Selasa, 03 Maret 2009

Sketsa Pemilu 2009 - 2


Centang Perenang Penandaan Suara (2)
Didik Supriyanto - detikPemilu

jakarta - Tidak gampang menafsirkan pasal pemberian tanda. Saat pembahasan RUU Pemilu, DPR dan pemerintah malas menuntaskan perdebatan. Soal 'sepele' itu pun diserahkan ke KPU. Repotnya, sikap KPU gampang berubah.

Ketidakjelasan tanda pemberian suara ini bisa dilihat rumusan Pasal 176 UU No. 10/2008 yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu Legislatif 2009. Baik untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD, maupun anggota DPD.

Pasal 176 ayat (1) menyatakan: Suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dinyatakan sah apabila: (a) surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan (b) pemberian tanda satu kali pada kolom nama partai, atau kolom nomor calon, atau kolom nama calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Sementara tentang pemilihan DPD, pasal tersebut ayat (2) berbunyi: Suara untuk Pemilu anggota DPD dinyatakan sah apabila: (a) surat suara ditandatangani oleh Ketua KPPS; dan (b) pemberian tanda satu kali pada foto salah satu calon anggota DPD.

Apa yang dimaksud dengan frase "pemberian tanda" pada kedua ayat tersebut? Jika kita tidak mengikuti proses pembahasan undang-undang, maka kita bisa menafsirkan macam-macam.

"Saya tidak setuju cara menandai pemberian suara dilakukan dengan mencontreng. Ini menyulitkan pemilih. Sebagian besar rakyat tidak terbiasa memegang bolpoin. Mengapa tidak mempertahankan dengan mencoblos saja? Bukankah mencoblos juga berarti memberi tanda?" kata seorang anggota KPU provinsi dalam satu forum.

Usulan agar pemberian tanda kembali ke mencoblos, tak hanya disampaikan anggota KPU daerah, tetapi juga oleh pengurus partai politik, pengamat dan pemantau pemilu. Alasannya, demi memudahkan pemilih. Tak ada hubungan antara mencoblos dengan harkat bangsa.

Pertanyaannya, kalau mencoblos dipertahankan, mengapa UU No. 10/2008 tidak menggunakan redaksi yang sama dengan undang-undang pemilu sebelumnya? Itu artinya, keinginan dan semangat mengubah tanda pemberian suara, harus direalisasikan.

Para penyusun undang-undang bukanlah orang-orang bodoh yang tak bisa membedakan makna frase "tanda coblos" (sebagaimana terdapat dalam UU No. 3/1999, UU No. 12/2003, UU No. 23/2003 dan UU No. 34/2004) dengan "pemberian tanda" (sebagaimana terdapat pada Pasal 176 UU No. 10/2008).

Dengan dalih tersebut, usulan untuk kembali menggunakan tanda coblos dalam pemberian suara tidak bisa dipertahankan. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan frase "pemberian suara" maka langkah terbaik adalah menengok kembali perdebatan para penyusun undang-undang dalam merumusakan pasal tersebut.

Jika itu dilakukan, maka kita bisa menyimpulkan: pertama, cara memberikan suara tidak lagi menggunakan paku, melainkan dengan bolpoin atau spidol; kedua, terdapat banyak usulan tanda yang harus digoreskan oleh pemilih di kertas suara, mulai dari tanda silang, melingkar, centang, sampai garis.

Nah, pada poin kedua itulah, DPR dan pemerintah tidak mencapai kata putus. Setiap orang mengajukan dalih masih-masing. Sayangnya, mereka malas menuntaskan perdebtan masalah "sepele" tersebut. Dengan pertimbangan ini adalah soal teknis pemilu, maka penyelesaiannya diserahkan kepada KPU.

Oleh karena itu, Pasal 176 ayat (3) UU No. 10/2008, berbunyi: Ketentuan mengenai pedoman teknis pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan KPU. Di situlah masalahnya, sebab KPU sendiri juga kebingungan menafsirkan masalah "sepele" tersebut.

Tidak ada komentar: