Jumat, 13 Maret 2009

PETA POLITIK


Jawa Tengah
Arena Pertaruhan "Nasionalis"
Kamis, 12 Maret 2009 | 04:27 WIB

YOHAN WAHYU DAN IGNATIUS KRISTANTO

Jawa Tengah boleh dibilang tergolong homogen dari segi etnis dan budayanya. Mayoritas penduduknya, 98 persen, bersuku Jawa dan dalam keseharian menggunakan bahasa Jawa. Saking seragamnya, orang Jepara yang terletak di pesisir utara dapat dengan mudah mengerti ucapan bahasa Jawa yang dikeluarkan orang Kebumen yang lokasinya di pesisir selatan meskipun dengan dialek yang berbeda.

Akan tetapi, kesamaan etnis ini tidak terjadi dalam preferensi politiknya. Jepara pada Pemilu 2004 dimenangi oleh Partai Persatuan Pembangunan yang berasas Islam, sedangkan Kebumen dikuasai oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berideologi nasionalis.

Dari sini tampak bahwa Jateng terbagi menjadi dua ”mazhab” besar, nasionalis dan Islam. Pilihan politik nasionalis lebih banyak dianut penduduk wilayah pedalaman, sedangkan partai-partai yang mengusung ideologi Islam banyak mendapat tempat di pesisir utara.

Namun, penguasaan pemilihnya lebih condong ke nasionalis. Dengan partai pemenangnya adalah PDI-P. Jika suara pemilih partai-partai nasionalis pada Pemilu 2004 digabung dan dilawankan dengan gabungan partai-partai Islam, proporsinya mencapai 60 persen banding 40 persen.

Segregasi pilihan politik ini ternyata bukan hanya bersifat struktural, tetapi juga bersifat kewilayahan. Pemilahan wilayah terjadi antara daerah pesisir utara dan pedalaman. Wilayah utara banyak dikuasai partai-partai Islam seperti PPP dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sedangkan pedalaman dikuasai oleh PDI-P.

Pemilahan wilayah politik ini hampir mirip di Jawa Timur, hanya lokasinya yang berbeda. Jika di Jatim pembagian geografisnya antara barat dan timur, di Jateng antara utara dan selatan. Pola kecenderungan politik ini relatif stabil, tidak berubah, dan sudah terjadi sejak Pemilu 1955. Ini menunjukkan seakan-akan pola politik aliran yang terjadi sejak pemilu pertama itu tidak berubah hingga kini.

Menurut Herbert Feith (1999), politik aliran memang masih kuat, khususnya di Jawa. Pilihan politik penduduk di wilayah lebih banyak dipengaruhi faktor kepercayaan dan kecurigaan daripada faktor pilihan program- program yang ditawarkan partai politik.

Fakta ini sungguh menarik. Jika ditilik sejarahnya, pandangan Feith dapat ditelusuri jejaknya. Perbedaan kultur politik pesisir utara dan pedalaman sudah terjadi sejak era kedatangan Islam di Jawa pada abad ke-14. Islam masuk lewat pesisir utara.

Menurut pandangan guru besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Prof Dr Djuliati Suroyo, wilayah pesisir atau pasisiran adalah wilayah yang relatif terbuka terhadap pengaruh luar. ”Di wilayah ini, Islam lebih mudah masuk karena pengaruh Hindu-Buddha relatif tidak sekuat di wilayah pedalaman,” kata Djuliati.

Ketika pusat kerajaan Jawa berpindah dari pesisir utara ke wilayah pedalaman, di Surakarta dan Yogyakarta mulai muncul pembagian ”kasta” wilayah berdasarkan pengaruh keraton.

Dari kacamata orang Jawa, kedua pusat kota menjadi wilayah inti, sedangkan wilayah pesisir utara tergolong wilayah monconegara.

Meskipun sejak abad ke-18 hampir seluruh Jateng secara resmi beragama Islam, intensitas keagamaannya berbeda. Pusat Islam tetap di daerah pesisir utara dan cenderung berkebudayaan santri. Sebaliknya, meskipun keraton- keraton Jawa yang terletak di pedalaman secara resmi memeluk agama Islam, dalam gaya kehidupannya pengaruh tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol.

Pemilu 2009

Kini pegangan penduduk Jateng dalam memilih partai sebagian besar tertuju pada PDI-P. Dalam dua pemilu terakhir, perolehan suaranya tetap di urutan pertama. Bahkan dalam pemilihan gubernur pada tahun 2008, pasangan calon yang diusung partai ini, Bibit Waluyo-Rustriningsih, berhasil memenanginya. Kemenangan di dua pemilu dan pemilihan gubernur tersebut tidak hanya meneguhkan partai ini terkuat di Jateng, tetapi juga menjadikan provinsi tersebut sebagai basis politik terbesar di Jawa.

Dominasi PDI-P di Jateng tidak lepas dari menguatnya relasi politik dan budaya di provinsi ini. Budayawan dari Banyumas, Ahmad Tohari, melihat identitas konstituen PDI-P berbanding lurus dengan identitas kaum abangan dan kejawen yang begitu mengakar kuat di Jateng.

”Pernyataan orang yang mengaku sebagai simpatisan PDI-P itu sekaligus pernyataan identitas kultural mereka sebagai orang Jawa. Jadi bukan sekadar identitas politik saja,” ujar Tohari.

Namun, dominasi PDI-P di Jateng mulai mendapat tantangan. Tanda-tandanya mulai terlihat sejak perolehan suaranya menurun dari 43 persen pada Pemilu 1999 menjadi 30 persen pada Pemilu 2004.

Demikian juga yang terjadi ketika menghadapi pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota. Dari daerah-daerah yang dimenangi PDI-P pada Pemilu 2004, hanya 18 daerah yang bisa menempatkan calonnya dapat menguasai kursi bupati atau wali kota. Beberapa daerah yang sebelumnya menjadi salah satu basis pendukungnya, PDI-P tidak berhasil menempatkan kandidatnya sebagai pemenang pilkada.

Misalnya di pilkada Blora, calon yang diusung PDI-P kalah melawan calon yang diusung Golkar. Basuki Widodo- Yudhi Sancoyo meraih suara terbanyak dengan mengalahkan pasangan Hartomi Wibowo-Bambang Susilo. Demikian juga di pilkada Kabupaten Wonosobo yang tergolong daerah pedalaman, calon dari PDI-P juga kalah. Pemenangnya adalah Abdul Kholiq Arif-Munthohar yang didukung PKB dan PKS dengan meraih suara lebih dari separuh pemilih.

Hal ini juga mendapat perhatian pengamat politik dari Universitas Diponegoro, Susilo Utomo. Menurut pandangan dia, PDI-P dalam menghadapi Pemilu 2009 memang masih menjadi partai yang dominan di Jateng. Namun, semua tergantung sejauh mana soliditas internal partai ini. Ancaman yang cukup tampak menjelang pemilu ini, menurut Susilo, adalah perang antarcalon anggota legislatif (caleg), baik caleg dengan partai politik berbeda maupun caleg dari partai politik yang sama.

”Isu ideologi dalam kampanye caleg jarang disinggung, padahal kata kunci bagi PDI-P adalah berjuang untuk rakyat kecil”, ujar Susilo. Jika kampanye legislatif, terutama dari caleg PDI-P, melupakan hal ini, bukan tidak mungkin akan memengaruhi peluang partai berlambang kepala banteng mulut putih ini pada Pemilu 9 April 2009.

Potensi pemilih yang condong ke ideologi ”nasionalis” di Jateng besar, sekitar 60 persen dari total konstituen. Sebagian besar berada di wilayah pedalaman. Di wilayah inilah nantinya partai-partai ”nasionalis” lain akan bersaing dengan PDI-P. Apalagi dalam pemilu kali ini tercatat ada 26 partai yang mengusung corak kebangsaan. (Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: