Selasa, 06 Januari 2009

Menegakkan Daulat Rakyat


Denny Indrayana


Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan pe- rannya sebagai penjaga dan penegak konstitusi. Dalam putusan No 22-24/ PUU-VI/2008, MK memutuskan Pasal 214 Huruf a sampai e Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD bertentangan dengan konstitusi dan karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Putusan itu merontokkan dasar hukum penentuan calon terpilih anggota DPR dan DPRD (provinsi dan kabupaten/kota) berdasarkan nomor urut menjadi berdasarkan suara terbanyak. Putusan MK demikian patut diapresiasi, sebab lebih menegaskan kokohnya demokrasi konstitusi di Tanah Air.

Moralitas konstitusi

Demokrasi adalah sistem di mana rakyat berdaulat. Perubahan Ketiga Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 mengatur ”Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Pendelegasian mandat rakyat itu hanya sah jika dilakukan melalui proses pemilu yang demokratis. Pemilu, karenanya, adalah implementasi daulat rakyat.

Putusan MK bahkan dengan bijak menegaskan, ”prinsip kedaulatan rakyat merupakan prinsip konstitusi yang sangat mendasar yang bukan saja memberi warna dan semangat pada konstitusi yang menentukan bentuk pemerintahan, tetapi juga dapat dipandang sebagai moralitas konstitusi yang memberi warna dan sifat pada keseluruhan undang-undang di bidang politik” (hal 102). Maka, adalah bertentangan dengan daulat rakyat jika caleg terpilih ditentukan dengan nomor urut, bukan dengan suara terbanyak. Lebih jauh, meminjam istilah MK, penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut bertabrakan dengan moralitas konstitusi.

Apalagi, pada kenyataannya, penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut menyebabkan jarak antara caleg dan konstituennya semakin jauh. Caleg cenderung merapat kepada pemimpin parpol dalam upayanya mendapatkan nomor urut kecil. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, ada caleg yang akhirnya membeli nomor urut jadi sehingga menumbuhsuburkan korupsi pemilu. Penyimpangan demikian seharusnya terkikis habis melalui penerapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Caleg didorong untuk lebih kreatif mendekati hati rakyat pemilihnya. Parpol pun semestinya diuntungkan karena dana yang dikeluarkan setiap caleg saat berkampanye semestinya akan meningkatkan derajat keterpilihan partai yang bersangkutan.

Secara sistem pemilu, penentuan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak menegaskan sistem proporsional terbuka yang sebenarnya telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2008. Di samping itu, bagi seluruh pemangku kepentingan kepemiluan, sistem suara terbanyak lebih banyak manfaatnya. Bagi parpol, tidak perlu lagi menyiapkan mekanisme pernyataan surat pengunduran diri jika caleg dengan suara terbanyak tidak memenuhi syarat bilangan pembagi pemilih. Mekanisme demikian amat rentan potensi konflik yang bisa menjadi tumpukan perkara sengketa hasil pemilu di MK. Bagi KPU, pekerjaan menentukan caleg terpilih pun menjadi jauh lebih mudah.

Diskriminasi positif

Di samping menegakkan kembali daulat rakyat, MK juga menegaskan bahwa konsep konstitusionalitas affirmative action (diskriminasi positif). Mahkamah berpendapat, penentuan adanya kuota 30 persen bagi calon perempuan dan satu calon perempuan dari setiap tiga calon anggota legislatif ”tidak bertentangan dengan konstitusi karena perlakuan hak-hak konstitusional jender untuk tidak dikualifikasi diskriminatif tersebut, dimaknai untuk meletakkan secara adil hal yang selama ini ternyata memperlakukan kaum perempuan secara tidak adil” (hal 99).

Pastinya ada kekhawatiran bahwa dengan mekanisme suara terbanyak yang diputuskan MK, kuota 30 persen dan sistem zipper (satu perempuan di setiap tiga caleg) menjadi mubazir. Meski dari sisi yang lain, justru inilah momentum bagi perjuangan keterwakilan perempuan di parlemen untuk bergeser dari paradigma kuantitas (angka-angka) menjadi paradigma kualitas (mutu dan kapasitas). Perjuangan kuantitas sudah berhasil dilakukan melalui kuota 30 persen dan sistem zipper, perpaduannya dengan penentuan caleg berdasarkan suara terbanyak adalah tantangan untuk tetap menghadirkan anggota parlemen perempuan yang memang berkualitas dan betul-betul dipilih rakyat.

Saya tetap optimistis bahwa dengan kerja keras dan ketekunan caleg perempuan, kesuksesan ganda perjuangan akan terwujud. Inilah saatnya bagi para aktivis yang memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen untuk melakukan pendidikan politik rakyat, utamanya kepada pemilih perempuan, untuk memilih caleg perempuan yang berkualitas di DPR dan DPRD.

Wajib dilaksanakan

Pendapat yang mempertanyakan, atau bahkan menolak, putusan MK adalah keniscayaan dan kewajaran dalam iklim demokratis. Namun, kita semua harusnya tunduk pada aturan main bahwa putusan MK adalah final dan mengikat. Maka, siapa pun, termasuk parpol, KPU, serta masyarakat wajib menghormatinya.

Tidak cukup hanya dengan penghormatan lisan semata, putusan MK juga harus dilaksanakan. Untuk pelaksanaannya pun tidaklah sulit karena putusan tersebut bersifat self executing. Pertimbangan putusan MK sendiri menegaskan tidak adanya ke- kosongan hukum. Dengan demikian, tanpa revisi UU maupun pembentukan perpu sekalipun, KPU beserta seluruh jajarannya, berdasarkan kewenangan Pasal 213 UU No 10/2008, langsung dapat menetapkan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.

MK telah melakukan perannya untuk menegakkan kedaulatan rakyat, kini giliran kita semua, termasuk parpol serta KPU, untuk menjaga dan melanjutkan tugas pelaksanaan pemilu yang demokratis serta yang terpenting rakyat sendirilah yang harus mempertahankan kedaulatannya dengan cara memperbanyak pilihan kepada caleg yang memang betul-betul berkualitas dan berintegritas.

Denny Indrayana Staf Khusus Presiden Bidang Hukum; Dosen Hukum Tata Negara UGM

 

 
SSSSSSSSSSSSS

Tidak ada komentar: