Sabtu, 14 Februari 2009

Peta Politik Kalimantan Barat


Mengail Suara di Lubuk Etnisitas
Sabtu, 14 Februari 2009 | 01:22 WIB

Oleh BIMA BASKARA

Identitas etnik merupakan warna yang melekat dalam kehidupan politik masyarakat Kalimantan Barat. Keberadaan sejumlah etnik, khususnya Melayu, Dayak, dan Tionghoa, memberikan dampak pada peta kekuatan partai politik di sini. Akankah dalam Pemilu 2009 politik identitas memainkan peranan penting di wilayah Borneo bagian barat ini?

Provinsi Kalimantan Barat bisa dibilang menjadi salah satu dari wilayah di Indonesia dengan kehidupan politik yang dinamis. Polarisasi politik yang terlihat marak setelah masa reformasi tak kalah dinamis dibandingkan dengan pemilu pertama tahun 1955. Pertarungan antarparpol yang terjadi di provinsi ini bisa dikatakan unik.

Saat Orde Baru berkuasa, Golongan Karya (Golkar) selalu berhasil menjadi pemenang pemilu. Dominasi Golkar di Kalbar mulai terlihat sejak Pemilu 1971, sebelum 11 partai politik kontestan pemilu berfusi. Golkar meraih 66,6 persen suara.

Dalam Pemilu 1977, persentase perolehan suara Golkar juga tak berubah, di kisaran 66 persen, meskipun partai-partai yang lain dilebur ke dalam dua partai besar, yakni Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pada masa Reformasi, di Pemilu 1999, partai berlambang pohon beringin itu tetap menjadi pemenang di Kalbar. Meskipun turun drastis dari 70 persen menjadi hanya 29,4 persen suara, tetapi dominasi partai berlambang pohon beringin itu masih cukup kuat. Yang menarik, anjloknya perolehan suara Partai Golkar tidak diimbangi dengan kenaikan drastis perolehan suara partai pesaing terdekatnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Berada di posisi kedua setelah Partai Golkar, PDI-P hanya meraih 23 persen suara pemilih, nyaris tak beda jauh dengan perolehan pada zaman Orde Baru (Pemilu 1992) yang 22 persen.

Sementara itu, Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI), partai baru yang lekat dengan nuansa etnik Tionghoa, mendapat suara lumayan, yakni 6,99 persen. Partai yang mengangkat isu hak-hak kaum minoritas serta perbaikan ekonomi ini menarik simpati warga etnik Tionghoa yang jumlahnya mencapai 10 persen dari jumlah penduduk Kalbar.

Kondisi yang mirip terjadi pada Pemilu 2004. Pendatang baru, yakni Partai Demokrat, mendapatkan suara yang lumayan, yakni 6,12 persen. Perolehan suara partai tersebut berada di urutan ketiga setelah Partai Golkar dan PDI-P, dan hanya sedikit berada di bawah PPP yang meraih 8,38 persen suara.

Dalam sejarah pemilu, Kalbar juga pernah menampilkan gambaran kuatnya partai lokal. Pada Pemilu 1955, Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) mendapat dukungan kuat dengan mendulang 33 persen suara. Kendati demikian, posisi partai nasional bernuansa Islam ini ditempel ketat oleh Partai Persatuan Daya (PPD), sebuah partai lokal yang secara mengejutkan mendapatkan 31,5 persen suara dan berhasil menempatkan satu wakilnya di DPR pusat.

Politik identitas

Kemampuan sebagian parpol ”merebut” suara pemilih di Kalimantan Barat sedikit banyak disebabkan oleh kemampuannya membangun kedekatan etnisitas. Partai PBI, misalnya, bisa dikatakan berhasil merebut suara masyarakat Tionghoa pada Pemilu 1999.

”Ketika itu kami betul-betul memilih partai berdasarkan kedekatan etnik. Partai PBI saat itu memang didirikan, antara lain, untuk kaum kami, yang tertindas secara politis,” ujar Andreas Acui Simanjaya, tokoh Majelis Adat Budaya Tionghoa (MABT).

Upaya membangun kedekatan etnis juga dilakukan Partai Golkar pada masa Orde Baru. Di Kalbar, partai tersebut dibangun pemerintah dengan merangkul elite-elite Dayak.

Menurut Thadeus Yus, Ketua Umum Dewan Adat Dayak Provinsi Kalbar, waktu itu pendekatan yang dilakukan Golkar sangat efektif meraih suara masyarakat Dayak. ”Ketika itu, masih ada kepatuhan dari sebagian besar masyarakat Dayak terhadap elite-elite kami,” tuturnya.

Namun, Yus juga menjelaskan bahwa saat Orde Baru pun PDI meraih simpati di kalangan masyarakat Dayak. Ini tak lepas dari kontribusi partai lokal sebelumnya, PPD, yang bersama PNI kemudian melebur ke dalam PDI.

Pemilu 2009

Bagaimana dengan Pemilu 2009? Partai Golkar dan PDI-P masih berpeluang besar menjadi salah satu parpol yang akan meraih suara terbanyak, meski sangat mungkin persentasenya akan semakin kecil. Pendapat itu dikemukakan Gusti Suryansyah, Ketua Asosiasi Ilmu Politik Kalbar. ”Saya perkirakan, untuk Kalimantan Barat situasinya akan lebih kurang sama, tapi perolehan suaranya yang akan lebih cair,” ujarnya.

Di balik kuatnya identitas etnik di kalangan masyarakat Kalbar, kini tumbuh rasionalitas di dalamnya. Hal itu diungkapkan Acui dan Yus. ”Pengalaman membuktikan, pada Pemilu 2004, kami sudah mulai melakukan perubahan arah pandang. Kami tidak lagi memilih partai berdasar etnik, tapi berdasarkan kebutuhan,” kata Acui. Perubahan arah pandang itu menjadi salah satu faktor yang memengaruhi perolehan suara Partai Demokrat pada Pemilu 2004 yang menempati posisi empat.

Dalam pertarungan antarpartai di level nasional tampaknya masyarakat Dayak akan makin cair dalam hal keterikatan ideologis maupun etnik terhadap partai tertentu. ”Ke depan, Partai Golkar atau PDI-P bisa menang lebih karena punya infrastruktur yang baik, bukan karena dukungan masyarakat Dayak,” ujar Yus.

Namun, rasionalitas itu masih mungkin mempertautkan identitas. Jika sebuah parpol, besar atau kecil, mampu membahasakan kebutuhan eksistensi dari tiap-tiap etnik di Kalbar, bukan tidak mungkin akan meraih cukup simpati.(Bima Baskara Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: