Rabu, 12 November 2008

Anggaran demokrasi


Berapa Harga Pemilu Kita?
Kamis, 13 November 2008 | 00:30 WIB

Sidik Pramono

Pada masa lalu, demokrasi adalah ”kemewahan”. Sekarang pun implementasi demokrasi dengan pelaksanaan pemilihan umum membutuhkan biaya besar.

Simak saja angka berikut. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengajukan anggaran sebesar Rp 20.777.719.496.954 dari APBN untuk membiayai tahapan Pemilu 2009. Anggaran itu terbagi Rp 6,667 triliun tahun 2008 dan Rp 14,11 triliun pada 2009. Anggaran itu digunakan untuk membiayai semua tahapan pemilu, baik untuk kebutuhan utama maupun pendukung.

Bandingkan dengan Pemilu 2004. Total biaya APBN yang keluar untuk membiayai tahapan Pemilu 2004 sebesar Rp 6.988.696.852.000 untuk tahun 2003 dan 2004. Anggaran itu diprioritaskan untuk kebutuhan utama, seperti surat suara dan kelengkapan administrasi surat suara, serta biaya honorarium dan operasional penyelenggara pemilu. Namun, saat Pemilu 2004 juga ada dana dukungan APBD yang digunakan untuk pembiayaan kegiatan pendukung, seperti pengadaan kantor, rapat koordinasi, perjalanan dinas, dan distribusi perlengkapan pemilu sampai ke tempat pemungutan suara. Besarnya dana APBD bervariasi, sesuai kondisi geografis dan kemampuan setiap daerah.

Dalam laporan Sekretaris Jenderal KPU yang disampaikan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, pertengahan Oktober lalu, disebutkan penyebab kenaikan anggaran dari APBN adalah adanya ketentuan yang melarang sumber pembiayaan pemilu dari APBD. Selain itu, standar honor untuk lembaga yang bersifat ad hoc melonjak hingga tujuh kali lipat. Misalnya, anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara pada Pemilu 2004 memperoleh honorarium Rp 40.000 per bulan, namun kini menjadi Rp 300.000 per bulan. Penyebab lain adalah kenaikan jumlah pemilih yang menjadikan peningkatan kebutuhan surat suara. Inflasi, kenaikan harga minyak, dan pengaruh ekonomi global ikut menyebabkan kenaikan standar harga barang dan jasa.

Untuk Pemilu 2009, bandingkan total anggaran dengan jumlah pemilih 174.410.453 orang. Hitungan biaya per pemilih terdaftar menjadi sebesar Rp 119.131,16. Jika dihitung dengan kurs Rp 9.750 per dollar AS, setiap pemilih Indonesia butuh 12,22 dollar AS!

Biaya yang dibutuhkan untuk Pemilu 2009 bakal melonjak jika biaya ”lain-lain” juga diperhitungkan. Untuk pengeluaran negara saja paling tidak dibutuhkan dana untuk Badan Pengawas Pemilu dan (kemungkinan) Desk Pemilu di Departemen Dalam Negeri.

Misalnya, untuk tahun 2009, Badan Pengawas Pemilu mengajukan permintaan dana Rp 2.115.224.478.554. Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR, 17 Oktober lalu, disebutkan anggaran itu untuk membiayai ”komunitas pengawas pemilu”, mulai dari tingkat pusat, 33 provinsi, 465 kabupaten/kota, 6.524 kecamatan, sampai pengawas lapangan di 76.749 desa/kelurahan. Porsi terbesar adalah untuk honorarium pengawas, yaitu Rp 900,423 miliar. Berikutnya, pos peningkatan kinerja pengawasan Rp 782,834 miliar. Kegiatan operasional butuh Rp 419,711 miliar dan belanja pendukung Rp 12,255 miliar.

Kalau berhitung lebih rinci, kian banyak dana yang beredar bersama Pemilu 2009. Pemilu 2009 bakal menjadi proyek besar, bukan saja bagi institusi penyelenggara dan peserta pemilu yang menyedot biaya besar. Di sisi lain, elemen masyarakat sipil yang ”peduli” pada persoalan pemilu (mayoritasnya) bergantung pada donasi.

Bandingkan dengan anggaran pemilu negara lain. Data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang dihimpun dari The Electoral Knowledge Network, biaya pemilu di negara yang lebih berpengalaman menerapkan sistem multipartai lebih rendah ketimbang yang baru menerapkannya. Di negara yang berpengalaman, biayanya 1-3 dollar AS per pemilih. Di negara yang sedikit pengalaman dalam sistem multipartai, biayanya lebih tinggi.

Lain lagi jika penyelenggaraan pemilu dikaitkan sebagai bagian operasi penjagaan perdamaian, biayanya pastilah lebih mahal. Misalnya, pemilu di Kamboja pada 1993 estimasi biayanya 45,5 dollar AS per pemilih atau Angola pada 1992 sebesar 22 dollar AS per pemilih.

Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR Effendy Choirie pernah menyebutkan, pilihan rezim demokrasi berkonsekuensi pada kebutuhan biaya yang besar. Beda halnya dengan rezim otoritarian di mana tidak dibutuhkan dana besar untuk sirkulasi kepemimpinan.

Anggota Panitia Anggaran Komisi II DPR, Jazuli Juwaini, mengingatkan, KPU dan semua instansi negara yang terlibat dalam pemilu mesti berhati-hati menyangkut anggaran. Beban negara yang semakin berat diharapkan bisa dipertimbangkan untuk menyusun anggaran secara cermat dan berhemat.

Tidak ada komentar: