Selasa, 03 Februari 2009

Membebaskan Dukungan Politik Calon Wakil Rakyat

BE Julianery

Indonesia kini sedang menjadi negeri yang paling banyak memajang foto aneka wajah orang.

Berbagai baliho, spanduk atau poster mempertontonkan paras penuh senyum, pandangan ”syahdu”, atau tampilan ”berwibawa” di sepanjang jalan raya seantero negeri.

Maraknya pemasangan baliho, spanduk, dan poster itu selintas menimbulkan kesan bahwa popularitas calon anggota legislatif masa kini, melalui pengenalan nama dan roman muka, adalah senjata ampuh untuk meyakinkan masyarakat pemilih. Akan tetapi, betulkah ”obral wajah” seperti itu efektif membangun popularitas?

Hasil jajak pendapat Kompas menunjukkan sebagian besar responden jajak pendapat (81,3 persen) menyatakan sampai sekarang tak tahu nama caleg yang akan dipilih dalam pemilu 2009.

Tidak sampai seperlima responden (18,0 persen) yang menyatakan tahu atau kenal dengan wajah-wajah caleg yang dipampangkan di sekitar mereka. Bahkan, sebagian kecil responden yang menyatakan kenal nama kandidat mengatakan bahwa pengenalan itu lebih banyak karena pertemanan, hubungan keluarga, atau tetangga. Adapun yang mengenal caleg karena baliho, spanduk, dan poster lebih sedikit jumlahnya.

Jawaban responden mencerminkan, iklan politik para caleg agaknya belum terlalu berhasil menggaet popularitas di mata konstituen. Bisa jadi karena iklan mereka ditampilkan sejajar dengan iklan produk, seperti sabun mandi, sampo, atau telepon seluler.

Menurut Dedy Nur Hidayat, Ketua Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi FISIP UI, tampilan iklan politik yang sejajar dengan iklan produk tidak efektif karena orang melihat iklan politik itu tidak jauh berbeda dengan iklan komersial.

Kondisi tersebut agak berbeda dengan iklan partai politik yang terbukti cukup efektif mengangkat popularitas beberapa parpol baru.

Partai Gerindra, pimpinan Prabowo Subianto, misalnya, sejauh ini tampak meningkat popularitasnya di mata responden jajak pendapat dibandingkan partai-partai baru lainnya.

Dukungan suara bagi caleg dalam masyarakat dengan budaya politik yang semakin rasional tampaknya juga semakin mengesampingkan aspek primordialitas serta fisik caleg semata.

Paling tidak, dari jawaban bagian terbesar responden terlihat bahwa paras, jenis kelamin, kesamaan etnis, agama, atau asal daerah tidak banyak memengaruhi mereka dalam menjatuhkan pilihan kepada caleg.

Putusan MK

Upaya mengangkat popularitas menjadi makin penting bagi caleg setelah Mahkamah Konstitusi pada akhir bulan Desember 2008 membatalkan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.

Mahkamah Konstitusi mengubah penetapan calon anggota DPR/DPRD dari sistem nomor urut bersyarat menjadi sistem suara terbanyak. Dengan keputusan itu maka tidak ada lagi perbedaan keistimewaan di antara caleg dalam satu parpol, baik yang di nomor urut atas maupun nomor urut bawah.

Keputusan terbaru MK pada hakikatnya menghormati suara rakyat. Siapa pun yang dikehendaki rakyat atau mendapat suara terbanyak, dialah yang berhak menjadi wakil rakyat di parlemen.

Konsekuensi dari penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak berdampak pada bertambahnya peta persaingan dalam pemilu, dari sekadar antarpartai kini meliputi pula sesama caleg dalam partai. Dalam beberapa kasus, di mana sementara caleg ”potong kompas” langsung ke konstituen, berisiko makin hilangnya grip konstituen terhadap parpol.

Positifnya, kini semua caleg memiliki kesempatan terpilih yang sama. Sebagian besar responden (84,7 persen) menyatakan setuju dengan keputusan MK. Di tengah masih terpuruknya citra dan kinerja parpol di mata masyarakat, terobosan untuk mencalonkan caleg pilihan dengan dukungan rakyat mestinya merupakan sebuah keberhasilan politik.

Meskipun demikian, dampak negatif sudah di depan mata. Perintah undang-undang tentang 30 persen keterwakilan perempuan di parlemen menjadi mentah dengan keputusan MK tersebut.

Paling tidak, kekhawatiran bahwa hegemoni ”tersembunyi” dalam pilihan politik masyarakat akan meminggirkan calon-calon legislatif perempuan dari parlemen.

Sebetulnya tak hanya soal jenis kelamin, kasus-kasus dengan nada primordial (seperti etnis dan agama) juga mulai muncul untuk ”menjegal” sesama caleg yang diperkirakan menjadi pesaing dalam parpol.

Agar caleg perempuan tetap memiliki kesempatan duduk di parlemen, Komisi Pemilihan Umum berencana mengatur penetapan calon terpilih yang berpihak kepada caleg perempuan (kebijakan afirmasi) .

Jika partai politik meraih tiga kursi DPR/DPRD dalam sebuah daerah pemilihan, salah satunya akan diberikan kepada caleg perempuan yang perolehan suaranya terbanyak dibandingkan dengan caleg perempuan lain dari partai yang sama.

Di mata publik jajak pendapat, niat KPU memberikan keistimewaan kepada caleg perempuan itu lebih banyak dipandang sebagai bentuk ketidakadilan (47,3 berbanding 39,8 persen).

Lebih dari separuh responden (66,2 persen) berpendapat, perlakuan khusus itu tidak perlu diberikan. Bagian terbesar responden jajak pendapat kali ini adalah perempuan.

Boleh jadi sikap ini terasa kurang realistis dengan fakta politik yang ada. Namun, benang merahnya sebenarnya jelas, publik belum merasakan perlunya sebuah langkah semacam afirmasi tersebut.

Lagipula mereka akan memilih calon anggota legislatif bukan atas dasar pembagian jenis kelamin semacam itu. (Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: