Selasa, 10 Februari 2009

Era Masyumi di Sumsel

Sumatera Selatan, tulis Elizabeth Fuller Collins dalam Indonesia Betrayed, memiliki warisan Islam yang kuat. Pada abad XIX, Palembang dikenal sebagai pusat kebangkitan Hadrami, gerakan yang membawa arus baru Islam dari Timur Tengah ke Asia Tenggara. Hadrami adalah keturunan pedagang dari Yaman. Banyak di antara mereka yang menggunakan nama Said (Sayid) yang mengindikasikan sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.

Kondisi demikian menjadikan Sumsel sebuah wilayah yang mendukung bagi berkembangnya organisasi berbasis massa Islam. Pada awal abad XX Sumatera Selatan menjadi basis kuat bagi Sarekat Islam, sebuah organisasi yang pada mulanya organisasi pedagang batik Muslim. Dari 18.000 anggota Sarekat Islam pada 1920-an, lebih dari sepertiganya berada di Sumatera Selatan.

Di luar faktor pemilih, dukungan bagi parpol Islam dipengaruhi elite partai Islam.

Guru besar ilmu politik pada Fakultas Adab dan Humaniora Institut Agama Islam Negeri Palembang, Hatamarrasyid, mengatakan bahwa ada perubahan orientasi keislaman dan pemahaman masyarakat akan ideologi politik Islam di Sumatera Selatan.

Nilai-nilai moral Islam dipandang sebagai elemen penting bagi masyarakat yang adil. Karena itulah, agaknya, pada Pemilihan Umum I (1955), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), partai yang didukung kelompok Islam modernis pimpinan Moh Natsir, mendominasi perolehan suara di Sumatera Selatan, yang kala itu meliputi Keresidenan Palembang, Keresidenan Bangka-Belitung, Keresidenan Bengkulu, dan Keresidenan Lampung.

Perubahan orientasi ideologis pemilih di Sumatera Selatan menyebabkan sulitnya partai Islam menguasai kembali Sumsel. Pada pemilihan umum era Orde Baru, partai Islam di Sumatera Selatan pun tidak pernah unggul lagi. Kegemilangan partai-partai aliran keagamaan pada masa demokrasi parlementer (1950-1959) pudar sudah. (BE Julianery)

Tidak ada komentar: