Rabu, 11 Februari 2009

Mempertautkan Partai dan Sosok


Kamis, 12 Februari 2009 | 00:44 WIB

Bisa saja partai-partai bercorak nasionalis menonjol dalam berbagai kontestasi politik di Lampung. Namun, apakah kondisi demikian masih terjadi jika para pemilih dalam Pemilu 2009 selain memilih partai juga memilih sosok calon anggota legislatif?

Pengalaman sebagian warga boleh jadi memperjelas persoalan. Kardiman (39), petani di Lampung Barat, mengurai riwayat pilihan politiknya. Sebagai keluarga generasi kedua transmigran Jawa di Lampung, ia mengakui bahwa PDI-P menjadi pilihannya dalam setiap pemilu. Sulit memang memahami rasionalitas di balik pilihannya. Yang diketahui, orangtua, sebagian besar kerabatnya, dan sebagian rekan petani kopi, memiliki pilihan yang sama. ”Harga kopi memang turun-naik, tapi partai tetap,” ungkap Kardiman.

Loyalitas yang mirip ada pada Sahrul (52), pemilik toko kelontong di Natar, Lampung Selatan. Partai Golkar menjadi pilihannya selama ini. ”Kami tenteram dalam Beringin,” kata Sahrul. Pengakuan semacam pula ini diungkapkan Made (37) di Tanggamus yang loyal pada PDI-P, ataupun Burhan (35) di Bandar Lampung yang setia memilih PAN. Kesetiaan terhadap partai terjadi, yang dianggap merepresentasikan kedekatan emosional mereka.

Namun, setia dalam pilihan partai tidak demikian dalam pilihan sosok yang dicalonkan partai. Baik Kardiman, Sahrul, maupun Made mengaku memilih Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pemilu Presiden 2004. Mereka menjadi bagian dari 39 persen suara kemenangan pasangan Yudhoyono-Kalla di Lampung. ”Bapak milih Megawati, tapi kita anaknya berbeda-beda,” papar Made. Uniknya, dalam pemilihan gubernur Lampung Desember 2008, ia memilih Sjachroedin ZP, yang notabene calon PDI-P. Demikian juga Kardiman, dalam Pilkada Lampung Barat, mengaku memilih Mukhlis Basri, yang juga calon PDI-P. Sikap dan pilihan politik semacam ini yang kental terjadi dalam sejumlah pilkada kabupaten dan kota ataupun gubernur di Lampung. Sosok kandidat menjadi pertimbangan utama. Partai politik pengusung calon bisa saja menjadi pertimbangan, tetapi belum tentu menjadi rujukan utama.

Persoalannya, apakah pola yang sama terulang dalam Pemilu 2009, khususnya pemilu legislatif, saat partai dan sosok menjadi dua kekuatan yang sama-sama diperebutkan? Inilah ujian terberat bagi eksistensi partai politik. Bisa jadi, faktor ini pula yang mengubah konfigurasi penguasaan politik di Lampung yang selama ini dalam penguasaan partai-partai nasionalis.(Bestian/Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: