Selasa, 03 Maret 2009

Centang Perenang Pemberian Suara (1)


Didik Supriyanto - detikPemilu



Jakarta - Sejak rakyat Indonesia mengenal pemilu, yakni Pemilu 1955, tanda pilihan yang dikenal adalah mencoblos surat suara (ballot). Surat suara adalah selembar kertas yang di dalamnya terdapat gambar partai atau nama calon, yang dibingkai dalam kotak.

Warga negara yang punya hak pilih dipersilakan memilih gambar atau nama tersebut dengan mencoblos. Alat pencoblos disediakan di bilik suara, berupa paku. Juga disediakan tatakan untuk memudahkan pemilih dalam mencoblos.

Demikian, cara pemberian suara terus berlanjut sampai tujuh kali pemilu Orde Baru. Nah, setelah rezim Soeharto tumbang, muncul pemikiran untuk mengubah cara pemberian suara. Tidak lagi menggunakan paku, melainkan bolpoin atau spidol.

Namun usulan menjelang Pemilu 1999 itu ditentang banyak kalangan. Terjadilah perdebatan: tetap mencoblos surat suara dengan paku, atau menandai dengan bolpoin. Para pembuat undang-undang sepakat, cara memberikan suara tetap dengan mencoblos.

Saat pembahasan RUU Pemilu 2004, muncul lagi perdebatan. Sebagian pihak mempertahankan mencoblos, dengan dalih rakyat belum siap menggunakan bolpoin; sedang pihak lain meyakinkan, memilih dengan mencoret mudah dilakukan karena angka buta huruf kian mengecil.

Akhirnya, meski surat suara kian lebar karena nama calon juga dimuat dalam surat suara, cara memilih tetap mencoblos. Bedanya, kali ini pemilih bisa mencoblos dua kali, yakni memilih partai dan calon. Memilih partai saja sah, tapi memilih calon tidak sah.

Perdebatan saat membahas RUU Pemilu 2009 sebetulnya tidak begitu seru. Mereka yang mempertahankan cara mencoblos, jumlahnya kian sedikit, suaranya pun tidak kencang.

Sepertinya mereka tidak enak hati, menganggap rakyat Indonesia buta huruf. Bayangkan, di dunia ini hanya ada satu negara Afrika yang masih menggunakan cara mencoblos. Di daratan Asia sudah tidak ada lagi. Apa bangsa ini masih terbelakang?

Para pembuat undang-undang juga masih teringat betul bagaimana kasus ‘pencoblosan massal’ pada Pemilu Presiden 2004, terjadi di Tawau, Sabah, Malaysia Timur.

Saat itu, Panwas Pemilu menemukan kasus pelanggaran yang biasa terjadi pada zaman Orde Baru: 50.000 lembar surat suara telah dicoblos sebelum digunakan. Jika tidak diketahui, sudah pasti surat suara itu akan dihitung karena dianggap sebagai pemberian suara dari TKI.

Jadi, pemberian suara dengan tanda mencoblos lebih mudah dimanipulasi. Sebab pelaku tinggal menumpuk surat suara, lalu memakunya dengan palu. Sekali pukul, ratusan surat suara tertandai. Saya curiga, jangan-jangan inilah alasan yang sesungguhnya Orde Baru mempertahankan cara mencoblos.

Tentu menandai surat suara dengan mencoret, menyilang, melingkari atau mencentang dengan bolpoin atau spidol, lebih sulit dimanipulasi. Setidaknya pelaku pelanggaran, harus bekerja lebih keras, karena harus menandai satu per satu setiap surat. Tidak bisa lagi sekali pukul.

Namun, sayangnya para pembuat undang-undang tidak secara tegas menjelaskan tanda apa yang dipakai oleh pemilih dalam pemberian suara. Pasal 176 UU No. 10/2008, hanya menyebutkan, “pemberian tanda”.

Ketidakjelasan perintah undang-undang inilah yang menyebabkan perdebatan panjang lagi, apalagi KPU juga tak segera mengambil kata putus. Akibatnya sampai sekarang, sebagain besar rakyat tidak tahu harus melakukan apa pada saat di bilik suara 9 April 2009.

Semoga sosialisasi massif yang dijanjikan KPU benar-benar terlaksana, sehingga suara rakyat tidak sia-sia.
( diks / iy )

Tidak ada komentar: