Rabu, 04 Maret 2009

Biaya Politik Kian Besar

Untuk Meraih Suara Terbanyak, Caleg Harus Dekati Pemilih
Rabu, 4 Maret 2009 | 05:17 WIB

Jakarta, Kompas - Putusan penetapan calon anggota legislatif dengan suara terbanyak dalam Pemilu 2009 menyedot biaya politik yang besar. Caleg harus mengalokasikan banyak dana untuk mendekatkan diri dengan konstituen melalui pertemuan langsung dan kunjungan ke daerah basis.

”Untuk bisa menemui konstituen langsung di daerah basis diperlukan biaya besar untuk kebutuhan transportasi, penginapan, konsumsi, dan pertemuan,” kata Rahardi Zakaria, caleg Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Selasa (3/3) di Bandung.

Caleg juga menanggung biaya politik lain berupa pengadaan atribut kampanye. Pada pemilu sebelumnya atribut kampanye tidak diadakan orang per orang. Semua diadakan partai. Namun, Rahardi menilai biaya politik itu masih dalam batas normal.

Risiko biaya politik caleg kian besar jika dia melakukan politik uang. Menurut Rahardi, warga sering kali mengajukan proposal bantuan atau permintaan dana secara langsung kepada caleg.

Hal serupa dialami Happy Bone Zulkarnain, caleg Partai Golkar. Dia mengatakan, tak mudah untuk menyadarkan warga tentang bahaya politik uang. ”Sering saya menegaskan kepada mereka untuk tak memilih saya bila harus dengan uang,” katanya.

Calon pemilih, ujar Happy, seperti menempatkan caleg sebagai Sinterklas yang datang membawa hadiah dan uang. Caleg dipandang sebagai orang berduit. Bagi caleg, itu sukar dihindari sebab semua hal akan diupayakan demi meraih suara terbanyak.

”Pengalaman pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) dari tahun ke tahun yang membudayakan politik uang akhirnya membentuk pola pikir tersebut. Hal itu juga yang menyebabkan siklus politik uang sukar diatasi atau dihindari caleg” katanya.

Bahkan, politik uang berkembang menjadi ajang pertaruhan caleg untuk jorjoran. Agung Nurhalim, caleg Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mengatakan, yang terjadi di lapangan adalah transaksi atau lelang. ”Misalnya, ada pertaruhan bagi siapa pun caleg yang mau atau berani membangun masjid, itu yang akan dipilih warga. Tawar-menawar nilai sumbangan pun sering kali tak terhindarkan,” katanya.

Praktik politik uang itu diakui Dedi Sunjaya, warga Jalan Samoja, Bandung. Ia mengatakan, pemberian uang oleh caleg saat berkampanye adalah hal biasa. ”Buat apa mereka datang jika tak membawa uang,” ujarnya.

Pengamat politik dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Bob Sugeng Hadiwinata, berpendapat, fenomena semacam itu adalah fase yang harus dilewati guna pembelajaran politik. ”Caleg akhirnya sadar, uang tak selalu berkorelasi dengan pilihan warga dan justru memberatkan mereka,” katanya.

Warga masih bingung

Dari Yogyakarta, Selasa, dilaporkan, masih banyak warga bingung dan sulit membayangkan proses Pemilu 2009. Muryani (25) dan keluarga besarnya yang tinggal di Dusun Blimbing, Kabupaten Gunung Kidul, misalnya, mengaku sama sekali tak mengerti mekanisme pencontrengan pada Pemilu 2009. Bahkan, dia juga belum pernah melihat contoh surat suara.

Muryani mengaku hanya memperoleh sosialisasi pemilu dari caleg yang aktif berkampanye hingga pelosok desa. Sosialisasi itu juga belum menyentuh hingga pencontrengan. Caleg itu lebih banyak menebarkan janji politik.

Ditemui terpisah, Sumarmi yang sehari-hari adalah kader Posyandu di Dusun IX, Cerme, Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, tidak bisa membayangkan seperti apa pemilu ”Semua orang bilang pemilu kali ini beda dari yang sudah-sudah,” katanya.

Ia tahu bahwa pada pemilu nanti dia harus memilih caleg dengan cara mencontreng. Namun, dia tak tahu di bagian apa pencontrengan itu harus dilakukan di kertas suara.(egi/wkm/yop/ays/rek/rul)

Tidak ada komentar: