Selasa, 25 November 2008

Iklan Politik dan Nasib Suatu Bangsa



Selasa, 25 November 2008 | 00:30 WIB

Qui se laudari gaudent verbis subdolis, sera dat poenas turpes paenitentia (Barangsiapa gembira dengan kata-kata penuh tipuan, maka penjelasan yang terlambat akan memberikan hukuman yang memalukan) (Phaedrus 15 BC - AD 50)

Political marketing, sebagai rangkaian kegiatan memasarkan cita-cita politik untuk mendapatkan dukungan publik, tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan demokratis.

Puluhan parpol yang muncul sejak reformasi sangat memerlukan instrumen, metode, serta strategi untuk mewujudkan ideologi partai. Salah satu rangkaian penting dari political marketing adalah iklan politik. Sebagaimana layaknya pariwara, advertensi mempunyai kecenderungan manipulatif. Ia mengemas produknya dengan menyelimuti kekurangan agar konsumen tertarik meskipun produk yang ditawarkan mungkin hanya mempunyai kualitas yang standar.

Oleh sebab itu, sering kali iklan dapat mengecoh, bahkan kadang-kadang menyesatkan konsumennya.

Iklan politik mirip dengan reklame produk komersial. Tujuannya adalah membuat citra tokoh yang ditawarkan sebagai pilihan yang paling tepat. Tidak jarang masyarakat diberi iming-iming bahwa tokohnya mampu ”menyulap” kesengsaraan menjadi kemakmuran dalam sekejap.

Namun, perlu dicamkan bahwa promosi produk komersial mempunyai perbedaan yang sangat esensial dengan produk politik. Iklan komoditas komersial hanya memperkenalkan barang dagangan yang dikonsumsi secara pribadi dan tidak akan memengaruhi kehidupan masyarakat secara keseluruhan.

Sementara komoditas politik adalah tokoh atau lembaga politik (parpol) yang akan menerima mandat kekuasaan dari rakyat. Oleh karenanya, karena berhubungan langsung dengan siapa yang akan dipercaya menjadi pemegang kekuasaan, iklan politik berpengaruh besar terhadap nasib dan masa depan bangsa.

Sayangnya, belum ada lembaga konsumen yang melindungi kepentingan publik dari akibat buruk iklan politik sehingga kontrol sosial diperlukan.

Pariwara politik terbukti dapat menjadi sarana ampuh membentuk dan menggiring persepsi masyarakat. Iklan politik dapat mengubah seorang politisi medioker menjadi pemimpin karismatik.

Yang terjadi adalah ironi politik. Mereka yang bekerja keras, mempunyai kompetensi dan kapabilitas, terpaksa kalah dari mereka yang populer. Dampak berikutnya, rakyat yang sudah lama mendambakan pemimpin yang dapat membebaskan mereka dari segala penderitaan akan sangat mudah menerima iklan politik.

Tunduk pada pemodal

Persoalan sangat serius akibat meningkatnya iklan politik adalah pemilih menjadi sekadar konsumen yang harus tunduk pada kepentingan pemilik modal. Selain itu, advertensi politik telah mereduksi negara menjadi korporasi (badan hukum usaha) yang hanya mengurus dan mengalkulasi untung dan rugi.

Hanya warga negara yang mempunyai modal besar dapat menentukan arah dan perkembangan bangsa. Padahal, ranah politik seharusnya menjadi domain pertarungan ide dan keberpihakan untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur tanpa membedakan status dan struktur sosial.

Pilihan yang hanya berdasarkan advertensi politik tanpa mengetahui rekam jejak, intelektualitas, dan integritas seorang politisi, akan sangat membahayakan bangsa dan negara.

Sangat benar keprihatinan Buya Syafii Maarif di harian Kompas (22/11) yang menyatakan, politik tanpa moral hanya akan melahirkan ”serigala-serigala” yang akan saling memakan. Karena itu, iklan politik harus dapat menjelaskan gagasan secara utuh kepada masyarakat.

Hal itu sangat mungkin karena masa kampanye Pemilu Legislatif 2009 akan berlangsung selama sembilan bulan, jauh lebih lama dibandingkan Pemilu 2004 yang hanya satu bulan.

Namun, iklan politik bukan tanpa sesuatu yang positif. Jika disertai dengan gagasan yang utuh, memerhatikan etika, dan menghindari hal-hal yang menimbulkan keresahan dan permusuhan, ia adalah sarana yang cukup baik untuk melakukan promosi politik.

Advertensi politik juga dinilai lebih efektif dan aman bagi masyarakat dibandingkan dengan pengerahan massa.

Meski demikian, adalah kewajiban moral media, selain menjaga netralitas, juga diharapkan mampu menyediakan informasi yang cerdas sehingga masyarakat dapat memperoleh masukan yang seimbang. Dengan demikian, iklan politik tidak sekadar promosi tokoh, tetapi juga merupakan bagian dari upaya mewujudkan peradaban bangsa.

Tidak ada komentar: