Sabtu, 17 Januari 2009

Di Mana Engkau Politik Ksatria?

 

Karena mungkin terlalu larut membaca ulang komik Mahabharata dan Bharatayudha karya senior kita RA Kosasih, di benak saya tiba-tiba terlintas dua jenis politik yang tampaknya relevan untuk memahami hari-hari politik kita saat ini:

"politik menang-kalah" dan "politik ksatria". Yang satu sangat pragmatis, satunya lagi sangat idealis. Ekstremnya kira-kira demikian. Politik memang berurusan dengan kalah-menang dalam perebutan kekuasaan. Namun, di manakah letak "kehormatan"? Politik "menang-kalah" berpola habis-habisan, membabat habis lawan (zero sum game), dengan cara "apa pun".

M Amien Rais tempo dulu, jauh sebelum terjun ke dunia politik praktis, mengategorikannya sebagai high politics dan mendiametralkannya dengan low politics (lihat buku Cakrawala Islam, Mizan,1987). Kategori tersebut mungkin mirip pengertiannya dengan dua jenis politik di atas.

Yang jelas dalam paradigma politik "menang- kalah", kehormatan bukanlah yang utama dalam memenangi pertarungan. Kehormatan adalah wacana moralitas dan sebagaimana dikatakan Khrisna kepada Arjuna, morality is even so difficult of being understood, betapa moralitas merupakan sesuatu yang susah dimengerti.

Yang penting menang dan berkuasa karena "kemenangan" dan "kekuasaan" akan dengan mudah membalikkan kelumrahan, kewajaran, dan apa yang dipersepsikan sebagai "moralitas tingkat tinggi". Dengan "kemenangan" dan "kekuasaan", "kehormatan" akan datang dengan sendirinya. Berkuasalah, maka Anda akan bak lampu ajaib yang dirubung laron-laron yang mengelu-elukan Anda.

Banyak yang "menempel" Anda, baik yang berdalih profesional maupun politik. Anda tidak akan "dihormati orang" ketika cara mendapatkan kekuasaan itu "dipersoalkan", tetapi kalau Anda politisi yang berparadigma "menang-kalah", Anda dengan gampang dapat mematahkan kritik dan ketidaksukaan orang, bahwa musuh politik memang selalu begitu. Artinya Anda akan mudah saja mengatakan bahwa yang tidak suka pastilah musuh Anda. Anda tidak perlu "penghormatan dari musuh", kecuali dari para pendukung.***

Machiavelli menyarankan agar "politisi" tampil buas bagai singa dan licik bagai rubah. Kekuasaan harus dibikin menakutkan agar yang lain tunduk. Namun, dalam era kebebasan politik dan demokrasi, tentu saja versi asli Machiavelli harus melewati modifikasi panjang untuk diterapkan, disesuaikan dengan kultur dan adat-kebiasaan politik mutakhir.

Penguasa yang "menakutkan" bukanlah yang otoriter ditopang oleh militer yang selalu memastikan bahwa negara adalah, sebagaimana Thomas Hobbes bayangkan, Leviathan (monster dasar laut yang mengerikan), tapi harus lebih lembut, "merangkul tapi menusuk". Musuh harus ditundukkan, bukan secara dominasi yang kasar, tapi dengan hegemoni yang lembut, buaian, atau mereka dibuat untuk tergantung seolah tanpa paksaan karena memang tak ada pilihan.

Dalam kalkulasi "menang-kalah", "pokoknya menang". Logika-logika dasar yang dipakai sangat rational choice kalau bukan pragmatis. Beberapa rumus bakunya antara lain, pertama, buat apa maju kalau hanya untuk kalah? Martabat dan kebesaran partai bukanlah pertimbangan utama: lebih penting mana dua hal itu dibandingkan dengan "kemenangan"?

Kedua, tak usah resah dengan tuduhan melanggar etika atas tindakan dan kebijakan politik kita yang tak senonoh karena tak masuk ke dalam konteks "pelanggaran hukum". Dalam bahasa agama, "akhlak" bolehlah dikorbankan asal bisa mengelak dari ketentuan "hukum fikih". Ketiga, tak perlulah berpikir bahwa perilaku politik itu penting dan harus meninggalkan apa yang disebut "pelajaran" atau "hikmah" politik yang penuh dengan "kedalaman".

Cukuplah pelajaran yang ditinggalkan jelas rumusnya, "yang kuatlah yang pasti menang", tak mungkinlah kancil mengalahkan singa dalam kisah nyata. Pelajaran pentingnya adalah fakta kemenangan itu sendiri, bukan prosesnya. Dalam paradigma "menang-kalah" pindah-pindah partai bukanlah masuk kategori "kutu loncat".

Pindah partai, "ganti baju" secara "santai-santai saja" dan "senyum- senyum" tak dirasakan sebagai sesuatu yang "saru" yang membuatnya harus menundukkan kepala karena malu. Keempat, pada akhirnya, yang diagung-agungkan adalah "hasil akhir", bukan prosesnya. Tidak perlulah cara dan proses dinilai, kecuali hasil akhir "kemenangan".

Yang menang adalah yang hebat, yang kalah adalah yang "hina". Perspektif inilah yang dianut para "realis" bahwa politik harus dibaca sebagai "apa adanya" atau "apa realitas sebenarnya", bukan "seharusnya" alias normatif. Politik adalah permainan catur kekuasaan, kalau Anda tak jeli dan lihai akan dilibas "mesin komputer kekuasaan". ***

Yang menggelisahkan "kita", apakah politik harus bertumpu pada sekadar "menang-kalah"? Apakah "politik para ksatria" cukup kita baca di dalam kisah-kisah wayang dan para pendekar samurai yang berupaya menepati nilai-nilai yang diyakini, yang bergulat dan bertarung karena menegakkan prinsip dan kehormatan?

Politik ksatria tak menomorsatukan "kemenangan". Para ksatria tak takut kalah. Menangkalah bukanlah tujuan, kecuali prinsip dan kehormatan yang disandangnya. Arjuna tak mau bertanding adu panah melawan Karna karena, menurut asumsinya, Karna bukan merupakan murid Duryudana sehingga tak bakal menang--walaupun Arjuna keliru karena Karna selalu mengintip murid-murid Duryudana belajar memanah dan anehnya punya kesaktian sebanding dengan Arjuna.

Seorang ksatria pantang menghabisi "musuh" yang lemah dan tak berpola zero sum game dalam berpolitik. Kisah-kisah Mahabharata dan Bharatayudha memang penuh perdebatan. Tetapi kisah-kisah ksatria, yang banyak ditemukan dalam banyak kisah dan legenda, meninggalkan nilai-nilai universal. Seorang ksatria dihormati kawan dan lawan. Kehormatan sejati adalah nomor satu, bukan "kehormatan turunan" akibat "kemenangan kekuasaan".

Seorang politisi ksatria akan mundur kalau terlibat dalam peristiwa "yang memalukan". Artinya, sangat "tahu malu" apabila bersalah dan meninggalkan tanggung jawab. Tradisi ksatria inilah yang telah "luntur" dan sangat langka di "kita". Tak ada lagi unggah-ungguh alias sopan-santun politik dalam zero sum game.

Bharatayudha memang merupakan sebuah perang besar yang nyaris zero sum game, tetapi yang "senior" dan "mahaguru" tetap dihormati, bahkan petuah-petuahnya masih didengar sampai menjelang ajal (dalam adegan wafatnya Bhisma Dewabrata).

Di kita, sekali orang dianggap musuh, walaupun pernah berjasa sangat besar pada penyelamatan, kesinambungan, dan kejayaan partai karena kalah dalam politik, dia langsung terdepak. Saya kira, kita perlu merenung, relevankah paradigma "politik kstaria" dihadirkan dalam dunia politik "demokrasi ekstraliberal" kita harihari ini? Betulkah politik tak sekadar urusan kalah-menang?(*)

M Alfan Alfian
Dosen FISIP Universitas Nasional Jakarta

Tidak ada komentar: