Sabtu, 13 Desember 2008

Soeharto dalam Pemasaran Politik PKS


Eep Saefulloh Fatah

  • Anggota Komunitas ”Para Penagih Janji”

    SUNGGUH biasa secara artistik, tidak secara politik. Inilah iklan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang belakangan jadi menu utama di atas meja diskusi kita.

    Secara artistik, iklan berdurasi 31 detik itu tak istimewa. Narasinya terlampau verbal: ”Mereka sudah lakukan apa yang mereka bisa, mereka sudah beri apa yang mereka punya, mereka guru bangsa kita, mereka pahlawan kita, mereka motivator kita, mereka ilham bagi masa depan kita. Terima kasih guru bangsa, terima kasih pahlawan, kami akan melanjutkan langkah bersama PKS untuk Indonesia sejahtera.”

    Suara sang narator juga seperti tercekat di kerongkongan. Pecah. Tak bulat dan jauh dari bertenaga seperti teriakan khas Soekarno. Lebih mirip teriakan demonstran pada hari-hari antara 1997 dan 1998. Visualisasinya berupa gerak perpindahan slide standar, menampilkan sosok Soekarno, Soeharto, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy’ari, M. Natsir, Mohammad Hatta, Jenderal Sudirman, dan Bung Tomo.

    Tapi iklan itu tak biasa secara politik. Ia mendulang kontroversi lumayan panjang, terutama lantaran sosok Soeharto. Sebagian kalangan menolak penahbisan sang Jenderal Besar sebagai pahlawan dan guru bangsa. Sebagian kalangan bahkan langsung menaruh PKS di keranjang partai antireformasi.

    Iklan itu pun menjadi salah satu pertaruhan penting PKS dalam mengulang sukses Pemilu 2004. Sebegitu penting dan genting perkara ini bagi PKS? Produktif atau kontraproduktifkah iklan itu bagi upaya PKS meraih target 15 persen suara atau 20 juta pemilih dan menjadi tiga besar?

    Mari kita telisik perkara ini dengan teropong ”pemasaran politik” (political marketing). Sukses sebuah iklan dinilai dari keberhasilannya memperluas dukungan bagi produk politik (partai, kandidat, kebijakan, dan presentasi ketiganya) yang ditawarkan.

    Masalahnya, tak ada iklan yang bisa efektif menjangkau semua karakter calon pemilih. Fungsi sebuah iklan pun mirip-mirip penepuk lalat. Anda mesti berkonsentrasi pada satu atau beberapa lalat saja. Ketika sang lalat tertepuk, Anda mesti menerima konsekuensi serta merta: lalat-lalat lain akan terbang menjauh dari jangkauan. Untungnya, tepukan bisa diulang-ulang untuk memperbanyak jumlah korban.

    Begitulah logika kerja sebuah iklan politik. Semakin tegas, benderang, spesifik, dan tajam sasaran yang dibidiknya, semakin besar potensi sukses sang iklan. Sebagaimana menepuk lalat, Anda lalu bisa membuat banyak iklan untuk beragam sasaran bidik.

    Celakanya, pemilih bukanlah lalat. Setiap karakter pemilih membutuhkan langgam ”tepukan” berbeda. Beriklan banyak untuk sasaran bidik beragam boleh saja. Tapi hasilnya akan lain manakala langgam iklan-iklan itu tak berkesesuaian, apalagi jika berbalas pantun, saling menyerang. Maka, alih-alih memperluas daya jerat, sang iklan akan membikin kabur identitas partai dan para pemilih potensialnya.

    PKS rupanya tak ingin makan buah simalakama itu. Mereka tak membuat banyak iklan dengan target bidik beragam. Mereka membuat satu porsi gado-gado: Satu iklan yang menggabungkan banyak ikon, untuk satu kali tepukan. Plaaak! Berapa banyakkah yang tertangkap dan yang terbang menjauh?

    Asumsikanlah bahwa PKS merupakan partai rasional yang dikelola politikus akil balig. Maka, iklan ”Soeharto guru bangsa” bisa jadi dilandasi kesadaran PKS tentang pentingnya ketokohan dalam menentukan pilihan sekaligus tentang sempitnya ceruk pasar partai-partai berbasis massa Islam.

    Berdasarkan pendataan Litbang Kompas (2008), dalam Pemilu 1999, ceruk pasar itu hanya didiami 37,54 persen dari total pemilih. Sekalipun jauh lebih besar ketimbang ceruk partai berbasis massa Kristen, kedaerahan, dan etnik (1,42 persen), ceruk itu lebih kecil daripada ceruk partai-partai berbasis massa majemuk (61,04 persen). Dalam Pemilu 2004, perbandingan ketiga ceruk pasar ini tak bergeser terlalu jauh, menjadi 38,33 persen berbanding 2,14 persen berbanding 59,53 persen.

    Celakanya, sebagaimana dibuktikan Dwight King dan Anies Baswedan (2005), para pemilih Indonesia bukanlah pelintas batas. Jangankan menyeberang ke partai-partai majemuk, para pemilih partai Islam cenderung mengalihkan dukungannya ke partai berbasis massa Islam lainnya. Pemilih ceruk lain juga setali tiga uang.

    Pertarungan pokok pun terjadi di dalam ceruk, bukan lintas ceruk. Fakta ini tegas terlihat di Jakarta. Di daerah pemilihan paling prestisius yang dimenangi PKS pada Pemilu 2004 ini, tujuh partai berbasis massa Islam meraih 1.891.641 suara (46,89 persen); hanya berselisih kecil dengan suara yang diperoleh 16 partai berbasis massa majemuk (1.911.666 suara atau 47,39 persen). Sedangkan sisanya, 5,72 persen atau 230.657 suara, diraih partai berbasis massa Kristen (PDS).

    Ternyata, para pemilih Jakarta bukanlah para pelintas batas ceruk. Dari Pemilu 1999 ke 2004, PBB, PPP, dan PAN masing-masing kehilangan berturut-turut 0,7 persen, 9,7 persen, dan 9,1 persen suara. Hilangnya 19,5 persen suara itu beralih ke tiga partai berbasis massa Islam lainnya, yakni PKB (bertambah 0,1 persen), PBR (3 persen), dan terutama PKS (bertambah 18,4 persen).

    Situasi di ceruk pasar majemuk juga serupa. Suara PDIP dan Partai Golkar yang hilang (berturut-turut 25 persen dan 2,1 persen) ternyata lari ke sang pendatang baru, Partai Demokrat (20,2 persen) dan partai-partai majemuk lainnya.

    Menyadari fakta itu, PKS rupanya merasa perlu membuat upaya luar biasa yang tak lazim untuk menjangkau para pemilih secara lintas ceruk. Mereka berusaha menjangkau para pemilih partai Islam sekaligus partai nasionalis-plural. Alasannya, mustahil PKS bisa meraih 15 persen suara hanya dari dalam ceruk sempit partai-partai berbasis massa Islam.

    Pada titik itulah iklan ”Soeharto guru bangsa” menemukan relevansinya. Iklan itu adalah alat penepuk PKS untuk menggaruk pemilih dari semua ceruk. Iklan ini pun senapas dengan upaya PKS membuka selubung dirinya, berusaha menjadi inklusif via beragam cara. Mereka mendatangi sejumlah puri (belum pura) terpenting di Bali, mengumumkan bahwa calon anggota legislatif PKS tak harus orang PKS dan tak harus orang Islam. PKS menerbitkan buku tebal berisi platform partai yang menegaskan pemihakan pada demokrasi dan kemajemukan, melanjutkan dan meluaskan jargon partai dari ”bersih dan peduli” menjadi ”bersih, peduli, dan profesional”, dan seterusnya.

    Maka, di satu sisi, iklan ”Soeharto guru bangsa” adalah sebuah upaya rasional sebuah partai yang berusaha melakukan ekspansi pasar secara segera. Tetapi, di sisi lain, iklan itu menegaskan alpanya PKS pada sumber-sumber utama pendongkrak suara mereka dalam Pemilu 2004.

    Dalam Pemilu 2004, selain dari kerja organik partai, sukses PKS berasal dari dua sumber pokok: moderasi yang terjadi di kalangan pemilih muslim (sebagaimana ditunjukkan oleh serial riset R. William Liddle dan Saiful Mujani) dan sukses PKS membuat positioning-diferensiasi-branding yang tepat berhadapan dengan partai-partai Islam lainnya.

    Pemilu 1999 dan 2004 menunjukkan bahwa kalangan Islam puritan, radikal, fundamentalis—atau apa pun namanya—adalah kelompok kecil bersuara nyaring. Alih-alih fundamentalisasi, arus utama yang terjadi di kalangan pemilih muslim adalah moderasi, bergerak makin ke tengah. Kepada merekalah PKS datang menawarkan citra, identitas, dan integritas partai yang berbeda dari partai-partai Islam konvensional. PKS menawarkan platform yang atraktif ketika partai-partai Islam lain masih terus sibuk dengan syair-syair lapuk yang diulang-ulang.

    PKS pun berhasil membengkakkan raihan suaranya karena berhasil menjadikan dirinya sebagai kalimatun sawa, titik temu, bagi para pemilih muslim-rasional-kalkulatif. PKS alpa bahwa mereka inilah yang potensial menjauh terbang akibat tepukan iklan ”Soeharto guru bangsa” itu.

    Maka, jika tak ada upaya-upaya pemasaran politik baru yang layak, sangat boleh jadi, iklan itu membikin PKS mengeluarkan ongkos politik teramat mahal. Sekalipun, tentu saja, sebuah partai tak akan mati terbunuh oleh sebuah iklannya.

  • Tidak ada komentar: