Sabtu, 14 Februari 2009

PETA POLITIK Bengkulu

Lumbung Nasionalis yang Cair
Rabu, 11 Februari 2009 | 00:24 WIB

Oleh Yohanes Krisnawan

Kemenangan PDI-P dan Partai Golkar dalam Pemilu 1999 dan 2004 menggambarkan kuatnya Bengkulu sebagai basis partai nasionalis. Dalam sejarah pemilu, hanya pada Pemilu 1955 partai-partai Islam menonjol di wilayah Bengkulu. Kala itu Bengkulu masih masuk Provinsi Sumatera Bagian Selatan. Tetapi, benarkah kemenangan PDI-P dan Partai Golkar di tanah tempat pembuangan Bung Karno tersebut karena faktor platform ideologi?

Masyarakat Bengkulu adalah masyarakat multietnis. Selain suku Rejang, Mukomuko, Lembak, dan Pekal yang banyak bermukim di wilayah tengah dan utara, juga ada suku Serawai, Kaur, Pasemah, Suban, di wilayah selatan, serta Enggano di Pulau Enggano. Adapun Melayu Bengkulu banyak berdiam di Kota Bengkulu dan daerah pesisir. Selain suku asli, juga ada suku pendatang yang memang telah lama tinggal di Bengkulu, seperti Jawa, Sunda, Minang, Madura, dan Batak.

Meskipun mayoritas beragama Islam, tetapi secara historis, masyarakat Bengkulu pernah dipengaruhi nilai-nilai kepercayaan lain, baik animisme, Buddha, maupun Hindu. Sebagai daerah yang subur, sejak dahulu wilayah ini menjadi daya tarik kerajaan- kerajaan besar Nusantara, sebelum kolonialisme Inggris dan Eropa hadir. Mulai dari Kerajaan Majapahit, Pagaruyung, Banten, Bugis, Indrapura, Madura, dan Mataram memiliki pengaruh dan menciptakan berbagai kelompok etnis yang terdiri dari banyak marga, dengan sistem bahasa, seni tradisi, kegiatan ritual keagamaan, dan kekerabatan yang unik.

Secara demografis, berdasarkan Sensus Penduduk 2000, jumlah warga yang berasal dari suku Rejang, Serawai, dan Jawa merupakan tiga kelompok etnis terbesar, tetapi tidak ada yang dominan. Tetapi, secara geografis suku Rejang dominan di wilayah utara Bengkulu, sementara Serawai di wilayah Selatan. Suku Jawa dan beberapa suku bangsa lainnya banyak tinggal di wilayah utara. Sebagian datang melalui program transmigrasi sejak zaman Hindia-Belanda.

Potret pilkada

Berdasarkan hasil pilkada yang berlangsung di Bengkulu dari tahun 2005 hingga 2008, tak ada satu pasangan calon kepala daerah yang menang tanpa didukung koalisi antarparpol. Tidak peduli apakah koalisi itu memiliki platform ideologi yang sama atau berbeda.

Menurut sosiolog Universitas Indonesia, Tamrin Amal Tomagola, dalam tulisannya di Jurnal Ilmu Pemerintahan (2008), koalisi antarparpol yang sepakat mengusung kandidat kepala daerah dalam kenyataannya banyak yang didasarkan atas perhitungan pragmatis jangka-pendek. Suatu kerja sama politik yang saling menguntungkan satu sama lain; untung untuk pasangan calon, juga untuk parpol yang berkoalisi.

Fenomena pilkada ini juga terjadi di daerah-daerah lain sehingga hasil pilkada di Bengkulu memperkuat anggapan bahwa ketokohan seseorang sebagai calon kepala daerah di suatu daerah lebih punya daya jual ketimbang citra parpol pengusungnya. Tentu saja keberadaan parpol pendukung dibutuhkan sebagai penggerak mesin politik.

Dari sepuluh kali pemilihan kepala daerah, baik bupati, wali kota, maupun gubernur, secara umum dimenangi melalui strategi ”koalisi partai”, yang tidak semua berdasarkan pada kesamaan platform ideologi. Misalnya, Koalisi PDI-P dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memenangi pilkada di Kabupaten Mukomuko. Kemudian koalisi Partai Golkar, PKS, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) menang di Kabupaten Bengkulu Utara.

Fakta lain yang menarik, meskipun pada Pemilu 1999 dan 2004 PDI-P dan Partai Golkar menang, tetapi ”jagonya” dalam pilkada belum tentu terpilih. Di Kabupaten Rejang Lebong, pasangan Suherman dan Iqbal Bastari, yang diusung Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Bintang Reformasi (PBR) terpilih menjadi bupati. Demikian pula di Kabupaten Lebong, pasangan Dalhadi Umar dan Nasirwantoha yang diusung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) juga menang dalam pemilihan. Bahkan, di tingkat provinsi, pasangan Agusrin Maryono dan HM Syamlani mengalahkan pasangan yang diusung Partai Golkar atau PDI-P.

Kabupaten Bengkulu Selatan menjadi satu-satunya wilayah di mana partai berlambang kepala banteng dengan moncong putih selalu menang. Pada Pemilu 1999 dan 2004, PDI-P memperoleh suara terbanyak mengalahkan Partai Golkar. Namun, dalam Pilkada Bengkulu Selatan putaran kedua (6 Desember 2008), koalisi PDI-P, PPP, PKPI, dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang mengusung pasangan Dirwan Mahmud dan Hartawan berhasil memenangi pilkada.

Hasil pilkada menunjukkan, ”nuansa nasionalis” Bengkulu ternyata belum menjamin Partai Golkar dan PDI-P mampu menaklukkan pilkada. Wilayah ini sangat cair dalam pilihan politiknya. (Yohanes Krisnawan Litbang Kompas)

***

”Lubuk Kecik Buayo Banyak”

Politik lokal Bengkulu tak lepas dari keberagaman kelompok etnis. Oleh karena itu, dalam setiap kampanye pemilu dan pilkada, isu-isu yang terkait latar belakang marga kandidat selalu dieksploitasi.

Untuk memahami peta politik lokal Bengkulu, menurut pakar Ilmu Politik dan Administrasi Negara Universitas Bengkulu, Titiek Kartika H, sulit untuk mengabaikan keberadaan kelompok- kelompok etnis atau marga-marga yang ada.

Menurut dia, hingga saat ini strategi tim sukses seperti itu dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah dianggap efektif karena secara sosial budaya, ikatan kekerabatan masyarakat Bengkulu berakar pada identitas kesukuan, atau klan (marga-marga) yang bersifat geneologis atau keluarga sedarah.

Dalam buku Bengkulu Dalam Sejarah (1988), Firdaus Burhan menjelaskan bahwa sejak kecil seorang anak Rejang, misalnya, telah memiliki pemahaman bahwa dirinya termasuk ke dalam kelompok mego tertentu. Pemahaman itu berlaku hingga mereka dewasa bahwa identitas dirinya sebagai anggota dalam mego karena pertalian darah.

Tidak mengherankan jika ikatan emosional sebagai satu marga sedarah masih menjadi salah satu faktor untuk menarik dukungan bagi calon kepala daerah yang maju bersaing. Apalagi, jika yang menjadi kandidat merupakan tokoh panutan, yang secara tradisi dipilih oleh semua anggota klan untuk memimpin mereka sebagai pasirah.

Fenomena pemekaran wilayah di Bengkulu sendiri tampaknya bukan hanya bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Namun, juga mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok masyarakat (politik identitas). Di samping membuka peluang bagi elite lokal dalam pemerintahan daerah. Wilayah-wilayah kabupaten hasil pemekaran memiliki latar belakang sosial budaya dan kesejarahan, yang terkait dengan keberadaan kerajaan-kerajaan lama atau karesidenan di zaman kolonial. Suatu wilayah yang dulu merupakan tempat terhimpunnya marga-marga.

Ada enam kerajaan yang menjadi cikal bakal kelompok-kelompok etnis (marga-marga) asli Bengkulu, yaitu Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Selebar, Kerajaan Depati Tiang Empat, Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sungai Itam, dan Kerajaan Anak Sungai, yang memiliki keterkaitan historis dengan kerajaan besar Nusantara pada masa itu. (Prof Dr H Abdullah Siddik, Sejarah Bengkulu 1500-1990, Balai Pustaka, 1996)

Tak aneh jika nama-nama kabupaten, baik yang lama maupun hasil pemekaran, diambil dari nama-nama kelompok etnis atau wilayah etnis tertentu, seperti Rejang Lebong dan Lebong, Mukomuko, Kaur, Seluma, dan Kepahiang. Adapun nama kabupaten lainnya sudah dikenal sebagai wilayah kelompok etnis dominan yang berasal dan tinggal di wilayah tersebut, seperti Bengkulu Utara (Rejang) dan Bengkulu Selatan (Serawai).

Menurut pengamat sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Bengkulu, Hery Supriyanto, dalam realitas sehari-hari sering kali terjadi konflik antara sesama orang asli Bengkulu, yang berbeda kelompok etnis sebab karakter mereka cenderung individualistis, mementingkan kelompoknya. Akan tetapi, hal itu tidak berkembang menjadi konflik yang lebih serius. Biasanya ada mekanisme budaya yang membuat mereka pada akhirnya berhenti bertikai. Hanya saja, primordialisme yang hidup dalam masyarakat berpotensi menyuburkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Kembali ke soal Pemilu 2009, tim sukses parpol pasti sudah pikir-pikir siapa tokoh lokal yang bisa diajak kerja sama untuk mendulang suara. Baik sebagai calon anggota legislatif maupun kepala daerah. Melihat kultur masyarakat Bengkulu, terutama kelompok etnis asli, pastilah yang diincar adalah mereka yang memiliki jaringan kekerabatan yang luas. Terlebih juga memiliki jaringan ekonomi, politik, dan jaringan terhadap komunitas di luar kelompok etnis asal. Tentu saja keberadaan kelompok etnis pendatang, seperti Jawa dan Minang, juga sangat strategis. Selain jumlahnya cukup signifikan, tak sedikit yang berperan penting dalam kehidupan sosial ekonomi Bengkulu.

Hanya saja, Titiek Kartika H khawatir jika isu etnisitas atau primordialisme diangkat dalam propaganda politik, bukan tidak mungkin akan menimbulkan konflik. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan sebab masyarakat Bengkulu mengenal pemeo yang bersifat otokritik, ”Lubuk Kecik Buayo Banyak” (lubuknya kecil tetapi banyak buayanya). Artinya para ”buaya” akan saling berebut bagian. Nah! (Yohanes Krisnawan)

Tidak ada komentar: