Senin, 09 Maret 2009

Diskusi Pemilu


Membayangkan Keriuhan Setelah Pemilihan
Selasa, 10 Maret 2009 | 04:53 WIB

Sidik Pramono

Lima tahun silam, Komisi Pemilihan Umum (KPU) ”kecolongan”. Dalam 550 anggota DPR terpilih yang dilantik 1 Oktober 2004 ternyata terselip sejumlah nama yang perolehan suaranya bermasalah. Dalam penetapan calon terpilih, KPU mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa hasil pemilu. Kemudian, terbukti ada manipulasi hasil rekapitulasi di sejumlah daerah yang menjadikan dasar putusan MK sebenarnya tidak valid lagi.

Namun, nasi telah menjadi bubur. Upaya KPU mengirimkan surat kepada Presiden mengenai perubahan penetapan calon terpilih anggota DPR hasil Pemilu 2004 tidak bersambut. Anggota DPR yang ”tiket masuk”-nya manipulatif tetap bisa menduduki jabatan dan menikmati beragam fasilitas yang menyertainya sampai sekarang. Sampai Pemilu 2009 tinggal hitungan hari.

Lima tahun berselang, potensi masalah setelah hari pemilihan tak juga berubah. Bahkan, bisa jadi malahan bertambah. Kesibukan KPU dipastikan tidak akan berhenti hanya sampai pada hari pemungutan suara, pada 9 April.

Rekapitulasi

Setelah pemungutan suara di tingkat tempat pemungutan suara (TPS), proses rekapitulasi mesti dilaksanakan secepatnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengharuskan penghitungan suara hanya dilakukan dan selesai di TPS bersangkutan pada hari/tanggal pemungutan suara. Petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara di TPS berhadapan dengan keterbatasan waktu karena proses penghitungan empat jenis surat suara yang bakal makan waktu. Dengan sekitar 350 pemilih per TPS, proses rekapitulasi diperkirakan bakal rampung tengah malam.

Potensi masalah berupa kerumitan merekapitulasi terbayang seturut dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2009 yang mengakomodasi pemberian tanda lebih dari sekali pada surat suara. Waktu sosialisasi kepada penyelenggara pemilu yang terbatas dikhawatirkan berisiko memunculkan konflik karena mungkin masih terdapat beragam pemahaman atas ketentuan sah tidaknya surat suara.

Persoalan bakal lebih rumit karena KPU mengakomodasi beragam jenis penandaan dan perppu memungkinkan terdapat beragam varian penandaan. Terlebih selama ini KPU (juga partai politik serta calon anggota legislatif) ”telanjur” menyosialisasikan sekali penandaan seperti yang awalnya dinyatakan dalam UU No 10/2008.

Proses rekapitulasi selanjutnya secara bertingkat dilaksanakan mulai dari tingkat kecamatan sampai ke tingkat pusat. Pada tahapan ini, KPU terikat batas waktu penetapan hasil pemilu secara nasional paling lambat 30 hari setelah hari/tanggal pemungutan suara. Belajar dari pengalaman pemilu lalu maupun sejumlah pemilihan kepala daerah, protes peserta pemilu maupun ”perpecahan” internal aparat penyelenggara pemilu di daerah masih mungkin terjadi.

Pada saat bersamaan, sekalipun tidak akan menjadi hasil resmi dan sekadar ”pembanding”, KPU mempersiapkan sistem teknologi informasi yang akan mengiringi proses rekapitulasi manual itu. Saat ini, KPU merencanakan adanya sistem yang memungkinkan hitung cepat (quick count) di mana hasil rekapitulasi akan dipindai (scanning) di KPU kabupaten/kota untuk dikirimkan ke pusat. Berikutnya, setelah tuntasnya penetapan hasil pemilu adalah penetapan perolehan kursi dan penetapan calon terpilih. Tahapan ini membutuhkan persiapan matang. Sedikit berbeda dari ketentuan yang berlaku pada Pemilu 2004, terdapat beberapa varian penghitungan yang mesti diterjemahkan dalam penghitungan teknis yang dibuat KPU.

Untuk pertama kalinya, ada ketentuan ambang batas parliamentary threshold yang besarnya 2,5 persen suara sah nasional untuk pemilu anggota DPR. Artinya, yang perolehan suara pemilu anggota DPR-nya tak mencapai 2,5 persen suara sah nasional, parpol itu tidak berhak mendapatkan kursi DPR seberapa pun suara yang diperoleh di sebuah daerah pemilihan. Imbasnya, perolehan suara parpol peserta pemilu bakal berpengaruh pada bisa atau tidaknya parpol bersangkutan memenuhi ketentuan parliamentary threshold itu. Ketelitian KPU dalam setiap tahapan akan menentukan sahih atau tidaknya hasil akhir pemilu pada akhirnya.

Terkait dengan penetapan hasil pemilu, gugatan dari peserta pemilu adalah faktor penting yang mutlak diperhatikan. Di tingkat bawah, terbuka kemungkinan penghitungan suara ulang mesti dilakukan jika sejumlah syarat tidak terpenuhi, seperti proses yang tertutup dan dilakukan di tempat yang kurang terang.

Akhirnya, setiap peserta pemilu memiliki waktu 3 x 24 jam sejak penetapan hasil pemilu untuk mengajukan gugatan perselisihan hasil pemilu kepada MK. Karena sifat putusan MK yang terakhir dan mengikat, setiap pemohon mutlak menyiapkan bukti yang valid dan meyakinkan untuk menghindarkan kemungkinan terulangnya ”kecolongan” seperti Pemilu 2004.

Proses penanganan pidana pemilu juga mesti dipastikan tuntas sebelum putusan akhir hasil pemilu. UU memberikan batasan waktu terhadap penanganan pidana pemilu, termasuk kapan putusan pengadilan mesti dilaksanakan sejak putusan diterima jaksa. UU juga menegaskan, putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran pidana pemilu yang memengaruhi perolehan suara peserta pemilu mesti rampung paling lambat lima hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu.

Tidak ada komentar: