Selasa, 03 Maret 2009

Centang Perenang Pemberian Suara (5)


Didik Supriyanto - detikPemilu



Jakarta - Saya terkejut membaca koran terbitan Senin (23/2/2009) kemarin. Diwartakan, pemerintah akan segera mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang akan mengatur tiga hal: pertama, penetapan calon terpilih dengan suara terbanyak, kedua, penandaan lebih dari satu kali, dan ketiga, perubahan daftar pemilih.

Substansi pertama tidak mengherankan. Perpu untuk mengadopsi putusan MK yang menghapus Pasal 214 UU Nomor 10/2009 dan menggantikan dengan prinsip suara terbanyak, memang dibutuhkan. Sungguh melegakan, pemerintah akhirnya mau mengeluarkan Perpu dari sikap semula yang terkesan ‘tidak mau bertanggung jawab’.

Substansi kedua, agak aneh saja. Pemilu sudah dalam hitungan hari, bahkan jam. Surat suara sudah dicetak dan dikirim ke kabuapten/kota. Kini, tiba-tiba daftar pemilih hendak diubah lewat Perpu. Masih ada manfaatnyakah Perpu perubahan daftar pemilih ini?

Katakanlah daftar pemilih yang amburadul (karena banyak warga negara yang punya hak pilih tidak masuk daftar) bisa diperbaiki, apa masih ada waktu untuk mencetak surat suara untuk memenuhi pemilih baru tersebut? Iya kalau pekan ini Perpu benar-benar diteken presiden, kalau mundur lagi, bagaimana?

Substansi ketiga murni kehendak pemerintah. Mengutip pernyataan Pesiden SBY, Mensesneg Hatta Rajasa mengatakan, pemerintah hendak mengeluarkan Perpu yang mengesahkan penandaan suara dua kali. Dalih usulan yang mucul setelah putusan MK ini adalah demi menyelamatkan suara rakyat.

Rencana pemerintah ini sebetulnya banyak ditentang. Pasalnya, usulan ini tidak sejalan dengan putusan MK yang menghendaki calon terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Jika mau konsisten dengan putusan MK, Perpu mestinya menghapus ketentuan pemberian suara buat partai politik (dalam Pasal 176 ayat (1) poin b, UU No. 10/2008), bukan menambah ketentuan baru untuk mengesahkan dua kali tanda (partai dan calon).

Penghapusan terhadap pemberian suara buat partai politik, memastikan bahwa kita benar-benar menganut sistem proporsional daftar terbuka. Langkah ini akan menghentikan perdebatan dalam menafsirkan frasa ‘suara terbanyak’-nya putusan MK.

Salah satu sumber perdebatan putusan MK adalah, jika partai memperoleh suara lebih banyak dari perolehan suara calon-calon, apa pantas suara itu diberikan kepada calon meskipun selisih suara mereka jauh dari perolehan partai? Bukankah suara itu mestinya diberikan kepada calon nomor urut kecil, karena partai mengajukan daftar calon berdasarkan nomor urut?

Namun pemerintah justru berpikir sebaliknya, Perpu yang baru justru akan mengesahkan pemberian suara dua kali. Maksudnya, jika ada pemilih yang memilih gambar partai dan calon, maka suara itu dianggap sah. Implikasinya tentu saja pada ketentuan tentang perolehan kursi partai politik dan calon terpilih, yang akan dijabarkan oleh KPU.

Perpu menandai dua kali ini, jelas mengacaukan jargon “pilih satu kali dengan tanda centang” yang dilakukan oleh KPU. Memang kampanye pilih satu kali itu belum masif. KPU selalu bilang, dana belum turun. Perpu menandai dua kali ini sekaligus membenarkan keterlambatan sosialisasi.

Jadi, jangan salahkan KPU saja, kalau nanti banyak suara yang tidak sah akibat pemilih tidak tahu persis harus memberi tanda apa, berapa, dan di mana letaknya pada surat suara nanti. Pemilu tinggal 44 hari lagi, namun soal tanda pemberian suara belum jelas juga. Inilah satu dari banyak ironi yang terjadi dalam Pemilu 2009. ( diks / iy )

1 komentar:

David Pangemanan mengatakan...

INI BUKTINYA : PUTUSAN SESAT PERADILAN INDONESIA

Putusan PN. Jkt. Pst No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Sungguh ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung dibawah 'dokumen dan rahasia negara'. Lihat saja statemen KAI bahwa hukum negara ini berdiri diatas pondasi suap. Sayangnya moral sebagian hakim negara ini terlampau jauh terpuruk sesat dalam kebejatan.
Quo vadis Hukum Indonesia?

David
(0274)9345675