Senin, 23 Februari 2009

Peta Politik Sulawesi Selatan

Ancaman Paceklik di Lumbung Politik
Senin, 23 Februari 2009 | 00:40 WIB

GIANIE

Penguasaan Golkar di Sulawesi Selatan telah berurat akar hingga ke seluruh pelosok. Di tengah kecenderungan penurunan suara pemilu terakhir, masihkah wilayah ini menjadi lumbung yang selalu surplus?

Hasil Pemilihan Umum 2004 dan dinamika pemilihan kepala daerah empat tahun terakhir di Sulawesi Selatan menjadi cerminan sekaligus umpan balik bagi Partai Golkar untuk mengoreksi posisinya dalam peta Pemilu 2009 ini. Mengapa demikian? Selama Golkar merajai Sulsel, tahun 2004 menjadi tahun yang kelam. Ia memang masih unggul, tetapi hanya mampu mengumpulkan 44 persen suara. Angka ini turun drastis dibandingkan dengan hasil Pemilu 1999, yaitu saat partai ini masih mampu meraup dua pertiga dari total suara yang diperebutkan.

Ironisnya, penurunan suara di Sulsel terjadi pada saat Golkar secara nasional mulai bangkit kembali dan menjadi pemenang nasional Pemilu 2004. Apalagi merunut masa-masa sebelumnya, wilayah lumbung padi nasional ini juga kerap menjadi lumbung suara Golkar. Wilayah ini kerap memberikan kontribusi besar bagi suara Golkar secara nasional, termasuk saat dukungan terhadap Golkar melorot drastis di provinsi-provinsi lainnya.

Kejayaan Golkar di wilayah ini dimulai sejak Pemilu 1971. Tidak ada satu pun kekuatan ideologi partai yang mampu mengatasi sepak terjang Golkar di wilayah ini. Puncak perolehan suara Golkar pada Pemilu 1987. Tahun 1987 itu Golkar memperoleh 92 persen suara, meminggirkan PPP yang hanya mampu meraih 6 persen suara dan PDI dengan 1 persen suara saja.

Lima tahun berikutnya, perolehan suara Golkar menurun tipis menjadi 89 persen. Penurunan tersebut kemudian ditebus pada Pemilu 1997 dengan meraup 91 persen suara. Sampai di sini laju peningkatan suara seolah terhenti. Tren penurunan lebih menonjol terjadi. Sistem multipartai yang kemudian dianut Indonesia dan agresivitas partai-partai baru kala itu memberi andil pelemahan denyut nadi Golkar di Sulsel.

Makin tergerus

Gambaran pelemahan kekuatan Golkar di Sulsel tidak berhenti dalam ajang kontestasi politik nasional. Pupusnya pengaruh semakin tampak dari hasil pilkada secara langsung seluruh kabupaten/kota dan tingkat provinsi yang sudah terselenggara dalam empat tahun terakhir.

Dari 23 kabupaten/kota yang sudah melaksanakan pilkada, tak semua wilayah dimenangi pasangan yang diusung partai ini. Mereka hanya mampu memenangi 13 kabupaten/kota. Bagian terbesar, 10 kabupaten dan kota, dimenangi partai ini harus dengan berkoalisi bersama partai politik lain. Dari sejumlah itu, hanya tiga daerah, yaitu Maros, Takalar, dan Kota Parepare yang tergolong solid, lantaran dimenangi tanpa berkoalisi dengan partai politik lain.

Hilangnya penguasaan Golkar di 10 wilayah Sulsel tidak dapat dipandang remeh, lantaran terjadi juga di daerah yang selama ini loyal. Kabupaten Wajo, misalnya, selama pemilu konsisten menjadi kantong kekuasaan Golkar. Namun, pilkada kali ini direbut pasangan yang diajukan PAN dan Partai Sarikat Indonesia. Terlebih di wilayah seperti Tana Toraja yang memang selama pemilu era reformasi berkurang dukungannya kepada Golkar. Di Tana Toraja, kepala daerah terpilih diajukan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.

Puncaknya, kekalahan dalam Pilkada Sulsel pada 2007 lalu, saat pasangan gubernur dan wakil gubernur yang diusung oleh Golkar kalah dari pasangan yang diusung oleh koalisi Partai Demokrasi Kebangsaan, PAN, PDI-P, dan PDS. Boleh dikatakan, berdasarkan pemetaan politik, saat ini penguasaan wilayah oleh Golkar di Sulsel lebih dominan di wilayah selatan dan tengah. Semakin ke atas atau ke utara, dominasi partai yang berlambang pohon beringin ini cenderung melemah.

Lintas budaya

Meskipun tren perolehan suara Golkar menurun dari pemilu ke pemilu, peluang Golkar menguasai Sulsel masih tergolong besar. Pasalnya, pengalaman menunjukkan bahwa pengaruh partai ini mampu menembus berbagai lapisan sosial, budaya, ataupun agama masyarakat. Dari sisi pengelompokan suku bangsa, misalnya, partai ini berkibar merata di empat wilayah etnis di Sulsel, yakni Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar (sebelum Sulawesi Barat membentuk provinsi sendiri).

Kesolidan Golkar juga dapat dilihat dari masih kuatnya partai ini menyentuh dan mengembangkan nilai-nilai tradisional dan kebangsawanan di Sulsel. Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Kausar Bailusy, mengungkapkan bahwa yang memimpin Golkar di Sulsel dominan adalah para bangsawan. Para bangsawan ini, ketika menduduki jabatan-jabatan strategis, akan dapat memengaruhi massa yang masih kuat menganut nilai-nilai lokal.

Tidak terhindarkan, dalam kultur masyarakat Sulsel yang masih agraris, pilihan-pilihan politik memang akan banyak dipengaruhi oleh faktor ketokohan. Figur tokoh yang dimaksud di sini baik itu seorang bangsawan maupun para pemilik lahan (tuan tanah) yang memberi penghidupan kepada orang banyak. ”Masyarakat Sulsel akan menganut paham-paham dari orang yang menjadi panutannya. Oleh karena itu, memilih bukan kesadaran sendiri, tetapi mengikuti pilihan tokohnya,” ujar Bailusy.

Di sisi lain, pengaruh Golkar pun terbukti mampu menembus perbedaan keyakinan beragama masyarakat. Fakta menunjukkan, masyarakat Sulsel mayoritas beragama Islam. Kondisi demikian sebenarnya menjadi amat potensial bagi penguasaan partai-partai bercorak keislaman.

Namun, fakta juga menunjukkan bahwa partai-partai bercorak keislaman tak mampu menguasai keseluruhan Sulsel. Memang, terjadi peningkatan perolehan suara PKS ataupun PAN dalam Pemilu 2004 lalu. Namun, peningkatan tersebut belum mampu mengubah peta penguasaan politik di wilayah ini, terlebih jika dibandingkan dengan kejayaan partai-partai bercorak keislaman pada masa lampau.

Kondisi yang sama juga terjadi pada upaya partai bercorak kekristenan menguasai kantong berbasis kekristenan di belahan utara Sulsel, yakni Tana Toraja dan sebagian wilayah Luwu. Meskipun saat Pemilu 1955 wilayah tersebut sempat dikuasai Partai Kristen Indonesia (Parkindo), hingga kini geliat partai bercorak kekristenan tak terlalu signifikan terlihat.

Kaitan agama dan perpolitikan bagi masyarakat Sulsel tampaknya tidak menjadi faktor penentu. Oleh karena itu, wajar jika partai bercorak keislaman tidak dapat menguasai Sulsel, seperti halnya partai berbasis massa Kristen tidak dapat menguasai Tana Toraja.

Yang menjadi perekat paling kuat di Sulsel hingga dapat memengaruhi sebuah pilihan politik tampaknya pada kekuatan nilai budaya yang tertanam, baik kekuatan pengaruh nilai kebangsawanan maupun nilai-nilai tradisional yang melekat. Perekat inilah yang selama ini dan saat ini masih dimanfaatkan Golkar sebagai strategi pemenangan.

Hanya saja, persoalannya kini, saat kecenderungan penguasaan suara yang semakin terkikis, masih sedemikian kuatkah faktor semacam ini menahan laju penurunan atau bahkan mampu meningkatkan kembali suara penguasaan partai ini di Sulsel? Pemilu 2009 akan menguji kembali kekuatan tersebut.
(Gianie/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: