Rabu, 18 Februari 2009

Perseorangan Tak Bisa Jadi Calon Presiden


Putusan MK Dinilai Tepat Waktu
Selasa, 17 Februari 2009 | 23:48 WIB

Jakarta, Kompas - Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi terkait calon presiden dari jalur perseorangan atau independen. MK menilai, dalam konstruksi yang dibangun dalam UUD 1945, pengusulan pasangan calon presiden merupakan hak konstitusional partai politik.

Dengan putusan itu, calon perseorangan tidak bisa dicalonkan sebagai presiden/wakil presiden. Mereka harus diusung gabungan parpol atau parpol yang memenuhi ketentuan undang-undang.

Terkait dengan putusan MK itu, seorang pemohon uji materi, Fadjroel Rachman, menyatakan akan mendorong perubahan kelima UUD 1945. Ia juga tak akan menghentikan kampanye dirinya sebagai capres independen.

Selasa (17/2), delapan hakim konstitusi membacakan putusan uji materi terhadap Undang- Undang Pemilu Presiden terkait capres independen. Putusan itu diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari tiga hakim, yakni Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan Akil Mochtar. Mereka berpendapat MK semestinya membuka peluang capres dari jalur perseorangan.

Dalam pertimbangan, MK menyitir Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan calon presiden/wapres diajukan parpol atau gabungan parpol sebelum pemilu. Aturan itu tegas bermakna, hanya parpol atau gabungan parpol yang dapat mengusulkan pasangan calon presiden/wapres. Tak ada penafsiran lain.

Selain itu, wacana capres independen pernah muncul dalam pembicaraan perubahan UUD 1945, tetapi tidak disetujui MPR.

Jika Pasal 6A Ayat 2 UUD 1945 ditafsirkan lain dan lebih luas sehingga menampung capres dan cawapres perseorangan, menurut MK, itu adalah perubahan makna dari yang dimaksud MPR. Artinya, MK melakukan perubahan UUD 1945. Hal itu bertentangan dengan kewenangan MK.

Pendapat berbeda

Sebaliknya, Mukthie Fadjar menilai, siapa pun warga negara yang memenuhi ketentuan Pasal 6 Ayat 1 UUD 1945 harus mendapat akses yang sama untuk menjadi capres dan cawapres. Pasal itu menyebutkan persyaratan utama capres/cawapres, yakni warga negara Indonesia sejak kelahirannya, tak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani melaksanakan tugas.

Menurut dia, Pasal 6A UUD 1945 hanya mengatur cara atau prosedur pencalonan. Prosedur semestinya tak boleh mengalahkan persyaratan. ”Parpol atau gabungan parpol hanyalah ’kendaraan’ atau ’tempat pemberangkatan’ (embarkasi) bagi calon yang seharusnya tidak mutlak dipakai atau dilalui,” ujarnya.

Maruarar dan Akil berpendapat, ketentuan Pasal 1 Angka 4, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 13 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden/Wapres merupakan conditionally unconstitutional. Pasal itu tak konstitusional kalau ditafsirkan menutup jalur pencalonan dari perorangan selain pengusulan parpol.

Namun, keduanya sependapat, jika hal itu diputus MK, putusan itu membutuhkan pengaturan tentang prosedur calon perseorangan sehingga tidak rasional jika diberlakukan pada Pemilu 2009. Mereka menyatakan, harus ada waktu penyesuaian sampai pemilu berikutnya, tahun 2014.

Fadjroel sangat mengapresiasi pendapat ketiga hakim konstitusi itu. Dengan berbekal pendapat itu, ia akan mendorong dilaksanakannya perubahan kelima UUD 1945.

Tidak demokratis

Secara terpisah, guru besar ilmu politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Bachtiar Effendi, di Jakarta, Selasa, menilai, putusan MK yang menolak uji materi terhadap UU No 42/2008 itu tidak demokratis, tetapi tepat waktu dan terbaik untuk saat ini. Pasalnya, setiap warga negara pada prinsipnya tidak boleh dihalangi untuk ikut memperebutkan jabatan publik sekalipun hambatan itu dilakukan melalui UU.

”Namun, karena waktu pelaksanaan pemilu presiden sangat dekat, tak fair rasanya jika calon independen yang akan ikut harus mengumpulkan dukungan pada waktu yang singkat,” ujarnya.

Namun, Bachtiar juga mengingatkan, jika calon independen diperbolehkan, harus ada ketentuan yang mengatur agar capres itu mempunyai dukungan yang sama besar dengan capres dari parpol. ”Repot juga jika semua orang yang merasa mampu jadi presiden bisa mencalonkan diri tanpa ada ketentuan besaran dukungan minimal,” ujarnya.

Bachtiar berharap, setelah pemilu legislatif dan presiden tahun ini, Indonesia perlu melakukan perubahan UUD 1945 agar setiap warga negara dimungkinkan merebut jabatan publik, termasuk menjadi presiden.

Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto juga menghormati putusan itu. Hanura siap bekerja keras dan berkoalisi dengan partai lain setelah pemilu legislatif.

Anggota DPR dari Partai Golkar, Yuddy Chrisnandi, mengaku sudah menduga putusan MK akan seperti itu karena UUD memang mengharuskan capres/cawapres melalui parpol. Secara teknis, keterlibatan capres independen tak mungkin dilakukan dalam waktu sangat dekat ini.

Yuddy juga sependapat, gerakan prodemokrasi perlu menghimpun dukungan rakyat seluas- luasnya untuk mengamandemen UUD 1945 sehingga capres independen bisa tampil pada Pemilu Presiden 2014.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalatta menyatakan, keputusan MK yang menolak permohonan pengajuan capres independen itu sudah sejalan dengan konstitusi. ”Memang itulah semangat UUD 1945 karena sistem pemerintahan kita sistem presidensial. Namun, karena banyak kewenangan presiden yang butuh dukungan DPR, pasangan calon presiden dan wapres harus memiliki minimal dukungan awal dalam pemilu,” ujar Andi, Selasa di Jakarta.

Menurut Andi, jika capres dan cawapres independen disetujui MK, UUD 1945 sebaiknya diubah terlebih dahulu. ”Saat pembahasan amandemen UUD 1945, sebenarnya usulan capres dan cawapres independen sudah diusulkan dan dibicarakan. Namun, usulan itu ditolak. Alasannya, sistem politik kita bukan individual,” katanya.

Andi juga berkeyakinan, putusan MK terkait syarat pencalonan presiden/wapres, Rabu ini, tidak berbeda dengan keputusan soal UU. (ANA/HAR/SUT/DWA/MAM)

Tidak ada komentar: