Jumat, 27 Februari 2009

POLITIKA


Sengatan Kalajengking
Sabtu, 28 Februari 2009 | 00:10 WIB

BUDIARTO SHAMBAZY

Seperti beberapa kali saya kemukakan, Jusuf Kalla akhirnya mencalonkan diri jadi presiden. JK orang paling berkuasa karena selain Wakil Presiden ia juga Ketua Umum Golkar, partai pemenang Pemilu 2004.

Dalam tataran wacana ia dianggap cawapres yang terpopuler yang ditaksir tiap capres. Jangan lupa, ia satu-satunya capres yang menjalin tali silaturahim yang akrab dengan semua capres/cawapres.

JK melancarkan manuver ”Kejutan Februari”. Jika diibaratkan sepak bola, manuver ini sebuah set-piece yang memukau dan menghasilkan gol.

Manuver ini menaikkan animo penonton yang jemu dengan pertandingan yang membosankan. Anggap saja Kejutan Februari ini sebagai ”paket stimulus” yang berupaya menghindari rakyat dari krisis kepercayaan pada politik.

Kejutan Februari menjadi kesempatan bagi capres-capres lain untuk ambil napas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, tentu saja mempunyai sederet nama cawapres alternatif selain JK.

Andaikan PDI-P mengalahkan Golkar, misalnya, capres Megawati Soekarnoputri mungkin saja meminang JK. Jika PDI-P berada di urutan kedua, Golkar pun sebagai pemenang tetap berpeluang menjodohkan JK dengan cawapres dari ”Moncong Putih”.

Selain menyimpan opsi Koalisi Kebangsaan, JK tak mustahil memilih cawapres-cawapres lain, seperti Sultan Hamengku Buwono X, Wiranto, atau Prabowo Subianto. Bagaimanapun, mereka sama-sama dibesarkan Golkar.

Golkar memang ibarat pohon beringin rindang yang menaungi tukang cukur, penjual jamu, pejalan kaki, sampai peramal. Sekali lagi terbukti bahwa Golkar, sebagai partai kawakan dan warisan Orde Baru (bersama PDI dan PPP), ”is still alive and kicking”.

Beberapa tahun terakhir ini sering muncul gejala ”ganyang partai” yang dilancarkan berbagai kalangan masyarakat yang kehilangan rasa percaya terhadap politik, partai, dan politisi. Nah, Kejutan Februari mengobati kekecewaan itu.

Mengapa? Sebab, Kejutan Februari setidaknya menjadi ”head turner” (daya tarik) yang memaksa rakyat pemilih kembali menolehkan kepala.

Semoga saja makin banyak yang sadar bahwa tak seorang pun yang mampu menghindar dari politik yang telah dimulai dari rumah, lingkungan, kantor, sampai negara. Seperti salah satu ucapan Bung Karno yang terkenal, ”politik adalah panglima”.

Dan, hidup juga membutuhkan loyalitas, termasuk kesetiaan kepada partai. JK, Megawati, Wiranto, dan ketua-ketua umum partai lain sudah menunjukkan loyalitas dengan menjadi capres partai masing-masing.

Begitulah yang ideal, yakni ketua umumlah yang selayaknya dicalonkan partai sebagai presiden. Posisi ketua umum partai tak kalah gengsi dibandingkan dengan seorang CEO karena ia mengatur napas ribuan orang, mulai dari pengurus/anggota di pusat sampai ke ranting.

Itulah sebabnya mengapa Wiranto dan Prabowo mendirikan partai dulu—Hanura dan Gerindra—baru mencalonkan diri sebagai presiden. Jika Anda mau menyopir, belilah dulu motor atau mobil—bukan motor-motoran atau mobil-mobilan.

Dan, politik adalah ideologi, politisi, program, AD/ART, kongres, anggota, dan massa. Itu sebabnya saya senang uji materi capres independen akhirnya ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.

Semakin banyak warga prihatin dengan ”hobi baru” sebagian kalangan yang gemar mengujimaterikan pasal-pasal pada UUD ’45. Amandemen mungkin memang diperlukan, tetapi tampaknya sudah agak kebablasan.

Tak tertutup kemungkinan caleg dan capres independen di negeri justru berpotensi menjadi tiran. Mereka abai kepada ideologi, enggan mendirikan partai, tak berani mematuhi aturan dalam bentuk AD/ART, ogah melakukan rekrutmen atau regenerasi, dan seterusnya.

Ke mana pemilih mereka yang kecewa mau menyampaikan aspirasi? Ibaratnya, rakyat akan ”mépé” alias memprotes sang raja independen dengan cara bertelanjang dada di depan istana di bawah sengatan Matahari.

Sekali lagi, Kejutan Februari momentum bagi partai untuk meningkatkan trust rakyat terhadap partai. Para politisi setidaknya dapat berkilah persoalan inkompetensi bukan hanya terjadi di dunia politik, tetapi juga telah mewabah ke hampir semua profesi.

Kejutan Februari yang dilancarkan JK membuka kans yang relatif sama rata besarnya untuk semua capres untuk pilpres putaran pertama yang berlangsung Juli nanti. Sebentar lagi akan terbukti tak ada capres yang favorit dan, sebaliknya, tak ada juga yang underdog.

Tentu saja pendapat ini berbeda dengan hasil jajak pendapat-jajak pendapat belakangan ini. Saya tetap percaya pada teori-teori kampanye di Barat yang mengatakan ”jangan mau diperdayakan oleh hasil polling”.

Bisa diperkirakan Kejutan Oktober memaksa tiap capres meninjau ulang strategi agar lolos ke final pilpres putaran kedua. Sekali lagi, sebagai Wapres dan Ketua Umum Golkar, kans JK belum tentu lebih kecil dibandingkan dengan capres-capres lain.

Kejutan Oktober ala JK ibarat ”Sengatan Kalajengking”. Racun kalajengking menimbulkan rasa sakit kayak dibakar api, membuat mata kabur, dan melemaskan otot-otot.

Secara psikologis, korban sengatan jadi makin sensitif, mudah panik, dan hiperaktif. Tetapi, jangan khawatir, tak banyak korban yang menemui ajal gara-gara sengatan kalajengking.



Pemilu 2009



Presiden Tanda Tangani Perpu No 1/2009
Jumat, 27 Februari 2009 | 00:19 WIB

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Kamis (26/2), menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Perpu ditandatangani dengan semangat menyelamatkan suara rakyat dan menyukseskan Pemilu 2009.

”Setelah perpu ditandatangani, pemerintah akan meminta persetujuan DPR. Untuk mendapat persetujuan itu, pemerintah optimistis karena dua semangat dasar, yaitu menyelamatkan suara rakyat dan menyukseskan Pemilu 2009. Semua partai politik pasti mendukung dua semangat itu,” ujar Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana di Jakarta, Kamis (26/2).

Menurut Denny, perpu itu mengatur perbaikan rekapitulasi daftar pemilih tetap (DPT), seperti yang diminta Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan penandaan surat suara lebih dari satu kali, seperti hasil rapat semua pihak yang terkait dengan pemilu di Istana Negara, awal Januari 2009. Perpu dibuat setelah melihat perkembangan persiapan pelaksanaan Pemilu 2009 dan hasil sejumlah simulasi yang dilakukan.

”Perbaikan rekapitulasi itu tak akan menambah jumlah DPT. Aturan ini memungkinkan pemilih terdaftar yang tak terekapitulasi bisa terekap dan dapat menggunakan hak suaranya. Perpu ini untuk memperbaiki rekapitulasi. Untuk perbaikan itu, KPU membutuhkan dasar hukum agar tidak menjadi masalah di kemudian hari,” ujar Denny.

Menurut dia, perbaikan rekapitulasi diperlukan karena adanya perbedaan data rekapitulasi antara Departemen Dalam Negeri dan KPU.

Sebelum Maret 2009

Dalam diskusi terbatas di harian Kompas, Kamis, Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary dan mantan Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Ferry Mursyidan Baldan berharap perpu tentang penandaan surat suara boleh dua kali dan perbaikan DPT bisa keluar pekan ini. Dengan demikian, perpu itu dapat diserahkan dan dibahas DPR sebelum masa reses yang dimulai 3 Maret 2009.

Ketua KPU menambahkan, sebenarnya, jika sampai akhir Februari Perpu tentang Perubahan UU No 10/2008 belum keluar, KPU tak akan meminta lagi perpu itu dikeluarkan. KPU yakin pemilu akan berlangsung dengan sukses karena persiapan sudah dilakukan sebaik-baiknya.

Namun, Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampouw menyayangkan pemerintah tak menerbitkan perpu untuk masalah yang lebih urgen dan dibutuhkan KPU, yakni terkait penetapan calon anggota legislatif terpilih dengan suara terbanyak. KPU bisa segera mengeluarkan peraturan.

”Jadi, KPU tak usah ragu-ragu. KPU termasuk sebagai pembuat regulasi pemilu meski peraturan KPU belum ada dalam hierarki peraturan hukum,” kata Jeirry.

Secara terpisah, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa di Jakarta, Kamis, mengungkapkan, perpu yang dikeluarkan Presiden bukan untuk tujuan curang. ”Kita hendaklah berpikir positif. Kalau kita berpikir negatif, pemilu tidak jalan-jalan karena akan berpikir kotak suaranya dicuri dan sebagainya,” katanya. Perpu itu dibuat berdasarkan hasil simulasi pemilu. (inu/ina/har/tra)

Rabu, 25 Februari 2009

Cerita Para Caleg


Susahnya Melawan Politik Uang Saat Kampanye
Kamis, 26 Februari 2009 | 00:12 WIB

Mohammad Hilmi Faiq

”Ayo kita berhenti menjadi masyarakat yang oon. Kampanye bukan untuk bagi-bagi duit atau sembako. Jangan mau nasib kita selama lima tahun diganti dengan 2 kilogram beras,” kata Rieke Diah Pitaloka saat berkampanye dialogis, Selasa (24/2).

Ia tengah berdialog dengan warga Kampung Cicocok, Kelurahan Citatah, Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, dan belum kering rasanya bibir Rieke mengatakan kalimat antipolitik uang itu. Namun, ketika dialog terjadi, beberapa warga memberondongnya dengan sindiran ini, ”Yang mencalonkan diri kan bukan spanduk, tapi orang. Masa tidak punya duit.”

Warga bercerita, setiap menjelang hari pencoblosan, banyak juru kampanye yang mendatangi warga dan memberikan bahan kebutuhan pokok maupun uang. Ini lumrah dan memang ditunggu warga.

Itulah salah satu kendala yang dihadapi calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Belasan, bahkan puluhan, proposal permintaan sumbangan juga selalu disodorkan warga kepada Rieke di hampir setiap kampanyenya.

Namun, Rieke berketetapan untuk tidak memberikan uang kepada warga dalam setiap kampanye. Kepada warga, Rieke mengatakan, yang berwenang memberikan bantuan uang maupun bahan kebutuhan pokok adalah Departemen Sosial, bukan caleg seperti dirinya.

”Sekali diberi uang, yang menyerahkan proposal mungkin akan semakin banyak. Sekarang ini, selain ada politisi busuk, juga ada pemilih busuk yang selalu minta amplop,” ungkap Rieke.

Dedy Djamaludin Malik, caleg dari Partai Amanat Nasional nomor 1 di Daerah Pemilihan II Jabar, merasakan juga betapa sulitnya memerangi politik uang. ”Sampai saat ini masih ada caleg yang belum pernah turun lapangan dan hanya uangnya yang datang,” kata Dedy.

Untuk memerangi politik uang, Dedy menerapkan strategi pengobatan gratis dan asuransi jiwa, bekerja sama dengan salah satu perusahaan asuransi. Dengan modal Rp 500 juta, sedikitnya 70.000 warga di 46 kecamatan telah dia daftarkan sebagai nasabah asuransi jiwa. Sampai saat ini sudah 123 orang yang meninggal dunia dan mendapat santunan. Dedy juga selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke rumah keluarga orang yang meninggal itu.

Berbeda dengan Dedy dan Rieke, Ferry Mursyidan Baldan, caleg dari Partai Golkar untuk Dapil II Jabar, memberi ilustrasi singkat strateginya yang berpola pikir ”matematis”. Karena nomor parpolnya 23 dan nomor urutnya 5, ”jadi saya meminta warga mengingat dua tambah tiga sama dengan lima. Kalau sudah tahu parpol saya warna kuning, tinggal mencari nomor urutnya,” kata Ferry di Bandung.

Rieke merasa perlu mengingatkan warga agar tidak memilih caleg yang membagikan uang. Sebab, merekalah yang menyengsarakan rakyat ketika berkuasa karena cenderung berupaya balik modal.

Sebagai caleg yang berada di Dapil II Jabar (Kabupaten Bandung dan Bandung Barat), setiap hari ia mendatangi tujuh sampai sepuluh titik kampanye yang didominasi warga kelas menengah ke bawah.

Tidak mudah bagi Rieke memberikan pengertian kepada warga tentang substansi politik uang berikut dampaknya selama lima tahun ke depan bagi nasib rakyat.

Akan tetapi, Rieke meyakini, bila ini dilakukan secara konsisten, akan berdampak. ”Warga yang sudah paham bahwa saya tidak memberi uang biasanya mereka tidak menyodorkan proposal, tapi menitipkan pesan agar harga sembako dan BBM tidak dinaikkan lagi. Bagi saya, apa yang mereka titipkan ini lebih membangun,” paparnya.

Untuk menunjukkan keseriusannya sebagai caleg, Rieke membuktikan kepada warga dengan membantu mengurus kartu tanda penduduk, kartu keluarga, maupun akta kelahiran. Selain itu, dia juga menyumbangkan buku bacaan untuk warga. Tujuannya, kalaupun Rieke tidak terpilih, dia ingin meninggalkan jejak nyata bagi warga.

Dengan memberikan asuransi, Dedy ingin menunjukkan kepada warga bahwa caleg mampu memberikan bukti bahkan sebelum dia terpilih sebagai wakil rakyat bahwa caleg juga membantu. Mitos yang mengatakan caleg hanya datang menjelang pemilu, akan terpatahkan. Sebab, meski nanti terpilih sebagai anggota DPR, Dedy akan tetap berkunjung manakala ada nasabah asuransi yang meninggal dunia.

Sistem ini memudahkan Dedy tetap menjaga hubungannya dengan konstituen. ”Bila saya mencalonkan lagi pada tahun 2014, saya tidak perlu capek membangun basis massa. Mereka sudah terbina karena ada komunikasi yang intensif antara saya dan warga,” ujarnya.

Meski demikian, masih ada beberapa konstituen Dedy yang tergoda dengan rayuan politik uang. Sebab, sebagian masyarakat lebih memilih bukti nyata seketika daripada harus menunggu lama. Apalagi menunggu sampai meninggal dunia. ”Jadi, politik uang masih menjadi musuh besar,” ujar Dedy.

Radon (47), penjual siomay di Jalan Garut, Bandung, mengatakan, sangat wajar kalau warga meminta uang ke para caleg. Soalnya, para caleg tak akan mencalonkan diri kalau tidak punya uang. Di samping itu, kalau para caleg berkuasa, uang rakyat juga yang diambil mereka.

”Terus begini, kalau, misalnya, saya diajak ramai-ramai berkampanye terus tidak dikasih uang, siapa yang memberi makan anak istri saya. Kalau ikut kampanye, kan harus libur jualan,” papar Radon.

Hal senada diungkapkan Atang (38), tukang tambal ban di Jalan LL RE Martadinata, Bandung. Baginya, kalau ingin sama-sama menguntungkan, caleg harus membagi-bagikan duit kepada rakyat. ”Jangan hanya ingin dipilih tanpa berkorban,” katanya.

Selain politik uang, kendala lain yang tak kalah serius adalah pemahaman masyarakat tentang pemilihan legislatif itu sendiri. Banyak calon pemilih tidak memahami cara memilih ataupun mengenali caleg.

Untuk mengatasi hal itu, Dedy dan tim suksesnya mencetak 200.000 lembar kartu ukuran A3 sebagai alat simulasi pemilihan. Di kartu itu tertera nama dan nomor urut Dedy agar warga mudah mengingatnya. Untuk memperkuat ingatan warga, Dedy membagikan 200.000 lembar kartu nama lengkap dengan nomor urut caleg.

Rieke memilih mendatangi warga dari pintu ke pintu untuk menyosialisasikan nomor urutnya. Ia meyakinkan warga bahwa perempuan perlu didukung untuk memperjuangkan hak- hak perempuan. Apalagi saat ini ia sedang hamil 38 minggu.

Ini ia jadikan bukti, perempuan seperti dirinya juga berjuang keras untuk meraih apa yang diinginkan....

Caleg Terpilih


Potensi Sengketa Caleg di Pemilu Sangat Besar
Kamis, 26 Februari 2009 | 00:10 WIB

Jakarta, Kompas - Kemungkinan terjadi sengketa seusai penetapan calon anggota legislatif terpilih dalam Pemilu 2009 sangat besar. Pemerintah berubah pikiran untuk tidak menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang terkait penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak.

Hal itu dikatakan Ketua Komisi Pemilihan Umum Abdul Hafiz Anshary seusai menerima delegasi parlemen Uni Eropa di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (25/2). ”Kami di KPU berpendapat, penetapan caleg terpilih semestinya memiliki kekuatan hukum yang tak bisa dipolitisasi lagi. Di sinilah intinya pemilu,” tuturnya.

Dalam rapat dengar pendapat Komisi II DPR dengan KPU, Badan Pengawas Pemilu, dan Menteri Dalam Negeri, Selasa malam, Mendagri Mardiyanto menuturkan, perpu yang disiapkan pemerintah hanya terkait perbaikan daftar pemilih tetap (DPT) dan penandaan surat suara lebih dari sekali.

Cukup oleh KPU

Setelah putusan Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 214 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, kata Mardiyanto, penetapan caleg terpilih cukup dilakukan KPU. Hal tersebut sesuai dengan penegasan MK dalam surat tertanggal 23 Januari 2009 kepada KPU.

Anggota Komisi II DPR, Ferry Mursyidan Baldan, mengharapkan pelaksanaan putusan MK cukup dituangkan dalam peraturan KPU dan tidak perlu menggunakan perpu. Dengan demikian, tidak ada kesan kondisi darurat dalam pemilu.

Menurut Hafiz, Pasal 214 UU No 10/2008 dibatalkan secara keseluruhan. Kendati ada Pasal 213 yang menyatakan penetapan caleg terpilih dilakukan KPU, mekanismenya diatur dalam Pasal 214 yang dibatalkan MK. KPU tak berwenang membuat UU.

Secara terpisah, Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Denny Indrayana di Jakarta, Rabu, menuturkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera menandatangani Perpu tentang Perubahan atas UU No 10/2008. Perpu itu dikeluarkan untuk menyelamatkan suara rakyat dalam pemilu.

”Proses di Depdagri sudah selesai dan ada di Sekretariat Negara, lalu ke Presiden. Insya Allah, kalau di Presiden tidak butuh waktu lama lagi untuk ditandatangani,” ujar Denny.

Menurut Denny, apa yang diatur perpu itu adalah implementasi kesepakatan penyelenggara pemilu, DPR, dan pemerintah di Istana Negara, Januari lalu.

Hafiz menambahkan, bila gugatan diajukan terhadap hasil pemilu legislatif, prosesnya bisa diselesaikan 30 hari. Namun, terkait masalah kewenangan, gugatan itu bisa berlarut-larut dan mengganggu jadwal pemilu presiden.

Koordinator Nasional Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampouw, Rabu di Jakarta, menilai, pemerintah harus tegas dan segera menerbitkan perpu. Penentuan caleg terpilih sangat menentukan keberhasilan pemilu, yang kini waktunya kian mepet.

Anggota KPU, Andi Nurpati, menambahkan, selama ini banyak caleg salah paham dengan putusan MK tentang keterpilihan berdasarkan suara terbanyak. Bila sistem mayoritas seperti pada pemilihan anggota DPD, calon dengan suara terbanyak akan terpilih. Namun, untuk calon DPR perlu dilihat dulu perolehan kursi partai politiknya sebelum menentukan caleg terpilih.

Pemutakhiran ulang

Dalam rapat dengar pendapat di Komisi II DPR, masih terjadi perdebatan mengenai perlu tidaknya DPT direvisi. Ferry, misalnya, mengkhawatirkan, apabila revisi DPT dilakukan untuk mengakomodasi pemilih potensial yang belum terdaftar, hal itu akan terus berlangsung hingga hari pemungutan suara.

Oleh karena itu, Hafiz menuturkan, revisi DPT hanya dilakukan untuk memasukkan nama pemilih yang terdaftar, tetapi belum ditetapkan dalam DPT. Tidak akan ada lagi pemutakhiran data pemilih. Perbaikan diperlukan karena tanpa revisi, KPU tidak bisa menambah surat suara. Masyarakat yang merasa sebagai pemilih pun akan memprotes.

>newarea 1

Menurut Mardiyanto, kedua perpu yang akan dikeluarkan pemerintah itu diharapkan bisa dikirimkan kepada DPR dan dibahas pada rapat paripurna terakhir sebelum reses, 3 Maret 2009. (ina/inu)

Senin, 23 Februari 2009

Peta Politik Sulawesi Selatan

Ancaman Paceklik di Lumbung Politik
Senin, 23 Februari 2009 | 00:40 WIB

GIANIE

Penguasaan Golkar di Sulawesi Selatan telah berurat akar hingga ke seluruh pelosok. Di tengah kecenderungan penurunan suara pemilu terakhir, masihkah wilayah ini menjadi lumbung yang selalu surplus?

Hasil Pemilihan Umum 2004 dan dinamika pemilihan kepala daerah empat tahun terakhir di Sulawesi Selatan menjadi cerminan sekaligus umpan balik bagi Partai Golkar untuk mengoreksi posisinya dalam peta Pemilu 2009 ini. Mengapa demikian? Selama Golkar merajai Sulsel, tahun 2004 menjadi tahun yang kelam. Ia memang masih unggul, tetapi hanya mampu mengumpulkan 44 persen suara. Angka ini turun drastis dibandingkan dengan hasil Pemilu 1999, yaitu saat partai ini masih mampu meraup dua pertiga dari total suara yang diperebutkan.

Ironisnya, penurunan suara di Sulsel terjadi pada saat Golkar secara nasional mulai bangkit kembali dan menjadi pemenang nasional Pemilu 2004. Apalagi merunut masa-masa sebelumnya, wilayah lumbung padi nasional ini juga kerap menjadi lumbung suara Golkar. Wilayah ini kerap memberikan kontribusi besar bagi suara Golkar secara nasional, termasuk saat dukungan terhadap Golkar melorot drastis di provinsi-provinsi lainnya.

Kejayaan Golkar di wilayah ini dimulai sejak Pemilu 1971. Tidak ada satu pun kekuatan ideologi partai yang mampu mengatasi sepak terjang Golkar di wilayah ini. Puncak perolehan suara Golkar pada Pemilu 1987. Tahun 1987 itu Golkar memperoleh 92 persen suara, meminggirkan PPP yang hanya mampu meraih 6 persen suara dan PDI dengan 1 persen suara saja.

Lima tahun berikutnya, perolehan suara Golkar menurun tipis menjadi 89 persen. Penurunan tersebut kemudian ditebus pada Pemilu 1997 dengan meraup 91 persen suara. Sampai di sini laju peningkatan suara seolah terhenti. Tren penurunan lebih menonjol terjadi. Sistem multipartai yang kemudian dianut Indonesia dan agresivitas partai-partai baru kala itu memberi andil pelemahan denyut nadi Golkar di Sulsel.

Makin tergerus

Gambaran pelemahan kekuatan Golkar di Sulsel tidak berhenti dalam ajang kontestasi politik nasional. Pupusnya pengaruh semakin tampak dari hasil pilkada secara langsung seluruh kabupaten/kota dan tingkat provinsi yang sudah terselenggara dalam empat tahun terakhir.

Dari 23 kabupaten/kota yang sudah melaksanakan pilkada, tak semua wilayah dimenangi pasangan yang diusung partai ini. Mereka hanya mampu memenangi 13 kabupaten/kota. Bagian terbesar, 10 kabupaten dan kota, dimenangi partai ini harus dengan berkoalisi bersama partai politik lain. Dari sejumlah itu, hanya tiga daerah, yaitu Maros, Takalar, dan Kota Parepare yang tergolong solid, lantaran dimenangi tanpa berkoalisi dengan partai politik lain.

Hilangnya penguasaan Golkar di 10 wilayah Sulsel tidak dapat dipandang remeh, lantaran terjadi juga di daerah yang selama ini loyal. Kabupaten Wajo, misalnya, selama pemilu konsisten menjadi kantong kekuasaan Golkar. Namun, pilkada kali ini direbut pasangan yang diajukan PAN dan Partai Sarikat Indonesia. Terlebih di wilayah seperti Tana Toraja yang memang selama pemilu era reformasi berkurang dukungannya kepada Golkar. Di Tana Toraja, kepala daerah terpilih diajukan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.

Puncaknya, kekalahan dalam Pilkada Sulsel pada 2007 lalu, saat pasangan gubernur dan wakil gubernur yang diusung oleh Golkar kalah dari pasangan yang diusung oleh koalisi Partai Demokrasi Kebangsaan, PAN, PDI-P, dan PDS. Boleh dikatakan, berdasarkan pemetaan politik, saat ini penguasaan wilayah oleh Golkar di Sulsel lebih dominan di wilayah selatan dan tengah. Semakin ke atas atau ke utara, dominasi partai yang berlambang pohon beringin ini cenderung melemah.

Lintas budaya

Meskipun tren perolehan suara Golkar menurun dari pemilu ke pemilu, peluang Golkar menguasai Sulsel masih tergolong besar. Pasalnya, pengalaman menunjukkan bahwa pengaruh partai ini mampu menembus berbagai lapisan sosial, budaya, ataupun agama masyarakat. Dari sisi pengelompokan suku bangsa, misalnya, partai ini berkibar merata di empat wilayah etnis di Sulsel, yakni Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar (sebelum Sulawesi Barat membentuk provinsi sendiri).

Kesolidan Golkar juga dapat dilihat dari masih kuatnya partai ini menyentuh dan mengembangkan nilai-nilai tradisional dan kebangsawanan di Sulsel. Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin, Kausar Bailusy, mengungkapkan bahwa yang memimpin Golkar di Sulsel dominan adalah para bangsawan. Para bangsawan ini, ketika menduduki jabatan-jabatan strategis, akan dapat memengaruhi massa yang masih kuat menganut nilai-nilai lokal.

Tidak terhindarkan, dalam kultur masyarakat Sulsel yang masih agraris, pilihan-pilihan politik memang akan banyak dipengaruhi oleh faktor ketokohan. Figur tokoh yang dimaksud di sini baik itu seorang bangsawan maupun para pemilik lahan (tuan tanah) yang memberi penghidupan kepada orang banyak. ”Masyarakat Sulsel akan menganut paham-paham dari orang yang menjadi panutannya. Oleh karena itu, memilih bukan kesadaran sendiri, tetapi mengikuti pilihan tokohnya,” ujar Bailusy.

Di sisi lain, pengaruh Golkar pun terbukti mampu menembus perbedaan keyakinan beragama masyarakat. Fakta menunjukkan, masyarakat Sulsel mayoritas beragama Islam. Kondisi demikian sebenarnya menjadi amat potensial bagi penguasaan partai-partai bercorak keislaman.

Namun, fakta juga menunjukkan bahwa partai-partai bercorak keislaman tak mampu menguasai keseluruhan Sulsel. Memang, terjadi peningkatan perolehan suara PKS ataupun PAN dalam Pemilu 2004 lalu. Namun, peningkatan tersebut belum mampu mengubah peta penguasaan politik di wilayah ini, terlebih jika dibandingkan dengan kejayaan partai-partai bercorak keislaman pada masa lampau.

Kondisi yang sama juga terjadi pada upaya partai bercorak kekristenan menguasai kantong berbasis kekristenan di belahan utara Sulsel, yakni Tana Toraja dan sebagian wilayah Luwu. Meskipun saat Pemilu 1955 wilayah tersebut sempat dikuasai Partai Kristen Indonesia (Parkindo), hingga kini geliat partai bercorak kekristenan tak terlalu signifikan terlihat.

Kaitan agama dan perpolitikan bagi masyarakat Sulsel tampaknya tidak menjadi faktor penentu. Oleh karena itu, wajar jika partai bercorak keislaman tidak dapat menguasai Sulsel, seperti halnya partai berbasis massa Kristen tidak dapat menguasai Tana Toraja.

Yang menjadi perekat paling kuat di Sulsel hingga dapat memengaruhi sebuah pilihan politik tampaknya pada kekuatan nilai budaya yang tertanam, baik kekuatan pengaruh nilai kebangsawanan maupun nilai-nilai tradisional yang melekat. Perekat inilah yang selama ini dan saat ini masih dimanfaatkan Golkar sebagai strategi pemenangan.

Hanya saja, persoalannya kini, saat kecenderungan penguasaan suara yang semakin terkikis, masih sedemikian kuatkah faktor semacam ini menahan laju penurunan atau bahkan mampu meningkatkan kembali suara penguasaan partai ini di Sulsel? Pemilu 2009 akan menguji kembali kekuatan tersebut.
(Gianie/ Litbang Kompas)

Sabtu, 21 Februari 2009

Pertarungan di Golkar


Siapa Lebih Kuat
Sultan selalu memperoleh peringkat lebih baik dibanding Kalla untuk RI-1.

Jum'at, 20 Februari 2009, 19:26 WIB
Siswanto

VIVAnews - Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla dalam bursa calon presiden harus mengakui potensi Sri Sultan Hamengku Buwono X lebih kuat. Hal tersebut paling tidak terlihat dari lima survei, yang melibatkan kedua kader Golkar ini, dimana Sultan selalu memperoleh peringkat yang lebih baik dibandingkan Kalla.

Di bursa calon wakil presiden, giliran Sri Sultan harus menerima kenyataan Kalla lebih populer. Tiga survei yang mencari calon wakil presiden, selalu menempatkan Kalla lebih dipilih dibandingkan Sri Sultan.

Di luar hasil-hasil survei, secara internal elit partai Golkar juga terbelah menjadi beberapa faksi yang akhirnya mengerucut pada dua kelompok: pendukung Sultan dan pendukung Kalla. Perpecahan di tubuh Golkar ini, menurut berbagai kalangan, terjadi antara lain karena mengambangnya sikap Susilo Bambang Yudhoyono, terhadap Kalla dan Golkar

• VIVAnews

Pertarungan di Golkar


Menakar Ulang Golkar
Ibarat menyiapkan parasut, Demokrat baru melirik Golkar bila tak tembus 20 persen.
Jum'at, 20 Februari 2009, 19:29 WIB
Edy Haryadi, Anggi Kusumadewi, Bayu Galih, Siswanto
Presiden SBY dan JK (ANTARA/Ali Anwar)

VIVAnews-PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono tampil agak tegang, saat menggelar jumpa pers di Cikeas, Rabu, pertengahan bulan Februari 2009. Sebelum angkat bicara, dia menatap sekeliling. Sorot matanya serius.

Di kanan kirinya ada sejumlah tokoh Partai Demokrat. Antara lain, Ketua Dewan Pimpinan Pusat, Andi Mallarangeng, Ketua Umum Hadi Utomo, dan tokoh muda partai itu, Anas Urbaningrum. Yudhoyono rupanya ingin menjelaskan perkara penting.

Persoalan bermula dari mulut Achmad Mubarok. Ucapan Wakil Ketua Demokrat itu telah memancing kegusaran Jusuf Kalla, Ketua Umum Golkar, dan juga Wakil Presiden RI.

Sehari sebelumnya, dikutip sejumlah media massa, Mubarok setengah meledek menyatakan jika seandainya Partai Golkar pada Pemilu legislatif mendatang loyo dengan 2,5 persen suara, maka Demokrat tak akan lagi berkoalisi dengan Golkar.

Tentu, sodokan Mubarok itu membuat Jusuf Kalla panas telinganya. Pada pemilu lalu, Golkar adalah pemenang. Partai itu menyabet 21 persen suara.

Kalla pun memberi reaksi. “Jangan bermimpi Golkar mendapat dua persen,” kata Kalla. Nadanya terdengar marah.

Inilah agaknya membuat Yudhoyono tak nyaman. Kalla adalah rekan duetnya di pemerintahan. Tentu tak elok jika membiarkan dia meradang akibat pernyataan Mubarok.

Yudhoyono lalu menggelar jumpa pers itu. Intinya, dia meminta maaf atas pernyataan Mubarok. Yudhoyono mengaku sudah menegur kader utamanya itu. “Partai Demokrat tidak pernah mau meremehkan Partai Golkar,” ujar SBY.

***

Selesaikah perselisihan setelah jumpa pers di Cikeas? Agaknya belum. Kegeraman Kalla sepertinya tidak berdiri sendiri.

Sehari sebelum insiden “2,5 persen” itu, nama Kalla juga tak jadi perbicangan pada Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Demokrat di arena Pekan Raya Jakarta, Kemayoran, 8-9 Februari. Tak muncul bursa calon wakil presiden dari Demokrat.

Padahal, rapat sejenis di PDI Perjuangan sepekan sebelumnya, berlangsung meriah, dan memunculkan sekian nama calon wakil presiden (cawapres).

Padahal, Kalla sudah lama memberi sinyal. Menurut dia, Golkar tak akan menggelar konvensi calon presiden (capres). Dalam beberapa wawancara, Kalla juga mengatakan akan bersikap realistis. Tak masalah jadi cawapres, kata Kalla. Yang penting menang. Dari pada jadi capres, tapi kalah.

Namun, sinyal tadi rupanya tak ditangkap peserta Rapimnas Demokrat. Sejumlah ketua partai itu dari daerah, malah memilih tutup mulut soal calon wapres itu.

Menurut mereka, Rapimnas kali ini tak bicara siapa kelak wakil Susilo Bambang Yudhoyono, jago Demokrat untuk kembali ke kursi RI-1. Seluruh tenaga akan dikerahkan memenangkan pemilihan legislatif.
Achmad Mubarok, membenarkan pendapat para ketua DPD tadi. “Pak Kalla tidak dibahas di rapat,” ujarnya.

Tentu, Kalla jadi gerah. Kegeraman itu malah menjalar di partai Beringin. Mereka gusar, Demokrat tak melirik Kalla. Mungkin untuk membalas gertak, tokoh muda Golkar Priyo Budi Santoso mengusulkan Golkar mengajukan capres baru. Tujuannya: agar Golkar tak jadi ban serep. Alias selalu jadi orang nomor dua.

***

Tapi, Demokrat tampaknya tak terpengaruh. Siapa wakil Yudhoyono akan ditentukan nanti setelah pemilu legislatif. Artinya, setelah 9 April.
Demokrat memang sedang percaya diri. Target suara mereka pada Pemilu tahun ini cukup ambisius. Menurut Anas Urbaningrum, dalam prediksi tahun lalu, Demokrat hanya berani menargetkan 15 persen suara.

Tapi, setelah melihat hasil jajak pendapat dan perkembangan organisasi di daerah, Demokrat kini berani mematok target 20 persen suara. “Angka 20 persen tidak terlalu mewah,” kata Anas.

Pada Pemilu 2004, Demokrat sebagai partai baru hanya berhasil meraih 6 persen suara. Tapi, hasil jajak pendapat merekam popularitas partai itu luar biasa. Anas optimis, mereka akan menangguk 20 persen suara dalam Pemilu 2009.

Menurut Ketua Badan Pemenangan Pemilu Demokrat, Mayjen (Purn.) Yahya Secawirya, suara partai mereka terus merangkak naik. Pada hasil jajak pendapat terakhir, Partai Demokrat bahkan sudah mengalahkan Golkar dan PDI Perjuangan.

Survei Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) Desember 2008 misalnya, memperlihatkan Partai Demokrat dipilih 24,2 persen. Sementara PDI Perjuangan hanya dipilih 20,4 persen dan Partai Golkar hanya 15,7 persen.

Survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) bulan Desember juga memperoleh hasil serupa. Partai Demokrat di peringkat satu dengan perolehan 23,0 persen. PDI Perjuangan di peringkat dua dengan 17,1 persen. Dan, Golkar di peringkat tiga dengan 13,3 persen.

Hasil ini melonjak drastis dibanding survei Reform Institute pada Januari 2008. Pada saat itu, Partai Demokrat hanya meraih peringkat tiga dengan 8,3 persen, di bawah Golkar dengan 16,1 persen, dan PDI Perjuangan 19,3 persen.

***

Dengan prediksi suara gemuk begitu, Demokrat bisa bebas menentukan siapa wakil bagi SBY. Bila berhasil tembus 20 persen, maka partai itu tak perlu berkoalisi dengan partai lain mengajukan nama presiden dan wakil presiden.

Maka, tak heran, nama Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat mencuat di Rapimnas Demokrat itu. Dia dianggap menetri berprestasi, dan cocok sebagai calon wakil bagi Yudhoyono.

Tapi, Demokrat harus tetap bersikap hati-hati. Kalau gagal meraih 20 persen, maka mereka tetap perlu berkoalisi. Tentu, rekan seiring yang aman adalah Golkar.

Sebab, dua kali pemilu terakhir, Golkar rata-rata mencapai ambang batas 20 persen. Artinya, posisi SBY akan aman di parlemen, karena dijaga oleh kekuatan mayoritas di legislatif.

Taruhlah akan berkoalisi dengan Golkar, tapi siapakah calon wakil presiden yang akan dilirik? Sejumlah jajak pendapat menyimpulkan pasangan Yudhoyono-Kalla masih duet paten.

Tapi, Kalla bukan tak punya pesaing di tubuh Golkar. Sejumlah survei menunjukkan, dalam bursa RI-1, Kalla kalah tenar dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Sri Sultan selalu berada di peringkat ketiga setelah Yudhoyono dan Mega. Sementara Kalla terpeleset di peringkat bawah.

Dan persoalan kini kian kompleks, setelah Kalla secara terbuka menyatakan kesiapannya menjadi calon presiden dari Partai Beringin. Salah-salah disikapi, duet SBY-JK bisa wassallam.

Pertarungan di Golkar


Jangan Jual Murah Golkar untuk "Dagang Sapi"
Surya Paloh menilai soal pencalonan Jusuf Kalla masih sinyal, belum final.
Jum'at, 20 Februari 2009, 23:47 WIB
Siswanto
Surya Paloh (VIVAnews/Tri Saputro)

VIVAnews – Di jajaran elit Partai Golkar, Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh dikenal sebagai salah satu pendukung Sultan Hamengku Buwono X. Alasannya antara lain, Golkar belum resmi memutuskan calon presiden.

Namun, hasil Rapat Konsultasi Nasional Partai Golkar Kamis pekan lalu mengusulkan agar Jusuf Kalla maju sebagai calon presiden. Apa komentar Surya Paloh?

Berikut wawancara VIVAnews dengan Surya Paloh, dalam dua kesempatan, Selasa 17 Februari dan Jumat 20 Februari lalu.

DPD Golkar akhirnya mengusulkan Jusuf Kalla sebagai calon presiden. Tanggapan Anda?


Itu menunjukkan sinyal yang sangat kuat bahwa para ketua DPD mendukung Pak Kalla.

Artinya?

Itu masih sinyal. Tapi memang keputusan akhir nanti.

Kelihatannya Anda sangat mendukung Sri Sultan Hamengku Buwono X ?

Bagaimana mungkin Ketua Dewan Penasihat tidak mendukung anak buahnya yang ingin maju. Pak Sultan itu kan anggota dewan penasihat.

Tetapi nanti partai yang memutuskan secara resmi. Setelah itu saya akan meminta pendapatnya bagaimana setelah ada keputusan partai, apa masih bersedia maju, masih mentaati peraturan, masih mau disiplin.

Bagaimana peta kekuatan Golkar saat ini?

Dari gambaran yang saya dapatkan, sejauh ini Golkar optimis target perolehan suara di pemilihan legislatif 25 persen itu tidak berlebihan. Target itu harusnya tidak memberikan tingkat variabel di atas dan bawah. Ini suatu hal yang dapat mendorong keyakinan partai, dan juga konstituen.

Ada berapa faksi di Partai Golkar, siapa yang terkuat saat ini?

Pada dasarnya Golkar tidak kenal faksi. Dalam literatur perjalanan partai ini tidak ada yang namanya faksi-faksi. Jadi kalaupun ada yang mengatakan faksi di Golkar, itu hanya interpretasi yang salah dari opini publik.

Kalaupun ada benturan dari satu atau dua elit di tubuh organisasi ini, saya kira itu lazim terjadi. Bukan hanya di Golkar saja, di partai manapun juga begitu.

Tapi yang jelas, kami tidak ada faksi. Kalau seandainya ada faksi, tentu saja saya akan minta faksi itu dibubarkan. Karena itu hanya akan merusak organisasi. Jadi, siapa yang akan klaim sebagai pimpinan faksi atau anggota faksi, berarti mereka itu minta ditendang.

Bagaimana dengan kubu Jusuf Kalla dan Sri Sultan?

Tidak ada. Pak Sultan itu anggota dewan penasihat partai. Sepanjang saya ketahui koordinasi DPP dengan Dewan Penasihat tetap berjalan efektif.

Deklarasi Sultan sebagai calon presiden itu sangat wajar. Karena Golkar sendiri secara resmi belum mengumumkan calonnya. Jadi, sebelum diputuskan partai, Sultan bisa deklarasi. Sultan sebagai kader partai yang jadi calon presiden.
Jadi, secara moral, itu bisa diterima untuk sementara. Sampai ada keputusan dari DPP.

Soal calon presiden, sikap Golkar sebaiknya bagaimana?

Harus tetap percaya diri dan tidak menjual murah partai untuk praktek dagang sapi. Tetap konsisten pada apa yang diperjuangkan berdasarkan basis perjuangan Golkar.

Kapan calon presiden diumumkan secara resmi?

Pertama menunggu hasil pemilu legislatif. Apakah perolehan suara ini nanti signifikan atau tidak. Kan Partai Golkar ini sudah 44 tahun mengalami pasang surut, jatuh bangun. Dengan referensi pengalaman seperti itu, maka harus berpikir cerdas, arif, bijaksana, dan jujur untuk mencapai tujuannya.

Jadi sebelum membuat keputusan, menengok dulu referensi pengalaman dulu. Kalau hasilnya di pemilu bagus, pasti akan tentukan calon dari internal partai. Kalau tidak, ya, mendukung siapa yang terbaik, dari kalangan mana, golongan apa, yang bisa diajak kerja sama dengan Partai Golkar untuk membangun bangsa.

Pertarungan di Golkar


Sarapan Politik di Rumah Kontrakan
Sekitar 31 propinsi dukung Kalla jadi Capres. Kubu Sultan mengklaim didukung 17 daerah.

Jum'at, 20 Februari 2009, 19:27 WIB
Ismoko Widjaya, Anggi Kusumadewi, Siswanto, Bayu Galih

Rakornas Golkar (Antara/Saptono)

Rapat itu berlangsung seru. Sejumlah petinggi Golkar daerah memaksa Jusuf Kalla menandatangan sebuah surat. Isu surat itu terang benderang. Sang ketua umum itu harus bersedia menjadi calon presiden. “Bapak harus tandatangan surat kesediaan jadi calon presiden,” kata seorang ketua Golkar daerah, sebagaimana dituturkan sumber Vivanews yang hadir dalam pertemuan itu.

Suasana agak tegang. Semua menunggu jawaban wakil presiden itu. “Tidak bisa,” jawab Kalla tegas. Kalla beralasan bahwa partai sudah menentukan mekanisme pemilihan calon presiden. Sejumlah pengurus daerah kecewa. “Masukan saja nama saya bulan Maret, lalu ditentukan bulan April,” kata Kalla.

Rapat itu berlangsung Kamis pekan ini. Didahului acara sarapan pagi. Banyak menu makanan yang disediakan di situ. Bertempat di rumah kontrakan Jusuf Kalla, yang letaknya persis di samping rumah dinas wakil presiden di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat.

Dikontrakan khusus untuk Sohilin Kalla, putra bungsu sang wakil presiden, rumah ini lebih sering digunakan sang ayah untuk urusan Golkar. Sejumlah 31 Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar hadir di situ Kamis pagi itu.

Dua ketua yang absen dari sarapan politik ini adalah Ketua Golkar Gorontalo, Fadel Muhammad dan Ketua Golkar Sumatera Selatan, Alex Noerdin. Tapi keduanya mengirim sekretaris pengurus daerah.

Malkan Amin, salah seorang ketua Golkar yang hadir dalam pertemuan itu, memastikan bahwa hampir semua ketua daerah itu mendesak Kalla bersedia menjadi calon presiden. Penjelasan Malkan diamini sejumlah pengurus daerah. “Seluruhnya mendukung Pak Kalla untuk maju,” kata Ketua Golkar Maluku Utara, Ahmad Hidayat Mus kepada VIVAnews.

Walau tidak secara tertulis, kata Malkan, dalam pertemuan itu secara lisan Kalla sudah menegaskan bersedia menjadi calon presiden. ”Kalau menolak nanti dia dicekik kader daerah,”kata Malkan berseloroh.

Setelah koor dukungan di rumah kontrakan itu, dukungan dari pengurus pusat juga menguat. “ Dukungan dari daerah itu tinggal diformalkan saja,” kata Agung Laksono,” Wakil Ketua Umum Golkar. Formalisasi dukungan itu, lanjutnya, dilakukan lewat mekanisme penjaringan calon presiden dan wakil presiden yang sudah ditentukan partai.

Partai yang berkuasa sepanjang kekuasaan Soeharto itu, memang sudah menentukan tata cara pemilihan calon presiden atau wakil presiden. Nama sang kandidat dijaring dari daerah. Setelah nama terkumpul, lalu dilakukan survei publik. Hasil suvei dibahas dalam Rapat Pimpinan Nasional Khusus pada 23 April 2009. Rapat itulah yang menentukan siapa calon presiden.

*****

Tapi tidak gampang bagi Jusuf Kalla mendapatkan semua dukungan daerah. Sebab sejumlah daerah menyodorkan jagoan lain menjadi calon presiden. Para kandidat itu antara lain, Mantan Ketua Umum Akbar Tandjung, Agung Laksono, Aburizal Bakrie, Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan Surya Paloh. Dari sejumlah nama itu,penantang Kalla yang paling kuat adalah Sri Sultan.

Dalam pertemuan di rumah kontrakan Kamis pagi itu,tidak semua pengurus daerah mendukung Kalla. Walau jumlahnya sedikit, sejumlah daerah lain cuma mendesak sang ketua umum agar partai segera menentukan calon presiden, bukan mendesak Kalla menjadi calon satu-satunya. “ Belum mengerucut pada satu nama,” kata Gandung Pardiman, Ketua Golkar Daerah Istimewa Yogyakarta yang juga hadir dalam pertemuan itu.

Kaum Beringin Yogyakarta memang mendukung Sri Sultan sebagai calon presiden. “Calon kami pasti Sri Sultan” kata Gandung. Dia juga memastikan bahwa sejumlah daerah seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat(NTB), Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan mendukung Sultan menjadi calon presiden.

Selama ini kubu Sultan memang gencar merayu sejumlah daerah. Tanggal 23 Januari lalu, bersama Surya Paloh,Sultan berkunjung ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Pulang dari sana, Surya Paloh yang juga Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, menegaskan bahwa Sultan memiliki semua syarat yang harus dimiliki seorang calon presiden.

Gandung menegaskan bahwa kubu Sultan akan terus melakukan konsolidasi ke sejumlah daerah. Paling tidak, klaim Gandung, sekitar 17 pengurus propinsi akan mendukung Sultan.

Dukungan daerah yang agak terang benderang memang ditumpahkan untuk sang ketua umum, Jusuf Kalla. Selain Maluku Utara, Golkar Kalimantan Barat bulat mendukung Kalla. "Jusuf Kalla yang paling menguat,” kata Zulfadhli, Ketua Golkar Kalimantan Barat kepada VIVAnews.

Jusuf Kalla juga mendapat dukungan dari hampir semua propinsi yang masuk barisan Iramasuka (Irian, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan). Kelompok Iramasuka ini tenar saat mendukung B.J. Habibie sebagai calon presiden tahun 1999.

Ketua Golkar Papua, John Ibo menegaskan bahwa Kalla sangat prospektif untuk maju sebagai calon presiden. “Dia satu-satunya orang Indonesia dari bagian timur yang diberi kepercayaan,” kata John Ibo kepada VIVAnews.

Sejumlah pengurus Golkar di Jawa juga tegas mendukung Kalla maju menjadi calon presiden. “Kalau Ketua Umum bersedia untuk maju, maka Ketua Umum akan diprioritaskan,” tegas Ketua Golkar Jawa Tengah, Bambang Sadono kepada Vivanews.

Begitu juga dengan Golkar Jakarta. "Dari dulu kami mengajukan nama Kalla sebagai calon presiden,” kata Ketua Golkar Jakarta, Ade Surapriatna. Golkar Lampung justru paling terang-terangan menggadang Kalla sebagai calon presiden dari Golkar. Apapun pilihan yang ada, Lampung tetap mengusung Kalla sebagai kandidat yang layak menjadi calon presiden. "Kalau Lampung, sudah harga mati (untuk mencalonkan) ketua umum partai," Ketua Golkar Lampung, Alzier Dianis Thabranie.

*****
Peran pengurus daerah di Golkar memang diakui cukup besar. Itu karena Golkar tidak punya tokoh sentral seperti Megawati Soekarnoputri di PDI Perjuangan dan Susilo Bambang Yudhoyono di Partai Demokrat.

Distribusi kekuatan politiknya sampai di daerah. Bila penjaringan calon presiden partai lain ditentukan pusat, Golkar menjaring dari keinginan daerah.

Dan Jusuf Kalla, kata pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Dodi Ambardi, tahu betul pentingnya mengakomodasi perang Dewan Pimpinan Daerah(DPD). “Kalau diabaikan terus menerus akan melemahkan Golkar sendiri,” kata doktor politik itu.

Desakan sejumlah pengurus daerah dalam pertemuan di rumah kontrakan, Kamis pagi itu, mengubah peta politik Golkar dan mungkin peta politik pemilihan presiden 2009.

Jumat, 20 Februari 2009, Kalla menegaskan siap berhadapan dengan Susilo Bambang Yudhoyono,yang diusung Partai Demokrat. "Saya tidak pernah katakan tidak siap. Saya selalu siap," kata Kalla di Kantor Wakil Presiden, Jakarta Pusat. Kala juga menegaskan bahwa kesiapannya itu atas desakan pengurus daerah.

Dodi Ambardi menilai penegasan Kalla itu bertujuan untuk merekatkan sejumlah faksi politik yang kini kian meruncing ditubuh Golkar. “Ini lebih karena banyak faksi serta orang kuat di dalam Golkar, dan itupun ribut terus,” kata Dodi. Dengan penegasan itu spekulasi calon presiden yang kian kisruh dikalangan elit Partai Golkar bisa diredam.

Dalam pertemuan di rumah kontrakan Kamis pagi itu --ketika didesak terus-terusan oleh pengurus daerah menjadi calon presiden – Kalla menjawab aspirasi daerah setelah melakukan salat istikharah. Salat ini biasanya digunakan bagi umat muslim yang sedang menghadapi pilihan yang sangat berat.

Dengan melaksanakan salat itu, diharapkan ada petunjuk atas keputusan yang akan diambil. Jadi, ini bukan keputusan yang mudah bagi Kalla.

• VIVAnews

Pertarungan di Golkar


Saya Khawatir Golkar Kehilangan Segalanya
Muladi menilai sangat tidak realistis saat ini mencalonkan Jusuf Kalla sebagai presiden.

Jum'at, 20 Februari 2009, 19:33 WIB
Edy Haryadi
Gubernur Lemhannas Muladi (Antara/ Saptono)

VIVAnews – Rapat Konsultasi Nasional Partai Golkar pada 19 Februari 2009 akhirnya mengusulkan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla sebagai calon presiden.

Ketua DPP Partai Golkar Muladi tidak setuju bila Golkar mengajukan capres sendiri. Dia mengusulkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla. Berikut petikan wawancara VIVAnews dengan Muladi, yang juga Gubernur Lemhanas di kantornya, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Apa materi rapat konsultasi ?

Rapat konsultasi nasional Golkar merupakan suatu program antara sebelum rapat pimpinan khusus yang akan dilakukan setelah pemilu legislatif.

Dalam forum tersebut diinstruksikan ke daerah-daerah untuk menyampaikan aspirasi calon presiden maupun wakil presiden secara berjenjang mulai daerah tingkat II, tingkat I dan ke DPP. Istilahnya penjaringan, siapa yang kompeten masuk ke bursa capres dan cawapres.

Itu saya kira wajar dan demokratis. Hanya saja pada akhirnya, menurut saya, yang akan disurvei adalah pasangan-pasangan, termasuk pasangan SBY-JK. Karena kami belum tahu peta politik.

Hasil survei kemarin terhadap 77 Dapil [Daerah Pemilihan], Golkar mendapat 19 persen. dan Demokrat naik luar biasa menjadi 16 persen dan PDIP di urutan tiga.

Tapi ini survei. Itu gambaran sementara bahwa Golkar semakin meningkat. Jadi tumbuh rasa optimis bagi kami untuk berbuat yang terbaik. Dan kalau hasilnya seperti itu, saya kira itu kemenangan tipis. Maka koalisi Golkar-Demokrat tak bisa dihindarkan lagi.

Bagaimana dengan penyataan Wakil Ketua DPP Partai Demokrat Achmad Mubarok bahwa Golkar hanya dapat 2,5 persen?

Kalau kami kemudian marah dengan pernyataan Mubarok saya kira itu terlalu emosional. Mubarok itu hanya elemen kecil di Partai Demokrat. Ya mungkin pernyataannya emosional. Tapi SBY sudah menyampaikan sangat kecewa dengan pernyataan itu. Jadi kami tidak perlu bereaksi secara emosional. Tapi kami juga harus siap sedia kalau terjadi apa-apa.


Anda tak setuju Kalla maju sebagai capres?

Jangan karena kemenangan tipis atau pertimbangan emosional, kami mencalonkan JK [sebagai capres]. Saya khawatir Golkar akan kehilangan segala-galanya. Pemilu presiden itu memilih orang, bukan partai. Contohnya Pak SBY yang hanya mendapat 7 persen di pemilu legislatif, menang.

Menurut Anda, SBY-JK merupakan pasangan paling realistis?

Kecuali Golkar menangnya 40 persen. Orang bisa berpikir lain. Tapi kalau kondisi seperti sekarang sangat tidak realistis untuk secara emosional mencalonkan JK sebagai calon presiden yang berdiri sendiri. Dan saya yakin JK juga lebih nyaman seperti sekarang untuk meneruskan program-programnya. Bahwa presiden itu bukan hanya milik Golkar saja. Tapi untuk kepentingan bangsa dan negara.

Bukankah nama Kalla tidak muncul sebagai cawapres di Rapimnas Demokrat?

Itu kan taktik mereka. Mereka juga menunggu sampai pemilihan legislatif. Terkecuali jika Demokrat tidak menghendaki JK, masalahnya lain. Tidak ada pilihan lain kecuali Kalla mencalonkan sendiri. Tapi, kami sendiri belum tahu apa yang terjadi secara pribadi diantara merteka.

Saya kira, nomer satu bagi mereka adalah menuntaskan pemerintahan sekarang. Setelah itu, melihat hasil pemilu, otomatis akan ada suatu pemikiran antara partai ini dan sesama ketua umum apa yang seharusnya terjadi di masa depan.

Prediksi Anda bagaimana?

Alternatifnya cukup banyak. Dinamika politiknya juga cukup cepat. Tapi ramalan saya, kalau perbedaannya tipis, tidak ada jalan lain kecuali mempertahankan pasangan yang ada sekarang. Dan rakyat sangat mengharapkan hal itu. Dalam survei-survei JK tertinggi sebagai cawapres sedang SBY tertinggi sebagai capres. Dan yang dihadapi saya kira cukup berat. Megawati masih cukup kuat.

Kemudian alternatif ketiga dari koalisi partai-partai kami belum tahu. Apakah Pabowo [Subianto] atau Wiranto muncul juga. Jadi ramalan saya partai terkuat pertama Golkar, kedua Demokrat, ketiga PDIP. Ini di peringkat pertama. Di level kedua PKB dan PPP. Rangking keempat ada Hanura, Gerindra, dan yang lain. Tapi empat besar ini akan mewarnai politik Indonesia di masa depan.

Bagimana dengan Sri Mulyani yang sempat muncul sebagai cawapres SBY di Rapimnas Demokrat?


Tidak mengapa. Tidak bisa suatu perkawinan berjalan serpihak. Kalau memang Demokrat seperti itu dan SBY seperti itu, tidak ada cara lain kecuali Kalla harus mencari calon wakil presiden. Calon wakil Kalla bisa datang dari mana saja, tapi lebih baik dari pihak eksternal.

Skenario itu sudah ada?


Pasti ada. Tapi belum disebutkan. Kami ini trennya SBY-JK tapi semua ini tergantung Yudhoyono dan Demokrat. Kalau sudah tidak menghendaki koalisi dengan Golkar, maka Golkar otomatis akan mencari yang lain. Tapi saya pribadi yang ikut dalam pemerintahan ini melihat pasangan SBY-JK paling kondusif menyelesaikan tugas-tugas sampai tuntas, apalagi menghadapi krisis global ini.

SBY orang yang hati-hati dan akurat. JK langkah-langkahnya cepat dan sistematis. Ini pasangan yang tepat. Sri Mulyani bisa saja diajukan tapi dia tak punya dukungan massa dan pengalamannya sebagai negarawan masih kurang.

Bila perolehan suara mencapai 20 persen, bukankah Demokrat tak perlu menggandeng Golkar?

Politik tidak mudah. Golkar misalnya 25 persen. Tapi ini belum kuat. Untuk menciptakan stabilitas politik harus menguasai parlemen. Minimal 50 persen. Jangan berorientasi pada pilpres tapi berorientasi pada stabilitas politik, termasuk menguasai parlemen. Gejolak berupa hak angket dan interpelasi, peran Golkar besar sekali untuk membackup ini. Golkar sendirian tidak kuat.

Bagaimana soal Sri Sultan Hamengku Buwono X?

Kemarin saya memang berbicara keras sekali. Saya mengatakan dia telah membelot dari Golkar dan partai harus mengambil tindakan. JK belakangan membenarkan sikap saya.

Kemarin Sri Sultan juga muncul di rapat konsultasi Golkar. Dia mengatakan tidak mungkin ke PDIP. Dia bilang saya mau jadi presiden masa Megawati jadi cawapresnya. Tapi dia hanya dicalonkan satu partai kecil, partai Republikan. Dengan penjaringan di tubuh Golkar, dia ingin masuk ke bursa. Silakan saja. Nanti akan ditentukan melalui survei. Apakah dia punya akseptabilitas cukup kuat di Golkar.

Sri Sultan menyatakan secara terbuka menolak menjadi cawapres Mega?

Iya. Dia bilang dia hanya ingin jadi presiden. Karena katanya itu sabdo pandito ratu. Tapi di Golkar dia tidak bisa jadi presiden. Yang bisa jadi presiden hanya ketua umum.

Golkar terbelah dua, antara pendukung Kalla dengan Sri Sultan?

Itu menunjukkan di Golkar terjadi perbedaan pendapat, tapi tidak pecah. Dan hal itu tidak ditentukan dengan cara berkelahi. Tapi tren itu akan ditentukan melalui survei. Jadi boleh saja ada grup mendukung SBY-JK, lalu ada kelompok lain yang mendukung JK-siapa. Silakan.

Survei saja nanti. Trennya yang paling besar yang mana. Jadi hasil survei yang akan menentukan pilihan terakhir. Tapi menurut saya hak istimewa ketua umum harus dihormati. Dia yang akan menentukan pengarahan terakhir. Dengan studi kelayakan yang kuat.


Pendukung Sri Sultan cukup kuat di Golkar?

Siapa bilang. Tidak ada itu. Tidak kuat. Ya satu sampai tiga orang memang ada. Tapi kalau pendukung SBY-JK kemungkinan besar separuh. Separuhnya terpecah-pecah. Ada yang Akbar Tanjung dan macam-macam.

Kalau Sri Sultan maju menjadi calon partai lain bagaimana?

Yang jelas dia tak boleh pakai atribut Golkar. Tapi kalau soal pemecatan tergantung dia. Mau mundur seperti Prabowo dan Wiranto, terserah. Jusuf Kalla saat mengandeng SBY dulu juga tak menggunakan atribut Golkar.

Apa tanggapan Anda dengan pernyataan seorang petinggi Golkar bahwa pendukung SBY-JK mengincar kursi menteri?

Oh tidak. Hanya orang bodoh yang bicara itu. Politik itu bukan masalah kepentingan pribadi, tapi kepentingan pembangunan nasional ke depan.

Seperti dulu saya mendukung SBY-JK, saya tak pernah ingin jadi menteri. Setelah pemerintahan berjalan setengah dan saya jadi Gubernur Lemhanas, setingkat menteri, itu soal lain. Saya tidak punya cita-cita ingin jadi ini atau itu. Bohong itu. Kalau memang ditunjuk jadi menteri Alhamdullilah tidak masalah. Kalau tidak pun kita punya profesi masing-masing.

Seperti pernyataan tokoh Golkar kemarin, itu pernyataan yang emosional dan bodoh. Tidak pantas disampaikan.

• VIVAnews

Sri Sultan HB X


Bobot Politik Raja Jawa
Sultan seperti sedang menyihir jagat politik Republik.
Mega-Buwono mulai membahana.

Jum'at, 30 Januari 2009, 18:59 WIB
Nurlis E. Meuko, Anggi Kusumadewi, Bayu Galih, Siswanto

Megawati dan Sri Sultan Hamengkubuwono X (Antara/Regina Safri)

VIVAnews - "HIDUP Mega-Buwono!" Teriakan ini membahana di ruang rapat kerja nasional Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang berlangsung di Sunan Hotel, Solo, Jawa Tengah, Selasa 27 Januri 2009.

Di podium, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, menghentikan pidatonya, membiarkan pekikan massa PDIP yang berjumlah 1.200 orang. Sri Sultan Hamengkubuwono X yang duduk bersebelahan dengan Taufiq Kiemas, Ketua Dewan Pertimbangan PDIP, tersenyum. Ia mengangguk perlahan.

Sri Sultan yang masih Gubernur Yogyakarta ini tamu mahapenting Rakernas PDIP. Megawati sampai merasa perlu menyampaikan sendiri undangan pada 21 Januari 2009, ketika dia mengajak Sultan untuk sarapan bubur di kediamannya di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat.

Yang diundang pun tak kalah serius menanggapi. Raja Jawa ini rela datang lebih awal. Sultan tiba pukul 08.25 WIB, setengah jam sebelum Megawati dan Taufiq. Pembukaan rakernas yang bertajuk "Berjuang untuk Kesejahteraan Rakyat: Holobis Kuntul Baris" ini baru mulai pukul 09.15 WIB.

Bahkan, kedatangan Sri Sultan lebih gasik dibanding tokoh-tokoh politik undangan lainnya, seperti Akbar Tandjung (mantan Ketua Umum Partai Golkar), Sutiyoso (mantan Gubernur DKI Jakarta), dan Suhardi (Ketua Umum Gerindra yang mewakili Prabowo Subianto).

Selain mereka, juga hadir di perhelatan politik ini: Ketua Umum PP Muhammadiyah Syafii Maarif, mantan Kepala Staf Angkatan Darat Ryamizard Ryacudu, Ketua DPP Partai Hati Nurani Rakyat Samuel Koto, dan wakil Partai Amanat Nasional Dradjad Wibowo.

Usai Megawati membuka rakernas, sebagian pemimpin daerah PDIP berebut menjabat tangan Sultan. "Hidup Sultan!" Teriakan ini berulang kali terdengar. "Kami memang menginginkan Sultan," kata Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Sulawesi Tengah, La Ode Rifai Pedansa.

Pernyataan yang sama dikemukakan Ketua Dewan Pengurus Cabang (DPC) Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, Nasir Agun. "Sultan itu bagus," katanya, penuh semangat.

Lain lagi cara Bambang Tjaroko, Ketua PDC Tanah Bumbu, Kalimantan Tengah, menunjukkan dukungannya. Ia sampai hadir mengenakan blangkon plus jas merah yang di punggungnya terbordir nama “Megawati-Sultan Hamengku Buwono IX.”

Dukungan terhadap “Mega-Buwono” juga datang dari Papua, Kalimantan Timur, dan sejumlah pengurus daerah lain.

Memang, di Rakernas bukan cuma Sri Sultan yang diusulkan mendampingi Megawati. Juga terdengar nama Prabowo. "Yang mengejutkan, munculnya Pak Surya Paloh," kata Pramono Anung, Sekretaris Jenderal PDIP. Surya adalah Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar yang juga pemilik Media Group.

Menurut Pramono, PDIP sudah membentuk tim kecil untuk menggodok berbagai usulan ini. "Nanti disampaikan ke Bu Mega,” katanya. "Memang, yang paling utama disebut adalah Sultan, kemudian baru Prabowo dan Surya Paloh."

Ketua DPP PDIP, Effendi Simbolon, mengatakan figur Sultan sangat mudah diterima di kalangan PDIP. "Namun,” Ia menyayangkan, “Sultan belum memberi sinyal untuk siap menjadi calon wakil presiden.”

Sri Sultan memang masih menggantung sikap. Dia hanya mengatakan datang ke rakernas untuk melihat siapa calon pendamping Megawati yang paling diterima. "Saya tidak mau anggapan-anggapan seperti itu (siap menjadi calon wakil presiden—Red), nanti saya dikira sombong.”

***

Pukul 19.30 WIB, Senin 26 Januari 2009, sehari sebelum Rakernas PDIP.

Berkebaya oranye, Megawati muncul di keraton Yogyakarta bersama suaminya, Taufiq Kiemas. Sri Sultan yang mengenakan batik kecoklatan menyambut mereka. Lalu, mereka mengadakan pertemuan tertutup selama 30 menit.

Usai pertemuan, ketiganya menuju Pendopo Srimanganti. Sultan langsung ke podium memberi sambutan. "Perlu diingat bahwa pertemuan kami dan Ibu Mega jangan selalu diartikan sebagai pertemuan politik," katanya. "Banyak yang dibahas, di antaranya masalah sosial, budaya dan kemanusiaan."

Sultan bilang persahabatannya dengan Mega sudah turun-temurun. Bung Karno, bapak Mega, adalah sahabat Sri Sultan Hamengkubuwono IX, ayah Sri Sultan. "Mereka akrab, sama-sama pendiri bangsa," kata Sri Sultan.

Nostalgia ini diakhiri dengan pemberian bingkisan berupa foto kenangan dari Sultan kepada Megawati. Foto itu bergambar kedua orang tua mereka.

Taufiq Kiemas pernah memberi gambaran kedekatan antara Megawati dan Sri Sultan pada pada 28 Oktober 2008. Waktu itu Taufiq bilang isterinya dan Sri Sultan memiliki kedekatan sosial dan psikologis. "Ayah Sri Sultan pejuang yang pernah menyerahkan Yogyakarta kepada mendiang Presiden Soekarno," katanya.

Menurut Taufiq, Sultan dan Mega berteman sejak kecil. “Kalau nanti jadi berdampingan akan lebih bersahabat lagi,” katanya pada peringatan Hari Sumpah Pemuda di kantor PDIP di Lenteng Agung Raya, Jakarta Selatan.

Dan pertalian Mega-Buwono pun terus dirajut.

Menurut Helmy Fauzi, salah satu calon anggota parlemen PDIP, pertautan Mega-Sultan antara lain akan dibaut dengan menghimpun kembali Kelompok Ciganjur. Strategi yang akan dikedepankan adalah dengan menghidupkan kembali Kelompok Ciganjur, termasuk berupaya mengajak Gus Dur dan Amien Rais dalam satu barisan.

Kelompok Ciganjur pernah bertemu pada 10 November 1998 dan mendesakkan agenda-agenda reformasi di masa-masa kritis transisi pemerintahan dari rezim Soeharto.

Maka itu, setelah menerima Sultan di Teuku Umar, pada Rabu, 21 Januari 2009, Taufiq Kiemas langsung meluncur ke kediaman Amien Rais di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan. Menurut Dradjad Wibowo, salah seorang pengurus Partai Amanat Nasional (PAN), Taufiq datang bersama Pramono Anung.

Dilukiskan Dradjad, dalam pertemuan Taufiq menyampaikan rencana menyatukan kembali Kelompok Ciganjur itu. Amien setuju. "Mereka merencanakan Pertemuan Ciganjur II," kata Dradjad, "Tim kecil sudah dibentuk."

Tim ini beranggotakan orang kepercayaan keempat tokoh itu. Sultan, kata Dradjad, mengutus Sukardi Rinakit, pengamat politik yang menjadi anggota tim suksesnya. Megawati mengirim Pramono Anung, Gus Dur mempercayakan pada putrinya Yeni Wahid, dan Amien Rais diwakili Dradjad Wibowo. “Saya sudah bertemu Mas Pramono," kata Dradjad, lagi.

Karena itu, seorang pengurus PDIP meyakini jalur Mega-Sultan ke pelaminan politik sudah cukup lempang. "Rakernas di Solo hanya etalase," katanya. "Nantinya mengerucut ke Sultan juga."

Toh dia mengakui ada faksi di tubuh PDIP yang menolak. "Mereka lebih menginginkan pasangan dari calon berlatar belakang militer, khususnya Prabowo," katanya. Keinginan ini datang dari sayap politisi-militer PDIP.

Prabowo diyakini mereka cukup punya kekuatan untuk menambah amunisi Megawati, terkhusus dalam hal finansial. Masalahnya, masih menurut analisis sang pengurus tadi, chemistry Mega tidak begitu pas dengan Prabowo. "Mega merasa paling nyaman dengan Sultan."

Apalagi, kalau mempertimbangkan faktor Surya Paloh. Surya adalah salah satu tokoh penggagas Mega-Buwono dan dikenal punya hubungan akrab dengan Taufiq Kiemas. Hal ini diakui Pramono Anung.

Tahun lalu, Surya Paloh beberapa kali melakukan manuver politik guna menyatukan Golkar dan PDI Perjuangan dalam Pemilu 2009. Itu terjadi setelah Surya bertemu Taufiq di Jepang.

Apakah kian mendekatnya Mega ke Sultan merupakan bagian dari manuver panjang itu? Sambil tertawa menggelegar, Surya menjawab dengan kata-kata bersayap. "Hahaha, kebaikan bangsa ini adalah harapan bersama. Sebuah kebijakan pun akan jalan kalau kompak."

Surya mengakui kedekatannya dengan Sultan. "Karena di Golkar dia (Sultan) anak buah saya," katanya, "Minggu lalu saya baru pulang dari Kalimantan Tengah bersama Sultan." Surya hakulyakin Sri Sultan layak jadi wakil presiden. "Dia memenuhi semua syarat formal. Kapasitasnya pun bagus," katanya. "Beri kesempatan. Sultan perlu dibantu."

Dari kubu Partai Beringin, dukungan eksplisit bahkan telah disuarakan oleh salah satu organisasi onderbouw-nya. Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (Soksi) terang-terangan menjagokan Sri Sultan sebagai calon presiden mereka.

Dukungan serupa juga dinyatakan Partai Republika Nusantara (Republikan) dan sejumlah raja di Tanah Air. Dalam acara Pisowanan Agung di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta pada 28 Oktober 2008 lalu, 47 raja dan kepala adat dari 118 keraton berikrar mendukung Sultan sebagai calon presiden mereka.

***

Kian hari Sultan seperti kian menyihir jagat politik Republik. Tapi pertanyaannya adalah: seberapa besar sebetulnya bobot politik sang Raja Jawa ini? Dari ranah kasak-kusuk politik dan retorika politik yang menderu-deru, mari kita bergeser ke wilayah yang lebih terukur.

Jajak Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada September 2008, menunjukkan Sri Sultan adalah tokoh politik yang paling diketahui dan disukai. Dari 1.239 responden yang dimintai pendapatnya, 86 persen mengaku menyukai Sultan. Peringkat Presiden Yudhoyono bahkan berada di bawah Sultan.

Namun demikian, untuk menuju ke pucuk negeri, Sri Sultan belum jadi pilihan utama. Untuk posisi presiden, Sultan terperosok ke urutan ke empat setelah Yudhoyono, Megawati, dan Wiranto. Dalam survei LSI yang diumumkan 4 Januari 2009, posisi Sri Sultan memang naik ke urutan ketiga. Tapi di atasnya tetap saja Yudhoyono 43 persen, dan Megawati 19 persen. Sri Sultan hanya dipilih oleh lima persen responden saja.

Studi dari lembaga lain seperti Lembaga Survei Nasional (LSN) pada September 2008, menempatkan Sultan di urutan ke lima setelah Yudhoyono, Megawati, Wiranto dan Prabowo. Hasil survey Indonesian Research and Development Institute (IRDI) pada Juli 2008, bahkan memposisikan Sultan di urutan keenam setelah Yudhoyono, Megawati, Kalla, Wiranto dan Hidayat Nur Wahid.

Kans Sultan tampaknya lebih mencorong di posisi RI-2.

Hal itu antara lain ditunjukkan hasil survei Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). Dalam hal ini, responden menilai Megawati adalah pasangannya yang paling cocok. Dipasangkan sebagai wakil presiden Mega, Sultan meraup 22,6 persen suara dari 2.490 responden. Meski demikian, toh duet ini masih kalah dari paket Yudhoyono-Kalla yang dipilih 33,6 persen responden.

Direktur Riset LSI Kuskridho Ambardi mengakui Sri Sultan punya elektabilitas cukup tinggi, meski masih di bawah Megawati dan Yudhoyono. Masalah lain di mata Kuskridho, basis pemilih Sultan bertumpang tindih dengan Megawati, sama-sama paling banyak di Jawa. "Saya ragu, apakah mereka mampu menarik pemilih dari luar Jawa," ia mempertanyakan.

Ini kiranya memang tantangan yang perlu dijawab Sultan, kini dan kelak jika ia memang terpilih. Mampukah ia menjadi seorang Presiden atau Wakil Presiden Republik ketimbang sekadar menjadi seorang Raja Jawa.

Esai Foto: Sri Sultan, Calon Pendamping Mega Terkuat