Senin, 03 November 2008

Berebut ke Senayan (1)

Caleg, Cara Cepat Menjadi Kaya

Minggu, 2 November 2008 - 11:44 wib

KOMISI Pemilihan Umum (KPU) pekan lalu telah menetapkan 11.225 calon anggota legislatif dalam daftar calon tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Para caleg terdiri atas 7.331 laki-laki dan 3.894 perempuan (34,60 persen). Caleg dari 38 partai ini akan memperebutkan 560 kursi DPR di 77 daerah pemilihan (dapil). Selain itu, KPU juga menetapkan DCT anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebanyak 1.116 yang terdiri atas 987 laki-laki dan 129 perempuan. Mereka akan memperebutkan 132 kursi di 33 provinsi.

Dalam penetapan DCT ini KPU sempat melakukan kesalahan teknis mengenai jumlah caleg. Belakangan, KPU merevisinya. Tapi, terlepas dari persoalan kesalahan teknis tersebut, ada hal substansial yang layak menjadi perhatian. Dari sisi jumlah keterwakilan perempuan, dibandingkan Pemilu 2004 terjadi peningkatan. Hal ini sebagai konsekuensi dari Undang-Undang Pemilu yang mempersyaratkan keterwakilan 30 persen kuota perempuan. Itu dari salah satu sisi positif.

Lantas, pada sisi negatifnya, persoalan klasik masalah administratif seperti pemalsuan ijazah masih saja terjadi. Bahkan, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan adanya indikasi caleg yang tersangkut kasus pidana. Lalu, muncul juga masalah baru mengenai "politik dinasti" dan selebriti politik. Keduanya (politik dinasti dan selebriti politik) merupakan warna baru bagi munculnya fenomena caleg instan.

Kemunculan caleg dari kalangan eksternal (kader instan) saat ini banyak diisi orang dari beragam latar belakang seperti artis, intelektual (pengamat), aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan putra-putri elite politik yang tak lain penerus "dinasti politik" orangtuanya. Beragam motivasi pula yang mengikuti pencalegan para kader instan ini. Pakar psikologi politik Universitas Gadjah Mada Mohammad As'ad menilai, saat ini maraknya fenomena kader instan tersebut tidak terlepas dari prinsip "berjudi" para caleg yang memutuskan maju bertarung.

"Ketika mereka bisa masuk, syukur. Kalau tidak, ya tidak masalah. Tetapi, yang mereka pertaruhkan dalam hal ini adalah harga diri, ini anehnya," ujar As'ad. Di satu sisi, munculnya fenomena semacam ini serasa memperlihatkan potret kegagalan partai-partai politik dalam melakukan kaderisasi dan seleksi kepemimpinan.

Di sisi lain, metode penggunaan nomor urut dalam penentuan caleg terpilih menempatkan partai politik sebagai faktor dominan atas nasib sang caleg. Wajar jika muncul anggapan sistem semacam ini bakal menyuburkan praktik oligarki elite di tubuh partai. Kekhawatiran lain, sangat terbuka potensi politik uang dalam penentuan nomor urut. Sebab, pencalegan itu sendiri menjadi sesuatu yang strategis bagi partai politik untuk menarik simpati rakyat.

Itu sebabnya, kalangan selebriti sering dijadikan pertimbangan meski dari sisi kompetensi kurang mumpuni. Maklum, para artis yang dikenal publik secara baik diharapkan bisa menjadi penuai unggul atas suara rakyat. Di sisi lain, realitas semacam ini membawa implikasi yang sangat signifikan: tergusurnya kader-kader "tulen" yang potensial dan berkualitas.

Satu hal yang tak kalah penting adalah caleg yang lahir dari pola politik kader instan ini dikhawatirkan akan berwatak elitis, kurang memedulikan kepentingan rakyat. Celakanya, bila pola pikir mereka beranggapan bahwa kursi legislatif sangat potensial dijadikan "alat"untuk memperkaya diri semata. Sebab, sudah menjadi rahasia umum jika selama ini tidak sedikit pihak yang menjadikan posisi anggota Dewan sebagai profesi yang seksi, menjanjikan kemapanan ekonomi.

Sebuah kepentingan pragmatis, cara cepat menjadi kaya, meski secara kapasitas dan kapabilitas diragukan. Motivasi semacam ini tidak jarang membuat sang caleg akan berupaya sekuat tenaga untuk mewujudkan ambisi politiknya. Namun, mantan peneliti CSIS Indra J Piliang yang kini maju menjadi caleg Partai Golkar menilai bahwa tidak bisa digeneralisasi semua caleg bermotif mencari rente ekonomi semata.

Dirinya, misalnya, menjadi caleg dengan motivasi utama ingin membangun kampung halaman. "Dengan menjadi politikus, saya yakin semakin banyak yang bisa saya lakukan bagi kampung saya," tandasnya. Dia pun membantah bahwa keinginannya menjadi caleg disebabkan motivasi mengejar popularitas dan kekuasaan. Namun, dia tidak memungkiri bahwa politik adalah dunia untuk mengejar kekuasaan.

"Dalam pandangan masyarakat yang mengatakan kekuasaan itu jelek, itu karena memang banyak yang menyalahgunakannya," ujarnya. Indra sendiri mengaku tidak pernah bercita-cita menjadi caleg. Keinginannya menjadi wakil rakyat saat ini mengalir setelah melihat tanah kelahirannya diguncang gempa pada 2005. Saat itu, banyak sekolah dasar yang ambruk. Tetapi, dia tak bisa berbuat apa-apa. Namun, bagi caleg yang bermotivasi memperkaya diri dengan cara merugikan negara, mereka harus berpikir ulang untuk mewujudkan ambisinya.

Sebab, ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang senantiasa mengintai. Lembaga ini juga akan mereviu laporan harta dan kekayaan penyelenggara negara (LHKPN), termasuk kekayaan para wakil rakyat. Sayangnya, menurut Direktur LHKPN Muhammad Sigit, kini tidak ada lagi kewajiban bagi caleg untuk melaporkan kekayaannya berdasarkan revisi UU Pemilu 2009.

"Dalam UU Pemilu yang lama, seorang caleg memang diwajibkan melaporkan kekayaannya sebagai prasyarat untuk pendaftaran. Namun kini dengan revisi UU yang baru, hal itu sudah tidak berlaku lagi," ujar Sigit. Sebab, meski belum menjadi penyelenggara negara, laporan kekayaan caleg amat penting. Dengan demikian, KPK akan mampu mengukur tingkat kekayaan caleg yang nantinya menjadi anggota legislatif apakah didapatkan dengan cara yang jujur atau tidak.

Hal itu sebagaimana diamanatkan dalam UU No 28/1999 Pasal 2 dan 3 yang menyatakan bahwa anggota DPR merupakan penyelenggara negara. Ketentuan dalam aturan ini juga menyebutkan calon penyelenggara negara wajib untuk melaporkan harta kekayaannya, yaitu caleg. (sindo//mbs)

Tidak ada komentar: