Jumat, 13 Maret 2009

Tarikan PengaruhKutonegaran dan Pasisiran

Jawa Tengah merupakan tempat lahir dan berkembangnya budaya Jawa. Akan tetapi, kadar pengaruh kebudayaan ini tidak semuanya merata di wilayah itu. Provinsi ini masih terbagi-bagi ke dalam subwilayah kultur yang relatif berbeda meskipun batasannya ”tipis”.

Bagi masyarakat Jawa, keraton bukan hanya suatu pusat politik dan budaya, tetapi keraton juga merupakan pusat keramat kerajaan. Pandangan senada juga pernah diungkapkan Franz Magnis-Suseno (1996) dalam bukunya, Etika Jawa. Keraton adalah tempat raja bersemayam, dan raja merupakan sumber kekuatan- kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah dan membawa ketenteraman, keadilan, dan kesuburan.

Oleh karena itu, pengaruh keraton bukan hanya menyangkut struktur sosial masyarakatnya, tetapi juga bersifat kewilayahan. Wilayah kekuasaan keraton pun akan terbagi-bagi berdasarkan kadar pengaruhnya.

Ketika pusat Kerajaan Mataram Islam terpecah menjadi dua, Yogyakarta dan Surakarta, sebagian besar wilayah Jateng masuk dalam pengaruh dari Keraton Surakarta. Karena itu, pemilahan wilayah pengaruhnya pun tak lepas dari kedekatan secara geografis dengan Kota Surakarta sebagai pusat budaya dan sebagai kutonegaran (pusat kerajaan).

Menurut pakar sejarah dari Universitas Diponegoro, Prof Dr Djuliati Suroyo, derajat pengaruh dan keterdudukan kepada kutonegaran inilah yang menjadi ukuran untuk memahami bagaimana peta budaya di Jateng yang terbagi dalam empat wilayah konsentrik.

Wilayah konsentrik yang pertama adalah kutonegoro, yakni Kota Surakarta yang menjadi lokasi keberadaan keraton. Wilayah kedua adalah wilayah yang langsung ”diperintah” oleh raja, dalam hal ini pengaruh keraton masih cukup kuat di wilayah yang disebut nagarigung.

Lalu wilayah konsentrik ketiga adalah monconegara yang tidak memiliki keterikatan terlalu kuat dengan keraton. Pemerintahan di wilayah ini lebih banyak didominasi oleh kepala daerah, sedangkan kekuasaan keraton relatif lemah. Budaya keraton di wilayah monconegara pun juga tidak sekuat yang ada di wilayah nagarigung. Ketiga wilayah tersebut, kutonegaran, nagarigung, dan monconegara, cakupan wilayah geografisnya masuk kawasan pedalaman.

Wilayah konsentrik yang keempat adalah pasisiran yang sama sekali tidak memiliki keterikatan kuat dengan kutonegaran. Wilayah ini merujuk pada kawasan pesisir utara Jawa, di mana pengaruh kekuasaan keraton, ketertundukan kepada raja Jawa semakin lemah.

Wilayah pasisiran ini tidak lepas dari pengaruh Islam dan China. Tercatat dalam sejarah, penyiaran agama Islam ke tanah Jawa dimulai dari wilayah ini. Bahkan, pada tahun 1511 di daerah ini pernah muncul Kesultanan Islam Demak yang pengaruhnya mampu menguasai daerah pedalaman.

Hubungan wilayah pedalaman dan pesisir ini mulai memanas ketika pada akhir abad ke-16 senapati dari Mataram Islam yang berpusat di Yogyakarta berhasil menaklukkan Demak.

Upaya penghancuran kota-kota perdagangan di pesisir utara Jawa kemudian dilanjutkan oleh cucunya, Sultan Agung (1613- 1645).

(YOHAN WAHYU/Litbang Kompas)

PETA POLITIK


Jawa Tengah
Arena Pertaruhan "Nasionalis"
Kamis, 12 Maret 2009 | 04:27 WIB

YOHAN WAHYU DAN IGNATIUS KRISTANTO

Jawa Tengah boleh dibilang tergolong homogen dari segi etnis dan budayanya. Mayoritas penduduknya, 98 persen, bersuku Jawa dan dalam keseharian menggunakan bahasa Jawa. Saking seragamnya, orang Jepara yang terletak di pesisir utara dapat dengan mudah mengerti ucapan bahasa Jawa yang dikeluarkan orang Kebumen yang lokasinya di pesisir selatan meskipun dengan dialek yang berbeda.

Akan tetapi, kesamaan etnis ini tidak terjadi dalam preferensi politiknya. Jepara pada Pemilu 2004 dimenangi oleh Partai Persatuan Pembangunan yang berasas Islam, sedangkan Kebumen dikuasai oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang berideologi nasionalis.

Dari sini tampak bahwa Jateng terbagi menjadi dua ”mazhab” besar, nasionalis dan Islam. Pilihan politik nasionalis lebih banyak dianut penduduk wilayah pedalaman, sedangkan partai-partai yang mengusung ideologi Islam banyak mendapat tempat di pesisir utara.

Namun, penguasaan pemilihnya lebih condong ke nasionalis. Dengan partai pemenangnya adalah PDI-P. Jika suara pemilih partai-partai nasionalis pada Pemilu 2004 digabung dan dilawankan dengan gabungan partai-partai Islam, proporsinya mencapai 60 persen banding 40 persen.

Segregasi pilihan politik ini ternyata bukan hanya bersifat struktural, tetapi juga bersifat kewilayahan. Pemilahan wilayah terjadi antara daerah pesisir utara dan pedalaman. Wilayah utara banyak dikuasai partai-partai Islam seperti PPP dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sedangkan pedalaman dikuasai oleh PDI-P.

Pemilahan wilayah politik ini hampir mirip di Jawa Timur, hanya lokasinya yang berbeda. Jika di Jatim pembagian geografisnya antara barat dan timur, di Jateng antara utara dan selatan. Pola kecenderungan politik ini relatif stabil, tidak berubah, dan sudah terjadi sejak Pemilu 1955. Ini menunjukkan seakan-akan pola politik aliran yang terjadi sejak pemilu pertama itu tidak berubah hingga kini.

Menurut Herbert Feith (1999), politik aliran memang masih kuat, khususnya di Jawa. Pilihan politik penduduk di wilayah lebih banyak dipengaruhi faktor kepercayaan dan kecurigaan daripada faktor pilihan program- program yang ditawarkan partai politik.

Fakta ini sungguh menarik. Jika ditilik sejarahnya, pandangan Feith dapat ditelusuri jejaknya. Perbedaan kultur politik pesisir utara dan pedalaman sudah terjadi sejak era kedatangan Islam di Jawa pada abad ke-14. Islam masuk lewat pesisir utara.

Menurut pandangan guru besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Prof Dr Djuliati Suroyo, wilayah pesisir atau pasisiran adalah wilayah yang relatif terbuka terhadap pengaruh luar. ”Di wilayah ini, Islam lebih mudah masuk karena pengaruh Hindu-Buddha relatif tidak sekuat di wilayah pedalaman,” kata Djuliati.

Ketika pusat kerajaan Jawa berpindah dari pesisir utara ke wilayah pedalaman, di Surakarta dan Yogyakarta mulai muncul pembagian ”kasta” wilayah berdasarkan pengaruh keraton.

Dari kacamata orang Jawa, kedua pusat kota menjadi wilayah inti, sedangkan wilayah pesisir utara tergolong wilayah monconegara.

Meskipun sejak abad ke-18 hampir seluruh Jateng secara resmi beragama Islam, intensitas keagamaannya berbeda. Pusat Islam tetap di daerah pesisir utara dan cenderung berkebudayaan santri. Sebaliknya, meskipun keraton- keraton Jawa yang terletak di pedalaman secara resmi memeluk agama Islam, dalam gaya kehidupannya pengaruh tradisi Hindu-Jawa lebih menonjol.

Pemilu 2009

Kini pegangan penduduk Jateng dalam memilih partai sebagian besar tertuju pada PDI-P. Dalam dua pemilu terakhir, perolehan suaranya tetap di urutan pertama. Bahkan dalam pemilihan gubernur pada tahun 2008, pasangan calon yang diusung partai ini, Bibit Waluyo-Rustriningsih, berhasil memenanginya. Kemenangan di dua pemilu dan pemilihan gubernur tersebut tidak hanya meneguhkan partai ini terkuat di Jateng, tetapi juga menjadikan provinsi tersebut sebagai basis politik terbesar di Jawa.

Dominasi PDI-P di Jateng tidak lepas dari menguatnya relasi politik dan budaya di provinsi ini. Budayawan dari Banyumas, Ahmad Tohari, melihat identitas konstituen PDI-P berbanding lurus dengan identitas kaum abangan dan kejawen yang begitu mengakar kuat di Jateng.

”Pernyataan orang yang mengaku sebagai simpatisan PDI-P itu sekaligus pernyataan identitas kultural mereka sebagai orang Jawa. Jadi bukan sekadar identitas politik saja,” ujar Tohari.

Namun, dominasi PDI-P di Jateng mulai mendapat tantangan. Tanda-tandanya mulai terlihat sejak perolehan suaranya menurun dari 43 persen pada Pemilu 1999 menjadi 30 persen pada Pemilu 2004.

Demikian juga yang terjadi ketika menghadapi pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota. Dari daerah-daerah yang dimenangi PDI-P pada Pemilu 2004, hanya 18 daerah yang bisa menempatkan calonnya dapat menguasai kursi bupati atau wali kota. Beberapa daerah yang sebelumnya menjadi salah satu basis pendukungnya, PDI-P tidak berhasil menempatkan kandidatnya sebagai pemenang pilkada.

Misalnya di pilkada Blora, calon yang diusung PDI-P kalah melawan calon yang diusung Golkar. Basuki Widodo- Yudhi Sancoyo meraih suara terbanyak dengan mengalahkan pasangan Hartomi Wibowo-Bambang Susilo. Demikian juga di pilkada Kabupaten Wonosobo yang tergolong daerah pedalaman, calon dari PDI-P juga kalah. Pemenangnya adalah Abdul Kholiq Arif-Munthohar yang didukung PKB dan PKS dengan meraih suara lebih dari separuh pemilih.

Hal ini juga mendapat perhatian pengamat politik dari Universitas Diponegoro, Susilo Utomo. Menurut pandangan dia, PDI-P dalam menghadapi Pemilu 2009 memang masih menjadi partai yang dominan di Jateng. Namun, semua tergantung sejauh mana soliditas internal partai ini. Ancaman yang cukup tampak menjelang pemilu ini, menurut Susilo, adalah perang antarcalon anggota legislatif (caleg), baik caleg dengan partai politik berbeda maupun caleg dari partai politik yang sama.

”Isu ideologi dalam kampanye caleg jarang disinggung, padahal kata kunci bagi PDI-P adalah berjuang untuk rakyat kecil”, ujar Susilo. Jika kampanye legislatif, terutama dari caleg PDI-P, melupakan hal ini, bukan tidak mungkin akan memengaruhi peluang partai berlambang kepala banteng mulut putih ini pada Pemilu 9 April 2009.

Potensi pemilih yang condong ke ideologi ”nasionalis” di Jateng besar, sekitar 60 persen dari total konstituen. Sebagian besar berada di wilayah pedalaman. Di wilayah inilah nantinya partai-partai ”nasionalis” lain akan bersaing dengan PDI-P. Apalagi dalam pemilu kali ini tercatat ada 26 partai yang mengusung corak kebangsaan. (Litbang Kompas)

Sosok Keraton dalam Politik


Jumat, 13 Maret 2009 | 06:10 WIB

Keraton Yogyakarta adalah simbol budaya adiluhung Jawa, khususnya yang bernuansa Mataraman. Hingga kini, keraton yang berdiri dua setengah abad lalu itu masih menjadi patron kultural masyarakat di DIY dan sebagian Jawa Tengah. Namun uniknya, meski kental mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat, keraton tak serta-merta menjadi patron dalam berpolitik.

Lantas, di manakah letak Keraton Yogyakarta dalam konteks pemilih pemilu dan seberapa besar pengaruh tokoh terhadap pilihan politik?

Arif Akhyat, pengajar pada Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, menyatakan, Keraton Yogyakarta sebagai patron budaya sebenarnya mengakar kuat hingga ke masyarakat bawah. Sebagai institusi, keraton sebetulnya menjadi patron perubahan dalam masyarakat, termasuk orientasi pilihan politik. Namun, kekuatan pengaruh keraton tersebut berlaku pada kalangan tertentu semata, yaitu pada orang Yogyakarta asli dan pendatang yang telah menyatu secara kultural dengan keraton.

Selain itu, sikap politik Keraton Yogyakarta yang secara demokratis membebaskan pilihan politik rakyat menjadikan peta politik DIY menjadi cenderung ”netral” dari intervensi perintah keraton. Pada titik tertentu, sikap keraton yang sebenarnya sangat dipatuhi oleh kawula Yogyakarta itu menempatkan citra keraton lebih berfungsi sebagai institusi budaya ketimbang politik (Sultan HB X sebagai Raja Yogyakarta adalah Gubernur DIY, sekaligus pimpinan Golkar).

Dengan demikian, tak mengherankan jika publik Yogyakarta memandang Keraton Yogyakarta sebagai patron budaya, tempat nilai-nilai budaya Jawa dilestarikan. Namun, dalam berpolitik, publik Yogya bisa memiliki pilihan politik yang berbeda. Secara sederhana, hal itu juga tecermin dalam polarisasi dukungan kerabat Keraton Yogyakarta terhadap patron keraton, yaitu Sultan Hamengku Buwono X. Prabukusumo, adik HB X, contohnya, cenderung mendukung Partai Demokrat dan calon presiden yang diusung parpol tersebut dalam Pemilu 2009.

Meski demikian, patron budaya itu terbukti sewaktu-waktu bisa menjadi sebuah patron politik manakala pihak keraton atau Sultan HB X sendiri memerintahkan sebuah gerakan politik, sebagaimana terjadi pada ”Aksi Massa Reformasi” Mei 1998. Demikian juga terkait dengan pencalonan Sultan HB X sebagai presiden, terlihat peran Keraton Yogyakarta yang kembali dilibatkan dalam kancah politik melalui acara ”Pisowanan Agung”. Dalam kasus-kasus semacam itu, terbukti Keraton Yogyakarta masih memiliki pamor kuat untuk menggerakkan pilihan politik publik Yogyakarta.

Santri dan abangan

Dalam situasi bebas, menurut Sigit Pamungkas, potret karakter konstituen Yogyakarta sejauh ini tak bergeser banyak dari hasil kajian Afan Gaffar dalam buku Javanese Voters: A Case Study of an Election Under a Hegemonic Party System in Indonesia. Pemilih cenderung menetapkan preferensi politiknya sesuai dengan komitmen sosioreligi yang diyakini. Secara sederhana, pemilih masih terpilah dalam kelompok santri dan abangan. Kelompok ”santri” cenderung memilih partai politik berhaluan Islam, sedangkan ”abangan” lebih condong memilih parpol non-agama, seperti parpol berideologi nasionalis atau sosialis.

Dalam konteks kekinian, ”santri” tak sekadar mengacu pada kalangan pondok pesantren atau mereka yang belajar kepada kiai (nyantri). ”Santri” mencakup konteks yang lebih luas, yaitu mereka yang bersimpati atau berafiliasi pada organisasi sosial keagamaan (Islam) tertentu. Tak terbatas pada organisasi sosial keagamaan yang sudah lama eksis di Indonesia saja, seperti NU atau Muhammadiyah, tetapi juga organisasi Islam seperti Hizbut Tahrir Indonesia. Sementara itu, ”abangan” mereferensi kelompok masyarakat di luar santri, termasuk pemeluk Islam yang nonpartisan terhadap organisasi sosial keagamaan tertentu.

Heterogenitas komposisi penduduk DIY saat ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi parpol untuk menggarap pemilih Yogyakarta. Kemampuan memetakan konstituen dalam kantong-kantong santri dan abangan akan lebih memudahkan parpol dalam melakukan pendekatan yang efektif guna meraih suara konstituen pada Pemilu 2009. (NURUL FATCHIATI)

Peta Politik


Daerah Istimewa Yogyakarta
Geliat "Santri Kota" di Wilayah "Abangan "
Jumat, 13 Maret 2009 | 06:12 WIB

Meski Muhammadiyah, salah satu organisasi sosial keagamaan besar, berpangkal dari Yogyakarta, provinsi yang pertama bergabung dengan Republik Indonesia pada awal kemerdekaan ini sejatinya adalah basis kaum nasionalis. Kekuatan politik kaum nasionalis patut mewaspadai kekuatan partai aliran keagamaan yang mulai meraih simpati konstituen Yogyakarta.

Kompetisi di antara parpol yang berhaluan nasionalis, komunis, dan Islam di DIY sebenarnya sudah terjadi sejak pemilu pertama digelar. Pada Pemilu 1955 itu, ketika DIY masih menjadi satu wilayah dengan Provinsi Jawa Tengah, Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) mendominasi perolehan suara di wilayah yang saat ini menjadi wilayah DIY. PNI menang mutlak di Kabupaten Kulon Progo serta menang tipis di Kabupaten Bantul dan Sleman. Sedangkan PKI menang di Kabupaten Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta.

Dilihat secara provinsi, pamor partai Islam saat itu masih relatif kecil, bahkan kalah oleh Grinda, sebuah gerakan politik kaum priayi/bangsawan di Yogyakarta yang meraih suara ketiga terbanyak. Partai Islam Masyumi yang tersohor itu hanya mampu meraih peringkat keempat.

Pada era pemilu berikutnya, kekuatan politik Golkar telah mampu menggiring suara bagi partai ”beringin” itu. Bahkan, sebelum fusi parpol diberlakukan tahun 1971, Golongan Karya yang mampu mendefinisikan dirinya dalam birokrasi mendapat suara terbanyak meski masih dibayang-bayangi perolehan Partai NU.

Seperti halnya ”nasib” mayoritas provinsi di Indonesia, sepanjang pemilu masa Orde Baru, Golkar menang mutlak di DIY. Namun, kemenangan parpol tersebut tak pernah lebih besar dari 71 persen. Sebagian pemilih yang berdomisili di Gunung Kidul dan Kota Yogyakarta cenderung loyal berpihak pada partai nasionalis. Bahkan, perolehan suara Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dari pemilu ke pemilu dalam kurun waktu 20 tahun (1977-1997) di dua wilayah tersebut cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Afiliasi keislaman

Pemilu langsung yang terselenggara tahun 1999 mengukuhkan citra wilayah ini sebagai basis nasionalis. PDI-P sebagai representasi dari parpol nasionalis menang mutlak di semua kabupaten/kota di DIY dan berhasil meloloskan 15 wakilnya di kursi DPRD provinsi. Selain bangkitnya pemilih nasionalis, pada saat yang sama basis-basis konstituen partai Islam rupanya turut berkembang. Kekuatan politik Islam tampak dari ”menyeruaknya” perolehan suara Partai Amanat Nasional (PAN) yang meraih tempat kedua dengan 17,27 persen suara, mengalahkan Golkar di tempat ketiga dan PKB di tempat keempat.

”Kemenangan” politik PAN dengan meraih tempat kedua dalam Pemilu 1999 menandai bangkitnya kekuatan politik yang berafiliasi kepada identitas keislaman. Meski parpol ini secara platform bersifat terbuka, tak terhindarkan terbentuknya afiliasi politik yang dekat dengan simbol keislaman, terutama gerakan Muhammadiyah yang lahir di Yogyakarta. Malah bisa dikatakan, PAN memiliki massa riil pendukung yang dikonstruksi dan terbentuk dari jumlah massa Muhammadiyah di wilayah ini.

Perolehan suara PAN dalam Pemilu 2004 mencapai 342.921 suara. Sedangkan dari proyeksi data pemilih Pemilu 2004, diperkirakan pemilih potensial PAN sebenarnya mencapai 544.325 jiwa lebih atau 1/7 jumlah penduduk.

”Orang Muhammadiyah memilih PAN bukan karena partai (kuasi) Islam. Bukan pula karena parpol itu berwatak plural. Orang Muhammadiyah memilih PAN semata karena parpol itu ’baju’-nya Muhammadiyah,” kata Sigit Pamungkas, pengajar pada Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol, UGM.

Dengan habitat sosial semacam itu, tak heran, PAN yang sebenarnya ”pendatang baru” dalam percaturan politik di DIY dengan cepat meraih simpati konstituen. Terbukti, Kabupaten Sleman, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul merupakan lumbung suara PAN pada tahun 1999. Di wilayah-wilayah itu PAN mengalahkan Golkar dan menduduki peringkat kedua di bawah PDI-P.

Sifat kelompok santri di DIY dalam berpolitik saat ini tak berbeda jauh dengan masa lalu. Kelompok ini relatif ”patuh” pada afiliasi keagamaannya meski tak selalu setuju dengan pandangan organisasi sosial keagamaan yang menjadi referensinya. ”Konstituen yang termasuk kaum santri di Yogyakarta cenderung ’manut’ atau mengikuti pilihan politik orang-orang yang punya komitmen sosioreligi sama,” kata Sigit Pamungkas.

Di lain pihak, pemilahan karakter pemilih pemilu Yogyakarta yang relatif terdidik dan melek informasi membuka pintu bagi kehadiran parpol kuasi agama seperti PAN. Partai kuasi menjadi partai ”alternatif” ketika baik konstituen Muslim maupun non-Muslim mendapati kekecewaan dengan parpol nasionalis, seperti PDI-P dan Golkar. Itu terbukti dari perolehan suara PAN dalam dua pemilu langsung (1999-2004) yang memang cenderung tetap (17 persen), sementara suara parpol-parpol nasionalis justru semakin turun.

Merosotnya perolehan suara parpol nasionalis dalam Pemilu 2004 menjadi fenomena tersendiri. PDI-P yang mengantongi sedikitnya 35 persen suara pada Pemilu 1999 menurun hampir 10 persen. Partai Golkar juga berkurang suaranya meski tak terlampau besar. Di sisi lain, perolehan suara parpol berbasis massa Islam yang direpresentasikan oleh PAN, PKB, dan PKS cenderung kokoh, bahkan meningkat. Apakah ini merupakan tanda mulai tergerogotinya kekuatan politik di basis kaum nasionalis?

Kultur nasionalis

Kedekatan sosiopolitik pemilih DIY pada ideologi nasionalis tak lepas dari peran Keraton Yogyakarta sebagai patron kultural dan sosok yang cenderung mengedepankan paradigma nasionalisme dalam berkomunikasi politik kepada rakyat Yogyakarta. Salah satu contoh konkret adalah penggabungan wilayah ini dengan ”bayi” negara RI pada masa kemerdekaan serta dukungan kuat Sultan Hamengku Buwono IX terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

Menurut Arief Akhyat, pengajar Jurusan Sejarah UGM, nasionalisme terbentuk pula dari perjalanan sejarah sosial ekonomi masyarakat Yogyakarta. Pascakemerdekaan, sebagian besar rakyat Indonesia, termasuk DIY, terperangkap kemiskinan. Semakin jauh letak suatu kawasan dari Keraton Yogyakarta, semakin ”berjarak” pula kesejahteraan penduduknya dengan kemakmuran. Pada Pemilu 1955, kondisi yang demikian menjadi lahan garap potensial bagi PNI dan PKI yang menjunjung konsep marhaenisme dan keberpihakan kepada kaum papa, sebuah isu yang kini banyak digaungkan kembali oleh partai-partai nasionalis.

Di samping faktor penguat identitas nasionalis tersebut, posisi Yogyakarta sebagai kota ”pendatang” tempat bernaungnya berbagai institusi pendidikan memberikan perkembangan warna politik tersendiri yang cenderung dinamis bagi perubahan. Partai-partai mapan, seperti PDI-P dan Golkar, terpaksa berbagi suara pemilih dengan parpol nasionalis baru, seperti Partai Demokrat. Hal itu tampak dari perolehan Demokrat di DIY yang cukup berarti, sekitar 6 persen suara. Tampilnya sosok Susilo Bambang Yudhoyono ke tampuk teratas pemerintahan agaknya menjadi penarik dukungan yang cukup efektif untuk menarik simpati pemilih partai-partai nasionalis tradisional.

Kian menyebarnya dukungan kaum nasionalis tradisional kepada Partai Demokrat maupun partai nasionalis-sekuler lainnya bisa jadi bakal makin menyurutkan pamor partai nasionalis mapan seperti PDI-P dan Golkar. Belum lagi kehadiran partai nasionalis baru seperti Gerindra dan Hanura yang gencar mempromosikan nilai-nilai keberpihakan kepada rakyat.

Selama dua pemilu terakhir (1999-2004), tampak proporsi perolehan parpol nasionalis dan Islam sebenarnya relatif tetap. Pada Pemilu 1999, pemilih parpol Islam di wilayah ini mencakup 44 persen, sedangkan pemilih partai nasionalis sekitar 56 persen. Komposisi ini terulang kembali dalam jumlah relatif sama pada Pemilu 2004. Artinya, pemilih nasional dan pemilih Islam relatif loyal kepada ideologi yang dianut, tetapi bisa jadi beralih ”baju” kepada partai lain, asalkan ideologinya sama.

Bersandar pada fakta hasil dua pemilu langsung dalam sepuluh tahun terakhir, diprediksi parpol yang mengusung ideologi nasionalis masih tetap eksis di DIY. Konstituen Yogyakarta yang sebagian besar ”abangan” menjadi segmen pangsa potensial bagi parpol-parpol nasionalis. Tiga parpol nasionalis yang bakal berkompetisi cukup ketat adalah PDI-P, Partai Golkar, dan Demokrat, selain partai baru seperti Gerindra dan Hanura. Namun, PAN, PKB, PKS, dan parpol berhaluan Islam lain juga potensial menjadi pilihan warga Yogyakarta. Tinggal kelincahan parpol memanfaatkan waktu menuju 9 April 2009, melimbang suara konstituen DIY yang masih mungkin bersulih. (NURUL FATCHIATI/ Litbang Kompas)

Senin, 09 Maret 2009

Parpol Jangan Pikir Kekuasaan


Muhammadiyah Ajak Masyarakat Kritis Pilih Pemimpin Nasional
Selasa, 10 Maret 2009 | 04:11 WIB

Bandar Lampung, Kompas - Menjelang pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009, Muhammadiyah mendesak partai politik dan semua komponen bangsa untuk tidak menjadikan Pemilu 2009 sebagai ajang perebutan kursi kekuasaan belaka.

Pemilu harus dijadikan momentum untuk menghasilkan anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden yang bertanggung jawab.

Muhammadiyah juga mengajak masyarakat tetap kritis dalam memilih pemimpin nasional pada Pemilu 2009.

Demikian rekomendasi hasil sidang Tanwir Muhammadiyah 2009 di Bandar Lampung yang dibacakan Sekretaris Pimpinan Pusat Muhammadiyah Rosyad Saleh pada penutupan Sidang Tanwir Muhammadiyah 2009, Minggu (8/3).

Muhammadiyah merekomendasikan, pemimpin nasional harus memiliki visi dan karakter yang kuat sebagai negarawan. Pemimpin harus mengutamakan kepentingan bangsa dan negara ketimbang kepentingan partai politik, diri sendiri, keluarga, kroni, dan lainnya.

Pemimpin nasional juga harus berani mengambil berbagai keputusan penting dan strategis yang menyangkut hajat hidup rakyat dan kepentingan negara, mampu menyelesaikan persoalan krusial bangsa secara tegas, serta melakukan penyelamatan aset dan kekayaan negara.

Pemimpin nasional juga harus mampu menjaga kewibawaan dan kedaulatan nasional dari berbagai ancaman di dalam dan luar negeri, serta mampu mewujudkan pemerintahan yang baik, termasuk melakukan pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu. Seorang pemimpin nasional juga melepaskan jabatan di partai politik apa pun dan berkonsentrasi memimpin bangsa dan negara.

Dalam rekomendasi tersebut Muhammadiyah menegaskan, Pemilu 2009 harus dijadikan sebagai momentum untuk menghasilkan anggota legislatif, presiden, dan wakil presiden yang bertanggung jawab.

Untuk itu, segenap kekuatan politik, elite, dan warga masyarakat harus menjauhkan diri dari segala bentuk politik uang dan cara-cara yang kotor dalam berpolitik pada Pemilu 2009. Tindakan seperti itu, selain tidak benar, juga dapat merusak tatanan kehidupan politik nasional dan meruntuhkan moral bangsa.

Secara cerdas

Rekomendasi tersebut juga ditegaskan Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, bahwa Muhammadiyah juga menyerukan dan mengajak segenap warga negara yang memiliki hak pilih untuk menggunakan hak politiknya secara cerdas dan kritis. ”Penggunaan hak politik tersebut merupakan wujud tanggung jawab berdemokrasi untuk perbaikan dan penyempurnaan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Din.

Bersama-sama dengan rekomendasi politik tersebut, Muhammadiyah juga mengajak segenap komponen bangsa untuk membangun visi dan karakter bangsa. Indonesia harus menjadi bangsa yang berkepribadian kuat berdasarkan nilai keimanan; ketaatan beribadah; akhlak mulia dan budi pekerti luhur sebagai landasan untuk menuju Indonesia yang adil, makmur, berdaulat, maju, dan kuat dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika.

Untuk masalah-masalah di tingkat internasional, Muhammadiyah menyerukan kepada dunia Islam, terutama negara-negara kaya di Asia Barat, untuk membangun jaringan solidaritas konkret bagi penanganan masalah konflik dan kemiskinan di negara-negara yang mayoritas beragama Islam. (HLN)

DPR untuk Mencari Nafkah


Demokrasi Tumbuh Tidak Ideal
Selasa, 10 Maret 2009 | 04:16 WIB

Jakarta, Kompas - Dukungan kepada anggota Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat, Abdul Hadi Djamal, dan anggapan bahwa yang dialaminya hanyalah nasib apes, menunjukkan bahwa menjadi anggota legislatif masih lebih ditujukan untuk mencari nafkah dan bukan wakil rakyat dengan standar moral tertentu.

Ini menjadi salah satu masalah pelik dalam demokratisasi di Indonesia.

”Status Abdul Hadi sebagai anggota DPR tidak hanya menjadi sumber nafkah bagi dirinya sendiri, tetapi juga pihak lain yang masuk dalam jaringan kekerabatan atau kepentingannya. Karena itu, yang dialami Abdul Hadi juga akan merusak nafkah jaringannya sehingga wajar jika mereka ikut kecewa,” kata sosiolog dari Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, Senin (9/3) di Jakarta.

Pernyataan itu disampaikan Tamrin menanggapi aksi sekitar 200 pendukung Abdul Hadi di Makassar, Sulawesi Selatan, yang menggelar doa bersama bagi tersangka penerima suap dari rekanan dan pegawai Departemen Perhubungan tersebut. Abdul Hadi tercatat sebagai caleg untuk daerah pemilihan Sulawesi Selatan I (Kompas, 7/3).

Status tersangka itu diterima Abdul Hadi setelah Senin (2/3) sekitar pukul 22.30, dia dan pegawai Departemen Perhubungan, Darmawati, ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Dari mobil yang mereka tumpangi ditemukan uang 90.000 dollar AS (Rp 1,08 miliar dengan kurs Rp 12.000 per dollar AS) dan Rp 54,55 juta.

Dari informasi kedua orang itu, KPK lalu menangkap Hontjo Kurniawan, Komisaris PT Kurnia Jaya Wira Bakti, Surabaya, di Apartemen Taman Anggrek, Jakarta Barat.

Juru bicara KPK, Johan Budi, menegaskan, yang dialami Abdul Hadi bukan masalah apes atau tidak apes, tetapi yang dilakukannya diduga merupakan kejahatan yang menjadi ruang lingkup KPK untuk mengusutnya. ”Kami akan memproses kasus ini secara profesional dan proporsional,” katanya.

Tamrin menambahkan, kuatnya pandangan menjadi anggota legislatif untuk mencari nafkah, seperti terlihat dalam aksi pendukung Abdul Hadi, terutama terjadi karena demokratisasi di Indonesia berjalan dalam kondisi yang tidak ideal, yaitu di tengah banyaknya pencari kerja dan lebarnya jurang penduduk kaya dan miskin. Padahal, demokratisasi antara lain mensyaratkan adanya kesetaraan.

Namun, lanjut Tamrin, kondisi ini tidak boleh menghalangi pemberantasan korupsi oleh KPK dan institusi lainnya. Upaya itu harus tetap dilakukan, di samping pembangunan sistem yang lebih adil. Sebab, penangkapan oleh KPK tidak hanya membuat anggota DPR lainnya berpikir saat melakukan hal serupa, tetapi juga memberikan pemahaman baru kepada masyarakat, terutama tentang korupsi di lingkungan pejabat publik.

Peneliti dari Centre for Strategic and International Studies, J Kristiadi, menambahkan, upaya KPK selama ini telah menumbuhkan kontrol di masyarakat terhadap korupsi di lingkungan pejabat publik. ”Upaya kontrol ini harus terus dibangun, antara lain lewat kampanye atau pemberitaan intensif terhadap berbagai korupsi,” katanya. (NWO)

Pertanyaan Rakyat, untuk Siapa Pemilu Ini?


Selasa, 10 Maret 2009 | 04:40 WIB

Imam Prihadiyoko

Kaum intelektual menyatakan, pemilu harus berjalan lengkap dengan segala pernik demokrasi yang ideal. Pernik itu, seperti bersih dari politik uang, diselenggarakan dengan jujur, tanpa cacat, baik selama proses persiapan maupun pelaksanaan.

Realitas di lapangan tak sepenuhnya berjalan di garis ideal. Ada lintasan abu-abu, bahkan wilayah hitam yang harus dilalui.

Ketika menginginkan pemilu yang bersih dari politik uang, di sisi lain masih banyak warga yang mengatakan, sekarang ini giliran mereka mendapatkan uang dari politisi atau partai politik. Mereka tidak peduli risiko lima tahun yang akan datang. Toh, pengalaman yang menjadi ingatan kolektif rakyat memberikan gambaran, pascapemilu mereka tidak akan mendapat apa-apa lagi.

Tak heran jika rakyat bingung saat salah satu ketua umum parpol terkena peringatan dari Panitia Pengawas Pemilu karena membagikan beras dalam kantong bergambar partai, yang dianggap politik uang. Padahal, rakyat membutuhkan beras itu. Atau, sebagian warga Sulawesi Selatan marah kepada Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir gara-gara memecat calon anggota legislatif (caleg) PAN dari Sulawesi Selatan yang tertangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Padahal, langkah semacam ini seharusnya mendapat dukungan rakyat. Sebab, PAN turut menegakkan hukum dan berkomitmen serius memberantas korupsi. Namun, tampaknya masih ada rakyat yang tidak mau. Pendidikan politik yang mereka terima tidak nyambung dengan problem kehidupan yang dihadapi rakyat dalam keseharian.

Dalam mazhab Gramscian, ada idiom yang mengatakan, kalangan terdidik atau cendekiawan harus memihak dengan kelas atau suatu kelompok tertentu. Hal ini sering diterjemahkan Soetrisno Bachir dengan mengatakan, kekuasaan sesungguhnya bukan untuk kekuasaan semata, tetapi untuk memberikan kesejahteraan yang diamanatkan konstitusi. Kepada rakyatlah ujung dari kekuasaan itu harus berakhir.

Artinya, penyelenggaraan pemilu yang menelan biaya ratusan miliar rupiah dari uang rakyat yang terhimpun dalam APBN, dan pasti lebih besar lagi yang dikeluarkan dari kas partai dan kantong caleg, idealnya didedikasikan untuk menyejahterakan rakyat. Namun, pengalaman lima tahun terakhir, tampaknya memang tidak mudah mewujudkan amanat konstitusi untuk menyejahterakan rakyat. Inilah yang muncul di benak rakyat ketika akhir-akhir ini menyaksikan banyaknya partai dan terutama caleg mendatangi rakyat dengan seribu satu tawaran.

Parpol berharap, pemilu dapat membangun mekanisme untuk merespons citra negatif lembaga perwakilan. Paling tidak, itulah yang diungkapkan mantan Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu dari DPR Ferry Mursyidan Baldan.

”Sebagai politisi, saya sering dihadapkan pada pertanyaan konstituen yang langsung menanyakan apa bedanya atau apa yang dijanjikan kepada kami untuk sesuatu yang lebih baik. Karena kondisi psikologis pikiran mereka hari ini berbeda dengan kami politisi. Kami sedang berupaya, pemilu penting, pemilih datang dengan tingkat kesulitan seperti ini. Pikiran mereka, menantunya baru terkena pemutusan hubungan kerja, anaknya belum bayar sekolah. Bagaimana menghubungkan hal ini adalah persoalan tersendiri,” ujarnya.

Sebulan menjelang pemberian suara Pemilu 2009, Givi Efgivia, caleg PAN dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jakarta II, juga masih sering ditanyai tentang apa arti pemilu bagi masyarakat. Pertanyaan yang sering dilontarkan masyarakat ini memang tak gampang dijawab. Banyak caleg, seperti Givi, gamang untuk memberikan jawaban. Bukan karena mereka tak bisa memberikan jawaban, tetapi sedikit tebersit keraguan pada sistem pemilu, apakah memang bisa menghasilkan pilihan rakyat yang bisa diharapkan memberikan perubahan nasib bagi rakyat. Keraguan yang hampir sama besar, atau bahkan lebih besar lagi, dirasakan oleh pemilih.

Ferry mengakui, pertanyaan masyarakat saat ini memang sudah lebih maju. Kalau sebelumnya rakyat masih sering mempertanyakan apakah pemilu jadi atau tidak, sekarang pertanyaannya lebih substansial. Mereka punya keyakinan, pemilu akan tetap berlangsung. Sama yakinnya dengan Komisi Pemilihan Umum ketika ditanya tentang pelaksanaan pemilu, yakin 100 persen akan berlangsung sesuai dengan jadwal yang ditentukan.

Menurut Ferry, masyarakat sekarang sudah menanyakan seperti apa pemilu nanti. Meski tampaknya ringan, pertanyaan itu merupakan gambaran bahwa masyarakat memang masih banyak yang bingung menghadapi pemilu nanti dan ada tanda ketidakpastian. Inilah yang menghantui masyarakat.

”Terus terang saya bilang, pemilu jadi. Jawaban ini juga membantu memberikan kesan psikologis. Jadi, intensitas kampanye tak kita turunkan, malah ditingkatkan, karena pemilu sebentar lagi. Ini yang saya lakukan, meski tidak langsung, tetapi bisa meyakinkan bahwa pemilu jadi dilaksanakan,” ujarnya.

Sebagai politisi yang sedang maju sebagai caleg lagi, ia mengakui, memang tidak mudah berkampanye untuk mengumpulkan suara dukungan ketika langsung dihadapkan pada keraguan, bahkan ketidaksukaan rakyat pada partai dan politisi. Apalagi ketika berhadapan dengan masyarakat di dapil yang langsung menanyakan apa yang dibawa. Ketika diberi kartu nama, mereka bertanya mengapa tidak ada kaus. Ketika diberikan kaus, mereka bertanya lagi, mengapa cuma kaus. Ketika diberikan uang tambahan, minta tambahan lagi, dan seterusnya.

Kondisi seperti ini tampaknya membuat sejumlah caleg frustrasi ketika harus berhadapan dengan konstituen di dapilnya. Yang paling mengesalkan, lanjut Givi, adalah menghadapi makelar politik yang datang dan ikut menjanjikan suara pemilih. Bagi caleg yang tak mau turun sendiri dan memiliki modal dana yang besar, kehadiran makelar ini menguntungkan. Tergantung dari bagaimana negosiasi dan kesepakatan yang dibuat.

”Saya yang tidak punya uang banyak sering kali dipusingkan dengan berbagai proposal dan makelar ini. Kalau saya mampu, bisa dibayangkan berapa dana yang harus disiapkan. Kalau dari hitungan-hitungan, bisa saja nantinya berpikir bagaimana harus mengembalikan uang sebanyak itu. Apa harus korupsi? Itu sebabnya saya tak pernah melayani makelar suara ini,” ujar Givi.

Di Dapil DKI Jakarta, harga yang diminta untuk satu suara Rp 50.000-Rp 100.000. Bahkan, ada yang bersedia menerima pembayaran setelah hasil pemilu diumumkan. Harga yang hampir serupa dimintakan makelar suara di Jawa Timur.

Seorang caleg Partai Kebangkitan Bangsa yang maju di Dapil Jawa Timur sampai malu untuk turun menemui konstituen karena selalu ditanyai tentang ”oleh- oleh” yang ia memang tidak sanggup membawanya.

Dilema lain yang dihadapi caleg saat harus turun di dapilnya adalah pilihan untuk terjun langsung atau melibatkan infrastruktur partai. Idealnya, infrastruktur partai bisa menjadi motor untuk memenangi kampanye. Ternyata, semuanya ada harga yang harus dibayar. Inilah yang membuat sesak dada caleg atau mereka yang menghendaki pemilu yang bersih.

Diskusi Pemilu


Membayangkan Keriuhan Setelah Pemilihan
Selasa, 10 Maret 2009 | 04:53 WIB

Sidik Pramono

Lima tahun silam, Komisi Pemilihan Umum (KPU) ”kecolongan”. Dalam 550 anggota DPR terpilih yang dilantik 1 Oktober 2004 ternyata terselip sejumlah nama yang perolehan suaranya bermasalah. Dalam penetapan calon terpilih, KPU mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang sengketa hasil pemilu. Kemudian, terbukti ada manipulasi hasil rekapitulasi di sejumlah daerah yang menjadikan dasar putusan MK sebenarnya tidak valid lagi.

Namun, nasi telah menjadi bubur. Upaya KPU mengirimkan surat kepada Presiden mengenai perubahan penetapan calon terpilih anggota DPR hasil Pemilu 2004 tidak bersambut. Anggota DPR yang ”tiket masuk”-nya manipulatif tetap bisa menduduki jabatan dan menikmati beragam fasilitas yang menyertainya sampai sekarang. Sampai Pemilu 2009 tinggal hitungan hari.

Lima tahun berselang, potensi masalah setelah hari pemilihan tak juga berubah. Bahkan, bisa jadi malahan bertambah. Kesibukan KPU dipastikan tidak akan berhenti hanya sampai pada hari pemungutan suara, pada 9 April.

Rekapitulasi

Setelah pemungutan suara di tingkat tempat pemungutan suara (TPS), proses rekapitulasi mesti dilaksanakan secepatnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengharuskan penghitungan suara hanya dilakukan dan selesai di TPS bersangkutan pada hari/tanggal pemungutan suara. Petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara di TPS berhadapan dengan keterbatasan waktu karena proses penghitungan empat jenis surat suara yang bakal makan waktu. Dengan sekitar 350 pemilih per TPS, proses rekapitulasi diperkirakan bakal rampung tengah malam.

Potensi masalah berupa kerumitan merekapitulasi terbayang seturut dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2009 yang mengakomodasi pemberian tanda lebih dari sekali pada surat suara. Waktu sosialisasi kepada penyelenggara pemilu yang terbatas dikhawatirkan berisiko memunculkan konflik karena mungkin masih terdapat beragam pemahaman atas ketentuan sah tidaknya surat suara.

Persoalan bakal lebih rumit karena KPU mengakomodasi beragam jenis penandaan dan perppu memungkinkan terdapat beragam varian penandaan. Terlebih selama ini KPU (juga partai politik serta calon anggota legislatif) ”telanjur” menyosialisasikan sekali penandaan seperti yang awalnya dinyatakan dalam UU No 10/2008.

Proses rekapitulasi selanjutnya secara bertingkat dilaksanakan mulai dari tingkat kecamatan sampai ke tingkat pusat. Pada tahapan ini, KPU terikat batas waktu penetapan hasil pemilu secara nasional paling lambat 30 hari setelah hari/tanggal pemungutan suara. Belajar dari pengalaman pemilu lalu maupun sejumlah pemilihan kepala daerah, protes peserta pemilu maupun ”perpecahan” internal aparat penyelenggara pemilu di daerah masih mungkin terjadi.

Pada saat bersamaan, sekalipun tidak akan menjadi hasil resmi dan sekadar ”pembanding”, KPU mempersiapkan sistem teknologi informasi yang akan mengiringi proses rekapitulasi manual itu. Saat ini, KPU merencanakan adanya sistem yang memungkinkan hitung cepat (quick count) di mana hasil rekapitulasi akan dipindai (scanning) di KPU kabupaten/kota untuk dikirimkan ke pusat. Berikutnya, setelah tuntasnya penetapan hasil pemilu adalah penetapan perolehan kursi dan penetapan calon terpilih. Tahapan ini membutuhkan persiapan matang. Sedikit berbeda dari ketentuan yang berlaku pada Pemilu 2004, terdapat beberapa varian penghitungan yang mesti diterjemahkan dalam penghitungan teknis yang dibuat KPU.

Untuk pertama kalinya, ada ketentuan ambang batas parliamentary threshold yang besarnya 2,5 persen suara sah nasional untuk pemilu anggota DPR. Artinya, yang perolehan suara pemilu anggota DPR-nya tak mencapai 2,5 persen suara sah nasional, parpol itu tidak berhak mendapatkan kursi DPR seberapa pun suara yang diperoleh di sebuah daerah pemilihan. Imbasnya, perolehan suara parpol peserta pemilu bakal berpengaruh pada bisa atau tidaknya parpol bersangkutan memenuhi ketentuan parliamentary threshold itu. Ketelitian KPU dalam setiap tahapan akan menentukan sahih atau tidaknya hasil akhir pemilu pada akhirnya.

Terkait dengan penetapan hasil pemilu, gugatan dari peserta pemilu adalah faktor penting yang mutlak diperhatikan. Di tingkat bawah, terbuka kemungkinan penghitungan suara ulang mesti dilakukan jika sejumlah syarat tidak terpenuhi, seperti proses yang tertutup dan dilakukan di tempat yang kurang terang.

Akhirnya, setiap peserta pemilu memiliki waktu 3 x 24 jam sejak penetapan hasil pemilu untuk mengajukan gugatan perselisihan hasil pemilu kepada MK. Karena sifat putusan MK yang terakhir dan mengikat, setiap pemohon mutlak menyiapkan bukti yang valid dan meyakinkan untuk menghindarkan kemungkinan terulangnya ”kecolongan” seperti Pemilu 2004.

Proses penanganan pidana pemilu juga mesti dipastikan tuntas sebelum putusan akhir hasil pemilu. UU memberikan batasan waktu terhadap penanganan pidana pemilu, termasuk kapan putusan pengadilan mesti dilaksanakan sejak putusan diterima jaksa. UU juga menegaskan, putusan pengadilan terhadap kasus pelanggaran pidana pemilu yang memengaruhi perolehan suara peserta pemilu mesti rampung paling lambat lima hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu.

ANALISIS POLITIK

DPR (Bukan) Ladang Perburuan Kenikmatan
Selasa, 10 Maret 2009 | 04:51 WIB

J KRISTIADI

Seorang lagi wakil rakyat, Abdul Hadi Djamal dari Komisi V dan Panitia Anggaran DPR, tertangkap basah karena dugaan korupsi. Masyarakat tidak terkejut lagi menyaksikan peristiwa aib yang menimpa orang berpredikat terhormat dan dianggap bermartabat itu. Tetapi masyarakat benar-benar takjub menyaksikan kenekatan dan keberanian koruptor melakukan tindakan yang sangat tercela itu.

Kutukan dan kemarahan rakyat tidak mempan meredam dorongan naluri dan nafsu keserakahan mereka yang jauh lebih kuat ketimbang moral dan nalar sebagai orang-orang pilihan rakyat. Mereka bahkan tidak menyadari perilaku koruptif telah mulai menghancurkan serta meluluhlantakkan norma, tatanan, dan nilai kehidupan masyarakat yang beradab.

Perilaku mereka telah menjungkirbalikkan kiblat perpolitikan Indonesia sebagai medan perjuangan mewujudkan kesejahteraan bersama menjadi ladang perburuan kenikmatan. Kedaulatan rakyat sebagai dasar pembangunan negara demokrasi telah disalahgunakan elite politik untuk mengikuti godaan mengejar kenikmatan daging.

Sedemikian buruknya citra DPR sehingga tidak mengherankan kalau sebagian masyarakat menganggap wakil rakyat yang belum tertangkap hanya karena mereka masih dapat menyembunyikan perilaku korupnya.

Sejak berniat

Ancaman daya rusak korupsi semakin mengerikan karena perilaku korup telah dimulai sejak mereka berniat berkuasa. Tertangkapnya calon anggota legislatif yang melakukan tindak kriminal merupakan pucuk gunung es dari upaya perburuan kekuasaan demi memperoleh kekuasaan agar mempunyai akses terhadap kekayaan negara. Kejahatan kolektif yang sangat tidak bermoral itu dapat dipastikan akan mengakibatkan korupsi tumbuh subur dan merambat ke sekujur tubuh bangsa dan negara yang menggerogoti daya tahan bangsa ini.

Pertanyaan sederhana tetapi mendasar adalah bagaimana korupsi dapat ditekan sampai tingkat paling minimum karena menghapuskan korupsi adalah upaya yang mustahil. Sejarah panjang umat manusia dalam mengelola kekuasaan menghasilkan para bijak bestari yang memberikan peringatan bahwa kekuasaan dan korupsi adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Suara kenabian itu mungkin dapat diwakili oleh ungkapan bijak Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup, apalagi kekuasaan yang absolut pasti merusak tatanan kehidupan. Dalil itu memperingatkan agar penguasa yang berkubang dalam kenikmatan kekuasaan harus berhati-hati karena mereka berada dalam genangan godaan melakukan korupsi yang mempunyai daya rusak amat dahsyat.

Suara profetik itu merupakan penggalan surat Lord Acton kepada Uskup dan sejarawan Inggris Mandell Creighton (1843-1901) pada saat terjadi krisis Gereja Katolik tahun 1870. Intinya, Acton tidak setuju dengan hukum gereja (kanonik) yang memberikan privilese kepada Paus (Pius IX) yang tidak dapat bersalah dalam menentukan doktrin dan ajaran Gereja Katolik.

Tokoh bijak lainnya sebelumnya adalah Edmund Burke (1729-1797) yang mengingatkan pula, dalam masyarakat yang korup, kebebasan tidak akan berlangsung lama. Dalam masyarakat yang demikian, kebebasan hanya dimanfaatkan melakukan hal yang disenangi, bukan sebagai hak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan untuk memperbaiki keadaan.

Jauh sebelum itu, Publius Cornelius Tacitus pada zaman Kekaisaran Romawi mewariskan ajaran yang ampuh dengan mengatakan, semakin korup sebuah republik, semakin banyak peraturan perundangan dalam negara itu. Tetapi, tidak menjamin negara tersebut bebas dari korupsi.

Mengingat kelekatan kekuasaan dengan tindak korupsi, cara mencegah yang dianggap paling efektif adalah sebagai berikut. Pertama, penguasa harus dapat dikontrol secara ketat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan secara konstitusional melakukan pengawasan. Namun, lembaga kontrol itu tidak boleh terlalu besar agar tidak menjadi lembaga baru yang juga melakukan penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam konteks seperti itu, lembaga DPR saat ini masih terlalu kuat dan belum terdapat sistem kontrol yang efektif, baik secara internal maupun pengawasan dalam desain checks and balances mechanism. Oleh karena itu, penegakan hukum yang tegas dan keras harus dilakukan sebagai tindakan untuk mengatasi situasi gawat darurat dewasa ini.

Kedua, sanksi sosial yang tegas agar dapat menimbulkan efek jera dengan memperlakukan koruptor bukan sebagai orang bermartabat, tetapi sebagai narapidana khusus yang perlu dipermalukan di depan umum. Misalnya, gagasan mengenakan pakaian khusus serta pemborgolan mereka dalam proses pengusutan perlu dilaksanakan. Seandainya dalam proses peradilan mereka ternyata bebas, negara merehabilitasi nama baiknya. Perlakuan itu untuk memberikan simbol bahwa perbuatan korup adalah tindakan yang hina.

Ketiga, parpol harus mendidik dan melakukan seleksi ketat, tetapi demokratis, kadernya yang akan dipercaya menjadi pejabat publik atau wakil rakyat. Pendidikan terutama menanamkan nilai agar kader partai tahan terhadap godaan kekuasaan yang sangat menggiurkan. Tanpa upaya seperti itu, parpol sebagai tiang demokrasi akan menghancurkan demokrasi itu sendiri.

Keempat, gerakan antikorupsi dan politisi busuk harus dilakukan terus-menerus. Militansi aktivis gerakan ini tidak boleh kalah kuat dari intensi elite politik yang sejak awal berniat korupsi. Rakyat harus tak boleh lelah dan jeli memilih wakilnya.

Singkatnya, perlawanan terhadap korupsi tidak dapat hanya dilakukan dengan ikrar antikorupsi dan sumpah jabatan yang semakin tidak bertuah. Perlu dibangun sistem kontrol yang efektif serta pendidikan politik bagi kader parpol, serta keikutsertaan masyarakat melawan penyakit sosial yang mempunyai daya hancur yang sangat dahsyat itu.

PARTAI ISLAM


Andalkan Identitas Islam, Peluang Kecil
Minggu, 8 Maret 2009 | 08:29 WIB

Bandar Lampung, Kompas - Setiap partai politik yang mengusung asas Islam harus mengubah orientasi dan kinerjanya menjelang pemilu legislatif 2009 agar memperoleh suara. Jika tetap bekerja dengan cara-cara sekarang, peluang partai politik yang mengusung asas Islam sebagai identitas akan sangat kecil untuk memperoleh suara.

Demikian diungkapkan Yudi Latif, Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan-Indonesia (PSIK-Indonesia), Sabtu (7/3), seusai menjadi pembicara pada Sidang Tanwir Muhammadiyah 2009 di Bandar Lampung.

Yudi mengatakan, saat ini masyarakat tidak ideologis. ”Keberislaman” tidak selalu paralel dengan ”keberpartai-Islaman”. ”Orang boleh mengapresiasi Islam dan menjadi religius, tetapi tidak berarti harus memilih partai Islam,” ujar Yudi.

Oleh karena itu, partai-partai yang mengusung asas Islam kini tidak bisa lagi menangkap pendukung hanya dengan memberikan janji simbolik dengan mengandalkan identitas keagamaan.

Bagi masyarakat saat ini, identitas keagamaan itu tidak cukup memberi jaminan efektif bahwa partai-partai yang mengusung asas Islam sudah mengembangkan politik yang lebih bersih dan lebih baik. ”Dan itu sudah terbukti,” ujar Yudi.

Faktor lain yang memecah perolehan suara adalah saat ini partai politik yang mengatasnamakan syariat Islam di Indonesia cukup banyak. Tidak bisa satu partai Islam mengklaim sebagai satu-satunya juru bicara Islam dengan pendukung terbesar.

”Suara pendukung syariat Islam itu terdistribusi ke banyak partai politik yang mengusung asas Islam, seperti PKS (Partai Keadilan Sejahtera), PPP, atau Bulan Bintang, sehingga perolehan suara partai Islam itu tidak begitu tinggi,” ujar Yudi.

Faktor suara yang terbagi-bagi dengan kondisi rakyat yang tidak terlalu ideologis berpengaruh terhadap menyusutnya jumlah pemilih tradisional partai Islam dan mendukung meningkatnya jumlah swing voters atau pemilih yang masih meraba-raba partai yang akan dipilih. Partai Islam harus berpandangan, swing voters merupakan potensi.

Namun, saat ini kemampuan partai-partai Islam merangkul swing voters sangat rendah. Itu karena partai Islam tidak pernah melakukan pelayanan publik. Partai Islam cenderung mengandalkan pemilih tradisional.

Menurut pandangan Yudi, partai Islam yang saat ini sudah cukup baik melakukan pelayanan publik adalah PKS. PKS banyak melakukan pelayanan di daerah bencana untuk menarik simpati masyarakat. Sementara partai Islam lainnya hanya sebatas mengibarkan bendera tanpa pelayanan. (HLN)

Rabu, 04 Maret 2009

Survei: Pemilih Lebih Banyak Tandai Partai Dibanding Calon


Inggried Dwi W
Direktur Riset LSI Dodi Ambardi (tengah) bersama pengamat politik CSIS J. Kristiadi dalam paparan hasil survei "Efek calon terhadap perolehan suara partai", Jumat (27/2), di Kantor LSI, Jl. Lembang Terusan, Menteng, Jakarta Pusat.

JAKARTA, JUMAT — Survei terbaru yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menemukan, secara umum pemilih lebih banyak yang menandai partai dibandingkan menandai calon.

Direktur Riset LSI Dodi Ambardi menjelaskan, temuan ini mengindikasikan bahwa para calon dan KPU belum mampu membantu dan meyakinkan pemilih agar menandai calon sebagai indikator peningkatan kualitas pemilu. Survei yang dilakukan pada 8-18 Februari 2009 ini ingin mengetahui bagaimana efek calon terhadap perolehan suara partai, pascaputusan MK yang menetapkan calon terpilih ditentukan suara terbanyak.

Hasil survei menunjukkan, 44 persen dari 2.455 responden menandai partai, 36 persen menandai calon, 12 persen menandai partai dan calon, dan lainnya 9 persen. Hasil ini didapatkan dengan melakukan simulasi pilihan menggunakan surat suara. Pertanyaan yang diajukan: apa yang dipilih?

"Hasil ini menunjukkan, bagi pemilih partai masih lebih penting ketimbang calon," ujar Dodi dalam jumpa pers di Kantor LSI, Jl Lembang Terusan, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (27/2).

Berkaitan dengan calon, survei menemukan bahwa tingkat pendidikan menjadi indikator pemilih menandai calon. "Semakin baik tingkat pendidikan, semakin cenderung memilih calon dibanding memilih partai," ungkap Dodi.

Sementara itu, ketika diajukan pertanyaan 'Partai mana yang dipilih bila pemilihan anggota DPR diadakan sekarang?', hasilnya 24,3 persen responden memilih Demokrat, disusul PDI-P dengan 17,3 persen, dan Golkar 15,9 persen.

"Hasil pentingnya, efek partai jauh lebih penting dibandingkan efek calon terhadap partai. Ini tidak membuktikan anggapan bahwa calon bisa mendongkrak suara partai," tambah Dodi.

Survei ini dilakukan terhadap 2.455 responden yang merupakan WNI yang mempunyai hak pilih. Dengan sampel itu, margin of error 2,4 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Dodi menjelaskan, reponden terpilih diwawancara tatap muka dan disimulasi dengan menggunakan surat suara.


Inggried Dwi Wedhaswary

Inilah Tiga Tipe Anggota DPR 2009-2014

Ist

JAKARTA, RABU — Minimnya informasi mendasar tentang kualitas dan kapasitas calon anggota legislatif, pun dari caleg yang bersangkutan, akan membuat proporsi parlemen periode 2009-2014 mendatang masih jauh dari harapan. Meski demikian, Indonesia masih punya harapan.

Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang menyebutkan prediksinya mengenai tiga tipe anggota dewan yang akan duduk di gedung rakyat.

"Masyarakat punya kebingungan yang sangat besar jadinya," ujar Sebastian seusai Sarasehan Kebangsaan bertajuk "Popularitas vs Kualitas: Meneropong Wajah Parlemen Indonesia Hasil Pemilu 2009" di Gedung Joeang Jakarta, Rabu (4/3).

Tipe pertama adalah caleg yang memiliki modal besar serta caleg-caleg yang dimodali oleh kaum pemilik modal. Tipe kedua adalah para caleg yang dekat dengan masyarakat, seperti tokoh adat, tokoh masyarakat, dan para artis. Tipe ketiga adalah mantan anggota dewan sekarang.

Jika komposisi di parlemen lebih berat pada tipe yang pertama, Sebastian mengkhawatirkan warna UU dan kebijakan yang diproduksi oleh DPR mayoritas pro-pasar. Jika komposisi lebih berat ke tipe kedua, dikhawatirkan kualitas parlemen akan menurun, tetapi peluang lahirnya wakil rakyat yang berkomitmen dan berintegritas akan sangat besar.

"Tipe ketiga juga jangan diabaikan. Kalau mereka masih jadi, dikhawatirkan mereka akan jadi guru korupsi bagi anggota yang baru," ujar Sebastian.

Sebastian menyadari prediksinya negatif. Namun, masih ada harapan jika masyarakat secara cerdas mencari tahu informasi mengenai wakil rakyat yang diinginkannya. "Masyarakat sudah harus tahu mau pilih siapa ketika datang ke TPS," tandas Sebastian.


KOMPAS.com Caroline Damanik

Biaya Politik Kian Besar

Untuk Meraih Suara Terbanyak, Caleg Harus Dekati Pemilih
Rabu, 4 Maret 2009 | 05:17 WIB

Jakarta, Kompas - Putusan penetapan calon anggota legislatif dengan suara terbanyak dalam Pemilu 2009 menyedot biaya politik yang besar. Caleg harus mengalokasikan banyak dana untuk mendekatkan diri dengan konstituen melalui pertemuan langsung dan kunjungan ke daerah basis.

”Untuk bisa menemui konstituen langsung di daerah basis diperlukan biaya besar untuk kebutuhan transportasi, penginapan, konsumsi, dan pertemuan,” kata Rahardi Zakaria, caleg Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Selasa (3/3) di Bandung.

Caleg juga menanggung biaya politik lain berupa pengadaan atribut kampanye. Pada pemilu sebelumnya atribut kampanye tidak diadakan orang per orang. Semua diadakan partai. Namun, Rahardi menilai biaya politik itu masih dalam batas normal.

Risiko biaya politik caleg kian besar jika dia melakukan politik uang. Menurut Rahardi, warga sering kali mengajukan proposal bantuan atau permintaan dana secara langsung kepada caleg.

Hal serupa dialami Happy Bone Zulkarnain, caleg Partai Golkar. Dia mengatakan, tak mudah untuk menyadarkan warga tentang bahaya politik uang. ”Sering saya menegaskan kepada mereka untuk tak memilih saya bila harus dengan uang,” katanya.

Calon pemilih, ujar Happy, seperti menempatkan caleg sebagai Sinterklas yang datang membawa hadiah dan uang. Caleg dipandang sebagai orang berduit. Bagi caleg, itu sukar dihindari sebab semua hal akan diupayakan demi meraih suara terbanyak.

”Pengalaman pemilu dan pemilihan kepala daerah (pilkada) dari tahun ke tahun yang membudayakan politik uang akhirnya membentuk pola pikir tersebut. Hal itu juga yang menyebabkan siklus politik uang sukar diatasi atau dihindari caleg” katanya.

Bahkan, politik uang berkembang menjadi ajang pertaruhan caleg untuk jorjoran. Agung Nurhalim, caleg Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mengatakan, yang terjadi di lapangan adalah transaksi atau lelang. ”Misalnya, ada pertaruhan bagi siapa pun caleg yang mau atau berani membangun masjid, itu yang akan dipilih warga. Tawar-menawar nilai sumbangan pun sering kali tak terhindarkan,” katanya.

Praktik politik uang itu diakui Dedi Sunjaya, warga Jalan Samoja, Bandung. Ia mengatakan, pemberian uang oleh caleg saat berkampanye adalah hal biasa. ”Buat apa mereka datang jika tak membawa uang,” ujarnya.

Pengamat politik dari Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Bob Sugeng Hadiwinata, berpendapat, fenomena semacam itu adalah fase yang harus dilewati guna pembelajaran politik. ”Caleg akhirnya sadar, uang tak selalu berkorelasi dengan pilihan warga dan justru memberatkan mereka,” katanya.

Warga masih bingung

Dari Yogyakarta, Selasa, dilaporkan, masih banyak warga bingung dan sulit membayangkan proses Pemilu 2009. Muryani (25) dan keluarga besarnya yang tinggal di Dusun Blimbing, Kabupaten Gunung Kidul, misalnya, mengaku sama sekali tak mengerti mekanisme pencontrengan pada Pemilu 2009. Bahkan, dia juga belum pernah melihat contoh surat suara.

Muryani mengaku hanya memperoleh sosialisasi pemilu dari caleg yang aktif berkampanye hingga pelosok desa. Sosialisasi itu juga belum menyentuh hingga pencontrengan. Caleg itu lebih banyak menebarkan janji politik.

Ditemui terpisah, Sumarmi yang sehari-hari adalah kader Posyandu di Dusun IX, Cerme, Panjatan, Kabupaten Kulon Progo, tidak bisa membayangkan seperti apa pemilu ”Semua orang bilang pemilu kali ini beda dari yang sudah-sudah,” katanya.

Ia tahu bahwa pada pemilu nanti dia harus memilih caleg dengan cara mencontreng. Namun, dia tak tahu di bagian apa pencontrengan itu harus dilakukan di kertas suara.(egi/wkm/yop/ays/rek/rul)

Selasa, 03 Maret 2009

Menyelamatkan Suara Rakyat

Menyelamatkan Suara Rakyat
Selasa, 3 Maret 2009 | 05:02 WIB

Oleh Denny Indrayana

Suara rakyat adalah spirit utama demokrasi. Media penyaluran suara rakyat adalah pemilihan umum yang jujur dan adil. Karena itu, penyelamatan suara rakyat adalah suatu keniscayaan guna suksesnya pemilu dan keharusan untuk menyelamatkan demokrasi.

Itulah landasan mengapa akhirnya Presiden menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 mengenai Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kegentingan suara rakyat

Perppu adalah kewenangan konstitusional yang dimiliki setiap presiden. Sebagai emergency power, perppu dikeluarkan Presiden ”dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa” (Pasal 22D Ayat 1 UUD 1945). Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) saat menguji Perppu No 1/2004 terkait dengan penambangan di kawasan hutan lindung, yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri menjelang akhir jabatan, menyatakan hal ihwal kegentingan yang memaksa UUD 1945 merupakan penilaian subyektif Presiden, sedangkan obyektivitasnya dinilai DPR (Putusan MK No 003/PUU-III/2005, hal 14 dan 15). Terkait dengan Perppu No 1/2009, Presiden Yudhoyono mengeluarkan perppu setelah mengamati, penyelamatan suara rakyat dalam Pemilu 2009 adalah amat penting.

Dalam Perppu No 1/2009, aturan pertama memungkinkan Komisi Pemilihan Umum (KPU)—untuk kesempatan terakhir kali—memperbaiki rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT) secara nasional. Artinya, yang berubah adalah rekapitulasi DPT, tetapi tidak mengubah DPT sendiri. Jika DPT yang diubah, selain waktunya tidak memungkinkan terkait tahapan pemilu yang sudah mepet, konsekuensinya pada ketersediaan logistik juga kompleks. Dengan pembatasan hanya pada perbaikan rekapitulasi DPT, pemilih yang sudah terdaftar tetapi belum terekap bisa diselamatkan suaranya. Demikian pula para pemilih yang terdaftar lebih dari satu kali bisa dikoreksi. Semua berujung pada penyelamatan suara rakyat dan peningkatan kualitas Pemilu 2009 yang jujur dan adil bagi semua pemilih serta semua partai politik peserta pemilu.

Aturan kedua, yang memungkinkan pengesahan penandaan lebih dari satu kali juga mempunyai semangat untuk menyelamatkan suara rakyat. Sebelumnya UU No 10/2008 hanya mengesahkan penandaan satu kali pada kertas suara. Simulasi pemilu yang diadakan Formappi dengan IFES di lima wilayah di Jakarta menghasilkan 24 persen suara tidak sah, salah satunya karena penandaan lebih dari satu kali pada kertas suara. Ingat, simulasi ini diadakan di Jakarta, bukan di daerah lain, apalagi terpencil, yang amat mungkin menghasilkan suara tidak sah lebih besar.

Angka suara tidak sah 24 persen itu amat berbahaya. Jika tidak diantisipasi, Indonesia akan menjadi jawara dunia dalam hal tidak sahnya suara pemilih dalam pemilu. Saat ini suara tidak sah tertinggi dipegang Argentina, 21 persen. Angka 24 persen itu meningkat hampir 300 persen dari ketidaksahan suara pemilih mencapai 8,8 persen dalam Pemilu 2004.

Oleh karena itu, diperlukan pengaturan bahwa suara harus tetap sah sepanjang niat pemilih (voter intention) jelas. Dengan semangat itu, perppu mengesahkan penandaan lebih dari satu kali dan KPU juga sudah mengeluarkan peraturan penandaan lain yang sah selain pencentangan. Semuanya adalah upaya Presiden (serta KPU) untuk menyelamatkan suara rakyat dan menghindari mubazir dan sia-sianya suara pemilih karena terlalu kakunya pengaturan pengesahan suara.

Caleg suara terbanyak

Ihwal penetapan caleg dengan suara terbanyak, Perppu No 1/2009 tidak mengaturnya. Presiden menghormati dan memahami putusan MK No 22-24/PUU-VI/ 2008. Dalam pertimbangan putusan itu, MK menegaskan ”tidak akan menimbulkan kekosongan hukum walaupun tanpa revisi undang-undang maupun pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, putusan Mahkamah demikian bersifat self executing. KPU beserta seluruh jajarannya, berdasarkan kewenangan Pasal 213 UU No 10/2008, dapat menetapkan calon terpilih berdasarkan putusan Mahkamah dalam perkara ini”.

Jelas MK memutuskan tidak perlu ada perppu. Dengan semangat menghormati putusan MK, sebagai lembaga paling berwenang dalam menguji konstitusionalitas UU, Presiden menyerahkan pengaturan caleg terpilih dengan suara terbanyak kepada KPU. Peraturan KPU harus disusun sesuai dengan putusan MK, yang menegaskan caleg terpilih adalah yang meraih suara terbanyak. Maka, MA akan menguatkan konstitusionalitas caleg terpilih dengan suara terbanyak.

Kalaupun terjadi skenario terburuk, MA membatalkan peraturan KPU tentang caleg terpilih itu, maka Pasal 213 UU No 10/2008 dan putusan MK tetap dapat menjadi dasar bagi KPU untuk menetapkan caleg terpilih. Selanjutnya, meski masih timbul sengketa hasil pemilu legislatif, forum penyelesaiannya adalah di persidangan MK, yang akan konsisten memutuskan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Dengan semangat menyukseskan Pemilu 2009, kita optimistis, Perppu No 1/2009—berlaku mulai 26 Februari 2009—akan disetujui DPR untuk menjadi undang-undang. Kita sepakat suara rakyat harus diselamatkan.

Denny Indrayana Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta

ANALISIS POLITIK


Bahaya "Kohabitasi" Indonesia
Selasa, 3 Maret 2009 | 06:00 WIB

Oleh EEP SAEFULLOH FATAH

Ada sesuatu yang berbeda dalam langgam berpolitik Muhammad Jusuf Kalla belakangan ini. Sebelumnya, sadar akan posisinya sebagai ”the real vice president”, hampir empat setengah tahun Kalla terlihat sangat menahan diri. Ia berusaha keras menyesuaikan arah dan kecepatan langkahnya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia duduk tertib di belakang Presiden.

Belakangan, semenjak muhibah luar negerinya yang terakhir bulan lalu, Kalla terlihat lebih ofensif. Ia lebih kerap berdiri tegak sambil berulang-ulang menegaskan kesiapannya menjadi kandidat presiden, berhadapan dengan Yudhoyono dalam Pemilu Presiden 2009 yang sudah di ambang pintu.

Dalam beberapa hari terakhir, Kalla bahkan menyebut dirinya lebih cakap dan sigap dibanding Sang Presiden.

Di atas permukaan, perubahan dramatis langgam berpolitik Kalla tentu saja mendinamisasi politik kita di tengah makin mendekatnya hari pencontrengan pemilu legislatif.

Tapi, di bawah permukaan, pada tingkat yang lebih mendasar, fenomena Kalla sesungguhnya memberi pelajaran penting tentang desain institusi demokrasi yang kita pilih sejak lebih dari satu dasawarsa lampau.

Perubahan langgam berpolitik Kalla beserta segenap konsekuensinya terhadap hubungan presiden-wakil presiden serta jalannya pemerintahan secara keseluruhan menegaskan betapa rumit, kompleks, dan potensial bermasalahnya presidensialisme yang kita pilih.

Bukan hanya mesti mengelola kombinasinya yang rumit dengan sistem multipartai, sistem presidensial kita juga mesti mengelola ”kohabitasi” beserta segenap komplikasinya.

Kohabitasi sebetulnya tak dikenal dalam sistem presidensial, tetapi kerap menjadi persoalan dalam semipresidensialisme. Dalam sistem semipresidensial, kohabitasi terjadi manakala presiden dan perdana menteri—yang sama-sama memiliki kekuasaan konstitusional besar—berasal dari dua partai dan haluan ideologi atau politik berbeda. Kohabitasi pun terjadi karena keduanya harus mengelola sistem politik sebagai sebuah kesatuan.

Praktik kohabitasi yang saat ini sedang berjalan, dan sejauh ini mampu menghindarkan diri dari komplikasi yang destruktif, dapat kita temukan di Finlandia hari-hari ini. Presiden Tarja Kaarina Halonen terpilih sebagai presiden perempuan pertama Finlandia melalui pemilu awal tahun 2000. Ia berasal dari Partai Sosialis Demokrat.

Sementara itu, April 2007, melalui pemilihan Eduskunta (parlemen Finlandia), Matti Vanhanen dari Partai Tengah berhasil menggalang pemerintahan koalisi dan menduduki jabatan perdana menteri. Kohabitasi pun tak terhindarkan di antara kedua pemimpin itu.

Indonesia jelas tak menganut semipresidensialisme. Dengan segenap karakternya yang sedikit banyak membingungkan, bagaimanapun Indonesia lebih dekat ke presidensialisme murni. Namun, presidensialisme Indonesia terdesak untuk membuat banyak penyesuaian, terutama sebagai konsekuensi dari pertemuan antara presidensialisme itu dan sistem banyak partai.

Salah satu penyesuaian, yang risikonya sedang kita tuai hari-hari ini, adalah tak terhindarkannya praktik kohabitasi.

Berbeda dengan yang lazim kita temukan dalam semipresidensialisme, kohabitasi di Indonesia tidak terjadi di antara presiden dan perdana menteri, melainkan di antara presiden dan wakil presiden. Koalisi antarpartai yang menjadi gejala umum dalam Pemilu Presiden 2004 membuat Istana Presiden dan Wakil Presiden dikendalikan oleh dua pemimpin dengan latar belakang partai yang berbeda.

Kohabitasi ala Indonesia ini berpotensi mengidap masalah terutama di awal dan ujung masa pemerintahan. Di awal, Presiden dan Wakil Presiden mesti menghadapi masa konsolidasi kekuasaan yang tak mudah. Untunglah, pada saat dilantik sebagai wakil presiden, 20 Oktober 2004, Kalla tak membawa serta kepentingan formal Partai Golkar.

Keadaan ini membuat konsolidasi lebih mudah dilakukan sekalipun dalam praktiknya tetap saja tidak sederhana.

Lalu, perubahan signifikan terjadi ketika Kalla berhasil merebut jabatan Ketua Umum Partai Golkar serta mengubah haluan partai ini dari oposisi (di bawah aliansi Akbar Tandjung-Megawati Soekarnoputri) menjadi pendukung pemerintah. Kalla menjadi pedang bermata dua bagi Yudhoyono. Mata yang satu mengancam dan mengendurkan oposisi politik dari dalam lembaga legislatif, sementara satu mata lainnya justru mengarah persis ke ulu hati Yudhoyono.

Pedang bermata dua

Perubahan langgam berpolitik Kalla belakangan mengonfirmasikan teori ”pedang Kalla bermata dua” itu. Berdasarkan teori ini, hubungan Yudhoyono-Kalla pun berlangsung dalam tiga fase atau ronde.

Ronde pertama berlangsung dalam konsolisasi pemerintahan yang berlarut hingga akhir 2006. Ronde kedua yang lebih tenang, di tengah saling pengertian yang mulai terbangun, berlangsung hingga akhir 2008. Perubahan langgam berpolitik Kalla sejak bulan lalu menandai mulainya ronde ketiga.

Apresiasi layak diberikan kepada keduanya lantaran berhasil menghindari perpecahan yang dramatis hingga hari-hari ini. Namun, dinamika hubungan keduanya belakangan ini menandaskan betapa kecemasan layak diajukan.

Kecemasan ini terutama bukan lantaran terbuka kemungkinan perubahan hubungan keduanya dari duet menjadi duel. Kecemasan terutama layak terbangun lantaran model kohabitasi yang kita praktikkan berpotensi mengganggu daya tahan, stabilitas, dan efektivitas demokrasi presidensial yang kita anut.

Saya tak cemas membayangkan Yudhoyono dan Kalla bakal berbalas pantun sebagai dua pesaing dalam Pemilu Presiden 2009. Yang saya cemaskan adalah keduanya membuktikan betapa besarnya kontribusi kohabitasi ala Indonesia ini bagi inefektivitas pemerintahan hasil pemilu.

Maka, inilah saatnya kita memikirkan sebuah desain ulang presidensialisme dengan meminimalkan potensi-potensi bahaya institusional dan sistemik yang diidapnya.

EEP SAEFULLOH FATAH Pengajar pada Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia


Anggota DPR Diciduk KPK


Orangtua Sudah Nasihati Abdul Hadi Waspadai Godaan Setan
Muhammad Nur Abdurrahman - detikNews



(foto: blog Abdul Hadi)

Makassar - Penangkapan anggota DPR Abdul Hadi Djamal membuat keluarga besarnya di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), shock. Sebab mereka telah sering menasihati agar Abdul Hadi Djamal waspada pada godaan setan selama menjadi anggota DPR.

"Sudah sering saya nasihati, hati-hati kalau bekerja di panitia anggaran, banyak setannya. Jangan sampai tergelincir. Kerjakan amanah rakyat," kata KH Jamaluddin Amin, bapak kandung Abdul Hadi, saat ditemui di kediamannya di Jl Talasalapang, Makassar, Senin (3/3/2009)

Pria yang pernah menjabat sebagai ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulsel ini mengaku sangat terpukul dengan penangkapan anaknya tersebut. Dia menyerahkan sepenuhnya masalah ini sesuai hukum yang berlaku.

"Saya sama sekali tidak menduga akan mendapat musibah ini. Mungkin sudah takdirnya Hadi, saya hanya bisa berdoa. Kalau dia tidak bersalah semoga Allah memberi jalan baginya," ujar Jamaluddin.

Hal senada disampaikan adik Abdul Hadi yang juga menjabat sebagai Ketua DPW PAN Sulsel, Ashabul Kahfi. Menurut Ashabul, dia sudah berusaha mengontak Abdul Hadi Djamal namun belum berhasil.

"Kejadian ini tidak mengurangi rasa hormat saya kepada beliau (Abdul Hadi Djamal), baik sebagai ketua DPW PAN Sulsel maupun sebagai adik," ungkap Ashabul.

Di sisi lain, Ashabul meminta DPP PAN bersikap adil dalam permasalahan ini. Dia berharap tidak ada konspirasi politik di balik penangkapan kakaknya.

Ikuti diskusi mengenai pembasmian koruptor di DPR. Klik: Pro dan Kontra! (mna/djo)

Tetap update informasi di manapun dengan http://m.detik.com dari browser ponsel anda!

Pemilu Kian Membebani Anggaran Negara


Didik Supriyanto - detikPemilu



Jakarta - Pemilu 2009 diperkirakan akan menyedot dana negara sampai Rp 22 triliun. Anggapan bahwa demokrasi memang mahal, membuat kita malas itu membikin pemilu efisien.

Banyak kalangan mengeluhkan, biaya pemilu sangat mahal. Lebih-lebih jika dihitung dalam durasi lima tahunan, termasuk pilkada. Lihatlah Pilkada Jawa Timur yang berlangsung dua putaran plus ulangan di beberapa kabupaten/kota.

Namun sejumlah pengamat tetap bersiteguh bahwa pemilu kita masih murah. Oleh karena itu tidak perlu merisaukan masalah anggaran. "Demokrasi memang mahal," demikian kata para pengamat pemilu, yang didukung oleh sejumlah elit politik.

Kesimpulan bahwa pemilu kita masih murah memang bukan tanpa dasar. Hal ini tampak bila dibandingkan dengan biaya pemilu per pemilih pada skala dunia, sebagaimana dikumpulkan oleh UNDP.

UNDP menghitung biaya Pemilu 2004 hanya US 1,5 dollar per pemilih. Lebih murah dibandingkan negara-negara maju dan beberapa negara berkembang di Amerika Latin, dan Asia. Namun angka itu masih lebih mahal dari India dan beberapa negara Afrika.

Sesungguhnya angka tersebut kurang akurat, karena US$ 1,5 dollar dihitung berdasarkan anggaran APBN. Padahal Pemilu 2004 juga menyedot APBD di setiap daerah yang tidak sedikit. Plus biaya pilkada bupati/walikota dan gubernur, maka biaya pemilu kita setiap lima tahun bisa dua kali lipat dari angka UNDP tersebut.

Mengapa pemilu kita mahal?

Pertama, dari segi sistem. Sistem pemilu kita memang hasil 'kreativitas' yang luar biasa sehingga efek pendanaannya pun juga luar biasa. Sistem proporsional tertutup jelas lebih murah, karena surat suara hanya berisi gambar partai. Nah, karena sistem ini denggap buruk (prasangka tanpa membandingkan kenyataan di tempat lain), maka sejak Pemilu 2004 diubah menjadi sistem proporsional terbuka.

Implikasinya surat suara harus memuat nama calon, sehingga ukuran surat suara lebar. Apalagi daerah pemilihan kursinya besar, sehingga di beberapa daerah surat suara tak hanya selebar koran, tetapi juga lebih dari satu halaman. Tujuan sistem poporsional terbuka untuk meningkatkan akuntabilitas calon terpilih pun tak tercapai, karena calon terpilih harus menghadapi konsituen yang demikian luas wilayahnya.

Kedua, dari segi waktu penyelenggaraan. Pemilu yang menyerentakkan pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota jelas membutuhkan dana yang berlipat-lipat dalam satu momen pemilu. Dengan melihat luas wilayah dan kondisi geografis Indonesia, empat pemilu legislatif yang serentak jelas memasuki wilayah "unmanageable".

Dana berlipat tersedot dalam satu momen, sehingga dari segi pengaturan anggaran negara juga merepotkan. Di sisi lain, penyelenggara pilpres dan pilkada yang berlainan waktunya, menambah nyata, betapa bangsa ini seperti "tidak cerdas" mengatur anggaran negara. Jadi, setiap lima tahun sekali, ada satu waktu (pemilu legislatif) segenap tenaga dan pikiran dikerahkan habis untuk sukses pemilu, di waktu yang lan pilpres dan pilkada dibiarkan berjalan berserakan sehingga kontrol penggunaan anggaran pun rendah.

Ketiga, meski sejak Pemilu 1999 KPU ditetapkan selaku penyelenggara 'tunggal' pemilu, namun dalam praktek, banyak sekali instansi pemerintah yang ikutan ngurus proyek pemilu, seperti Depdagri, Kominfo, Polri, dan lain-lain. Kalau anggara pemilu yang tersebar di banyak instansi itu disatukan dengan anggaran KPU, semakin jelas betapa banyak uang rakyat dihamburkan untuk proyek pemilu.

Di sisi lain, struktur organisasi penyelenggara pemilu juga kian tidak efisien. Bawaslu dan pengawas pemilu yang tidak punya peran apa-apa, kecuali teriak di koran ada pelanggaran, menambah beban anggaran yang kian banyak, karena di pusat bersifat permanen, sementara di bawah strukturnya sampai desa.

Keempat, persepsi yang salah tentang pemilu dan demokrasi. Selama ini muncul anggapan di kalangan pengamat, pemantau dan elit politik, bahwa demokrasi itu mahal. Oleh karena itu, berapa pun besarnya anggaran pemilu, demi demokrasi harus dikeluarkan.

Mungkin karena para pengamat, pemantau dan elit politik itu tidak pernah merasakan betapa sulitnya mengumpulkan uang negara, maka mereka tidak memperhatikan masalah efisiensi penyelenggaraan pemilu. Bahkan gagasan efisiensi selalu dibenturkan dengan sikap antidemokrasi.

*) Didik Supriyanto, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
( diks / nrl )

Sketsa Pemilu - 4


Centang Perenang Pemberian Suara (4)

Didik Supriyanto - detikPemilu



Jakarta - Peraturan KPU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungutan Suara dalam Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009, mengundang banyak protes. Peraturan yang diteken pada 28 Oktober 2008 itu digugat oleh partai politik.

Mereka khawatir, peraturan KPU tentang tata cara memberikan suara, akan menghasilkan banyak suara tidak sah. Alasan bahwa rakyat belum siap menggoreskan tanda centang (v) di kertas suara kembali menguat. Mereka minta agar KPU memberi banyak pilihan kepada pemilih dalam memberikan suara.

Seperti mengikuti ajaran partai yang biasa menyiasati peraturan perundangan, KPU pun membuka kesempatan untuk mengubah ketentuan pemberian suara. Cara memberikan suara memang tidak berubah, tetap menggunakan centang sebagaimana diatur dalam Pasal 40 Peraturan KPU No. 35/2008.

Namun pada bagian ketentuan tentang sah atau tidak sahnya suara, KPU membikin ketentuan tambahan, sebagaimana diinginkan oleh partai. Maka, Peraturan KPU No. 35/2008 direvisi dengan Peraturan KPU No. 3/2009. Peraturan ini disahkan pada oleh KPU pada 7 Februari lalu, atau dua bulan menjelang hari pemilihan.

Agar tidak salah memahami, apa yang dimaksudkan oleh KPU tentang sah atau tidak sahnya suara untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD, berikut saya kutipkan secara lengkap Pasal 41 ayat (1) Peraturan KPU No. 3/2009:

(1) Dalam melaksanakan penghitungan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 ayat (1), apabila Ketua KPPS menemukan bentuk pemberian tanda pada surat suara selain dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf b, yaitu dalam bentuk tanda coblos, atau tanda silang (x), atau tanda garis datar (--),atau karena keadaan tertentu, sehingga tanda centang (√ ) atau sebutan lainnya menjadi tidak sempurna yaitu dalam bentuk (/) atau (\) , suaranya dianggap sah.

Sedang untuk pemilihan anggota DPD, Pasal 42 ayat (2) Peraturan KPU No. 3/2009, berbunyi: Dalam melaksanakan penghitungan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 ayat (2), apabila Ketua KPPS menemukan bentuk pemberian tanda pada surat suara calon anggota DPD selain dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) huruf b, yaitu dalam bentuk tanda coblos, atau tanda silang (x), atau tanda tanda garis datar (-), atau karena keadaan tertentu, sehingga tanda centang (√ ) atau sebutan lainnya menjadi tidak sempurna yaitu dalam bentuk (/) atau (\), suaranya dianggap sah.

Itu artinya, dengan menggunakan bollpoin atau spidol, tanda apapun yang diberikan oleh pemilih dapat dianggap sah. Dengan demikian, tujuan mengubah pemberian suara, dari mencoblos dengan paku dengan menandai dengan bollpoin atau spidol, sebagaimana diinginkan oleh UU No. 10/2008, diabaikan.

Malah kini pemilih bisa menggoreskan tanpa apapun, bahkan termasuk coblos atau sobekan di kertas suara. Inilah potensi keributan di TPS pada hari pemilihan nanti. Adu mulut dan keributan bisa pecah antara KPPS dengan saksi, pengawas lapangan, dan pemilih, saat menentukan sah tidak sahnya suara. Sebab, tanda centang sudah diumumkan, sedang tanda lain hanya orang-orang KPU yang tahu. ( diks / iy )

Sketsa Pemilu 2009 - 3


Centang Perenang Pemberian Suara (3)
Didik Supriyanto - detikPemilu



Jakarta - Meski KPU belum memutus tata cara pemberian suara, Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo) sudah mengampanyekan contreng. Namun, KPU tetap lambat bertindak. Ketika akhirnya membuat peraturan, peraturan itu pun dipersilakan untuk dikoreksi.

Sekitar akhir April 2008, atau dua bulan setelah UU No. 10/2008 disahkan, beberapa anggota KPU sempat 'berang'. Pasalnya, Depkominfo telah mengumumkan cara pemberian suara pada Pemilu 2009 dengan mencontreng. Ini terlihat dari buku dan brosur yang diterbitkan oleh departemen tersebut.

Padahal, KPU selaku lembaga yang diperintahkan UU No. 10/2008 untuk mengatur tentang tata cara pemberian suara, belum memutuskan bentuk pemberian suara. KPU secara internal masih mendiskusikan masalah itu.

Di lingkungan internal KPU terjadi perdebatan. Dengan dalihnya masing-masing, ada pihak yang mengusulkan tanda centang atau contreng, ada yang mengusulkan tanda silang, dan ada yang mengusulkan tanda lingkaran. Materi perdebatan persis mengulang apa yang terjadi pada saat pembahasan RUU Pemilu.

Rupanya KPU yang terdiri dari tujuh orang juga tidak segera mengambil kata putus. Malah materi perdebatan muncul di media massa, sehingga banyak kalangan kemudian ikut urun rembug. Pilihannya semakin banyak, karena beberapa kalangan tak hanya mengusulkan centang, silang dan lingkaran, tetapi juga garis dan bahkan coblos.

Pertengahan 2008, KPU meluncurkan kampanye sosialisasi Pemilu 2009 di Istana Negara. Pada saat inilah, KPU mengeluarkan jargon alias tagline Pemilu 2009: 'pilih satu kali dengan tanda centang!' Sayangnya, setelah itu KPU tak sungguh-sungguh mengampanyekannya secara luas. Alasannya, dana sosialisasi belum turun.

Namun, tindakan KPU mengeluarkan jargon 'pilih satu kali dengan tanda centang', sepertinya masih diliputi keraguan. Pasalnya, sampai kampanye sosialisasi dicanangkan di Istana Negara itu, sesungguhnya KPU belum membuat keputusan resmi tentang tata cara pemberian suara. Tentu ini suatu keganjilan.

KPU baru meresmikan bentuk pilihan tersebut pada 28 Oktober 2008 lewat Peraturan KPU No. 35 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara di Tempat Pemungatan Suara dalam Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2009.

Pasal 40 Peraturan No. 35/2008 tersebut, berbunyi: 'tata cara pemberian suara pada surat suara, ditentukan : 1) menggunakan alat yang telah disediakan; 2) dalam bentuk tanda 'centang' atau sebutan lainnya; 3) pemberian tanda 'centang' atau sebutan lain, dilakukan satu kali pada kolom nama partai atau kolom nomor calon atau kolom nama calon anggota DPR/DPRD Provinsi/DPRD Kabupaten/Kota; 4) pemberian tanda 'centang' atau sebutan lain dilakukan satu kali pada foto salah satu calon anggota DPD; 5) tidak boleh membubuhkan tulisan dan catatan lain pada surat suara; dan 6) surat suara yang terdapat tulisan dan atau catatan lain, surat suara tersebut dinyatakan tidak sah.

Rupanya urusan belum selesai. Peraturan ini mengundang tanya partai politik. Mereka khawatir, dengan ketentuan tersebut, banyak pemilih yang akan salah dalam memberikan suaranya. Celakanya, KPU tak kukuh pendirian. Alih-alih mempertahankan keputusannya, KPU justru membuka lebar perdebatan. Alasannya demi penyempurnaan peraturan KPU.

Demikinlah, Peraturan KPU No. 35/2008 belum merupakan kata putus. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota pun ragu melakukan sosialisasi. Instansi pemerintah, seperti Depkominfo dan Departemen Dalam Negeri, juga masih menunggu 'perintah jelas' dari KPU. Organisasi masyarakat dan LSM yang terbiasa melakukan pendidikan pemilih, juga tak berani mengumumkan cara memilih yang benar.

*) Didik Supriyanto, Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
( diks / asy )