Senin, 03 November 2008

Berebut ke Senayan (4)


Pengajuan Caleg, Dunia Unik nan Menggelitik

Minggu, 2 November 2008 - 17:01 wib

Kancah politik disebut-sebut tak lepas dari dunia percaloan. Banyak orang rela melakukan apa saja untuk mendapatkan kursi sebagai anggota legislatif.

Dunia percaloan tidak hanya terjadi di kalangan bisnis. Kabarnya, dunia yang satu ini juga melanda kancah politik. Percaloan politik umumnya marak terjadi saat menjelang pemilihan umum. Maklum, di saat itu banyak orang yang berharap bisa menjadi calon anggota legislatif (caleg). Malah kalau mungkin dapat "nomor topi", bukan "nomor sepatu". Artinya, mereka berharap mendapat nomor jadi.

Ada juga yang beranggapan, untuk mendapat nomor topi atau nomor urut kecil, harganya bisa mencapai miliaran rupiah. Konon, untuk nomor urut satu di daerah pilihan (dapil) yang merupakan wilayah kantong suara, harganya bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah.

Sementara untuk nomor urut di bawahnya dan seterusnya harganya semakin murah. Bahkan, untuk partai besar harganya bisa melambung. Ironisnya, tidak sedikit orang yang berupaya untuk mendapat nomor topi tersebut meski harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapat kursi wakil rakyat. Isu tentang adanya calo nomor urut dari dulu memang santer terdengar.

Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) Jeirry Sumampow, sulit untuk membuktikan terjadinya percaloan nomor urut tersebut. Namun berdasarkan banyak laporan yang dia terima, hal itu memang terjadi. "Konon ini semua tergantung daerah dan partainya," ujarnya. Isu tentang calo nomor urut ini tentu semakin memperburuk wajah sistem perpolitikan di negeri ini.

Sebab ketika uang bermain, yang ada bukanlah kompetisi kualitas dan komitmen caleg untuk membangun negeri ini, melainkan seberapa besar uang yang dia miliki sehingga mampu menggeser caleg lain dari nomor urut potensial tersebut. Celakanya lagi, jika seorang caleg memiliki ambisi besar tetapi kemampuan finansial minim, dia rela melakukan apa saja agar bisa mendapatkannya.

Tidak peduli meski harus utang sana-sini atau cara-cara lain. Sebagai gambaran, menurut Jeirry, untuk mencalonkan diri dalam ajang pemilihan kepala daerah (pilkada), seseorang harus menyiapkan bujet hingga mencapai Rp1 miliar. Jumlah ini hanya untuk "mahar politik" ke partai politik (parpol). Nominal itu di luar biaya kampanye dan kebutuhan lain jelang pilkada.

"Besaran harga yang harus dibayar caleg DPR saya kira tidak jauh dari angka itu," tambahnya. Namun besaran harga tersebut konon sangat dipengaruhi besar kecilnya partai serta daerah tempat pemilihan akan berlangsung. Seorang caleg dari sebuah partai kecil dan baru bisa tidak dipungut biaya sepeser pun. Sebab justru kesediaannya menjadi caleg sudah cukup menguntungkan bagi parpol untuk menambah pundi perolehan suara.

Sebuah partai kecil dan baru berisiko tidak dikenal publik sehingga minim peluang meraih dukungan suara. Dengan kesediaan seseorang menjadi caleg meskipun tidak membayar, sudah dipastikan keluarganya akan mendukung dan memilih partai tersebut.Keuntungan inilah yang dimanfaatkan parpol. Semakin banyak daftar caleg yang dimiliki partai gurem, semakin besar peluangnya mendapatkan tambahan suara.

Namun bagi partai besar, nomor urut untuk dapil-dapil potensial disebut-sebut memiliki tarif tertentu. Partai A yang memiliki basis massa di daerah tertentu sudah diprediksi akan memperoleh jumlah suara yang signifikan di daerah tersebut. Karena itu, tidak salah jika dipasang harga mahal bagi para caleg yang ingin bertarung di wilayah tersebut. Namun Jeirry menilai Pemilu 2009 ini sudah diketahui peta dapil potensial suatu partai berdasarkan hasil 2004.

Untuk itu, tarif-tarif mahal bisa dikenakan oleh parpol untuk dapil-dapil yang pada 2004 lalu mengalami kemenangan. Sementara untuk dapil yang pada 2004 silam tidak meraih kemenangan, bisa dimaklumi jika nomor urut tersebut tidak terlalu laku untuk dijual. Tidak jarang pula, upaya saling jegal antarcaleg terjadi.

Terutama untuk memperoleh nomor urut kecil, yakni nomor satu pada dapil potensial. Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Dominggus Osa menceritakan maraknya laporan yang masuk perihal nomor urut ini. Sayangnya, karena ini merupakan masalah internal dan kebijakan partai, hal itu tidak bisa ditindaklanjuti Panwaslu.

"Pengaduan itu adalah masalah internal partai jadi penyelesaiannya tergantung dari kebijakan parpol yang bersangkutan," ujarnya. Dominggus memaparkan, ada sebuah laporan dari seorang caleg yang sebelumnya ditetapkan memiliki nomor urut 1, tetapi ternyata dalam daftar caleg sementara (DCS) yang diirilis Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) setempat beberapa waktu lalu, caleg tersebut mendapati namanya berada di nomor urut 3.

Tentu saja, hal ini membuatnya geram dan kaget. Sang caleg tersebut kesulitan mendapatkan penyelesaian dari partai yang menaunginya secara adil. Akhirnya dia pun melaporkannya ke Panwaslu provinsi. Dengan alasan mempertimbangkan peluang menang dan kalah dalam ajang pemilu, sebuah partai sah-sah saja mengubah formasi calegnya.

Sebab nama caleg yang dipasang parpol merupakan salah satu nilai jual dari partai itu sendiri sehingga popularitas, nama besar caleg, serta kemampuan modal finansial si caleg bisa menjadi pertimbangan dibongkar pasangnya formasi nomor urut daftar caleg. Tidak mungkin sebuah partai besar memasang nama caleg di nomor urut 1 yang sosoknya tidak menjual sehingga justru akan mengalami kekalahan di dapil basis suara.

Jika begini, jangan kaget jika menemukan nama seorang caleg dipasang di wilayah yang tidak ada kaitannya dengan si caleg tersebut. Artinya tidak ada ikatan emosional dan komitmen perjuangan politik antara caleg dengan masyarakat di wilayah konstituennya. "Penentuan dapil dan nomor urut ini belum ada standar baku dan sistem yang bisa digunakan oleh parpol sehingga penentuannya terkesan semrawut dan asal-asalan. Ini masih menjadi wajah sistem perpolitikan di negeri ini," ujar Jeirry.

Menurut pakar psikologi politik Universitas Gadjah Mada Mohammad As'ad, banyaknya orang yang mengajukan diri menjadi caleg dengan menghalalkan segala cara lebih disebabkan masih kuatnya anggapan bahwa politik itu merupakan sebuah karier. Dengan demikian, untuk bisa sampai ke puncak kariernya di politik, orang rela melakukan apa saja.

Manipulasi, sogok-menyogok, dan lainnya dilakukan untuk memuluskan langkah mereka. Bahkan, As'ad secara gamblang menilai motivasi para caleg lebih disebabkan tujuan ekonomi saja. "Sulit bagi mereka benar-benar berjuang demi rakyat. Mentalnya saja sudah mencari keuntungan, mau ngapain lagi," ucapnya. (sindo//mbs)

Tidak ada komentar: