Senin, 03 November 2008

Berebut ke Senayan (3)


Seribu Langkah Menuju Senayan

Minggu, 2 November 2008 - 14:52 wib

Banyak cara dilakukan para calon anggota legislatif (caleg) untuk menjadi anggota Dewan. Dari yang legal hingga ilegal, termasuk mempertaruhkan harga diri. Banyak jalan menuju Roma.

Ungkapan ini pula yang dijadikan rujukan bagi para caleg Pemilu 2009 dalam meniti langkahnya menuju Senayan (Dewan Perwakilan Rakyat/DPR). Namun, rujukan ini pula yang selalu menimbulkan masalah klasik dalam pencalegan. Karena ingin menembus pintu Senayan, mereka pun tidak jarang menghalalkan segala cara, termasuk melanggar aturan.

Padahal, Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) Anggota DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) telah memberikan rambu-rambu yang tegas dalam melaksanakan pesta demokrasi.

Namun, pelanggaran seperti penggunaan ijazah palsu, tersangkut kasus pidana hingga pencalonan ganda pun tetap terjadi agar mereka masuk dalam daftar calon tetap (DCT) yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setidaknya, sejumlah pelanggaran berhasil diendus Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) saat pencalegan Pemilu 2009.

Masalah administrasi seperti penggunaan ijazah palsu hingga urusan pidana tidak hanya terjadi pada caleg di pusat, tetapi juga di daerah. Berdasarkan temuan Bawaslu dan Panwaslu, pasal 50 dalam UU 10/2008 yang sering dilanggar. Salah satunya adalah syarat tidak pernah melakukan tindak pidana.

Menurut anggota Bawaslu Bambang Eka Cahya Widodo, pada 14 Oktober 2008 pihaknya telah melaporkan 44 kasus pelanggaran yang melibatkan 43 nama caleg. Dari nama-nama itu, 17 di antaranya tersangkut kasus pidana di atas lima tahun dan tiga nama tersangkut pidana di bawah lima tahun. Kasus ini tidak hanya terjadi dalam tingkat nasional, tetapi juga dalam tingkat daerah seperti sejumlah temuan yang berhasil diperoleh Panwaslu di daerah.

Menurut Ketua Panwaslu Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta Ramdansyah, pihaknya berhasil menemukan beberapa nama yang tidak layak masuk dalam daftar caleg karena tersangkut pelanggaran ini. Menurutnya, ada modus yang menarik yang dilakukan caleg, yaitu sang caleg mengurus surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) pada kantor polisi di satu daerah.

Sementara dia pernah terlibat tindak pidana di daerah lain. Hal ini menurutnya tidak akan terjadi jika sistem informasi di kepolisian menggunakan sistem online. Kasus lain yang juga banyak dilakukan caleg untuk lolos ke Senayan adalah dengan memalsukan dokumen persyaratan, umumnya ijazah.

Menurut catatan Bawaslu, ada lima nama yang dilaporkan ke KPU. Bahkan, satu nama merupakan ketua salah satu partai politik. Pada Pemilu 2004 dia pernah menggunakan ijazah sekolah menengah atas tetapi tidak diakui oleh sekolah yang bersangkutan. Untuk lolos pada Pemilu 2009, dia menyiasatinya dengan menggunakan ijazah sekolah lain. Beruntung Bawaslu sudah sigap dan melaporkan yang bersangkutan kepada KPU.

"Kita sudah melihat praktik yang bersangkutan pada 2004 dan saat ini kita juga mencoba mengawasi oknum tersebut dan kebetulan ada laporan untuk hal serupa," ujar Bambang. Pemalsuan dokumen bukan hanya mengakibatkan yang bersangkutan kehilangan kesempatan untuk maju menjadi caleg, tetapi hal itu sudah masuk dalam tindak pidana.

Pada Pasal 266 (UU No 10/2008) disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja membuat dokumen palsu akan diancam pidana paling singkat tiga puluh enam (36) bulan dan denda minimal Rp36 juta.

Kecurangan lain yang juga sering muncul dan dilakukan para caleg agar lolos ke Senayan adalah dengan menggunakan strategi "pasang dua kaki". Artinya, si caleg menempatkan dirinya pada dua daerah pemilihan (dapil) baik dalam satu partai maupun partai yang berbeda. Kecurangan strategi semacam ini jika tidak diantisipasi akan menghasilkan anggota legislatif yang berpikiran pragmatis.

Strategi ini merupakan cara agar jika tidak lolos dari dapil yang satu dia bisa berharap dari dapil yang lain. Menurut catatan Bawaslu, ada delapan nama yang terindikasi menggunakan strategi ini. Selain menempatkan nama di dapil berbeda, ada juga yang masuk dalam daftar calon anggota DPR dan DPD. Tampaknya oknum yang bersangkutan berpikiran, apa pun statusnya yang penting sampai ke Senayan, baik sebagai anggota DPR atau DPD.

Menurut Bambang, hal itu selain sebagai pembohongan publik, juga merupakan tindak pidana yang seharusnya diproses secara hukum. Sebab, menurutnya, dalam setiap berkas pendaftaran disediakan formulir kesediaan sang calon untuk ditempatkan di suatu dapil tertentu. Jika namanya muncul di dua dapil atau dalam daftar DPR dan DPD, berarti yang bersangkutan membuat dua dokumen yang berbeda di atas surat bermeterai.

"Jika memakai logika bahwa semua caleg menyertakan kesediaan menjadi caleg pada setiap berkas yang diserahkan, secara logika dia mendaftar dia dua tempat dengan sadar," ujar Bambang. Jika hal ini yang terjadi, seharusnya KPU, menurut Bambang, mencoret kedua nama tersebut. Namun KPU memilih untuk meminta konfirmasi ke caleg dan partai yang bersangkutan.

Bambang menyadari, strategi ini bisa terjadi karena saat ini frekuensi perpindahan kader antarpartai sangat tinggi sehingga hal ini rentan terjadi. Karena itu, ada alasan dari oknum caleg bahwa dia tidak sempat menarik pendaftarannya di partai sebelumnya. Sementara Panwaslu DKI Jakarta selain menemukan ada nama yang sama di dapil berbeda juga menemukan modus penggunaan nama yang mirip yang diindikasikan merupakan dua nama untuk satu orang yang sama.

Untuk mencegah hal itu, menurut Ramdansyah, seharusnya DCS tidak hanya menyebutkan nama, tapi juga tanggal lahir dan kalau perlu foto. Sebenarnya KPU/KPUD menurut Ramdansyah bisa mencegah munculnya satu orang dalam dua dapil berbeda jika sistem informasi KPU bagus. "Seharusnya jika sistem informasi KPU/KPUD baik, nama-nama yang sama dengan tanggal lahir yang sama juga akan otomatis ter-delete sebelum keluar ke publik dalam bentuk daftar caleg sementara," ujar Ramdansyah.

Menurut pakar psikologi politik Universitas Gadjah Mada Mohammad As'ad, para caleg sering mempertaruhkan harga diri dan nama baik hanya untuk mengejar kesempatan menjadi anggota legislatif. Mereka sebenarnya, menurut As'ad, sadar tidak akan masuk sebagai anggota legislatif, tetapi memaksakan diri dengan berbagai cara.

"Ketika mereka mempertaruhkan harga diri, bisa dikatakan ini merupakan salah satu bentuk keputusasaan dari para caleg tersebut. Jadi di sini budaya malu itu sudah tidak diperhitungkan lagi. Parahnya lagi, ini dilakukan para calon anggota Dewan yang terhormat ,yang ke depan menjadi wakil rakyat," ujar As'ad. (sindo//mbs)

Tidak ada komentar: