Sabtu, 17 Januari 2009

Narsisme Politik

Sabtu, 17 Januari 2009 01:44 WIB
Yasraf Amir Piliang


Menjelang Pemilihan Umum 2009, para elite politik mulai sibuk.
Mereka menyiapkan kampanye, mengadakan konsolidasi, mengunjungi tempat-tempat umum, menemui rakyat, membagi pamflet dan kartu nama, memasang foto diri di jalanan, mengirim pesan singkat ke masyarakat, mengaktifkan website, berbicara di radio-radio, serta memasang iklan diri di media elektronik.
Dalam politik abad informasi, citra politik seorang tokoh, yang dibangun melalui aneka media cetak dan elektronik—terlepas dari kecakapan, kepemimpinan, dan prestasi politik yang dimiliki—seolah menjadi ”mantra” yang menentukan pilihan politik. Melalui ”mantra elektronik” itu, persepsi, pandangan, dan sikap politik masyarakat dibentuk, bahkan dimanipulasi. Politik menjadi ”politik pencitraan” yang merayakan citra ketimbang kompetensi politik—the politics of image.
Citra narsistik
Kekuatan ”mantra elektronik” telah menghanyutkan para elite politik dalam gairah mengonstruksi citra diri, tanpa peduli relasi citra itu dengan realitas sebenarnya. Beberapa citra itu tak saja berbeda, tetapi juga bertolak belakang dengan realitas sesungguhnya. Citra terputus dari realitas yang dilukiskan. Kesenangan melihat citra diri menggiring pada ”narsisisme politik” (political narcissism).
”Narsisisme” tidak hanya diartikan sebagai kecenderungan pencarian kepuasan seksual melalui tubuh sendiri (Freud), tetapi juga segala bentuk ”penyanjungan diri” (self-admiration), ”pemuasan diri” (self-satisfaction), atau ”pemujaan diri” (self-glorification) (Erich Fromm), atau segala kecenderungan melihat dunia sebagai cermin atau proyeksi dari ketakutan dan hasrat seseorang (Christopher Lasch, The Culture of Narcissism, 1985).
”Narsisisme politik” adalah kecenderungan ”pemujaan diri” berlebihan para elite politik, yang membangun citra diri meski itu bukan realitas diri sebenarnya: ”dekat dengan petani”, ”pembela wong cilik”, ”akrab dengan pedagang pasar”, ”pemimpin bertakwa”, ”penjaga kesatuan bangsa”, ”pemberantas praktik korupsi”, atau ”pembela nurani bangsa”.
”Narsisisme politik” adalah cermin ”artifisialisme politik” (political artificialism), melalui konstruksi citra diri yang sebaik, secerdas, seintelek, sesempurna, dan seideal mungkin, tanpa menghiraukan pandangan umum terhadap realitas diri sebenarnya. Melalui politik pertandaan (politics of signification), berbagai tanda palsu (pseudo sign) tentang tokoh, figur, dan partai diciptakan untuk mengelabui persepsi dan pandangan publik.
”Narsisisme politik” adalah bentuk ”keseketikaan politik” (political instantaneous) yang merayakan citra instan dan efek segera, tetapi tak menghargai ”proses politik”. Aneka citra politik : ”jujur”, ”cerdas”, ”bersih”, atau ”nasionalis” adalah citra yang seharusnya dibangun secara alami melalui akumulasi karya, pemikiran, tindakan, dan prestasi politik. Namun, mentalitas ”menerabas” telah mendorong tokoh miskin prestasi mengambil jalan pintas manipulasi citra instan.
”Narsisisme politik” adalah cermin ”politik seduksi” (politics of seduction), yaitu aneka trik bujuk rayu, persuasi, dan retorika komunikasi politik, yang bertujuan meyakinkan tiap orang bahwa citra yang ditampilkan adalah kebenaran. Padahal, citra-citra itu tak lebih dari wajah penuh make up dan topeng politik yang menutupi wajah asli—political camouflage.
Simplisitas politik
Wacana komunikasi politik abad informasi menggantungkan diri pada citra visual (visual images), seperti citra televisi, kini menyerahkan diri pada ”logika media” (logic of media) berwatak kapitalistik, yang merayakan logika ”popularitas”, ”rayuan”, ”pengelabuan”, ”kesenangan”; bukan ”substansi”, ”pengetahuan”, ”kebenaran”, dan ”pencerdasan” politik.
Seperti dikatakan Jeffrey Scheuer, dalam The Sound Bite Society: Television and the American Dream (1999), televisi berwatak kapitalistik cenderung menolak segala bentuk ”kompleksitas” demi merayakan ”simplisitas” (simplicity). Ia merayakan segala yang mudah, instan, segera, provokatif, menggoda, dan menolak yang rumit, berbelit-belit, akademik, ilmiah, dan terlalu serius. Politik yang terjebak di dalamnya menghasilkan simplifikasi politik (political simplification).
Simplifikasi politik adalah politik ”antinalar” yang mengabaikan kompleksitas konteks, logika formal, atau hukum kausal persoalan. Ia sebaliknya merayakan logika informal (informal logics), yang menoleransi aneka sesat pikir, kedangkalan, jalan pintas, pernyataan tanpa argumen, penjelasan tanpa bukti, pembicaraan lepas konteks, dan cara pikir tak logis. Inilah wajah simplisitas politik bangsa dewasa ini.
Simbiosis budaya politik dan budaya media kapitalistik menciptakan budaya yang dilandasi hasrat ”keuntungan cepat”, ”personalitas artifisial”, dan ”popularitas prematur”. Politik yang tunduk pada logika media melakukan aneka pembesaran efek (amplifying effect) terhadap segala yang mediocre. Politik macam itu memanipulasi emosi, mematikan rasa, memasung daya kritis, dan membuat pikiran kenyang dengan aneka stereotip sosial yang banal.
Media politik berkembang ke arah ”anti-kedalaman” (depthlessness), dengan memuja gaya ketimbang substansi, citra ketimbang realitas, retorika ketimbang intelektualitas, efek ketimbang proses, emosi ketimbang nalar. Ia menghindar dari relasi abstrak, argumen konseptual, pikiran logis, hukum kausal, karena dianggap tak menarik. Godaan menciptakan komunikasi politik yang menarik telah mengubur tugas pencerahan politik.
Nihilisme demokrasi
Apakah segala banalitas, kedangkalan, bahkan tipu daya komunikasi politik merupakan buah demokrasi? Bila demokrasi dipahami sebagai sistem politik yang mempunyai spirit pencerdasan dan pemberdayaan individu dan warga, untuk menciptakan masyarakat demokratis sejati, maka apa yang berlangsung di atas panggung politik telah ”melampaui” ideal demokrasi itu sendiri.
Cornel West dalam Democracy Matters: Winning the Fight Against Imperrialism (2004) mengatakan, demokrasi berlebihan menciptakan ”nihilisme demokratik” (democratic nihilism), yaitu praktik demokrasi yang diwarnai strategi kebohongan, manipulasi, dan kepalsuan. Demokrasi lebih merayakan trik-trik mengangkat emosi, perasaan dan kesenangan, dengan mengabaikan substansi politik.
Memang, politik pencitraan amat penting dalam demokrasi abad informasi, karena melaluinya aneka kepentingan, ideologi, dan pesan politik dapat dikomunikasikan. Namun, ia harus dilandasi etika politik karena tugas politik tidak hanya menghimpun konstituen sebanyak mungkin—melalui persuasi, retorika, dan seduksi politik—tetapi lebih penting lagi membangun masyarakat politik yang sehat, cerdas, dan berkelanjutan.
Yasraf Amir Piliang Pemikir di Forum Studi Kebudayaan (FSK), FSRD-ITB

Tidak ada komentar: