Kamis, 22 Januari 2009

Putusan MK Tidak Bisa Jadi Dasar KPU


Didik Supriyanto - detikPemilu




Jakarta - Masih banyak pengamat dan elit partai yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar langsung menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memenangkan suara terbanyak dalam penetapan calon terpilih. Artinya, KPU tidak perlu menunggu UU atau Perpu yang mengadopsi putusan MK tersebut.

Sekali lagi, saya hendak mengingatkan, bahwa putusan MK tidak bisa langsung dijadikan dasar pijakan KPU untuk membuat peraturan atau keputusan. Putusan itu harus diadopsi terlebih dahulu dalam bentuk UU atau Perpu. Berdasarkan UU atau Perpu inilah KPU baru bisa bertindak.

Yang saya maksud dengan peraturan adalah peraturan KPU tentang tata cara penetapan calon terpilih; kuputusan adalah keputusan KPU atau KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota tentang penetapan calon terpilih pada tiap-tiap partai yang meraih kursi.

Mengapa putusan MK tidak bisa dijadikan dasar buat KPU untuk bertindak, baik dalam bentuk peraturan maupun keputusan?

Pertama, putusan MK bukanlah dasar hukum. Dalam UU Nomor 10/2004 yang mengatur tentang jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan, tidak disebutkan putusan MK sebagai dasar hukum. Juga tidak ada undang-undang lain yang menyebutkan demikian, termasuk UU Nomor 24/2003 tentang MK.

Memang, putusan MK bisa menjadi sumber hukum atau pertimbangan hukum, namun dia bukanlah dasar hukum. Oleh karena itu, agar putusan MK itu bisa dijalankan, maka harus diadopsi dalam UU atau Perpu.

UU atau Perpu inilah yang selanjutnya jadi dasar pijakan KPU untuk bertindak. Selama tidak ada UU atau Perpu yang mengadopsi putusan MK tentang suara terbanyak, selama itu pula penetapan calon terpilih tetap menggunakan ketentuan lama sebagaimana diatur oleh Pasal 214 UU Nomor 10/2008.

Jika KPU atau KPU daerah berani bertindak tanpa UU atau Perpu, maka mereka harus menanggung risiko peraturan atau keputusannya akan digugat ke MA. Dan dalam beberapa perkara, sikap MA jelas: menolak penggunaan putusan MK sebagai dasar bertindak.

Kedua, putusan MK memenangkan suara terbanyak, sesungguhnya belum jelas dan belum operasional. Apa yang dimaksud dengan suara terbanyak? Mayoritas (50% lebih satu) atau pluralitas (yang mendapat paling banyak, meski total suara yang lain lebih dari 50%)?

Bagaimana jika suara partai mencapai lebih dari 50% total suara calon? Pantaskah calon yang meraih kurang dari 5% suara tapi suaranya terbanyak di antara calon, karena hampir semua suara tersedot ke partai, mendapatkan kursi? Bukankah partai telah memprioritaskan calon terpilihnya pada calon nomor urut satu.

Bagaimana jika tidak ada satu calon pun yang meraih suara, sementara partai tersebut mendapatkan kursi? Kursi itu harus diberikan kepada siapa? Bagaimana jika ada calon yang suaranya sama?

Bagaimana menghubungkan pasal affirmative action (kuota keterwakilan 30% perempuan dalam pencalonan) dengan calon terpilih? Masih banyak hal yang harus diperjelas, agar peraturan atau keputusan KPU mempunyai kepastian hukum.

Karena ini menyangkut substansi pengaturan tentang calon terpilih, maka KPU tidak bisa serta merta membuat peraturan teknisnya. Jadi, KPU harus menunggu UU atau Perpu mengadopsi putusan MK, baru kemudian dia bisa bertindak.

KPU bisa saja nekat bikin peraturan teknis tata cara penetapan calon terpilih tanpa didasari UU atau Perpu. Tapi dia harus bersiap menghadapi gugatan di MA. Sekali lagi, sikap MA selama ini jelas: putusan MK tidak bisa dijadikan dasar hukum. Bayangkan jika gugatan itu kelak dimenangkan MA. ( diks / iy )

Tidak ada komentar: