Selasa, 10 Februari 2009

Panen Musim Politik Media Massa

Oleh Umi Kulsum

Kehidupan media massa masa kini senantiasa dihadapkan kepada dua bandul yang berlawanan: mengawal idealisme demi keluhuran nilai jurnalistik atau sebaliknya, ”mengaburkan” tujuan idealistik jurnalisme demi roda bisnis.

Satu tahun terakhir dan setengah tahun ke depan menjadi tahun yang sangat sibuk bagi partai politik (dan media massa). Hal ini disebabkan berjubelnya agenda pemilu legislatif dan presiden yang ujungnya menumpuk sepanjang bulan April hingga Oktober mendatang.

Banyak hal yang dilakukan partai politik untuk meraih simpati massa dan memperluas wilayah konstituen mereka. Salah satu cara yang efektif ialah berkampanye melalui media massa, baik cetak (koran, majalah) maupun elektronik (televisi).

Faktanya, isu politik kini menjadi arus utama pemberitaan di berbagai media cetak ataupun elektronik. Mulai dari berita, talk show, infotainment, hingga iklan dijejali dengan isu tentang tarik-menarik kekuasaan ataupun tarik-menarik perhatian publik.

Hal itu menjadi perhatian publik konsumen media. Derasnya muatan politik dalam berbagai ruang publik media mengancam independensi media sebagai sarana informasi, edukasi, dan hiburan. Jajak pendapat Kompas mengungkap, hampir seluruh responden (85,3 persen) menyatakan media cetak dan elektronik kini cenderung menjadi ruang iklan bagi partai politik.

Derasnya kekuatan iklan media menggelontor ke hadapan publik memang tidak tanggung-tanggung. Selain karena banyaknya jumlah partai dan calon anggota legislatif yang akan bertarung saat ini, juga mekanisme pemilu yang semakin menuntut kedekatan personal sosok dengan konstituennya. Maka jadilah media massa saat ini ”bulan-bulanan” ajang kampanye para kandidat.

Pernyataan tersebut tidaklah terlalu mencengangkan. Belanja iklan partai politik pada masa kampanye Pemilihan Umum 2009 diyakini akan melonjak dibandingkan dengan belanja iklan politik menjelang Pemilu 2004. Peningkatan belanja iklan organisasi politik, bahkan, sudah mulai terlihat sejak triwulan pertama 2008.

Ketua Dewan Pertimbangan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) RTS Masli mengatakan, lonjakan belanja iklan menjelang Pemilu 2009 akan lebih tinggi daripada Pemilu 2004, yaitu dengan total belanja iklan menembus jumlah Rp 3 triliun (Kompas, 25 April 2008).

Demikian juga menurut lembaga Nielsen Media Indonesia, belanja iklan terbesar tahun 2008 adalah pada produk telekomunikasi dan politik. Sebagai contoh, untuk kebutuhan seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) saja jumlahnya mencapai Rp 2,2 triliun atau naik 66 persen dibandingkan dengan tahun 2007 (Kompas, 21 Januari 2009).

Jadi tidak mengherankan jika hanya separuh responden yang menyatakan bahwa media massa telah mampu menjalankan fungsi pendidikan politik bagi masyarakat, sedangkan bagi sejumlah 42,1 persen responden lainnya menyatakan sebaliknya.

Pers dan independensi

Tegaknya media massa yang bebas, independen, dan tidak berpihak adalah salah satu pilar penting kokohnya demokrasi. Sayangnya, dalam musim ”panen” politik seperti saat ini tidak sepenuhnya pers bisa tetap kokoh berpijak pada jalur profesionalisme jurnalistik.

Paling tidak, di mata publik jajak pendapat ada sebanyak 40,4 persen yang menyatakan media massa belum berimbang dalam penyajian berita. Kondisi media massa yang secara organisasi banyak berlindung dalam korporasi bisnis media acapkali turut membentuk sosok opini yang akan diwartakan kepada masyarakat.

Dari sisi akurasi, separuh bagian publik juga menyatakan bahwa pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik, saat ini cenderung berlebih-lebihan. Hal ini antara lain tampak dalam pemberitaan ala infotainment yang mengemas berbagai berita politik ataupun humaniora secara bombastis.

Hasil jajak pendapat tentang televisi pada Desember 2008 menengarai terlalu berlebihannya industri hiburan di televisi mengeksploitasi kehidupan pribadi seseorang. Melalui berbagai acara yang dikemas menyerupai ”perburuan” orang, dinilai mayoritas responden terlalu jauh masuk ranah privat orang.

Sebaliknya, kalangan industri hiburan di televisi berdalih bahwa publik saat ini justru menginginkan tayangan semacam itu setelah jenuh dengan berbagai informasi dan berita pertentangan politik.

Kondisi demikian dibuktikan dengan tingginya tingkat kesukaan publik terhadap acara-acara demikian yang tampak dari tingkat rating.

Sulit dimungkiri bahwa wajah dunia pers saat ini tak lepas dari sosok industri raksasa yang berkelindan dengan segala kepentingan bisnisnya. Pers yang sejak era reformasi memperoleh ”zaman kebebasan” melalui dihapuskannya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers serta dijauhkannya kontrol negara acap kali terpeleset dalam tujuan pragmatis jangka pendek.

Namun, tetap muncul sisi positif dari era ”banjir informasi” saat ini.

Bagian terbesar publik (81,8 persen) menilai bahwa media massa saat ini sudah cukup memberikan informasi kepada masyarakat dan sebanyak 60,5 persen menyatakan bahwa berita yang tampil sudah cukup menampilkan kebenaran dan fakta.

Preferensi media

Kemudahan akses memperoleh informasi merupakan aspek penting dari berjalannya fungsi jurnalistik media kepada pembacanya.

Dalam hal ini, media elektronik memang tampak lebih unggul dalam berbagai segi.

Sebanyak 83 persen responden menyatakan puas dengan informasi yang diperoleh dari media elektronik, sementara untuk media cetak tingkat kepuasan responden hanya 76,5 persen.

Demikian juga untuk memperoleh berita tentang isu politik, media elektronik lebih sering dijadikan referensi responden ketimbang media cetak.

Namun, keunggulan penetrasi informasi media elektronik, khususnya televisi, ternyata tidak dibarengi dengan fungsi edukasi yang lebih baik ketimbang media cetak. Media cetak dinilai responden tetap lebih efektif dalam hal membawakan nilai-nilai yang mendidik.

Dampak pengaruh siaran televisi terhadap pemirsanya, bahkan, dinyatakan oleh lebih dari sepertiga responden memiliki pengaruh yang buruk bagi masyarakat. Jumlah ini tiga kali lipat daripada penilaian pengaruh jelek koran bagi pembacanya.

Perkembangan teknologi terakhir memungkinkan bentuk media cetak masuk dalam tampilan elektronik. Hal itu berarti muatan edukasi masyarakat yang terkandung dalam media cetak bisa saja mengalami penyebaran gagasan yang lebih luas, tetapi bisa juga merupakan distorsi menjadi sekadar kumpulan gagasan maya.(Toto Suryaningtyas/ Litbang Kompas)

Tidak ada komentar: