Selasa, 10 Februari 2009

Perlu Perpu Atur Suara Terbanyak


Rabu, 11 Februari 2009 | 00:41 WIB

Oleh Ramlan Surbakti

Apakah putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengujian undang-undang terhadap UUD langsung menjadi dasar hukum bagi penyelenggara negara dan warga negara bertindak atau baru berupa salah satu sumber hukum?

Jelasnya, apakah putusan MK tentang Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 langsung menjadi dasar hukum bagi Komisi Pemilihan Umum dalam menyelenggarakan pemilihan umum?

Saya berpendapat, KPU baru terikat melaksanakan putusan MK jika putusan itu sudah menjadi bagian dari undang-undang. Pendapat ini didukung dua alasan.

Pertama, terkait kedudukan hukum putusan MK. Menurut Pasal 20 UUD 1945 (perubahan pertama), DPR berkuasa membuat UU. Tiap RUU dibahas DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Pembuat UU adalah mereka yang dipilih rakyat melalui pemilu. UU adalah produk politik, maka dalam negara demokrasi, pembuat UU adalah mereka yang dipilih rakyat melalui pemilu. Karena itu, pemilu dapat dirumuskan sebagai pendelegasian kewenangan membuat UU dari rakyat yang berhak memilih kepada partai dan/atau calon sesuai UUD.

Salah satu kewenangan MK adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final guna menguji UU berdasarkan UUD. Putusan MK bukan produk proses politik, tetapi hasil penilaian secara hukum berdasarkan UUD. Karena itu, anggota MK berasal dari profesi hukum yang tidak dipilih rakyat, tetapi dari tiga lembaga negara (MA, Presiden, dan DPR). Jika ada permohonan uji materiil terhadap suatu UU, MK berwenang menyatakan pasal sekian UU tertentu tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD. Dengan demikian, MK hanya berwenang menyatakan pasal tertentu tidak berlaku dan tidak berwenang merumuskan pengganti pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD.

Karena ada satu atau lebih pasal dari suatu UU dinilai MK bertentangan dengan UUD, maka menjadi kewajiban pembuat UU memperbaiki pasal-pasal yang dinyatakan bertentangan dengan UUD.

DPR dan Presiden bertanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan. Maka, selama putusan MK belum diadopsi menjadi bagian dari UU, maka putusan MK itu merupakan salah satu sumber hukum, tetapi bukan dasar hukum bagi lembaga negara dan warga negara untuk bertindak.

Penyelenggaraan pemilu

Alasan kedua terkait kepastian hukum penyelenggaraan pemilu. Mengingat MK menyatakan Pasal 214 tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD, maka KPU, peserta pemilu, pemilih, dan pemangku kepentingan pemilu lainnya juga belum memiliki pemahaman yang sama tentang apa itu suara terbanyak dan implikasi pemilihan terhadap model pemberian suara (Pasal 176) dan pola pencalonan (Pasal 55).

Dalam putusan MK, sama sekali tidak disebut ”suara terbanyak”. Istilah itu ditemukan pada pertimbangan hukum MK. Apa maksud suara terbanyak? Apakah suara terbanyak dalam arti mayoritas (jumlah perolehan suara pemenang melebihi kombinasi jumlah perolehan suara calon lain)? Atau pluralitas (jumlah perolehan suara pemenang melebihi jumlah suara tiap calon)? Atau, apakah penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak (mayoritas atau pluralitas)? Atau, menurut urutan perolehan suara terbanyak?

Jika dua atau lebih calon parpol meraih jumlah suara sama, tetapi partai itu hanya mendapat satu kursi, kepada siapa kursi partai diberikan? Jika suara diberikan kepada seorang calon, sedangkan partai itu mendapat dua atau lebih kursi, kepada siapa kursi lain itu diberikan?

Amar putusan MK juga berimplikasi terhadap Pasal 55 Ayat (1) yang menyatakan penyusunan daftar calon dilakukan menurut nomor urut. Pasal 55 Ayat (2) menyatakan, tiap tiga calon sekurangnya satu perempuan. Dan, Pasal 176 Ayat (1) Huruf b mengamanatkan pemberian satu tanda pada kolom nama partai. Berdasarkan ketentuan Pasal 176 Ayat (1) Huruf b, sebagian pemilih kemungkinan besar akan memberikan suara kepada parpol yang dipercayanya. Setelah semua kursi di tiap daerah pemilihan terbagi habis kepada parpol peserta pemilu, suara yang diperoleh partai itu akan diberikan kepada calon mana? Jika Pasal 55 Ayat (1) belum diubah, kursi itu harus diberikan kepada calon menurut nomor urut, tetapi hal ini berarti bertentangan dengan formula suara terbanyak. Jadi, harus ada jalan keluar dari kontradiksi ini.

Salah satu cara menghilangkan kontradiksi ini dengan merevisi Pasal 176 Ayat (1) Huruf b. Jika Pasal 176 Ayat (1) Huruf b diubah, misalnya dengan menyatakan pemberian tanda centang pada kolom nama partai sebagai tidak sah, apakah rumusan ini tidak bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan parpol yang menjadi peserta pemilu anggota DPR dan DPRD? Apakah pemberian tanda centang pada kolom nomor urut calon atau kolom nama calon akan otomatis menjadi suara partai dalam penghitungan BPP?

Putusan MK yang menyatakan Pasal 214 bertentangan dengan UUD 1945 berarti otomatis membatalkan pencapaian tujuan Pasal 55 Ayat (2). Karena itu, jika putusan MK menyatakan Pasal 55 Ayat (2) tidak bertentangan dengan UUD, maka pasal ini hanya akan mencapai tujuan dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di DPR/D jika diterjemahkan dalam rumusan pasal pengganti Pasal 214.

Dua bahaya

Berdasarkan kedua pertimbangan itu, perubahan UU No 10/2008 menjadi keharusan. Karena pelaksanaan pemilu sudah amat dekat sehingga waktu untuk merevisi UU itu sangat terbatas (mungkin sekitar satu bulan), substansi yang harus diatur itu amat penting guna menjamin kepastian hukum dalam penetapan calon terpilih, dan substansi yang harus diatur adalah pengganti Pasal 214. Penggantinya juga harus setingkat UU. Maka, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) merupakan format hukum yang paling mungkin untuk mewadahi perubahan UU itu.

Peraturan KPU bukan format hukum yang konstitusional untuk mewadahi perubahan UU Pemilu karena KPU tak berwenang membuat UU. Jika KPU memaksakan diri/dipaksa mengatur pengganti Pasal 214 beserta implikasinya pada pasal-pasal lain, maka dua kemungkinan bahaya akan terjadi.

Pertama, peraturan KPU akan digugat kalangan tertentu kepada Mahkamah Agung yang berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas undang-undang. Gugatan ini kemungkinan besar akan dikabulkan MA karena undang-undanglah, bukan amar putusan MK, yang menjadi parameter yang digunakan MA dalam menguji peraturan KPU.

Jadi, selama amar putusan MK belum diakomodasi sebagai bagian dari UU, MA tak akan menggunakan amar putusan itu sebagai parameter menguji peraturan KPU. Jika peraturan KPU dibatalkan MA, KPU tidak saja harus menggunakan ketentuan Pasal 214 UU No 10/2008, tetapi juga menunda tahapan pemilu. Jika terjadi penundaan tahapan pemilu, bangsa Indonesia mungkin belum mempunyai presiden/ wakil presiden terpilih Oktober 2009.

Bahaya kedua, KPU membuat peraturan yang substansinya mengganti Pasal 214 UU Pemilu. UU ini tidak hanya menempatkan KPU sebagai pembuat pilihan politik yang belum tentu semua pihak setuju sehingga KPU akan menjadi kambing hitam ketidakpuasan berbagai pihak, tetapi akan mengancam sikap dan perilaku mandiri/independensi KPU, baik karena keberpihakan kepada peserta pemilu maupun karena dipersepsi membuat keputusan yang menguntungkan peserta pemilu. Jika hal terakhir ini terjadi, integritas proses dan hasil pemilu akan berada pada titik rendah.

Jika Presiden tidak membuat perpu guna mengatur pengganti Pasal 214 dan implikasinya pada pasal-pasal lain, maka demi mencegah kekosongan hukum dalam penyelenggaraan pemilu dan untuk bertindak berdasarkan UUD, tidak bisa lain KPU harus melaksanakan UU No 10/2008 sebagaimana adanya, termasuk Pasal 214.

Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya


Tidak ada komentar: