Selasa, 03 Maret 2009

Pemilu Kian Membebani Anggaran Negara


Didik Supriyanto - detikPemilu



Jakarta - Pemilu 2009 diperkirakan akan menyedot dana negara sampai Rp 22 triliun. Anggapan bahwa demokrasi memang mahal, membuat kita malas itu membikin pemilu efisien.

Banyak kalangan mengeluhkan, biaya pemilu sangat mahal. Lebih-lebih jika dihitung dalam durasi lima tahunan, termasuk pilkada. Lihatlah Pilkada Jawa Timur yang berlangsung dua putaran plus ulangan di beberapa kabupaten/kota.

Namun sejumlah pengamat tetap bersiteguh bahwa pemilu kita masih murah. Oleh karena itu tidak perlu merisaukan masalah anggaran. "Demokrasi memang mahal," demikian kata para pengamat pemilu, yang didukung oleh sejumlah elit politik.

Kesimpulan bahwa pemilu kita masih murah memang bukan tanpa dasar. Hal ini tampak bila dibandingkan dengan biaya pemilu per pemilih pada skala dunia, sebagaimana dikumpulkan oleh UNDP.

UNDP menghitung biaya Pemilu 2004 hanya US 1,5 dollar per pemilih. Lebih murah dibandingkan negara-negara maju dan beberapa negara berkembang di Amerika Latin, dan Asia. Namun angka itu masih lebih mahal dari India dan beberapa negara Afrika.

Sesungguhnya angka tersebut kurang akurat, karena US$ 1,5 dollar dihitung berdasarkan anggaran APBN. Padahal Pemilu 2004 juga menyedot APBD di setiap daerah yang tidak sedikit. Plus biaya pilkada bupati/walikota dan gubernur, maka biaya pemilu kita setiap lima tahun bisa dua kali lipat dari angka UNDP tersebut.

Mengapa pemilu kita mahal?

Pertama, dari segi sistem. Sistem pemilu kita memang hasil 'kreativitas' yang luar biasa sehingga efek pendanaannya pun juga luar biasa. Sistem proporsional tertutup jelas lebih murah, karena surat suara hanya berisi gambar partai. Nah, karena sistem ini denggap buruk (prasangka tanpa membandingkan kenyataan di tempat lain), maka sejak Pemilu 2004 diubah menjadi sistem proporsional terbuka.

Implikasinya surat suara harus memuat nama calon, sehingga ukuran surat suara lebar. Apalagi daerah pemilihan kursinya besar, sehingga di beberapa daerah surat suara tak hanya selebar koran, tetapi juga lebih dari satu halaman. Tujuan sistem poporsional terbuka untuk meningkatkan akuntabilitas calon terpilih pun tak tercapai, karena calon terpilih harus menghadapi konsituen yang demikian luas wilayahnya.

Kedua, dari segi waktu penyelenggaraan. Pemilu yang menyerentakkan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota jelas membutuhkan dana yang berlipat-lipat dalam satu momen pemilu. Dengan melihat luas wilayah dan kondisi geografis Indonesia, empat pemilu legislatif yang serentak jelas memasuki wilayah "unmanageable".

Dana berlipat tersedot dalam satu momen, sehingga dari segi pengaturan anggaran negara juga merepotkan. Di sisi lain, penyelenggara pilpres dan pilkada yang berlainan waktunya, menambah nyata, betapa bangsa ini seperti "tidak cerdas" mengatur anggaran negara. Jadi, setiap lima tahun sekali, ada satu waktu (pemilu legislatif) segenap tenaga dan pikiran dikerahkan habis untuk sukses pemilu, di waktu yang lan pilpres dan pilkada dibiarkan berjalan berserakan sehingga kontrol penggunaan anggaran pun rendah.

Ketiga, meski sejak Pemilu 1999 KPU ditetapkan selaku penyelenggara 'tunggal' pemilu, namun dalam praktek, banyak sekali instansi pemerintah yang ikutan ngurus proyek pemilu, seperti Depdagri, Kominfo, Polri, dan lain-lain. Kalau anggara pemilu yang tersebar di banyak instansi itu disatukan dengan anggaran KPU, semakin jelas betapa banyak uang rakyat dihamburkan untuk proyek pemilu.

Di sisi lain, struktur organisasi penyelenggara pemilu juga kian tidak efisien. Bawaslu dan pengawas pemilu yang tidak punya peran apa-apa, kecuali teriak di koran ada pelanggaran, menambah beban anggaran yang kian banyak, karena di pusat bersifat permanen, sementara di bawah strukturnya sampai desa.

Keempat, persepsi yang salah tentang pemilu dan demokrasi. Selama ini muncul anggapan di kalangan pengamat, pemantau dan elit politik, bahwa demokrasi itu mahal. Oleh karena itu, berapa pun besarnya anggaran pemilu, demi demokrasi harus dikeluarkan.

Mungkin karena para pengamat, pemantau dan elit politik itu tidak pernah merasakan betapa sulitnya mengumpulkan uang negara, maka mereka tidak memperhatikan masalah efisiensi penyelenggaraan pemilu. Bahkan gagasan efisiensi selalu dibenturkan dengan sikap antidemokrasi.

*) Didik Supriyanto, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
( diks / nrl )

Tidak ada komentar: