Selasa, 25 November 2008

Masih Besarkah Peluang Megawati?


Sore itu saya sedang menyiram kebun, anak saya laki-laki “ngerumpi” sama tukang rokok yang dahulu juga jualan indomie disebelah rumah. Dia menanyakan kepada tukang rokok, “nanti kalau pemilu mau milih presiden yang mana bang”, jawaban tukang rokok mengejutkan penulis, “kalau pak Harto masih hidup saya pasti milih beliau, tapi karena sudah meninggal saya akan milih bu Mega”. Lho memang kenapa? tanya anak saya. Tahulah mas, hidup sekarang kok lebih susah, minyak tanah hilang, mau jualan indomie mesti pake gas, repot sekali. Sekarang apa-apa naik dan mahal, hidup lebih berat. Rasanya lebih enak jaman pak Harto, karena sudah meninggal saya pilih bu Mega saja deh katanya dengan polos.

Saya jadi merenung, apakah ungkapan tukang rokok tadi benar?. Tukang rokok adalah rakyat kecil yang hidup dari serupiah ke rupiah, begitu pemerintah menetapkan konversi minyak tanah ke gas dia langsung terasa dan terpukul. Kalau dahulu bisa membeli minyak tanah seliter dua liter dia bisa jualan indomie, sekarang tidak bisa karena harus membeli gas yang harganya aduhai. Rakyat kecil itu sederhana, dia membandingkan pemerintah kini dengan yang lalu-lalu hanya dari urusan bisa hidup atau tidak. Dia mengukur enaknya dipimpin Pak SBY, Ibu Mega atau Pak Harto, tanpa mengetahui betapa sulitnya mengurus negara, sulitnya mengurus APBN, pengaruh resesi dari AS, penanggulangan Korupsi, jatuhnya harga saham, fluktuasi rupiah, dan segala macam pernik urusan negara, dia hanya melihat dari kepentingannya.

Walau dia hanya rakyat kecil ditataran bawah, jangan sepelekan dia, dia menentukan pilihannya kini tanpa dipengaruhi faktor external. Para politisi dan team sukses harusnya mampu melihat masalah ekonomi rakyat akan memegang peran utama dalam perolehan suara. Mereka tidak pusing dengan APBN, yang dibutuhkan upaya langsung perbaikan nasibnya. Mungkin ini salah satu kunci agar mendapat dukungan besar pada pilpres.

Nah, kini kita lihat bagaimana kira-kira peluang Ibu Megawati pilihan tukang rokok tadi yang “wong cilik”. Megawati Soekarnoputri yang dilahirkan di Yogyakarta pada 23 Januari 1947 pernah menjadi Presiden RI ke-5, bersuamikan Taufik Kiemas asal Palembang. Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarno putri memulai pendidikan dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, pernah belajar didua Universitas yaitu Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran Bandung (1965-1967) dan Fakultas Psikologi UI (1970-1971).

Pada pemilu 1999 PDIP berhasil meraih lebih 30% suara, yang seharusnya menempatkan Mega pada posisi paling patut sebagai presiden dibanding kader partai lainnya, tapi ternyata pada SU-MPR Mega kalah dan KH Abdurrahman Wahid yang menjadi presiden. Mega kemudian terpilih menjadi wakil presiden. Kurang dari dua tahun, pada 23 Juli 2001 Mega dipilih oleh anggota MPR secara aklamasi menggantikan Gus Dur sebagai Presiden.

Pada pilpres 2004 Megawati sebagai incumbent yang berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi dikalahkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan M.Jusuf Kalla pada putaran kedua pilpres. Akhirnya SBY menjadi presiden Indonesia yang ke enam.

PDIP yang dinahkodai Mega pada pemilu legislatif 1999 mendapat 34 juta suara, pada pemilu 2004 menjadi 21 juta suara, diperkirakan sebanyak 13 juta suara pindah dari pelukan PDIP, ilmuwan muda berbakat Anis Baswedan memperkirakan inilah pendukung setia PDIP.

Dari beberapa hasil survei yang dilansir dimedia massa, terlihat persaingan popularitas terjadi susul menyusul antara dua tokoh senior SBY-Mega. Kita bandingkan hasil survei antara Mega-SBY dari Survei Indo Barometer, pada Mei 2007 popularitas Megawati 22,7% (SBY 35,3%), Desember 2007 Mega 27,4% (SBY 38,1%), Juni 2008 Mega 30,4% (SBY 20,7%). Menurut Direktur eksekutif Indo Barometer “ini popularitas SBY paling rendah”. Turunnya popularitas secara drastis kelihatannya sebagai dampak kebijakan kenaikan BBM pada 5 Juni 2008. Hasil survei menyebutkan bahwa ketidak puasan responden paling tinggi pada bidang ekonomi (79,1%), kepuasan paling tinggi masalah keamanan (49,2).

CSIS pada tanggal 15 Juli 2008 mengumumkan hasil surveinya, Megawati (23,2%), SBY (14,7%), Sri Sultan HB-X (8,8%) dan Hidayat Nur Wahid (7,9%).

Popularitas Mega kembali diungguli SBY pada bulan Oktober-November 2008, Lembaga Survei Indonesia (LSI) mengeluarkan hasil, 32% responden akan memilih SBY apabila pilpres dilakukan hari ini, Mega(24%), Wiranto(6%). Prabowo(5%).

Survei IRDI (Indonesian Research and Development Institute) pada bulan Oktober menyebutkan elektabililitas SBY (33%), Mega (17,9%), Wiranto (5%), Prabowo (4,7%), Hidayat Nur Wahid (2,8%), Sri Sultan (1,6%). Responden tidak puas dengan penyaluran sembako, pengangguran dan kemiskinan. Data IRDI menunjukkan “head to head” SBY melawan Megawati, SBY mendapat 61,2%, Megawati mendapat 35,4%.

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang melakukan survei dari tanggal 26 Oktober-5 November 2008) menyebutkan swing voter (pemilih mengambang) diprediksikan 33% terdiri dari 22% swing voter negatif dan 11% swing voter positif. Swing voter ditemukan pada Golkar (-5%), PKB(-5%), PPP(-4%), PAN(-3%), PDIP(-3%), dan PKS (-2%). Posisi Partai Demokrat unggul dipilih responden (16,8%). Golkar (15,9%), PDIP (14,2%).

Dari beberapa hasil survei terlihat bahwa Mega hanya mampu mengungguli SBY dari bulan Juni hingga bulan Agustus 2008. Popularitas SBY “anjlok” disebabkan karena kenaikan BBM. Responden secara jelas menyebutkan rasa tidak puas terhadap SBY dalam masalah ekonomi (79,1%). Dengan kepiawaian penanganan masalah, pada bulan Oktober kembali popularitas SBY mengungguli Mega. Apabila dihadapkan secara “head to head” pada Oktober 2008 SBY menang dari Mega disekitar angka 25,8%. Bila mengacu hasil survei terakhir LSI, maka Partai pendukung SBY mengungguli partai pendukung Mega (16,8% dibanding 14,2%). Pada posisi ini baik Mega maupun PDIP dapat dikatakan pada posisi tertekan.

Menurut pengamat politik Alfan Alfian kondisi ini sebenarnya diuntungkan dengan posisi Partai Demokrat yang menjadi partai penguasa serta kesiapan infrastruktur partai yang semakin kukuh. Belum lagi ketokohan SBY yang menjadi pesona bagi Partai Demokrat, katanya.

Apakah dengan demikian harapan Megawati sebagai pesaing tipis?. Belum tentu juga, hingga saat survei dilansir (November 2008) Megawati adalah pilihan terbaik kedua para responden untuk menjadi Presiden. Apabila dalam beberapa bulan terakhir menjelang pemilu dan pilpres 2009 pemerintahan SBY tergelincir, maka responden akan mudah berganti haluan ke Mega. Contoh tergelincirnya pemerintahan SBY pada kasus BBM 5 Juni 2008 sangatlah jelas menggambarkan merosotnya popularitas. Memang dibawah Mega terdapat calon terbaik seperti Wiranto, Prabowo, Sri Sultan HB-X tetapi kepopulerannya belum signifikan.

Dari survei CSIS, Peneliti Nico Harjanto mengatakan masyarakat Indonesia cenderung lebih memilih presiden berdasarkan personalitasnya bukan partai pengusungnya. Pilihan politik masyarakat Indonesia tidak lagi mudah dimanipulasi dengan intimidasi dan pemberian uang semata. Masyarakat Indonesia makin mampu menilai secara konsisten. Oleh karena itu menjadi tugas berat bagi Megawati untuk kembali menaikkan popularitasnya.

Memang hasil survei dikatakan valid hingga hasilnya diumumkan, tetapi paling tidak baik kubu SBY maupun Mega telah mempunyai gambaran posisi keduanya menjelang pemilu legislatif maupun pilpres 2009. Kepuasan terhadap permasalahan ekonomi dan masalah yang menyentuh rakyat banyak kelihatannya menjadi kunci, kemerosotan minat responden kepada SBY pada bulan Juni 2008 juga dikarenakan hal ini. Kenaikan popularitas SBY menurut LSI juga disebabkan kebijakan Bantuan Tunai Langsung dan Bantuan Operasional Sekolah.

Kini tinggal bagaimana peran para analis dan team sukses masing-masing kubu, jangan terfokus pada kemenangan suatu medan pertempuran saja, tapi sasaran strategisnya adalah bagaimana memenangkan peperangan. Jelas kondisi ini dinilai agak berat bagi kubu Megawati karena SBY sebagai lawan utamanya adalah incumbent yang semakin “piawai”. Selama dunia masih berputar, peluang pasti masih besar, karena yang direbut adalah hati orang yang kadang sulit “ditebak”, bukankah begitu ?. PRAY.

Tidak ada komentar: