Sabtu, 21 Februari 2009

Pertarungan di Golkar


Sultan atau Kalla

Kesiapan JK jadi capres meredam gerak faksi pro-Sultan, sekaligus mendesak SBY.
Jum'at, 20 Februari 2009, 19:22 WIB
Nurlis E. Meuko, Bayu Galih, Siswanto, Anggi Kusumadewi

Jusuf Kalla saat Kampanye Golkar (Antara/ Saptono)

VIVAnews-"Ada elit partai yang genit. Sedikit-sedikit Yudhono-Kalla. Apa urusannya?" Begitu Ketua Dewan Penasihat Golkar, Surya Paloh, pidato berapi-api pada acara Rapat Konsultasi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar di kantor DPP Golkar di Slipi, Jakarta Barat, Rabu siang 18 Februari 2009. "Mau dicatat Yudhoyono jadi menteri. Mau menyenangkan hati Kalla," Surya terus mengejek.

Suaranya bergetar. Dia mengepalkan tangan. Sontak, riuh ruangan yang menguning dengan jaket 423 calon anggota legaslatif dan 60 pengurus DPD Golkar itu jadi senyap. Ada yang saling pandang, menunduk, atau tersenyum simpul.

Usai berpidato, kepada wartawan Surya menerangkan: posisi Ketua Umum Golkar, Jusuf Kalla, sebagai Wakil Presiden merugikan partainya, "Kalla harus terus seiya-sekata, senasib sepenanggungan terus dengan Yudhoyono."

Rupanya kecap Surya ini pedas rasanya.

Sore hari, di sebuah ruangan di kantor Golkar, para elit Beringin sedang berkumpul, termasuk Surya Paloh. Saat itu lah salah seorang Ketua DPP Golkar dan mantan Menteri Kehakiman, Muladi, bertanya dengan sengitnya, “Heh Paloh, apa maksud pernyataanmu? Kau sebut saja orangnya. Ini Muladi pendukung SBY-JK!" Begitu diungkapkan seorang petinggi Golkar kepada VIVAnews.

Muladi terus merangsek,"Kamu ini juga apa? Dekat-dekat ke PDIP, buat apa? Supaya dapat kedudukan Wapres?" Surya Paloh meradang. “So what?!” Ia balik menantang. Buru-buru, pengurus lain melerai perselisihan panas ini. Ada dua saksi yang melihat, cerita ini segera beredar luas.

Surya Paloh yang biasanya mudah dihubungi melalui telepon selulernya, dua hari setelah kejadian itu menjadi sulit dikontak. Ketika tersambung, seseorang yang suaranya mirip Surya mengatakan, "Bapak lagi ke luar, memangnya ada apa?" Ditanya soal insiden dengan Muladi, dia menjawab, "Ah, itu biasa. Nggak ada apa-apa, kok." Lalu dia menutup telepon.

***

Cuplikan cerita yang menyembul di sela-sela rapat konsultasi itu cukup memperjelas kian sengitnya pertarungan antar faksi di tubuh Beringin menjelang pemilihan umum 2009. "Di Golkar sekarang ada tiga faksi," kata Muladi.

Faksi pertama cenderung mempertahankan duet Yudhoyono-Kalla. Kemudian, ada kelompok yang ingin mengusung Kalla sebagai calon presiden. Dan yang ketiga ingin mengusung capres sendiri melalui mekanisme penjaringan resmi partai. "Belum tampak ada salah satu faksi yang posisinya paling kuat di antara lainnya," kata Muladi.

Wakil Sekretaris Jenderal Golkar Rully Chairul Azwar menunjuk kelompok Sri Sultan Hamengkubuwono X yang berniat mengajukan calon presiden sendiri. Sultan telah mendeklarasikan keinginannya untuk bertarung sebagai calon presiden pada Pemilu 2009.

Gubernur Yogyakarta ini mulai mengayun langkah berani sejak Oktober 2008. Sejauh ini, hasratnya sudah disambut Partai Republika Nusantara (Republikan). Bahkan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan juga sudah mulai menjajaki kekuatannya untuk diduetkan dengan Megawati Soekarnoputri. Meski belum melahirkan kesepakatan final, Mega sudah menemuinya tiga kali.

Di Golkar sendiri ada sejumlah elit yang terang-terangan menyokong Sultan. Salah satunya Surya Paloh. "Deklarasi Sultan sebagai calon presiden itu sangat wajar, karena Golkar secara resmi belum mengumumkan calonnya," kata Surya.

Dari jajaran dewan pengurus pusat, baru terlihat Anton Lesiangi—salah satu ketua—yang berada dalam kubu ini. "Saya pasang Sultan berpasangan dengan Prabowo Subianto (calon presiden Partai Gerindra)," kata Anton.

Namun, untuk menarik Sultan di bawah naungan Beringin, kubu ini bak memecah karang. Mereka harus berhadapan dengan kelompok Kalla yang kini menguasai hampir semua lini di Golkar.

Anton Lesiangi mengakui sebagian besar pengurus pusat masih menyokong Kalla. Anton menunjuk contohnya adalah Muladi, Burhanuddin Napitupulu, Firman Soebagyo, Natsir Mansyur, dan Rully Chairul Azwar. "Mereka penyokong Yudhoyono-Kalla," katanya.

Selain itu ada Malkan Amin, Wakil Sekretaris Jenderal Golkar, dan Priyo Budi Santoso, Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR-RI. Yang masih menjaga sikap adalah Agung Laksono, Wakil Ketua Umum Golkar. Tapi, menurut Anton, Agung menghormati posisi Kalla sebagai Ketua Umum.

Dari jajaran organisasi pendukung atau Kelompok Induk Organisasi (Kino) Golkar, yang mendukung manuver faksi pro-Sultan barulah Soksi (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia). "Sultan harus maju sebagai capres," kata Syamsul Maarif, Ketua Soksi.

Hanya saja, gerakan ini sepi dukungan dari Kino lain, seperti Musyawarah Keluarga Gotong Royong (MKGR) yang dipimpin Priyo Budi Santoso. Begitu juga dengan Kesatuan Oragnisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro) yang diketuai Agung Laksono.

Seorang tokoh Golkar, Indra Bambang Utoyo—anggota DPR tiga periode; terakhir pada 1994-1998—mengatakan Kino punya keinginan yang berbeda "tapi buntutnya tetap ke Kalla." Soksi saat ini memang menyorong Sultan, tapi ”kalau Kalla bilang tidak, ya Sultan tidak bisa apa-apa."

Lain lagi dengan pengurus Golkar dari daerah. Kebanyakan dari mereka tak bahagia dengan posisi Kalla yang hanya diposisikan sebagai calon wakil presiden. Apalagi tanpa kepastian. Sikap mereka: Golkar harus mengusung calon presiden sendiri. Pilihan utama adalah Kalla. Tapi kalau Kalla maju-mundur terus, mereka akan berbelok ke Sultan.

Itu sebabnya mereka terus mendesak Kalla maju sebagai calon presiden. Untuk tujuan ini, seluruh pengurus DPD Golkar sampai datang ke rumah dinas Kalla, Jumat, 20 Februari 2009, dan lalu mendaulat Sang Ketua Umum untuk maju tak gentar. Setelah itu lah, di hadapan wartawan di Istana Wakil Presiden, Kalla menyatakan kesediaannya, “Saya tidak pernah katakan tidak siap. Saya selalu siap.” Namun, ia buru-buru menambahkan, “Keputusan itu baru ditentukan setelah pemilihan legislatif."

Rapat Pimpinan Nasional Golkar Oktober 2008 lalu memang memutuskan calon presiden dan wakil presiden dari Beringin akan resmi diumumkan setelah pemilu legislatif 9 April 2009.

Atas pernyataan Kalla yang mengejutkan banyak pihak ini, Jeffrie Geovanie, Wakil Direktur Lembaga Pemenangan Pemilu DPP Golkar mengajukan analisis menarik. Menurutnya, manuver ini ibarat dengan sekali kayuh, JK berhasil melampaui dua pulau sekaligus. Yang pertama, Kalla berhasil meredam perpecahan antar faksi di Golkar yang kian memanas di seputar isu pencalonan presiden.

Kalla terlalu cerdik untuk tak menyadari bahwa desakan sebagian besar pengurus daerah dan pusat Golkar agar Beringin punya calon presiden sendiri sudah sedemikian derasnya. Jika ia tak segera menyambutnya, hampir bisa dipastikan manuver kelompok pro-Sultan akan mengkristal. “Ini penting untuk menjaga soliditas partai menuju pemilu legislatif,” kata Jeffrie.

“Pulau” kedua berada di wilayah perairan Partai Demokrat. Dengan menyatakan siap menjadi calon presiden, Kalla sebetulnya sedang mengirimkan sinyal ke Yudhoyono, mendesak agar Partai Demokrat segera menegaskan sikap. Dalam rapat pimpinan nasional Partai Demokrat lalu, sikap ini digantung. Bahkan, tak sekelumit pun sinyal dikirimkan yang mengarah akan berlanjutnya duet SBY-JK pada periode mendatang. Sikap dingin ini menyinggung hati banyak petinggi Golkar.

“SBY harus mengambil sikap lebih cepat apakah akan kembali berpasangan dengan JK atau tidak,” kata Jeffrie. Melihat perkembangan terakhir di Golkar, menurutnya bukan tak mungkin Rapat Pimpinan Nasional Khusus untuk menegaskan pencalonan Kalla akan digelar sebelum pemilu legislatif. Dan jika itu yang terjadi, Jeffrie mengingatkan, bisa terlambat sudah bagi SBY untuk meminang JK kembali.

• VIVAnews

Tidak ada komentar: