilih Yogyakarta. Kemampuan memetakan konstituen dalam kantong-kantong santri dan abangan akan lebih memudahkan parpol dalam melakukan pendekatan yang efektif guna meraih suara konstituen pada Pemilu 2009. (NURUL FATCHIATI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar