Sabtu, 14 Februari 2009

Peta Politik Sumatera

Runtuhnya Benteng Penguasaan Partai
Jumat, 13 Februari 2009 | 00:33 WIB

Oleh Bestian Nainggolan

Bagi partai politik, Sumatera bukanlah benteng yang tak mungkin tertaklukkan. Perubahan penguasaan politik wilayah selama ini kerap terjadi. Hal yang sama amat berpotensi terjadi pada Pemilu 2009.

Tiada yang kekal di Sumatera. Heterogenitas kultur dan wilayah membentuk wajah politik Sumatera yang jauh dari kesan monoton.

Di sebagian besar wilayahnya, perubahan demi perubahan penguasaan politik kerap berlangsung. Terdapat memang wilayah yang tampak statis. Sebagian kabupaten di Jambi, Riau, misalnya, memiliki tradisi penguasaan pada satu kekuatan politik partai. Namun, fakta demikian amat terbatas, tidak menjadi gambaran keseluruhan Sumatera.

Di beberapa wilayah lain, lambat laun penguasaan oleh satu kelompok kekuatan politik semacam ini mulai terancam. Bahkan, sebagian lainnya mulai tergerus oleh kekuatan politik lain yang mengintai.

Sekilas, menelusuri politik Sumatera yang terbagi menjadi 10 provinsi ini akan terpaku pada satu fenomena persaingan ideologis partai-partai politik. Perebutan pengaruh politik yang lebih bersifat ideologis, yaitu antara partai-partai berhaluan nasionalis dan partai bernuansa Islam, memang masih tampak kental terasa di sebagian besar wilayah, seperti Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sumbar, Sumut, maupun Bangka Belitung.

Apalagi, jika merunut sejarah panjang kontestasi nasional pemilu di wilayah ini yang memang mewariskan persaingan sengit antarkekuatan ideologi. Hanya, menariknya, pada saat yang bersamaan terjadi pula persaingan sangat ketat di antara sesama partai-partai bercorak nasionalis serta di antara sesama partai Islam.

Tidak hanya itu, berbagai variasi lain terjadi di kawasan yang menyumbang seperlima (34,4 juta pemilih) dari total pemilih di Indonesia ini.

Medan perebutan suara yang merujuk pada persaingan yang bersifat non-ideologi partai juga mencolok terlihat.

Aspek geografis, misalnya, juga menjadi faktor yang kerap menjadi pemicu kian hangatnya perburuan suara. Tidak mengherankan jika pemisahan antara pengaruh kekuatan politik lokal dan nasional sebagaimana yang tampak di beberapa wilayah NAD serta sesama kekuatan lokal yang memisahkan pengaruh kekuatan politik pesisir dan pedalaman. Hal ini terjadi di Sumbar, wilayah kota, dan desa di hampir keseluruhan ibu kota provinsi di Sumatera.

Pada pemandangan lain, tidak terhindarkan pula pembentukan kantong-kantong kekuatan politik yang didasarkan pada kesamaan-kesamaan etnisitas dan agama sebagaimana yang terbentuk di Sumut sehingga menjadi faktor pembentuk corak politik yang melekat.

Di tengah tarikan ideologi, pembagi wilayah, dan kedekatan emosional yang melekat tidak terhindarkan pula munculnya perilaku politik yang cenderung rasional, atau cenderung pragmatis.

Memilih partai ataupun upaya menguasai politik wilayah didasarkan pada pertimbangan pragmatis, seperti halnya seberapa manfaat instan yang diperoleh sebagai konsekuensi atas pilihannya. Demikian pula seberapa besar pengorbanan materi yang dilakukan untuk mengusai suara para pemilih.

Fenomena semacam ini tampak dalam sejumlah ajang pilkada yang secara khusus memilih sosok kandidat yang diusulkan partai politik. Kondisi-kondisi semacam ini bagaimanapun telah menjadi ciri Sumatera, yang tampaknya menjadi suatu potret keniscayaan politik.

Dalam ancaman

Jika berbagai faktor, baik emosional maupun rasional, bertemu dan saling berkelindan dalam muara Pemilu 2009, persoalannya kini, seperti apa wajah persaingan politik yang akan berlangsung di Sumatera? Dalam ulasan lebih khusus, seberapa kokoh benteng kekuatan yang dibangun partai politik di wilayah penguasaannya tetap dipertahankan?

Memadukan dan memetakan sejumlah kontestasi politik nasional dan lokal (pilkada) di 138 kabupaten dan kota menyimpulkan betapa rawan dan rapuhnya kekuatan partai politik.

Setidaknya terdapat tiga kategori pengelompokan wilayah yang memungkinkan terjadi atau tidaknya perubahan politik.

Pertama, pengelompokan wilayah yang tergolong solid. Paling tidak terdapat 15 kabupaten dan kota dalam kategori ini, baik dalam ajang Pemilu 2004 maupun ajang pilkada 2005-2008, dikuasai oleh satu kekuatan partai.

Di wilayah ini, partai berhasil membangun benteng pertahanan yang kokoh. Sulit tampaknya mendobrak keseluruhan bangunan yang juga telah terkawal dengan rapat di setiap penjuru.

Kedua, wilayah kabupaten dan kota yang tergolong agak rapuh dan rawan. Tidak kurang sebanyak 39 wilayah dalam kelompok ini.

Benar jika partai politik masih menguasai dan berpotensi menguasai wilayah dalam kelompok demikian. Namun, menjadi rawan mengingat dalam ajang kontestasi lokal partai itu harus bersusah payah menjalin suatu koalisi bersama partai lain untuk menguasai politik lokal wilayah.

Oleh karena kekuatan yang terbangun tidak utuh, potensi kerapuhan dalam pemenangan Pemilu 2009 terbuka.

Ketiga, kabupaten dan kota di Sumatera yang tergolong cair dan berpotensi tak terkuasai dalam pemilu mendatang. Pasalnya, penguasaan partai-partai politik di wilayah ini hanya terjadi pada Pemilu 2004.

Dalam pemilihan kepala pemerintahan daerah mereka gagal total dalam penguasaan. Kondisi demikian merupakan bagian terbesar, terjadi di 84 kabupaten dan kota di Sumatera. Bisa dibayangkan betapa dinamisnya perburuan suara yang akan terjadi di kabupaten dan kota semacam ini.

Menguak peluang

Menariknya, kerawanan dan kerapuhan dialami oleh setiap partai. Baik partai-partai bercorak nasionalis maupun bernuansa Islam berpotensi kehilangan daerah penguasaannya.

Partai Golkar bisa jadi yang paling rawan. Sebagai pemenang pemilu meraih sekitar 23 persen suara dan menguasai 98 kabupaten dan kota di Sumatera, hanya 13 wilayah yang masuk kategori solid. PDI-P juga demikian, dari 15 kabupaten dan kota yang dikuasai tidak ada satu pun kokoh dikuasai secara tunggal. Partai-partai bercorak Islam yang dalam Pemilu 2004 meraih suara cukup signifikan di Sumatera, seperti PKS, PAN, PPP, dan PBB juga didera persoalan yang mirip, potensi hilangnya wilayah-wilayah penguasaan.

Namun, begitu besarnya wilayah-wilayah tergolong rawan dan rapuh tidak selamanya mengindikasikan lonceng kematian.

Kondisi demikian memberikan arti lain bahwa di Sumatera masih terbuka lebar peluang bagi parpol dalam penguasaan wilayah baru. Bagi partai-partai bercorak nasionalis, sekalipun beberapa wilayah penguasaannya telah tergerus, fakta juga menunjukkan upaya penguasaan wilayah lain berhasil dilakukan.

PDI-P, misalnya, sekalipun terlihat rapuh di beberapa wilayah, tetapi—sebagaimana yang terjadi Lampung—mampu merebut berbagai ajang pilkada.

Oleh karena itu, kesan berlangsungnya persaingan antarsesama partai dengan corak yang sama masih kentara di sebagian besar wilayah. Persoalannya, siapakah menjadi pengumpul suara terbanyak kali ini? Belum jelas benar, tetapi konfigurasi baru penguasaan politik amat berpotensi terbentuk. (Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: