Jumat, 02 Januari 2009

Partai Politik Islam


Koalisi Permanen atau Sekadar Mengusung Calon Presiden



Oleh Imam Prihadiyoko

Filsuf Yunani, Cicero, pernah mengatakan, jika tidak ada jalan lain, adakalanya untuk mengetahui apakah bisa menang dalam pertarungan harus mulai menyerang. Ketua Majelis Pertimbangan Pusat Partai Amanat Nasional M Amien Rais dalam pemantapan calon anggota DPR, pada akhir tahun lalu, mengatakan, pemilu mendatang akan menjadi tahun pertaruhan, yang akan menentukan perjalanan panjang bangsa ini.

”Jika bangsa ini hanya menampilkan dua kandidat presiden yang sering dikatakan kuat saat ini, Yudhoyono dan Megawati Soekarnoputri, bangsa ini akan kehilangan kesempatan untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat,” ujarnya.

Itu sebabnya partai tengahan jangan menjadi partai rental yang menyewakan partainya untuk menjadi kendaraan seorang aktor maju dalam pemilu presiden. Partai tengahan harus mau membangun koalisi agar kondisi keniscayaan yang membuat Yudhoyono dan Megawati akan berhadapan pada pemilu presiden mendatang mendapat pesaing yang andal.

Jika keduanya kembali berhadapan, tampaknya Yudhoyono akan kembali tampil sebagai presiden mendatang. Paling tidak inilah bunyi ramalan banyak pihak tentang pertarungan dua tokoh tersebut.

Dalam bahasa Amien Rais, koalisi partai tengahan itu dibentuk dalam Poros Penyelamat Bangsa.

Usaha untuk membangun kekuatan penyeimbang atau koalisi ini juga digulirkan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin. Dia mengharapkan partai-partai Islam dan partai berbasis massa Islam perlu membangun koalisi strategis. Koalisi strategis ini dibangun dengan dasar agenda bersama untuk mewujudkan kesejahteraan umat dan bangsa.

Din menegaskan, ajakan membangun koalisi partai Islam dan partai berbasis massa Islam dalam koalisi strategis ini sebagai jawaban atas keprihatinan melihat bangsa saat ini. Secara lebih khusus lagi, umat Islam di Indonesia juga tidak memiliki kekuatan politik yang berarti. Secara ekonomi pun banyak yang hidup dalam kekurangan.

”Biarkan parpol tampil dengan berbagai benderanya masing-masing. Tetapi, dasar Islam seharusnya bisa menjadi alasan untuk membangun kebersamaan. Paling tidak Islam menjadi pengikat,” kata Din.

Namun, pada saat yang sama, menurut Din, koalisi strategis ini juga harus bisa mendorong lingkaran lain dari anak bangsa, membangun dialog dalam lingkaran yang makin mendekat. ”Bangsa ini sulit tampil menjadi bangsa yang maju jika berbagai lingkaran bangsa yang ada tidak diikat dalam satu aliansi kebangsaan,” ujarnya.

Ketua Majelis Ulama Indonesia Amidhan mengatakan, aspirasi di kalangan umat Islam dan MUI memang selalu muncul keinginan kuat untuk menyatukan partai Islam. Meskipun, memang banyaknya partai Islam ini harus diakui sebagai kenyataan sejarah, ke depan perlu dicoba untuk membangun persatuan umat.

Namun, Amidhan mengakui, bingkai politik saat ini masih membutuhkan ruang untuk berkompromi dalam melakukan kebaikan. Dalam kehidupan bernegara Indonesia, ruang kompromi itu sudah final disepakati dasarnya, yaitu Pancasila.

”Kenyataan ini menempatkan kedudukan partai Islam dan sekuler sama dalam politik. Semuanya ditentukan pada tataran kompromi. Lebih penting lagi, koalisi partai Islam atau partai berbasis massa Islam ini jangan terjebak pragmatisme dan kedudukan atau konkretnya hanya demi kursi presiden dan wakil presiden saja,” ujarnya.

Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar ketika berbicara di Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations pada pertengahan Desember tahun lalu mengakui, saat ini masyarakat Indonesia mengalami perkembangan pemikiran yang luar biasa. Kesadaran untuk membentuk masyarakat dan negara yang makmur dan mendapat rida Allah SWT sudah menjadi platform semua partai Islam.

”Hari ini kita semua menghadapi problem yang sama. Namun, beranikah kita berkoalisi dan mengambil mazhab baru dalam strategi pembangunan secara utuh?” ujarnya.

Apalagi, partai Islam di DPR selama ini tidak memiliki agenda khusus. Perilakunya pun masih sama dengan partai lain, yaitu hanya mengikuti arus. Meskipun produktivitas undang-undang tinggi, UU tersebut belum dalam satu kesatuan gagasan ide.

”Kita masih gagal mengisi skala yang sedang dibutuhkan rakyat. Padahal, kita juga menyadari bahwa kalau ini gagal, kita pantas khawatir rakyat akan kehilangan kepercayaan kepada demokrasi," ujarnya.

Namun, ajakan Din yang mulai digulirkan bertepatan dengan milad Muhammadiyah yang ke-99 pada minggu kedua Desember lalu ini belum mendapat tanggapan dan dukungan dalam bentuk gerakan yang memadai dari partai-partai Islam.

Bahkan, ada partai Islam dan tokoh partai tersebut yang secara terang-terangan menolak ide membangun koalisi berdasarkan kesamaan basis massa Islam ini. Argumentasinya, basis massa Islam saja dianggap belum memadai untuk memenangi pemilu.

Namun, yang lebih mengejutkan lagi, Partai Persatuan Pembangunan yang dipelopori Ketua Majelis Pertimbangan Pusat PPP Bachtiar Chamsyah dalam refleksi politik akhir tahun 2008 mengeluarkan gagasan untuk membangun koalisi prapemilu. Sebagai langkah awal dari menjual gagasan itu, MPP PPP mengundang wakil dari Partai Demokrat, Partai Golkar, dan Partai Kebangkitan Bangsa.

Ditanya apakah ketiga partai tersebut akan menjadi koalisi permanen PPP, Bachtiar hanya mengatakan bahwa itu baru langkah awal yang masih terbuka bagi partai lainnya. Koalisi partai, katanya, bisa dibangun sebelum pemilu legislatif berlangsung dan bersifat permanen selama satu periode pemilu. Tujuannya, bukan saja untuk membentuk pemerintahan yang lebih kuat dan bisa bekerja efektif, tetapi juga menghindarkan adanya usaha sewa-menyewa partai dan politik dagang sapi.

Bagaimana kelanjutan kisah koalisi pada pemilu mendatang, kita masih akan menunggu.

Tidak ada komentar: