Oleh M Fadjroel Rachman
SUMARSIH, ibunda almarhum B Realino Norman Irawan (Wawan), mengucap syukur karena golongan putih memenangkan Pemilu 2004. Betapa tidak, ibunda Wawan, mahasiswa Unika Atma Jaya yang ditembak mati aparat di Semanggi I pada 13 November 1998, inilah yang paling bersemangat mengampanyekan golput.
"Di setiap pertemuan, termasuk di pasar, saya membujuk pemilih menjadi golput (golongan putih) karena tidak ada satu pun parpol dan capres-cawapres pada Pemilu 2004 membela korban Orde Baru, neo-Orde Baru, dan militerisme," ujarnya.
Penegasan itu diucapkan pada pembentukan "Gerakan Nasional" Mei Bergerak di Perpustakaan Nasional (21/4), didampingi ibunda Sigit (korban Semanggi I) dan ibunda Eten Karyana (korban Kerusuhan 13-14 Mei), serta mewakili ibunda Yun Hap (korban Semanggi II), dan korban Trisakti 12 Mei .
Tepat 5 April 2004, hari pencoblosan pemilu, ribuan korban penggusuran sebagian bermukim di Kantor Komnas HAM, Jakarta, lantang menyatakan, "Kami golput karena tidak satu pun parpol membela kami." Dalam bahasa ibu Sumarsih, gerakan golput menolak siapa pun yang merampas kehidupan dan memetieskan ketidakadilan terhadap korban. Suara korban adalah suara golput!
Fenomena politik golput
Kemenangan golput semestinya dilihat lebih mengejutkan. Tanpa jadwal kampanye dari KPU, tanpa iklan di media, bahkan dilarang oleh UU mengumpulkan massa, tanpa sokongan dana negara dan pengusaha. Bahkan lepas dari perhatian lembaga survei dan analis politik partisan. Golput juga tak pernah menyewa lembaga survei atau polling untuk mendukung keberadaannya. Golput bergiat serba sporadis, dengan sumber daya terbatas, memanfaatkan ruang publik yang mungkin diraih, bahkan terus dihantam parpol, lembaga survei, LSM, dan analis politik partisan. Nyatanya, golput mengalahkan semua partai peserta Pemilu 2004 di Jakarta dan secara nasional!
Golput pemenang Pemilu 2004
Jumlah pendukung golput 34.509.246, terdiri dari pemilih terdaftar yang tidak datang ke TPS 23.551.321, ditambah suara tidak sah 10.957.925. Persentasenya 23,34 persen terhadap total pemilih terdaftar. Jumlah ini lebih besar dari perolehan parpol pemenang pemilu, seperti Partai Golkar 24.480.757 (16,54 persen), PDI-P 21.026.629 (14,21 persen), dan PKB 11.989.564 (8,10 persen). Jumlah pemilih terdaftar untuk pemilu legislatif 5 Juli 2004 adalah 148.000.369, sesuai keputusan KPU No 23/2004. Menurut perhitungan manual yang dilakukan KPU 23 April-4 Mei 2004, jumlah pemilih yang menggunakan haknya 124.449.038 (83 persen), suara yang sah 113.498.755, dan suara tidak sah 10.957.925 (8,81 persen).
Inilah perolehan golput terbesar sepanjang sembilan kali pemilu di Indonesia sejak 1955. Pada pemilu 1999 angka Golput hanya 10,4 persen, sedangkan pada Pemilu 1955, angka Golput tertinggi selama ini, hanya 12,34 persen. Di DKI Jakarta, barometer politik Indonesia, dari 6.461.572 pemilih terdaftar, Golput meraih angka tertinggi 33,20 persen atau 2.144.971, PKS 15,24 persen (985.031), Partai Demokrat 14.06 persen (908.246), PDI-P hanya 9,00 persen (581.806), Partai Golkar 5,56 persen (359.122) (Data KPU tentang Summary Perolehan Partai untuk DPR di Provinsi DKI Jakarta). Boleh jadi, golput membengkak lebih dari 50 persen pada pemilu presiden nanti, bila track record capres-cawapres amat meragukan publik seperti sekarang.
KPU bisa memakai golput untuk mensahkan pekerjaannya beres secara teknis administratif karena KPU tidak bisa memaksa pemilih datang ke TPS atau memastikan pemilih tidak salah mencoblos.
Di sisi lain, KPU akan membantah bila 34.509.246 orang ini dimasukkan dalam kategori politik golput, golput aktif, dan pemilih radikal. Paling jauh mereka berapologi pada "ketidaktahuan" pemilih pada metode pemilu baru, salah/pindah alamat dan hambatan geografis.
Oposisi sosial
Golput berdiri sebagai garda terdepan demokrasi radikal. Di mana demokrasi dipahami sebagai a system that creates the economic, political, and cultural conditions for the full development of the individual (Erich Fromm, Escape From Freedom, 1994). Lalu, bagaimana memahami golput?
Pertama, golput adalah mosi kepercayaan terhadap masa depan demokrasi sekaligus mosi tidak percaya terhadap parpol maupun capres-cawapres peserta Pemilu 2004.
Kedua, golput adalah rallying point gerakan sosial yang melakukan oposisi sosial. Gerakan sosial itu membasiskan oposisinya pada beragam masalah sosial, politik, ekonomi, dan budaya.
Ketiga, golput memegang legitimasi politik (kekuasaan de facto) sedangkan negara neo-Orba hanya memperoleh legitimasi hukum (kekuasaan de jure) dari Pemilu 2004.
Keempat, bila kekuasaan de facto ini dikonsolidasi dan dikomunikasikan secara terencana, baik lokal, nasional, internasional, negara neo-Orba tanpa legitimasi politik tidak akan bertahan lama. Soeharto digulingkan sekitar enam bulan setelah Pemilu 1997, di mana Golkar menang 70 persen lebih dan TNI/Polri memiliki kursi gratis 100 buah.
Mempertahankan dan mengembangkan demokrasi
Tesis golput menjelang pemilu legislatif, "Pemilu 2004 merupakan sarana legitimasi dan konsolidasi kediktatoran fasis Orba dan memapankan reproduksi politiknya sebagai rezim hibrida neo-Orde Baru", tak bisa difalsifikasi. Kini, untuk "menyenangkan" pemilihnya yang kecewa, sejumlah parpol memaklumkan oposisi politik di parlemen, berkompromi dengan parpol yang merepresentasi Orba, neo-Orba, dan militerisme. Hasilnya, tentu pembusukan demokrasi.
Berbeda halnya dengan oposisi sosial langsung menantang negara, membasiskan diri pada publik melalui beragam gerakan sosial, berpihak pada korban. Bila oposisi sosial berhasil menjadi sarana, (1) pendidikan politik demokrasi; (2) konsolidasi kekuatan politik demokrasi dan gerakan sosial, oposisi sosial akan menjadi embrio kekuasaan politik demokrasi sepanjang 5-10 tahun ke depan untuk mengisi lima arena transisi demokrasi, (1) masyarakat sipil; (2) masyarakat politik; (3) masyarakat ekonomi; (4) supremasi hukum; dan (5) aparatus negara.
Jadi, golput dan oposisi sosial menjadi basis perkembangan dan pertahanan demokrasi radikal terhadap kekuatan politik hasil Pemilu 2004. Mengutip Antonio Gramsci (The Gramsci Reader, 2000), maka golput dan oposisi sosial adalah upaya membangun war of position dari dan dalam masyarakat sipil, berhadapan dengan negara anti-demokrasi, sebelum memutuskan war of maneuver untuk menegakkan hegemoni politik demokrasi pada lima arena transisi demokrasi.
M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar