Selasa, 10 Februari 2009

Caleg Kuat karena Dikenal

Oleh F Harianto Santoso

Masalah calon anggota legislatif yang tidak dikenal masyarakat sudah menjadi sorotan seusia pemilu itu sendiri. Dari satu pemilu ke pemilu lainnya penetapan caleg DPR didasarkan nomor urut sehingga caleg dari domisili di luar daerah pemilihan menjadi dominan.

Mahkamah Konstitusi kemudian membatalkan mekanisme nomor urut itu dan menggantinya dengan suara terbanyak untuk Pemilu 2009. Di sini lalu terjadi profanasi caleg dari parpol. Namun, caleg dengan perolehan suara terbanyak tidak otomatis memperoleh kursi.

Berbagai peringatan pernah dilontarkan oleh mereka yang prihatin pada kualitas anggota Dewan. Jangan memilih kucing dalam karung, jangan memilih politisi busuk, dan lainnya.

Bagaimana membuat pesan ini efektif, bukan merupakan hal yang mudah. Apabila masyarakat sudah mengenal sebagian besar caleg, tentu bukan hal sulit untuk membedakan mana caleg bersih dan mana caleg tidak bersih. Kenyataannya tidak demikian.

Mereka yang tinggal di Soreang, Kabupaten Bandung, pada saat memasuki bilik suara tanggal 9 April 2009 akan memilih satu dari 176 caleg untuk mengisi 10 kursi DPR, 1 dari 26 caleg untuk 4 kursi DPD. Mereka juga akan mencontreng satu dari 191 caleg untuk mengisi 100 kursi DPRD Provinsi Jawa Barat, serta memilih satu dari 82 caleg untuk 50 kursi DPRD Kabupaten Bandung.

Apa yang dilakukan masyarakat di Soreang memang sederhana, hanya memilih satu orang dari setiap lembar suara. Namun, untuk sampai pada keputusan memilih seseorang, tentu bukan hal yang mudah, mengingat adanya kesenjangan informasi. Masyarakat tidak mengenal caleg dengan baik.

Untuk memecah kesenjangan ini, caleg kemudian mengenalkan diri kepada masyarakat. Berbagai cara dipakai. Mulai dari yang paling sederhana bikin baliho, spanduk, poster, kartu nama, sampai pada cara-cara yang lebih kreatif. Mereka yang memiliki akses terhadap sumber keuangan akan memasang baliho yang lebih besar di jalan-jalan strategis. Mereka yang berkantong tipis sekadar memasang poster sederhana di sepanjang pohon di pinggir jalan.

Masalah caleg yang tidak dikenal masyarakat sudah menjadi sorotan seusia pemilu itu sendiri. Apakah ini karena domisili caleg yang tidak berasal dari daerah tempat di mana mereka bertarung?

Tatkala menjadi Menteri Dalam Negeri, Rudini secara eksplisit pernah mengharapkan agar dalam Pemilu 1992 tidak ada lagi caleg yang tidak mengenal dan dikenal oleh orang-orang dari daerah yang bersangkutan. ”Seharusnya dalam pemilihan umum rakyat mengenal calon-calon yang dipilih. Sebaliknya, calon-calon yang mewakili suatu daerah pemilihan juga mengenal segala permasalahan yang dihadapi daerah yang diwakilinya,” kata Rudini, 6 Maret 1990.

Dominasi Jabotabek

Namun, bahkan setelah Orde Baru tumbang, fenomena ini tetap berjalan. Separuh caleg dalam Pemilu 1999 berdomisili di wilayah DKI Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi. Begitu pula dengan Pemilu 2004. Jumlah caleg dari DKI Jakarta tetap dominan, meski tak sebanyak pemilu sebelumnya.

Secara umum bisa dikatakan terjadi kecenderungan pengelompokan caleg berdasarkan domisili. Kursi anggota DPR banyak diminati caleg dari DKI Jakarta dan sekitarnya, DPRD Provinsi dari caleg sekitar ibu kota provinsi, sementara kursi untuk DPRD kabupaten/kota dari caleg lokal.

Apakah kecenderungan Pemilu 2009 masih relatif sama atau akan berubah? MK membatalkan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang penetapan caleg berdasarkan nomor urut dan menggantinya dengan perolehan suara terbanyak.

Keputusan MK tersebut setidaknya membuat caleg lebih bergairah dan mengandalkan mesin politik atas nama dirinya sendiri. Keputusan itu juga sebuah terobosan yang bisa dibaca sebagai Zeitgeist, sebuah tanda zaman. Terjadi sebuah profanasi politik, di mana caleg di satu sisi dilepaskan dari sekat-sekat kepartaian.

Namun, di sisi lain parpol masih tetap menjadi penentu lolos tidaknya caleg. Tanpa sebuah parpol yang kuat, ketokohan caleg menjadi sia-sia. Bisa saja seorang caleg memperoleh suara terbanyak di dapilnya. Akan tetapi, apabila parpol yang mendukungnya tidak lolos parliamentary threshold 2,5 persen, tidak otomatis kursi DPR ada dalam genggamannya.

>kern 351mkern 251m<

Maka, segera beterbangan berbagai prahara dari dalam kotak itu, termasuk harapan. Terlepas berbagai pemberitaan miring tentang persiapan Pemilu 2009, masih ada harapan pemilu ini akan lebih baik daripada sebelumnya. (F Harianto Santoso Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: