Rabu, 19 November 2008

Politik Uang


Berpolitik Bukan untuk Kekuasaan...?
Selasa, 18 November 2008 | 03:00 WIB

Oleh Imam Prihadiyoko

Kekuasaan sudah menjadi kajian sejak lama dari ilmu politik. Bagaimana kekuasaan itu diperoleh, mendapat legitimasi, dan didistribusikan atau dibagi dalam struktur sehingga membentuk sistem yang berlaku di masyarakat. Secara sederhana, ilmuwan politik Harold Dwight Lasswell menjelaskan, kekuasaan bagian penting dari politik. Politik diterjemahkan sebagai siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana.

Kekuasaan merupakan satu cita-cita yang ingin diraih partai politik atau mereka yang aktif di parpol. Artinya, bisa dikatakan bohong besar jika ada parpol yang tidak ingin meraih kekuasaan. Atau, ada politisi yang tak bercita-cita duduk di kursi kekuasaan dalam beragam tingkat.

Kekuasaan dalam demokrasi diperebutkan melalui ”pertandingan” yang dinamakan pemilihan umum. Layaknya sebuah pertandingan, ada pemain, wasit, aturan main, dan penonton yang secara emosional bisa terlibat dalam arus pertandingan. Pergelaran pertandingan untuk memperebutkan kekuasaan juga melibatkan kekuatan massa, kekuatan lobi, keanggunan penampilan tokohnya, dan kecepatan dalam merespons kebutuhan masyarakat.

Namun, yang terpenting dalam pertandingan kekuasaan adalah memengaruhi masyarakat untuk mendapatkan dukungan. Inilah yang dinamakan Laswell sebagai propaganda. Ia mengingatkan, dalam demokrasi dibutuhkan propaganda. Propaganda adalah sebuah pesan yang bertujuan untuk memengaruhi pandangan atau tingkah laku sebagian besar masyarakat.

Bagaimana pengaruh itu ditanamkan, dan disebarkan pada masyarakat, dalam praktiknya bisa menimbulkan konflik. Itu sebabnya diperlukan peraturan agar konflik tidak meluas. Seperangkat aturan inilah yang menjadi sebuah sistem pemilu, yang dituangkan dalam Undang-Undang (UU) Pemilu dan diterjemahkan Komisi Pemilihan Umum.

Politisi

Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Soetrisno Bachir tidak menampik bahwa kekuasaan memang dicari oleh parpol. Baginya, kekuasaan itu tak berhenti ketika partai berhasil meraihnya. Kekuasaan itu mempunyai misi suci, amanat konstitusi yang harus diwujudkan.

Kekuasaan itu untuk apa, ini yang harus dijawab dengan baik oleh aktivis partai saat ini. Apakah sekadar ingin menempatkan kelompoknya sebagai bagian elite yang memiliki keunggulan, atau ingin membangun sebuah cita-cita kebangsaan yang besar, atau sekadar untuk nasi.

”Kekuasaan memang ingin direbut, tetapi tidak berhenti sampai perebutan usai. Justru setelah pemilu usai, setelah kekuasaan diraih, mulailah usaha untuk merealisasikan janji yang pernah terucap, baik lisan maupun dalam program kerja yang diluncurkan kepada masyarakat,” ujarnya lagi.

Inilah yang hilang dari bangsa Indonesia sehingga menempatkan politik dan kekuasaan sekadar soal siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana kekuasaan itu dipakai. Di parlemen, partai kecil menyaksikan betapa kekuasaan yang dimiliki partai besar digunakan untuk memaksa mereka menyetujui persyaratan dukungan atas calon presiden. Atau, kelompok partai yang suaranya minoritas terpaksa menerima pengesahan sebuah UU.

Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan PAN Sayuti Asyathri juga menilai, kekuasaan yang dimiliki pemerintah digunakan untuk ikut campur dalam sistem pemilu, terutama dalam Pemilihan Kepala Daerah Maluku Utara (Malut). Itu sebabnya ia menggulirkan pemakzulan terhadap Presiden.

”Presiden menetapkan pemenang Pilkada Malut dengan mendasarkan diri pada keputusan Mahkamah Agung (MA). Bahkan, berulang kali pemerintah juga menyebutkan, pelantikan Gubernur Malut itu dilakukan berdasarkan keputusan MA. Padahal, satu-satunya keputusan MA memerintahkan penghitungan ulang,” ujarnya.

Sayangnya, menurut Sayuti, penghitungan ulang yang dipakai sebagai dasar oleh pemerintah untuk melantik Gubernur Malut adalah penghitungan ulang yang dilakukan di hotel di Jakarta, jauh dari Malut, dan tanpa saksi. ”Ini preseden berbahaya bagi proses demokrasi kita,” ujarnya.

Namun, Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto mempunyai definisi menarik tentang kekuasaan. Kekuasaan memang konsep politik dan menjadi tujuan yang ingin diraih partai politik.

”Bagi saya pribadi, kekuasaan dalam politik itu untuk nyaur (membayar) utang. Saya mendapat rezeki yang mungkin lebih dari orang lain. Itu tentu karena Tuhan mempunyai maksud dan tujuan. Apalagi, anak-anak saya sudah besar dan mandiri,” ujarnya lagi.

Jadi, menurut Wiranto, kekuasaan bukan menjadi tujuan utama yang ia kejar. Kekuasaan hanya mengikuti setelah semua kewajiban ditunaikan. Kekuasaan menjadi sarana untuk mengabdi kepada negara.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) masih meyakini, kekuasaan yang diraih dalam rangka gerakan dakwahnya. Dakwah, menurut Sekretaris Jenderal PKS M Anis Matta, jangan lantas diartikan dalam pengertian sempit. Dakwah itu mengajak ke jalan kebaikan.

Sebagai bagian dari gerakan dakwah, PKS tidak akan menutup diri terhadap kelompok mana pun ataupun menjauhi kelompok lain. Bahkan, PKS akan selalu mengajak untuk masuk dalam barisan yang sama.

Dengan referensi perolehan suara yang meningkat dengan cukup signifikan pada pemilu lalu dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, PKS mendeklarasikan target 100 kursi di DPR. Bahkan, belum lama ini Majelis Syuro PKS dengan penuh keyakinan mengumumkan delapan kader PKS yang akan diusung sebagai kandidat presiden pada pemilu mendatang.

Inilah sebagian dari praktik dan pandangan tentang kekuasaan dari politisi kita. Bagaimana kekuasaan itu akan dijalankan dalam sistem politik kita hanya politisi itu sendirilah yang bisa menjawab dengan pasti.

Tidak ada komentar: