Rabu, 11 Februari 2009

Peta Politik


Lampung

Ancaman Perubahan Penguasaan di Ladang Nasionalis
Kamis, 12 Februari 2009 | 00:45 WIB

Oleh Bestian Nainggolan

Penguasaan suara partai bercorak nasionalis di Lampung sebagaimana yang terjadi dalam beberapa ajang pemilu sebelumnya masih terbilang kokoh. Persaingan ketat kini justru terjadi di antara sesama mereka. Dalam situasi seperti itu, dominasi Partai Golkar terancam.

Semenjak berakhirnya Pemilu 1955 yang membawakan penguasaan suara partai-partai Islam hingga 58 persen, praktis dalam sejumlah ajang pemilu selanjutnya penguasaan partai nasionalis terjadi. Hasil Pemilu 1999, misalnya, yang kerap dijadikan indikator pemilu bebas pascakepemimpinan rezim Orde Baru melambungkan kembali penguasaan suara partai nasionalis atas partai bercorak keislaman dengan proporsi yang terbalik. Saat itu, gabungan antara pemenang pemilu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar mampu meraih 59 persen suara di Lampung.

Ajang pertarungan politik selanjutnya, lebih banyak bertutur mengenai perubahan penguasaan di antara partai nasionalis. Partai Golkar, yang memiliki sejarah pemenangan panjang pasca-Pemilu 1971, pada Pemilu 2004 mampu merebut kembali Lampung dari PDI-P. Tipis memang, hanya berselisih sekitar 3 persen. Namun, 7 dari 10 kabupaten dan kota di Lampung berhasil ”dikuningkan”. Saat itu, selain ibu kota provinsi, Bandar Lampung, kantong suara Partai Golkar tertinggi pada masa Orde Baru, seperti kabupaten Lampung Tengah, Lampung Selatan, Lampung Utara, dan Way Kanan, kembali terkuasai.

Penguasaan politik yang silih berganti di wilayah ini sudah barang tentu menyisakan pertanyaan yang terfokus pada upaya pemahaman terhadap faktor-faktor yang memungkinkan dinamika politik semacam itu terjadi. Di sisi lain, dengan situasi seperti ini, pertanyaannya mampukah Partai Golkar mempertahankan dominasinya dalam kontestasi politik Pemilu 2009, baik dari ancaman penguasaan sesama partai nasionalis maupun partai bercorak keislaman?

Pengaruh luar

Memahami Lampung, termasuk kultur politik masyarakatnya, tampaknya akan terpaut pada persoalan begitu besarnya pengaruh yang datang dari luar wilayah ini. Semenjak era terbentuknya kerajaan-kerajaan lokal (abad V-VII), pengaruh Sriwijaya (abad VII-XII), Majapahit (abad XII-XV), pengaruh Islam, Banten (abad XV-XIX), era kolonialisme Inggris dan Belanda, hingga periode setelahnya, Lampung tidak pernah terlepaskan dari pengaruh luar yang sekaligus juga mewarnai perjalanan kultur masyarakat setempat.

Pengaruh semacam itu pula yang terjadi pada saat berlangsungnya era politik modern, yang ditandai sejumlah ajang kontestasi politik pemilu. Kemenangan partai bercorak keislaman pada tahun 1955, misalnya, tidak lepas dari pengaruh Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi), dari barat, berpusat di Sumatera Barat dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) serta Nahdatul Ulama (NU) dari timur, dengan pusat Jawa. Kondisi semacam ini pula melatarbelakangi kemenangan partai-partai nasionalis. Dalam hal ini, berkuasanya partai nasionalis tidak lepas dari arus migrasi penduduk ke wilayah Lampung, terutama pada era 1970-an. Terbesar, arus transmigrasi dari pulau Jawa yang secara langsung mengubah konfigurasi penduduk maupun politik.

Sebagai gambaran, pada Pemilu 1955, jumlah pemilih masih pada kisaran 430.000. Ketiga partai bercorak Islam: Masyumi, PSII, dan NU menjadi pemenang, mengumpulkan tidak kurang 250.000 suara. Sisanya, menjadi bagian Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan beberapa partai lainnya. Namun, masuknya transmigran dari Pulau Jawa serta arus pendatang dari sejumlah wilayah mengubah wajah Lampung sebelumnya. Kini, Lampung berpenduduk 7 juta jiwa dengan proporsi suku Jawa 62 persen. Penyebaran kelompok suku Jawa pun tampak agak merata. Sebaran demikian meluruhkan pengelompokan wilayah administratif yang terbedakan berdasarkan suku, agama, maupun pemilahan kultur yang didasarkan pada adat peminggir di wilayah pesisir ataupun adat pepadun ataupun abung di pedalaman. Dalam kondisi semacam inilah partai-partai bercorak nasionalis termungkinkan berkuasa hingga kini di Lampung.

Kontestasi politik

Menariknya, sekalipun partai-partai nasionalis berkuasa, persaingan ketat terjadi di antara mereka. Dengan memadukan kontestasi politik di tingkat nasional dan sejumlah ajang kontestasi politik lokal (pilkada) yang berlangsung semenjak akhir Juni 2005 hingga akhir Desember 2008, Partai Golkar sebagai pemenang Pemilu 2004 di Lampung tengah menghadapi gempuran dari para pesaingnya. Paling tidak terdapat dua kondisi yang mungkin terjadi. Pertama, terdapat ancaman penurunan penguasaan di kantong penguasaan Partai Golkar. Dari 10 kabupaten dan kota yang dikuasai dalam Pemilu 2004, dalam ajang pilkada lalu hanya tiga kabupaten yang dimenangi oleh calon dari Partai Golkar. Yang mengkhawatirkan, tiga kemenangan Partai Golkar di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Timur, dan Way Kanan, terjadi pada rentetan pilkada 27 Juni 2005. Setelah itu, semua calon partai ini bertumbangan.

Kedua, jika Partai Golkar mengalami kekalahan, justru sebaliknya yang dialami PDI-P. Wilayah kabupaten yang dikuasai PDI-P dalam Pemilu 2004, kecuali Lampung Timur dan Tulang Bawang, diperkuat penguasaannya melalui kemenangan dalam pilkada. Bahkan, partai ini, baik secara berkoalisi dengan partai lain maupun pencalonan sendiri, berhasil merebut posisi bupati yang dikuasai Partai Golkar sebelumnya di Kabupaten Tanggamus, Lampung Utara, Lampung Tengah, wali kota Bandar Lampung, dan puncaknya kursi gubernur Lampung.

Soewondo, pemerhati politik dari Universitas Lampung, secara khusus menyoroti fenomena rentetan penguasaan PDI-P dalam sejumlah ajang pilkada di Lampung. ”Penguasaan PDI-P bagai tapal kuda,” ungkapnya. Mulai dari basis PDI-P di Lampung Barat menyebar ke sejumlah kabupaten dan kota, mengelilingi Lampung, dan menuju selatan Lampung. Bahkan, menariknya lagi, di wilayah penguasaan Partai Golkar dalam pilkada pun geliat tokoh dan simpatisan PDI-P kuat. Puncaknya, calon dari PDI-P, Sjachroedin ZP, berhasil memenangi kursi gubernur mengalahkan pesaing ketatnya selama ini, Alzier Dianis Thabranie, dari Partai Golkar.

Selain kian agresifnya penguasaan PDI-P, Partai Golkar harus pula berhadapan dengan partai bercorak nasionalis semacam Partai Demokrat. Kiprah PD menjelang Pemilu 2009 tidak dapat diremehkan. Memang, dalam kontestasi politik lokal, lebih banyak bertutur kekalahan tragis dibandingkan sukses kemenangan calon yang diusulkan partai ini. Namun, kisah sukses yang secara tiba-tiba mengentak pada tahun 2004 dengan pencapaian 6,7 persen suara amat memungkinkan kembali kejutan serupa terjadi. Harus diakui, pencapaian PD pada tahun 2004 itulah pangkal penyebab pengurangan suara partai nasionalis, terutama PDI-P.

Pada pemandangan lain, betapapun ketatnya upaya perebutan dan penguasaan suara sesama partai nasionalis, tidak menyurutkan geliat partai bernuansa keislaman di Lampung. Sebenarnya, ajang Pemilu 2004 membuktikan bahwa PKS, PAN, PKB, PPP, dan PBR merupakan partai-partai yang cukup signifikan memberikan warna politik Lampung. PKS, misalnya, mampu menjadi pemenang ketiga, meraih 8,1 persen suara. Saat ini geliatnya tetap menonjol. Jika pemilu sebelumnya wilayah kota menjadi sentra perolehan suara partai ini, kemungkinan melebar hingga pelosok pedesaan bukan sesuatu yang mustahil. Demikian pula PAN, yang mampu membuktikan eksistensinya di Lampung Timur, Lampung Selatan, Lampung Utara, Kota Metro, dan Bandar Lampung, pada Pemilu 2004, tetap berpeluang memperluas penetrasi politiknya. Terbukti, kemenangan diraih partai ini dalam beberapa ajang pilkada, kendatipun calon-calon usulannya berkoalisi dengan partai politik lain. Dalam situasi persaingan semacam ini, tidak salah jika di Lampung lampu kuning menyala bagi Golkar.(Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: