Sabtu, 17 Januari 2009

Memahami Survei Politik

 

Jika Anda ingin mencicipi sebuah minuman yang ada di dalam cangkir, berapa sendok yang Anda butuhkan untuk mengetahui bahwa isi cangkir itu terdiri atas kopi, susu, dan gula? Kira-kira satu atau dua sendok teh saja sudah cukup.

Begitu pula jika Anda ingin mencicipi minuman yang ada di dalam teko, baskom, atau bahkan drum. Berapa sendok yang Anda butuhkan untuk mengetahui isinya? Lagi-lagi satu atau dua sendok teh sudah cukup juga. Yang penting, minuman tadi sudah diaduk-aduk dengan sempurna sehingga sedikit contoh sudah bisa memberikan informasi yang akurat bagi kita. Satu atau dua sendok yang kita cicipi tadi, dalam bahasa ilmiah, disebut dengan sampel (sample).

Betapa pun besarnya populasi (dalam contoh tadi adalah volume minuman), sedikit sampel sudah cukup untuk memberi informasi yang akurat asalkan syaratnya terpenuhi, yaitu populasi tadi sudah diaduk-aduk dengan sempurna. Satu atau dua sendok tersebut akhir-akhir ini sering disampaikan kepada publik. Barangnya bukan lagi berbentuk minuman, melainkan opini/persepsi masyarakat Indonesia.

Pelaku survei sosial saat ini juga sudah memiliki instrumen yang memadai untuk mengaduk-aduk populasi penduduk dengan sempurna. Itulah yang kita kenal dengan "hasil survei". Publik niscaya sering mendengar bahwa menurut survei lembaga "X", pada bulan "Y", calon presiden "Anu" diperkirakan memenangi pemilihan presiden.

***

Memang, semakin dekat menjelang pemilu, hasil survei politik silih berganti dirilis. Ada survei tentang calon presiden, ada juga survei tentang partai-partai politik (parpol) yang akan memperoleh suara pada pemilu legislatif nanti. Dari survei tersebut, masyarakat bisa membuat gambaran, bahkan mungkin membuat prediksi sendiri, tentang hasil pemilu nanti. Namun persoalannya, tidak seluruh survei memperlihatkan hasil yang sama. Padahal, kandidat atau partai yang mereka teliti nyaris sama.

Apa yang membuat berbagai hasil survei kadang-kadang berbeda? Ada beberapa hal yang membuat hasil berbagai survei politik itu bisa berbeda. Pertama, waktu pelaksanaan survei. Harus dipahami bahwa opini masyarakat tidak berada dalam posisi yang statis. Pendapat publik selalu bergerak dan dinamis. Isu tertentu bisa membuat opini masyarakat bergerak ke arah positif atau negatif.

Dukungan masyarakat terhadap incumbent atau partai berkuasa, misalnya, bisa berbeda antara sebelum atau setelah kenaikan harga bahan bakar minyak(BBM). Kedua, perbedaan hasil survei juga bisa disebabkan jumlah objek yang diobservasi. Jika survei "lembaga A" menguji 7 nama calon presiden, hasilnya bisa saja berbeda dengan "lembaga B" yang menguji 10 nama calon presiden meskipun dilakukan pada waktu yang sama.

Sebab, setiap calon kandidat presiden yang diuji hampir pasti punya pendukung tersendiri walaupun kecil. Ketika nama tertentu dihilangkan dalam observasi, masyarakat yang menjadi sampel survei bisa saja mengalihkan pilihan kepada kandidat lain atau memilih abstain. Risiko perbedaan seperti ini harus diambil karena sifatnya memang masih berupa penjajakan. Belum ada kepastian perihal nama maupun jumlah kandidat/partai yang akan berlaga dalam pemilu nanti.

Survei bisa menjadi lebih akurat ketika nama dan jumlah kontestan pemilu sudah ditetapkan. Selanjutnya, perbedaan hasil survei harus juga dilihat dari sisi selisih margin of error. Hampir seluruh lembaga survei politik memperlihatkan bahwa Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono silih berganti memperoleh dukungan terbanyak. Untuk urutan ketiga, keempat, dan kelima ditempati secara bergantian oleh Wiranto, Hidayat Nur Wahid, dan Sri Sultan Hamengku Buwono.

Jika angka dan urutan tersebut hanya sedikit berbeda, hal itu bisa diterima. Perbedaan yang sedikit itu disebabkan tiap survei juga punya batas toleransi kesalahan. Toleransi kesalahan itu bisa sebesar +/- (baca: "plus minus", bukan "lebih kurang") 5%, 3%, 2%, dll, bergantung pada jumlah responden yang dilibatkan dan tingkat keyakinan yang diinginkan.

Hanya saja, jika ada lembaga survei yang merilis hasil yang betul-betul berbeda dari mayoritas lembaga survei lain, tentu patut dipertanyakan dengan serius. Jika kasusnya seperti ini, kita harus menguji kompetensi sebuah lembaga dalam melakukan sebuah survei. Cara paling mudah melihat kompetensi sebuah lembaga survei adalah memperhatikan cara pemaparan pertanggungjawaban metodologi.

Yang paling sering membuat lembaga survei terpeleset adalah ketika mencantumkan toleransi kesalahan (margin of error) dan tingkat keyakinan. Beberapa lembaga survei mencantumkan bahwa toleransi kesalahan survei sebesar 5% dengan tingkat keyakinan 95%. Ada juga yang memublikasikan toleransi kesalahan 3-5% dengan tingkat keyakinan 95%. Lembaga survei sering terpeleset dalam pertanggungjawaban seperti ini. Artinya,lembaga tersebut tidak melibatkan orang yang punya pemahaman statistik standar. Beberapa lembaga riset menganggap bahwa margin of error adalah 100% dikurangi tingkat keyakinan.

Sebagian lembaga survei bahkan mencantumkan margin of error hanya dengan menebak-nebak. Saat hasil survei dipublikasikan,metodologi paling jarang dikupas, bahkan ketika hasil survei tersebut dibahas oleh intelektual dan pengamat terkenal. Ini memang problem intelektual dan kaum terpelajar di Indonesia, termasuk yang bergerak di dunia survei politik. Kita sejak kecil dididik untuk fobia terhadap angka. Angka dianggap sebagai sesuatu yang sulit dan rumit.

Padahal menghitung toleransi kesalahan dan penetapan tingkat keyakinan bisa dilakukan semudah membalik telapak tangan, tanpa harus mempersyaratkan Anda punya keahlian dalam bidang statistik.

*** 

Pertanyaan berikutnya, apakah masyarakat dibuat bingung oleh hasil survei politik yang berbeda-beda itu? Kemungkinan besar memang masyarakat akan bingung. Hal ini wajar. Sebab, sering terjadi sebuah lembaga menyatakan SBY masih memperoleh dukungan paling tinggi dan tidak lama kemudian lembaga lain merilis Megawati Soekarnoputri sebagai pemenang.

Kebingungan publik paling mendasar adalah soal menentukan hasil survei mana yang bisa dipegang kebenarannya. Bahkan ada yang paling menggelikan sekaligus menyedihkan. Dalam banyak kasus, hasil survei juga sering diperlakukan seperti ramalan bintang. Jika dirasa bagus dan sesuai dengan keinginan politikus/masyarakat, hasilnya akan dipercaya dan dikutip sebagai pembenaran dukungan.Hasil survei seperti ini niscaya akan dibawabawa dalam setiap forum dan pertemuan.

Namun jika survei memperlihatkan hasil sebaliknya, sering muncul ungkapan sinis begini: "Ah, itu kan cuma hasil survei, paling banyak cuma 2.000 atau 3.000 responden, sementara penduduk Indonesia lebih dari 200 juta. Apa iya survei bisa dipercaya mewakili penduduk Indonesia? Bagaimana kalau kebetulan yang disurvei bukan daerah pendukung saya?" Begitulah pemahaman umum masyarakat jika membaca hasil survei politik hari ini. Meskipun bukan merupakan barang yang benar-benar baru, survei politik relatif sekadar akrab di telinga, tetapi belum dipahami esensi dan logikanya. Menjelang Pemilu 2009 nanti, frekuensi rilis hasil survei akan semakin tinggi.

Hampir pasti akan ada perbedaan-perbedaan hasil yang disampaikan kepada publik. Oleh sebab itu, agar tidak salah memahami hasil survei politik, pemahaman paling sederhana untuk survei seperti ini perlu disebarluaskan. (*)

Hasan Nasbi A
Program Manager IRDI dan Research Manager CIRUS

Tidak ada komentar: