Selasa, 10 Februari 2009

Peta Politik


Bangka Belitung

Oleh Indah Surya Wardhani


Wajah kekinian karakter masyarakat Provinsi Bangka Belitung adalah warisan lintasan masa lalu di kepulauan ini. Arus panjang budaya perdagangan dan pertambangan timah selama beratus tahun memahat sebuah masyarakat multikultur yang terbuka lagi pragmatis.

Provinsi muda bekas bagian Provinsi Sumatera Selatan ini adalah melting pot berisi masyarakat dengan beragam suku, agama, dan ideologi. Namun, seperti semboyan ”Serumpun Sebalai”, seluruh entitas budaya meyakini bahwa mereka merupakan satu akar yang hidup dalam satu rumah.

Ada 1,1 juta jiwa yang berdomisili di provinsi ini, terutama di Pulau Bangka dan Belitung. Tiga entitas suku secara dominan membentuk stereotip masyarakat. Melayu Bangka dan Melayu Belitung merupakan entitas suku terbesar dengan jumlah populasi sekitar 69 persen. Entitas ketiga adalah Tionghoa dengan populasi 11 persen. Selain itu, entitas lain yang menambah keragaman warna adalah Jawa 6 persen dan Bugis-Makassar 3 persen. Karakter multikultural ini dipaparkan pula oleh budayawan Bangka, Suhaimi Sulaiman.

Menurut dia, sejak abad ke-17 Kepulauan Babel ramai dikunjungi dan didiami komunitas dari berbagai daerah, terutama dari Johor Malaka, Minangkabau, Palembang, dan Tiongkok.

Menariknya, pertukaran budaya hanya menyisakan sedikit ikatan primordialisme dan ideologi. Keterbukaan, sikap egaliter, dan pragmatisme menjadi watak masyarakat Babel. Karakter itu pun memengaruhi preferensi politik. Meski berpenduduk mayoritas Melayu Muslim, pilihan tidak melulu tertuju pada parpol beraliran Islam. Ideologi lainnya memperoleh tempat, sebut saja marhaenisme, sosialisme, atau yang melekat pada agama Katolik.

Kondisi seperti itu pula yang tecermin dalam kontestasi politik pemilu. Pada tahun 1955, Partai Nasional Indonesia merupakan partai dominan dengan 41 persen suara disusul Masyumi 19 persen dan Partai Buruh 8 persen. Hasil pemilu ini mencuri perhatian. Sebab, kemenangan kaum marhaen PNI di Babel mampu menandingi pengaruh Masyumi yang mendominasi Provinsi Sumsel dengan 43 persen. Kepulauan Babel pada masa itu masih menjadi bagian Sumsel. Selain itu, keberhasilan Partai Buruh meraih posisi ketiga pun mengejutkan, mengingat perolehan partai ini tidak signifikan secara nasional.

Geliat politik lokal

Ajang kontestasi politik selanjutnya juga bertutur bagaimana persaingan antar-partai bercorak nasionalis dan partai bernuansa keislaman. Uniknya, kekuatan masing-masing partai cenderung mengelompok dalam satu satuan wilayah geografis. Partai-partai nasionalis, misalnya, lebih banyak bertumpu di Pulau Bangka. Sosok nasionalis yang juga proklamator Indonesia, Ir Soekarno, yang sempat ”terbuang” di Kecamatan Mentok, Bangka Barat, bisa jadi faktor pemompa kukuhnya partai nasionalis di wilayah ini. Sebaliknya, Belitung menjadi kantong partai-partai bercorak keislaman. Oleh karena itu, dalam satu kesatuan administratif wilayah Bangka Belitung, persaingan tampak sedemikian dinamis, satu sama lain saling menggantikan hingga Pemilu 2004.

Pertarungan perebutan pengaruh bermula saat memasuki periode 1970-an, di mana pengaruh kaum marhaen melemah. Saat itu Golkar yang muncul menjadi kuda hitam mulai menancapkan pengaruhnya. Di sisi lain, kekuatan partai Islam juga merosot pascapembubaran Masyumi tahun 1960. Tak pelak, Golkar melenggang menang hingga dua pertiga persen suara pada Pemilu 1971.

Pada Pemilu 1977, giliran partai bercorak keislaman unjuk gigi. Setelah pemerintah menetapkan fusi partai politik pada tahun 1975, kekuatan partai Islam (Parmusi, NU, PSII, dan Perti) bergabung dalam PPP. Ternyata pengaruhnya cukup besar dengan suara 37 persen mengejar Golkar yang mengantongi 46 persen. Bahkan di Belitung, PPP menggusur Golkar dengan 37 persen. Sementara kekuatan partai politik aliran nasionalis, Marhaen, Kristen, dan Katolik yang bergabung menjadi PDI hanya mendulang 17 persen.

Pengaruh PPP dan PDI sama- sama meredup pasca-Pemilu 1977. Seiring menguatnya pemerintahan Orde Baru, suara Golkar meningkat pesat membabat suara PPP dan PDI. Gairah politik kembali hidup pascaruntuhnya pemerintahan Orde Baru tahun 1998 terutama di tingkat lokal. Pada Pemilu 1999, giliran PDI-P ”memerahkan” dengan 35 persen suara. Dukungan kepada Partai Golkar 23 persen, PPP 11 persen, dan PBB 11 persen.

Meski suara PDI-P mendominasi di Babel, partai nasionalis ini tunduk pada PBB di Kabupaten Belitung. Terpuruknya partai pemenang di Belitung ini pernah terjadi pada tahun 1977 ketika PPP unggul atas Partai Golkar yang memenangi pemilu di Babel.

Politik lokal makin menggelora tahun 2004 yang merupakan pemilu pertama di Babel yang berbentuk provinsi. Buktinya, PBB menjadi partai pemenang dengan 21 persen, disusul PDI-P 19 persen, dan Golkar 18 persen. Padahal, secara nasional suara PBB tidak terlalu signifikan, hanya 2,6 persen atau di peringkat kedelapan.

Dari tujuh wilayah, PBB hanya menang di dua kabupaten, di Belitung dan Belitung Timur. Namun, kemenangan itu bernas hingga mendongkrak posisi PBB di provinsi. Sementara PDI-P menang di tiga wilayah, yakni Bangka, Bangka Barat, dan Bangka Tengah. Adapun Golkar menang di dua wilayah, yakni Bangka Selatan dan Kota Pangkal Pinang.

Koalisi ala pilkada

Putaran politik lokal bergerak makin acak pada ajang pemilihan kepala daerah. Perebutan kekuasaan di tingkat lokal tersebut menunjukkan rapuhnya ikatan ideologi parpol yang dipertontonkan pada pemilu tahun 1955-2004.

Dalam arena pilkada, figur terlihat lebih efektif menggiring dukungan ketimbang mesin politik partai. Tak pelak, koalisi parpol tak lebih dari perhitungan pragmatis.

Menanggapi hal itu, sosiolog dari Universitas Bangka Belitung (UBB), Prof Bustami Rahman, yang juga Rektor UBB, berpendapat, dominasi figur dan parpol yang silih berganti tak lain cermin berubahnya arah dukungan masyarakat. ”Setiap pemilihan pada dasarnya masyarakat coba- coba. Memilih mana yang bisa membuat sejahtera. Daripada memilih tokoh baru, lebih baik memilih yang sudah dikenal. Sangat pragmatis. Tidak ada yang bisa menjamin ke mana dukungan masyarakat,” katanya.

Pilkada sepanjang tahun 2005- 2008 menunjukkan gejala itu. Dari delapan kali penyelenggaraan pilkada, hanya tiga pilkada yang pemenangnya sukses diusung partai tunggal. Dua di antaranya parpol dominan, yakni PBB dan Golkar. Sementara satu lainnya adalah PKS yang tergolong pendatang baru di wilayah Babel.

PBB sukses memenangkan incumbent Bupati Darmansyah Husein dan Sahani Saleh di Kabupaten Belitung, 24 Juni 2008, dengan 36 persen. Wilayah ini memang kantong suara PBB yang loyal sejak tahun 1999.

Sebelumnya, Golkar mengusung caretaker Bupati Justiar Noer dan Jamro H Jalil di Bangka Selatan, 18 Juni 2005. Di daerah basis massa Golkar sejak tahun 2004 ini, pasangan Justiar-Jamro meraih 41,5 persen. Bersamaan dengan itu, PKS sukses mengusung Parhan Ali-H Zuhri Syahzali di Bangka Barat yang merupakan basis massa PDI-P pada tahun 2004. Pasangan ini meraih 34,4 persen.

Adapun fenomena lima pilkada lainnya diwarnai persekutuan parpol yang tak ajek. Pada pemilihan gubernur, 22 Februari 2007, misalnya, PBB sebagai pemenang Pemilu 2004 rupanya tidak percaya diri mengusung tunggal Eko Maulana Ali-Syamsuddin Basari sehingga harus menggandeng PKS, PAN, dan Partai Demokrat. Pasangan ini sukses mengalahkan empat pasangan lainnya 35 persen.

Namun, kongsi empat parpol pecah menjadi tiga kubu pada Pilkada Kota Pangkal Pinang, 24 Juni 2008. Di kota basis massa Golkar pada tahun 2004 ini, justru koalisi Partai Demokrat dan PPP yang berjaya mengusung incumbent Wali Kota Zulkarnain Karim dan Malikul Amjad. Pasangan ini menggusur empat pesaing dengan dominasi 55 persen suara.

Beda lagi dengan pilkada di Belitung Timur, 18 Juni 2005. Ibarat David menjungkalkan Goliath, koalisi parpol ”gurem” PIB-PNBK sukses memenangkan Basuki Tjahaja Purnama-H Khaerul Efendi. Hal ini menafikan dominasi PBB di kabupaten ini yang telah bercokol sejak tahun 1999. Basuki yang berlatar belakang Tionghoa Buddha ternyata mendulang dukungan 37 persen masyarakat yang notabene mayoritas Melayu Muslim.

Secara umum, aliansi parpol memang tanpa keajekan. Namun, terdapat benang merah. Figur pasangan calon hampir seluruhnya adalah elite lokal: incumbent atau caretaker bupati atau anggota DPRD. Masih teramat jarang munculnya wajah-wajah baru kalangan non-elite yang mencoba mewarnai politik Babel. Melihat kondisi semacam itu, cukup sulit membaca ke mana arah dukungan masyarakat Babel pada pemilu anggota legislatif mendatang.

Bagi partai politik, PBB, misalnya, tentu berbagai upaya coba dilakukan untuk mempertahankan penguasaannya di provinsi ini, terutama di Belitung, sebagaimana yang terjadi pada Pemilu 2004. Begitu pun bagi PDI-P dan Golkar. Penguasaan Provinsi Babel menjadi target guna mengulang kejayaan mereka pada masa lampau. Bagi partai-partai politik lain, lemahnya ikatan-ikatan ideologis dan menguatnya pragmatisme menjadi peluang dalam upaya memperluas penetrasi mereka. Oleh karena itu, dalam Pemilu 2009, mungkin akan ada seribu janji parpol dan capres yang akan ditebar pada masa kampanye. Namun, tampaknya orang Babel punya pilihannya sendiri. Inilah pragmatisme ala Babel. Nye katanye! (Indah Surya Wardhani/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: