Sabtu, 24 Januari 2009

Demokratisasi


Biaya Pilkada Berlebihan

Jakarta, Kompas - Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, Daniel Sparringa, menilai, biaya demokrasi di Indonesia sangat mahal, bahkan cenderung tidak masuk akal. Diperlukan langkah politik yang radikal untuk membuat sistem politik lebih rasional dan efisien.

”Biaya lebih dari Rp 800 miliar untuk menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur sungguh berlebihan. Jika terus dibiarkan terjadi, hal itu justru membahayakan demokrasi karena akan memunculkan gelembung demokrasi, realitas demokrasi yang semu,” katanya, Jumat (23/1) di Jakarta.

Secara terpisah, Rois Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim KH Miftachul Akhyar, Ketua Tanfidziyah PWNU Jatim KH Mutawakkil Alallah, Ketua PW Muhammadiyah Jatim Syafiq Mughni, dan Ketua Muslimat NU Jatim Masruroh Wahid, Jumat, juga menilai, Pilkada Jatim yang menghabiskan biaya lebih dari Rp 830 miliar terlalu mahal. Jumlah ini setara dengan seperlima Pendapatan Asli Daerah Jatim dalam setahun. Karena itu, semestinya pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang serta penghitungan suara ulang di Pamekasan adalah tahapan terakhir Pilkada Jatim.

”Pilkada Jatim terlalu mahal. Lebih baik anggaran digunakan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat yang riil, apalagi sekarang banyak pemutusan hubungan kerja dan menghadapi tahun ajaran baru,” tutur Syafiq.

Masruroh juga menilai, dana dan energi yang dikeluarkan warga Jatim untuk pilkada amat banyak. Karena itu, semua pihak harus arif dan tak memperpanjang Pilkada Jatim.

Litbang Kompas mencatat, Pilkada Jatim adalah yang termahal. Pilkada DKI Jakarta Agustus 2007 menghabiskan dana Rp 194 miliar. Pilkada di Jawa Barat dan Jawa Tengah juga menelan biaya kurang dari Rp 500 miliar.

Arief Budiman, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jatim, menjelaskan, pada putaran pertama pilkada, KPU diberi dana Rp 425 miliar. Selain untuk KPU, Pemerintah Provinsi Jatim juga menyediakan dana untuk instansi lain. Putaran kedua menghabiskan biaya Rp 265 miliar. Adapun pada penghitungan ulang di Pamekasan dianggarkan Rp 3,3 miliar. Pemungutan suara ulang di Bangkalan dan Sampang membutuhkan Rp 15,5 miliar, termasuk biaya pengamanan.

Pikirkan kembali

Menurut Daniel, pilkada provinsi secara langsung layak dipikirkan kembali. Dengan titik berat otonomi daerah di kota/kabupaten, gubernur hanya sebagai wakil pemerintah pusat sehingga masuk akal jika mereka dipilih pemerintah pusat. Calonnya dapat dikirim oleh DPRD provinsi.

”Bahkan, keberadaan DPRD provinsi serta dinas di provinsi dapat dipertimbangkan. Sebagai wakil pemerintah pusat, kantor gubernur cukup seperti kantor residen. Ini akan menciptakan penghematan yang besar sekali,” papar Daniel.

Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Didik Supriyanto, secara terpisah di Jakarta, Jumat, juga menilai, keluhan soal biaya pemilu, termasuk pilkada yang mahal, sudah saatnya diakhiri. Salah satunya adalah secara serius menggagas pelaksanaan pemilu secara serentak. Waktu penyelenggaraan pemilu bisa disederhanakan, yaitu cukup sekali pemilu nasional dan sekali pemilu lokal dalam masa lima tahun.

Menurut Didik, pemilu nasional dilaksanakan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden-wakil presiden. Pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota, gubernur, dan bupati/wali kota.

Penyederhanaan itu membuat penyelenggaraan pemilu yang lebih tertata, sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan anggaran. ”Yang lebih penting, adanya pemilu lokal dan pemilu nasional menjadikan peluang membentuk pemerintahan efektif jauh lebih besar. Pada saat yang sama, keterwakilan politik tidak terganggu,” kata Didik.

Ia juga menilai, ada persepsi yang salah tentang pemilu dan demokrasi. Selama ini selalu dimunculkan bahwa demokrasi itu mahal sehingga berapa pun anggarannya mesti dikeluarkan. Pemikiran itu adalah kekonyolan belaka. (nwo/dik/nik/raz/ina)

Tidak ada komentar: