Selasa, 10 Februari 2009

Peta Politik Sumatera Selatan


Perubahan Orientasi Pemilih Sumsel

Oleh BE Julianery

Sumatera Selatan menjadi salah satu wilayah di Sumatera yang menampilkan citra menguatnya parpol sekuler-nasionalis. Wajah afiliasi politik wilayah ini, yang setengah abad lampau menjadi lumbung partai Islam, saat ini cenderung meredup.

Partai Golkar yang pada masa lalu dijadikan mesin politik oleh era pemerintahan Orde Baru telah menjadi kekuatan politik yang sangat menentukan. Di Sumatera Selatan, pada Pemilihan Umum 1971, Golkar berhasil memperoleh 62 persen suara, sementara partai-partai Islam (Parmusi, Nahdlatul Ulama, Partai Syarikat Islam Indonesia, Perti) hanya meraih sepertiga bagian suara dari sekitar 1,3 juta pemilih.

Keadaannya tidak berubah setelah Orde Baru ”memaksakan” fusi partai-partai pada tahun 1973. Dalam lima kali ”pesta demokrasi” Orde Baru—Pemilihan Umum 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997—Golkar senantiasa membuat Sumatera Selatan (yang sudah dipisahkan dengan Bengkulu dan Lampung sebagai provinsi) menjadi ”lautan kuning”.

Pascalengsernya era pemerintahan Orde Baru terjadi perubahan orientasi politik yang didasari perubahan orientasi keagamaan. Sikap politik Islam warga Sumatera Selatan tidak lagi terjebak oleh simbol-simbol politik Islam, seperti halnya partai politik berlabel ”Islam”. Mereka lebih tertarik pada simbol politik Islam yang substansialis, dalam arti mewadahi nilai-nilai keislaman.

Hal itu tidak berarti kesetiaan terhadap agama dan etnisitas di Sumatera Selatan luntur. Hanya saja, bagi pemilih masa sekarang, performa dan komitmen partai serta tokoh parpol terhadap masyarakat pada akhirnya jadi penentu. Peluang bagi para caleg dari partai baru pun kini terbuka asalkan dapat menunjukkan tindakan konkret yang langsung dirasakan masyarakat.

Kemenangan PDI-P

Runtuhnya rezim Orde Baru selepas Presiden Soeharto melengserkan diri rupanya berimbas juga kepada menurunnya pamor Golkar di wilayah ini. PDI-P pimpinan Megawati Soekarnoputri menggantikan pamor politik dominan berbarengan dengan melempemnya mesin politik birokrasi yang sebelumnya bekerja untuk Golkar.

Pemilihan Umum 1999 mengukuhkan PDI-P pimpinan istri Taufik Kiemas—yang berdarah Sumatera Selatan—ini sebagai pemenang dengan perolehan mencapai 39,5 persen suara dari sekitar 3 juta suara yang sah. Sumatera Selatan berganti menjadi ”lautan merah”. PDI-P dominan di tujuh daerah di Sumatera Selatan: Kabupaten Musi Banyuasin, Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Komering Ulu (OKU), Muara Enim, Lahat, Musi Rawas, dan Palembang.

Hanya saja, setelah Megawati naik ke kursi kepresidenan menggantikan Abdurrahman Wahid pada tahun 2002, pamor PDI-P justru surut. Kinerja pemerintahan Megawati dinilai mengecewakan sehingga ikut menurunkan citra PDI-P. Akibatnya, popularitas partai berlambang banteng bermoncong putih di Sumsel pun berangsur meredup.

Perolehan suara PDI-P di provinsi itu pada pemilu untuk anggota badan legislatif pada 2004 menunjukkan bukti. PDI-P hanya menang di dua kabupaten (OKI dan Muara Enim) dan satu kota (Prabumulih), sedangkan Golkar kembali berjaya di 10 daerah, yakni OKU, Lahat, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Banyuasin, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir, Kota Pagar Alam, dan Lubuk Linggau.

Perubahan orientasi

Kembalinya kekuatan politik Partai Golkar tak terlepas dari orientasi politik masyarakat yang berubah.

Ketua Dewan Pembina Adat Istiadat Sumatera Selatan Djohan Hanafiah mengemukakan, masyarakat Sumatera Selatan adalah masyarakat egaliter. Untuk memilih pemimpin lokal, mereka masih dipengaruhi pertimbangan etnisitas dan agama, karena di wilayah ini hidup kesetiaan etnis yang relatif tinggi.

Selain itu, posisi termarjinalkan dapat menjadi ”luka politik”. Di Musi Banyuasin (Muba), misalnya, seperti juga di dataran rendah lainnya di Sumatera Selatan, kemiskinan begitu kuat kaitannya dengan hak atas tanah. Umumnya, hal itu diakibatkan sengketa tanah antara rakyat dan perusahaan perkebunan sawit.

Persatuan Masyarakat Adat Sumatera (Permass) mendokumentasikan sejak tahun 1989 hingga 2007 di Sumsel terdapat 220 kasus sengketa tanah, 16 di antaranya merupakan sengketa tanah adat yang sampai sekarang belum ada penyelesaian. Sebagian besar kasus penyerobotan tanah adat untuk perkebunan kelapa sawit. Dari 16 kasus tersebut, luas lahan yang disengketakan mencapai 30.000 hektar dengan jumlah korban sedikitnya 6.000 keluarga (Kompas, 18/3/2008).

Namun, ”luka politik” bukan hanya pencetus kekecewaan. Ia telah menjadi guru yang baik bagi warga.

Abdullah Idi, sosiolog Institut Agama Islam Negeri Palembang dan Direktur Stisipol Candradimuka, berpendapat, masyarakat Sumatera Selatan kini makin pandai. Para pemilih akan lebih dulu melihat calon yang maju dalam pemilihan untuk lembaga legislatif, setelah itu baru melihat partai apa di belakangnya.

Tidak mengherankan apabila Prabowo Subianto dengan Partai Gerindra yang mengampanyekan diri sebagai partai yang peduli akan masyarakat miskin menarik perhatian buruh tani di OKU Timur, Lahat, dan Musi Banyuasin. Dibandingkan dengan para caleg dari partai lama, menurut dia, ada peluang untuk partai baru. ”Kuncinya, melakukan tindakan konkret yang langsung dirasakan masyarakat,” kata Abdullah.

Dampak dari pandangan itu adalah langkah politik uang yang seakan menjadi ”sah” dilakukan. Upaya membangun jembatan yang amat diperlukan di daerah itu, misalnya, bisa dikategorikan sebagai politik uang. Meski begitu, menurut Ardyawan Saptawan, pengajar Fisipol Universitas Sriwijaya, pengeluaran seorang caleg adalah hal yang wajar.

Untuk memenangi pemilihan, para kandidat itu tidak dapat menggantungkan diri hanya pada pamor partai, karena afiliasi partai bisa dikalahkan oleh jaringan serta pengaruh pribadi. Apakah dengan demikian para pemilih di Sumsel akan beralih ke latar politik berorientasi rasional? Hasil pemilihan April nanti tentu akan memberikan jawabannya.(BE Julianery/ litbang kompas)

Tidak ada komentar: