Jumat, 27 Februari 2009

POLITIKA


Sengatan Kalajengking
Sabtu, 28 Februari 2009 | 00:10 WIB

BUDIARTO SHAMBAZY

Seperti beberapa kali saya kemukakan, Jusuf Kalla akhirnya mencalonkan diri jadi presiden. JK orang paling berkuasa karena selain Wakil Presiden ia juga Ketua Umum Golkar, partai pemenang Pemilu 2004.

Dalam tataran wacana ia dianggap cawapres yang terpopuler yang ditaksir tiap capres. Jangan lupa, ia satu-satunya capres yang menjalin tali silaturahim yang akrab dengan semua capres/cawapres.

JK melancarkan manuver ”Kejutan Februari”. Jika diibaratkan sepak bola, manuver ini sebuah set-piece yang memukau dan menghasilkan gol.

Manuver ini menaikkan animo penonton yang jemu dengan pertandingan yang membosankan. Anggap saja Kejutan Februari ini sebagai ”paket stimulus” yang berupaya menghindari rakyat dari krisis kepercayaan pada politik.

Kejutan Februari menjadi kesempatan bagi capres-capres lain untuk ambil napas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, tentu saja mempunyai sederet nama cawapres alternatif selain JK.

Andaikan PDI-P mengalahkan Golkar, misalnya, capres Megawati Soekarnoputri mungkin saja meminang JK. Jika PDI-P berada di urutan kedua, Golkar pun sebagai pemenang tetap berpeluang menjodohkan JK dengan cawapres dari ”Moncong Putih”.

Selain menyimpan opsi Koalisi Kebangsaan, JK tak mustahil memilih cawapres-cawapres lain, seperti Sultan Hamengku Buwono X, Wiranto, atau Prabowo Subianto. Bagaimanapun, mereka sama-sama dibesarkan Golkar.

Golkar memang ibarat pohon beringin rindang yang menaungi tukang cukur, penjual jamu, pejalan kaki, sampai peramal. Sekali lagi terbukti bahwa Golkar, sebagai partai kawakan dan warisan Orde Baru (bersama PDI dan PPP), ”is still alive and kicking”.

Beberapa tahun terakhir ini sering muncul gejala ”ganyang partai” yang dilancarkan berbagai kalangan masyarakat yang kehilangan rasa percaya terhadap politik, partai, dan politisi. Nah, Kejutan Februari mengobati kekecewaan itu.

Mengapa? Sebab, Kejutan Februari setidaknya menjadi ”head turner” (daya tarik) yang memaksa rakyat pemilih kembali menolehkan kepala.

Semoga saja makin banyak yang sadar bahwa tak seorang pun yang mampu menghindar dari politik yang telah dimulai dari rumah, lingkungan, kantor, sampai negara. Seperti salah satu ucapan Bung Karno yang terkenal, ”politik adalah panglima”.

Dan, hidup juga membutuhkan loyalitas, termasuk kesetiaan kepada partai. JK, Megawati, Wiranto, dan ketua-ketua umum partai lain sudah menunjukkan loyalitas dengan menjadi capres partai masing-masing.

Begitulah yang ideal, yakni ketua umumlah yang selayaknya dicalonkan partai sebagai presiden. Posisi ketua umum partai tak kalah gengsi dibandingkan dengan seorang CEO karena ia mengatur napas ribuan orang, mulai dari pengurus/anggota di pusat sampai ke ranting.

Itulah sebabnya mengapa Wiranto dan Prabowo mendirikan partai dulu—Hanura dan Gerindra—baru mencalonkan diri sebagai presiden. Jika Anda mau menyopir, belilah dulu motor atau mobil—bukan motor-motoran atau mobil-mobilan.

Dan, politik adalah ideologi, politisi, program, AD/ART, kongres, anggota, dan massa. Itu sebabnya saya senang uji materi capres independen akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

Semakin banyak warga prihatin dengan ”hobi baru” sebagian kalangan yang gemar mengujimaterikan pasal-pasal pada UUD ’45. Amandemen mungkin memang diperlukan, tetapi tampaknya sudah agak kebablasan.

Tak tertutup kemungkinan caleg dan capres independen di negeri justru berpotensi menjadi tiran. Mereka abai kepada ideologi, enggan mendirikan partai, tak berani mematuhi aturan dalam bentuk AD/ART, ogah melakukan rekrutmen atau regenerasi, dan seterusnya.

Ke mana pemilih mereka yang kecewa mau menyampaikan aspirasi? Ibaratnya, rakyat akan ”mépé” alias memprotes sang raja independen dengan cara bertelanjang dada di depan istana di bawah sengatan Matahari.

Sekali lagi, Kejutan Februari momentum bagi partai untuk meningkatkan trust rakyat terhadap partai. Para politisi setidaknya dapat berkilah persoalan inkompetensi bukan hanya terjadi di dunia politik, tetapi juga telah mewabah ke hampir semua profesi.

Kejutan Februari yang dilancarkan JK membuka kans yang relatif sama rata besarnya untuk semua capres untuk pilpres putaran pertama yang berlangsung Juli nanti. Sebentar lagi akan terbukti tak ada capres yang favorit dan, sebaliknya, tak ada juga yang underdog.

Tentu saja pendapat ini berbeda dengan hasil jajak pendapat-jajak pendapat belakangan ini. Saya tetap percaya pada teori-teori kampanye di Barat yang mengatakan ”jangan mau diperdayakan oleh hasil polling”.

Bisa diperkirakan Kejutan Oktober memaksa tiap capres meninjau ulang strategi agar lolos ke final pilpres putaran kedua. Sekali lagi, sebagai Wapres dan Ketua Umum Golkar, kans JK belum tentu lebih kecil dibandingkan dengan capres-capres lain.

Kejutan Oktober ala JK ibarat ”Sengatan Kalajengking”. Racun kalajengking menimbulkan rasa sakit kayak dibakar api, membuat mata kabur, dan melemaskan otot-otot.

Secara psikologis, korban sengatan jadi makin sensitif, mudah panik, dan hiperaktif. Tetapi, jangan khawatir, tak banyak korban yang menemui ajal gara-gara sengatan kalajengking.



Tidak ada komentar: